Sterilisasi Gerakan Mahasiswa

Sterilisasi Gerakan Mahasiswa

Tentu masih segar dalam ingatan kita tentang peristiwa penangkapan dan penggerebekan beberapa aktivis yang diduga terlibat dalam aksi penolakan kenaikan harga BBM beberapa waktu lalu di gedung wakil rakyat. Mereka dituduh mendalangi aksi yang berujung anarkis dan bentrok dengan aparat kepolisian. Dengan beringas, aparat keamanan memukul balik aksi demonstrasi dengan mengejar, memburu, dan menangkapi mereka bak berlomba - lomba mengejar binatang buruan. Lantas, apakah memang tidak ada cara lain menghadapi mahasiswa ?

Penangkapan yang dilakukan rezim berkuasa bukannya tidak menyiratkan pesan. Ada komunikasi tersirat yang ingin disampaikan kepada aktivis-aktivis mahasiswa. Pertama, pemerintah sedang memberikan warning atau lampu merah bagi siapa pun yang coba mengusik singgasana kekuasaan. Rezim mulai memperlihatkan wajah garangnya melalui tangan besi dan pentungan aparat berbaju coklat. Kedua, fenomena ini semakin menunjukkan pemerintah gamang dan panik menghadapi geliat perkembangan penolakan kenaikan harga BBM. Penolakan yang dilakukan oleh elit politik dan berbagai elemen masyarakat yang mengkritik kebijakan yang tidak popular tersebut ternyata membuat kuping pemerintah semakin merah menyala. Ketiga, kemunduran dalam menghadapi aksi-aksi mahasiswa. Pemerintah tak ubahnya melakukan apa yang dilakukan oleh rezim orde baru. Kegagalan membuka ruang yang bernuansa dialogis membuat kepolisian lebih memilih cara-cara represif untuk membungkam setiap mulut yang berteriak lantang. Artinya, gerakan mahasiswa dianggap ibarat butiran kolesterol dalam darah yang dapat menyumbat dan mengganggu stabilitas sehingga tak ada jalan lain selain menyingkirkannya.

Upaya-upaya untuk meredam gerakan mahasiswa bukan hanya terjadi kali ini saja. Hampir dalam setiap rezim, mulai dari era penjajahan sampai zaman reformasi sekarang. Di zaman kolonialisme, mahasiswa yang menjadi martir dan penyambung lidah rakyat dalam menyuarakan kemerdekaan (spirit of freedom). Namun, pemerintah Hindia Belanda kemudian menyikapi dengan melakukan penangkapan, pembuangan dan pembubaran organisasi-organisasi yang menjadi duri dalam daging di tubuh pemerintah. Soekarno di akhir-akhir kekuasaanya, membubarkan KAMI ( Kesatuan Aksi Mahasiwa Indonesia ) yang dianggap terlalu lantang menantang penguasa.


Penguasa orde baru, The Smiling General, Soeharto membungkam mahasiswa melalui kebijakan NKK/BKK ( Normalisasi Kehidupan Kampus ) dan ( Badan Kordinasi Kampus ) yang bertujuan mendesain mahasiswa menjadi anak baik (good boy) yang tidak boleh berpolitik dan organisasi intra kapus yang tadinya otonom harus berada di bawah rektorat. Konsekuensinya, lahirlah karakter-karakter mahasiswa yang apolitis, pragmatis, individualis dan hedonis. Juga, organisasi intra yang layaknya seperti “macan ompong ” karena kepala dan kakinya sudah di ikat atas nama kordinasi.

Organisasi ekstra pun seperti GMNI, PMKRI, GMKI, PMII, HMI dilarang masuk kampus dan selalu dicitrakan tidak baik oleh penguasa dan disarankan agar mahasiswa tidak ikut menjadi anggota .Padahal organisasi –organisasi ekstra tersebut yang turut andil membentuk kader-kader yang kritis dan berkualitas dalam menangkap realitas sosial. Orde baru juga mencatat prestasi sebagai orde yang paling beringas menangkap, menculik, melarang bentuk ekspresi politik dan tak segan-segan menembaki dan membunuh demi ideologi stabilitas pembangunan.

Mahasiswa tidak dipandang strategis sebagai mitra, malah menempatkanya dalam posisi vis a vis dengan negara. Kalau pun tidak melalui cara kekerasan, peredaman dilakukan melewati metode-medtode yang lebih halus ( soft strategy ) seperti, mahasiswa yang dianggap kritis disekolahkan ke luar negeri, pemberian beasiswa dan bantuan pendidikan lainnya bagi aktivis, ditariknya aktivis mahasiswa dalam lorong kekuasaan sampai bisikan halus tak tersurat para pejabat kampus yang seolah memberi pesan pada aktivis mahasiswa, bahwa yang kritis akan lama lulus dari bangku kuliah atau bahkan drop out ( DO ).

Apa yang bisa kita pelajari dari memori kelam pembungkaman gerakan mahasiswa yang dilakukan hampir dalam setiap rezim ? Sejarah telah mencatat bahwa mahasiswa tidak akan diam dan berhenti bergerak dengan cara-cara represif. Justru, semakin kuat rezim menekan maka semakin kuat pula pukulan balik yang akan timbul. Di era demokrasi ini seharusnya pendekatan dialogis lebih banyak dilakukan daripada menunjukkan bahasa kekuasaan. Pemerintah seharusnya belajar dari sejarah untuk menemukan formula menghadapi aksi-aksi mahasiswa. Dari pihak mahasiswa pun sebaiknya tetap menyuarakan aspirasi dengan damai dan elegan dan bukan menghadapi bahasa kekuasaan negara dengan bahasa kekerasan mahasiswa.






0 komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar Anda Di Sini :