Mudik,Wajah Gagal Pembangunan











Mudik, Wajah Gagal Pembangunan





Mudik, menjadi kata yang paling ditunggu-tunggu menjelang penghujung ramadhan. Bagaimana tidak, tradisi pulang ke desa untuk sementara waktu ini dianggap membawa simbol-simbol tersendiri, khususnya bagi perantau. Selain sarat dengan ranah sosial dan religius, mudik identik dengan fenomena ekonomi. Maksudnya, selain sebagai ajang berkumpul dengan keluarga dalam bingkai spritualitas, ada semacam bentuk “pamer status”,yang dalam hal ini bersifat ekonomi. Pulang kampung adalah taruhan keberhasilan seorang pemudik. Akan ada rasa malu jika mudik dengan tangan kosong. Maka, kita lihat, banyak perantau yang sudah berhasil atau tidak sengaja memoles dirinya dengan simbol-simbol peningkatan status ekonomi. Namun, penonjolan status tersebut membawa efek lanjutan bagi penduduk pedesaan bahwa kota adalah jalan menuju kehidupan yang lebih baik.
Melihat banyaknya orang yang berbondong-bondong untuk mudik, sebenarnya sekaligus menelanjangi sebuah fakta kesenjangan antara desa dengan kota. Ini tak terlepas dari adanya dikotomi pemahaman yang terdistorsi tentang makna maju dan tertinggal. Pembangunan yang lebih menitikberatkan pada perkotaan kemudian secara tidak sengaja menimbulkan anggapan bahwa kota adalah lambang kemakmuran dan pedesaan sebagai simbol keterbelakangan. Padahal, belum tentu seorang penduduk tidak bisa sukses di desa. Desa kemudian menjadi anak tiri pembangunan sehingga jarang mendapat sentuhan perhatian kasih sayang pemerintah. Kota kemudian menjelma menjadi surga pemikat yang menjanjikan kemapanan ekonomi. Tahun 2008, dunia akan mencatat lembaran sejarah baru. Untuk pertama kalinya lebih dari separuh (3,3 miliar) penduduk di muka bumi akan hidup di wilayah perkotaan. Pertumbuhan populasi yang pesat ini terutama terjadi di negara berkembang (State of World Population 2007).
Dikarenakan, pertumbuhan ekonomi yang tidak merata, akan timbul fenomena urbanisasi. Perpindahan penduduk desa ke kota ini kemudian dijembatani oleh pemudik yang pulang kampung. Tak jarang kita lihat, pemudik kemudian membawa sanak-saudaranya untuk mengais rejeki di kota. Penduduk desa kemudian terpesona oleh kemilau kota yang melekat dalam diri rekan-rekannya yang merantau di kota. Berdasarkan data Sensus Penduduk 1980, 1990 dan 2000, dapat dihitung proporsi tingkat keurbanan di Indonesia yang relatif mengalami peningkatan. Secara nasional terjadi peningkatan berturut-turut sebanyak 22,3 persen pada tahun 1980, menjadi 30,9 persen pada tahun 1990, meningkat 34,3 persen pada 1994 dan menjadi 42,0 persen pada tahun 2000. Data tersebut menggambarkan bahwa selama dua puluh tahun terakhir, peningkatan presentase penduduk kota mencapai lebih dari 163 persen secara nasional, yaitu dari jumlah penduduk kota 32,845 juta jiwa pada tahun 1980 menjadi 86,40 juta jiwa pada tahun 2000 atau secara proporsi dari 22,3 pada 1980 menjadi 42,0 pada tahun 2000. (Litbang Ketransmigrasian, 2003).
Michael P. Todaro (1978) memandang perbedaan upah antara desa dan kota sebagai variabel dominan yang mempengaruhi arus urbanisasi. Di Indonesia, sekalipun faktor-faktor yang mempengaruhi urbanisasi merupakan jalinan multidimensional, akan tetapi variabel ekonomi sangat dominan. Fenomena urbanisasi di Indonesia sangat dipengaruhi oleh menyempitnya lapangan kerja di pedesaan; perubahan struktur atas kepemilikan tanah; serta bertambahnya populasi petani gurem berlahan sempit. Dengan demikian fenomena urbanisasi sangat diwarnai motif mikro untuk meningkatkan kesejahteraan. Tidak heran bila Michael Lipton (1977) pernah mengatakan, orang berurbanisasi merupakan refleksi dari gejala kemandekan ekonomi di desa yang dicirikan oleh sulitnya mencari lowongan pekerjaan dan fragmentasi lahan (sebagai faktor pendorong), serta daya tarik kota dengan penghasilan tinggi (sebagai faktor penarik).
Lapangan pekerjaan di pedesaan semakin berkurang seiring dengan menyempitnya areal pertanian akibat tekanan industrialisasi maupun tekanan demografis. Namun, disamping itu, urbanisasi sebagai proses mobilitas penduduk dapat dipandang sebagai hal yang berdampak positif dan berdamak negatif. Di satu sisi, urbanisasi merupakan penyerapan tenaga kerja eks pertanian untuk bekerja di sektor industri, khususnya yang bersifat padat karya. Jadi urbanisasi merupakan mekanisme pemenuhan kebutuhan dunia industri akan tenaga kerja. Namun di sisi lain, urbanisasi yang "berlebih" akan menimbulkan problema kompleks di masyarakat perkotaan. Salah satu contohnya adalah kepadatan penduduk dan kemiskinan, yang kemudian bermetamorfosis menambah kompleksitas permasalahan kota. Kepadatan penduduk membawa kerusakan pada lingkungan. Sedangkan kemiskinan melahirkan bentuk-bentuk kriminalitas. Kemiskinan juga sejak lama terkonsentrasi di daerah perdesaan. Pada tahun 1976 jumlah penduduk miskin mencapai 44,2 juta orang atau 81,5 persen dari total penduduk miskin. Sedangkan per bulan Maret 2006 jumlah penduduk miskin perdesaan mencapai 24,76 orang, sekitar 63,4 persen dari total penduduk miskin. Sementara, bagi desa, kekurangan tenaga penggarap lahan pertanian akan membuat matinya desa sebagai pemasok komoditas pertanian.
Selama desa tidak dianggap menarik sebagai penjamin kesejahteraan, urbanisasi akan terus terjadi. Dengan adanya otonomi daerah sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk merestrukturisasi sentralisme pembangunan kota. Pemerintah harus mengubah imej dan stigma desa menjadi daerah yang berbeda dengan kota dari segi spesialisasi. Karena kebanyakan motif urbanisasi adalah ekonomi,maka desa juga harus bisa membendung urbanisasi melalui penyediaan lapangan kerja dan sumber-sumber ekonomi. Desa yang dikelola melalui potensi pedesaan yang menjanjikan pendapatan tinggi akan meminimalisir urbanisasi.
Pemerataan pembangunan jika diartikan sebagai menjiplak kota ke desa sangatlah sulit dilakukan. Untuk menyiasatinya kita bisa melakukan segregasi yang berarti konsentrasi suatu tipe kelompok orang atau kegiatan tertentu pada suatu wilayah tertentu. Kota tidak harus menjadi pusat segalanya, namun harus membagi pusat-pusat kegiatan yang bisa dibangun di desa. Semisal daerah hunian, pariwisata, perhotelan, pusat-pusat perdagangan pertanian yang tidak boleh dimonopoli oleh kota. Sehingga, penyebaran pusat-pusat aktivitas menjadi lebih merata, Disamping itu, salah satu penyebab desa tidak menjadi tujuan investasi adalah pembangunan infrastruktur yang minim. Untuk mendukung pusat-pusat aktivitas tadi, infrastruktur seperti jalan, air bersih, transportasi, jembatan ,listrik harus dipersiapkan.
Di samping itu, kota juga harus memiliki manajemen urbanisasi. Salah satu mengelola urbanisasi agar tidak menimbulkan masalah adalah melalui perencanaan kota. Walaupun di setiap kota memiliki badan perencanaan kota, namun fungsinya masih sebatas pembangunan yang reaktif dan parsial. Urbanisasi adalah pilihan yang rasional ketika kesenjangan desa dan kota terlalu “telanjang”, oleh sebab itu pula kita tidak bisa menghentikannya dengan cara reaksioner dan koersif. Namun, ketika urbanisasi dikelola dengan baik, akan berdampak positif untuk menunjang pembangunan kota.

SEKEPAK SAYAP UNTUKMU






Sekepak Sayap Untukmu

Untukmu yang tetap hidup walau jasadmu tlah mati

Aku Rindu...



Jika setiap diamku adalah sedihmu Dan setiap senyumku adalah tawamu


Maka


aku kan tertawa untuk bahagiamu


Jika setiap perjalanku adalah hidupmu Dan istirahatku adalah jedamu


Maka


aku kan berlari untuk susksesmu



Jika setiap tidurku adalah lamunanmu Dan setiap mimpiku adalah citamu


Maka


aku kan terjaga untuk karyamu


Dan


Jika setiap nafasku adalah jantungmu


Maka


aku kan terus hidup untuk jiwamu




Menggagas Pembangunan Berkelanjutan Mengatasi Kerusakan Alam

Menggagas Pembangunan Berkelanjutan Mengatasi Kerusakan Alam


Pembangunan selalu membawa efek dua sisi mata uang. Di satu sisi, pembangunan adalah cara untuk menyejahterakan, namun di sisi lainnya membawa akibat-akibat yang mengganggu hukum alam. Bahkan sebenarnya kita tidak dapat menghindar dari dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh pembangunan, atau dengan kata lain, kita hanya bisa meminimalisirnya. Salah satu contoh yang masih hangat adalah tragedi lumpur lapindo dan illegal logging. Dari sini kita akan melihat bagaimana hubungan manusia dengan alam.

Dari banyaknya kasus-kasus pengrusakan alam, bisa terlihat bahwa hubungan manusia dengan alam adalah hubungan subjek-objek yang eksploitatif. Cara pikir seperti ini mengikuti logika Cartesian yang beranggapan bahwa pikiran adalah pusat manusia. Konsekuensinya, alam hanyalah alat untuk manusia dalam mengeksplorasi olah pikirnya. Kemudian, dari perspektif teologi yang menyatakan manusia berkuasa atas lautan dan daratan. Persfektif ini kemudian dijadikan alasan pembenar bagi manusia untuk mengekspolitasi alam. Lingkungan semata-mata dipandang sebagai penyedia kebutuhan manusia.

Parahnya lagi, dibalik derap laju pengrusakan alam, terselip watak ekonomi yang ekspolitatif. Pembangunan direduksi menjadi untung rugi. Akibatnya, ekonomi menjadi tuan di atas sistem biologis dan sistem sosial. Pemanasan global adalah kasus yang dapat menjelaskan berkuasanya nafsu ekonomi dibanding keteraturan sosial. Negara-negara maju berlomba bergeliat dalam mengeruk alam demi kemakmuran individu dan mengabaikan efek bagi orang lain.

Salah satu solusi untuk mengerem laju pengrusakan alam adalah pembangunan berkelanjutan. Poin utama dari model pembangunan ini adalah memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa harus mengorbankan generasi yang akan datang. Pembangunan berkelanjutan menekankan bahwa pembangunan merupakan proses dan upaya peningkatan kesejahteraan yang mesti memperhatikan keseimbangan interaksi dari faktor ekonomi, sosial dan biologis.

Alam memiliki hukumnya sendiri untuk mengatur keseimbangan. Manusia juga punya hukum dalam proses bertahan hidup. Namun ketika keduanya bisa diselaraskan, maka tidak akan terjadi bencana alam yang merenggut banyak korban. Disamping itu,dunia ini membutuhkan sebuah aturan bersama untuk melestarikan alam. Konferensi UNFCC di Bali beberapa waktu lalu adalah sebuah tonggak untuk memulainya. Namun, jika pertimbangan ego ekonomi masih menjadi panglima, kita tinggal menunggu alam yang memvonis kita.


Merajut Jiwa Kewirausahan Dari Kampus

Merajut Jiwa Kewirausahan Dari Kampus

Pasca krisis ekonomi yang melanda Indonesia, berbagai sektor yang dianggap vital bagi pemenuhan keberlangsungan hidup masyarakat menjadi porak-poranda. Sampai saat ini, persoalan kemiskinan dan pengangguran seakan menjadi masalah yang tiada pernah terpecahkan. Data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) per Februari 2007 yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, angka pengangguran terbuka berkurang menjadi 9,75 persen dibandingkan dengan periode Agustus 2006 yang besarnya 10,28 persen. Meskipun menurun, jumlah penganggur dari kalangan perguruan tinggi justru meningkat. Jika pada Agustus 2006 penganggur dari kalangan terdidik ini sebanyak 673.628 orang atau 6,16 persen, setengah tahun kemudian jumlah ini naik menjadi 740.206 atau 7,02 persen. Ini menunjukkan lulusan perguruan tinggi berpeluang menambah panjang deretan jumlah pengangguran.

Jika kita mencermati kondisi saat ini, jumlah pembukaan lapangan kerja sangat timpang dengan jumlah pencari kerja. Setiap tahunnya perguruan tinggi meluluskan ribuan mahasiswa untuk diserap pasar kerja. Namun, lulusan tersebut tidak dapat diserap seluruhnya oleh pasar dikarenakan lahan pekerjaan yang tidak sebanding. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi para pencari kerja yang berpotensi menjadi penganggur-penganggur baru, salah satunya adalah membekali mahasiswa sejak dini dengan pendidikan kewirausahaan melalui peran kampus.Wirausahawan dianggap akan mampu mendinamiskan perekonomian ke arah yang lebih baik. Dengan inovasi kreatif yang berupa penemuan-penemuan baru, diyakini dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Machfoedz dan Machfoedz (2004) berpendapat wirausahawan adalah orang yang bertanggungjawab dalam menyusun, mengelola dan mengukur resiko suatu usaha bisnis. Dengan demikian, wirausahawan adalah inovator yang mampu memanfaatkan dan kesempatan menjadi ide yang dapat dijual atau dipasarkan, memberi nilai tambah dengan memanfaatkan upaya, waktu, biaya, atau kecakapan dengan tujuan mendapat keuntungan. Seperti diketahui, gerakan kewirausahaan sudah dilakukan pemerintah sejak 12 tahun lalu. Pemerintah melalui Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 1995 mencanangkan Gerakan Nasional Memasyarakatkan dan Membudayakan Kewirausahaan. Tujuannya untuk menumbuhkan budaya kreatif, inovatif, di masyarakat, baik di kalangan dunia usaha, pendidikan, maupun aparatur pemerintah. Namun, lagi-lagi kebijakan ini tidak terlaksana dengan baik di tataran implementasi juga dipengaruhi cara berpikir masyarakat terhadap sebuah pekerjaan.

Banyak lulusan perguruan tinggi yang masih bermental pencari kerja. Padahal dengan kemampuan dan potensinya,mahasiswa seharusnya bisa menjadi pencipta kerja. Kemudian, peran perguruan tinggi dan pemerintah dianggap kurang serius dalam mencetak dan menumbuhkan mental-mental wirausaha. Jadi perlu usaha yang sistematis dengan komitmen kuat dari masing-masing elemen untuk bekerja sama.

Jiwa dan mental wirausaha dapat dimunculkan melalui dua faktor. Pertama, faktor keturunan dan kedua lingkungan. Penelitian yang dilakukan oleh Mc Clelland tahun 1961 di Amerika Serikat menunjukkan 50 persen pengusaha yang menjadi sampel penelitiannya (diambil secara acak) berasal dari keluarga pengusaha. Hal sama juga terjadi dalam penelitian Sulasmi pada 1989 terhadap 22 pengusaha wanita di Bandung menunjukkan 55 persen pengusaha tersebut memiliki keluarga pengusaha (orangtua, suami atau saudara pengusaha). Begitu juga dengan peran lingkungan, sebagai contoh, lulusan dari ITB dan IPB kebanyakan menjadi wirausahawan dan profesional yang andal. Kedua institusi ini juga mempunyai lembaga kewirausahaan (inkubator) yang terkemuka. Hal ini disebabkan kedua perguruan tinggi tersebut mendidik mahasiswa baik secara konseptual maupun teknikal.

Kampus sebagai pabrik ilmu pengetahuan seharusnya bisa menjembatani persoalan ini. Perubahan paradigma yang terlalu menekankan aspek kognitif (pengetahuan ) sebaiknya diberi porsi yang seimbang dengan keterampilan. Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk menanamkan mental wirausaha dari kampus. Pertama, mengintegrasikan pendidikan kewirausahaan ke dalam kurikulum. Kedua, menjalin kerja sama dengan pengusaha (link and match). Peran pengusaha selain bisa menjadi trainer, juga bisa jadi model dan penyambung teori dalam ranah praktik. Selain itu, pengusaha bisa jadi partner untuk menampung produk-produk yang dihasilkan. Ketiga, pemerintah perlu menyediakan bantuan pada pihak kampus untuk menyediakan pasar untuk menyerap hasil karya kreatif wirausaha-wirausaha muda.

Adi Surya

Mahasiswa Kesejahteraan Sosial

Fisip Unpad 2004

ucox-komdis@yahoo.com

Berlomba Menjadi Kutu Loncat Politik

Berlomba Menjadi Kutu Loncat Politik

Dalam dunia politik dikenal diktum “tidak ada kawan dan lawan abadi, yang kekal hanyalah kepentingan”. Mungkin prinsip ini yang menjadi penjelas sementara dari hengkangnya beberapa politikus dari satu parpol ke parpol lainnya menjelang pemilu. Dalam politik memang semua hal bisa terjadi, bahkan yang tidak pernah terpikirkan sekalipun oleh kita. Coba bayangkan ada politikus yang berpindah ke partai yang memiliki perbedaan ideologis yang cukup kontras. Fenomena lompat pagar ini diyakini oleh beberapa pihak sebagai bentuk pragmatisme elit dan cukup untuk menjelaskan bahwa motivasi untuk menjadi abdi rakyat hanya bungkus palsu untuk menutupi borok perilaku haus kekuasaan. Walaupun dunia politik adalah dunia yang tidak bisa ditebak arahnya, namun ada seperangkat aturan berupa etika politik untuk mengawal politik tetap berada dalam rel normatifnya.

Saat ini ada beberapa politikus yang memiliki hobi menjadi petualang di dunia politik yakni Zaenal Ma’arif yang lepas dari PPP pindah ke Partai Demokrat dan tercatat juga 14 anggota FPBR, 11 menyeberang ke PPP. Mantan pendiri Partai Demokrat Vince Rumangkang, bahkan kini menjadi Ketua Umum Partai Barisan Nasional (Barnas). Di Hanura ada Fuad Bawazier yang sebelumnya bergabung di PAN, kini menjadi dedengkot partai pimpinan Wiranto. Ada juga Djafar Badjeber yang mulanya di PBR, kini menjadi salah satu Ketua DPP Partai Hanura. Aktor Anwar Fuady yang dulu dekat dengan Partai Golkar, kini menjadi caleg Partai Hanura. Gusti Randa yang pernah menjadi caleg dari PKB juga pindah ke Hanura. Tentunya masing-masing dari mereka yang memutuskan pindah, memiliki alasan-alasan bergabung dengan partai lain.

Untuk menjelaskan apa sebenarnya motivasi dari para kutu loncat tersebut, kita akan menggunakan teori motivasi sebagai konstruk pikiran (cognitive construct) dari Albert Bandura. Di sini, Bandura (1977), menjawab bahwa manusia belajar melalui lingkungan sosialnya dengan menggunakan konstruk pikiran. Konstruk pikiran manusia bersumber dari dua hal , pertama, gambaran masa depan (future outcomes) seperti keinginan, cita-cita, harapan, mimpi-mimpi yang melahirkan munculnya dorongan tertentu bagi tingkah laku. Atau dengan bahasa yang lebih mudah, ketika seseorang menentukan masa depan, ia akan terdorong mencapainya dengan menghasilkan tingkah laku untuk meraih masa depan tersebut. Kedua, penetapan dan substansi tujuan ( setting goals), yaitu pilihan seseorang terhadap tujuan di balik gambaran masa depannya agar dapat dievaluasi. Dengan kata lain, seseorang menetapkan tujuan substansial dalam beraktifitas sehingga mendorong dirinya menampilkan tingkah laku tertentu.

Kutu loncat secara sederhana dapat didefenisikan sebagai perilaku seorang politikus yang dianggap kurang konsisten dengan pilihan politiknya dan cenderung berpindah-pindah tanpa alasan yang prinsipil dari partai yang satu ke partai yang lainnya. Biasanya kutu loncat tidak mempersoalkan apakah partai yang baru dimasuki bertentangan secara ideologi atau prinsip dengan dirinya sendiri. Kutu loncat memang lekat dengan perilaku negatif dalam etika politik. Hal ini lebih disebabkan karena kebanyakan alasan pindah parpol tidaklah dianggap sebagai hal yang prinsipil. Jarang sekali politisi di tengah jalan pindah dikarenakan tidak sepaham dengan ideologi partai. Kebanyakan dikarenakan tidak lagi merasa diakomodir oleh partainya yang lama dan ada kecenderungan untuk pindah ke partai yang sedang naik daun ataupun partai baru yang dianggap bisa memuluskan jalan menuju lingkaran kekuasaan. Ada juga yang dikarenakan kalah dalam pertarungan memperebutkan pengaruh di partai, yang paling banyak karena tidak dimasukkan ke dalam daftar caleg sehingga memunculkan aroma oportunisme , pindah hanya demi mengejar keuntungan pribadi.

Dalam memilih alat perjuangan politik berupa partai, tentunya politisi sudah memiliki pertimbangan matang dan uji kecocokan sebelum memutuskan untuk bergabung. Baik itu dari segi ideologi, cara berjuang, nilai dan norma partai. Hal-hal tersebut terlebih dahulu disesuaikan secara sadar dengan nilai-nilai dan keyakinan . Jadi motivasi pindah parpol karena alasan ideologis, akan sangat tipis kemungkinannya menjadi faktor determinan. Seandainya pun alasan kutu loncat politik diakibatkan oleh hal yang prinsipil, pertanyaan berikutnya adalah kenapa baru lompat pagar menjelang momen pemilu ?.

Dari sini terlihat motivasi politikus kutu loncat adalah semata-mata adalah penghalalan pragmatisme politik demi mengejar kekuasaan. Mimpi atau cita-cita politikus hari ini tidak lagi beralaskan kesejahteraan rakyat, bukan lagi sebagai pelayan dan penyambung lidah rakyat, melainkan bagaimana merebut dan mempertahankan kekuasaan semata. Politisi yang pindah parpol dengan bingkai merebut kekuasaan tentunya akan melakukan tindakan apapun untuk mencapai tujuannya. Tujuan berupa kekuasaan tersebut kemudian menggerakkan perilaku untuk berpindah parpol. Setali tiga uang, hasrat berkuasa para drakula politik tersebut bertemu dengan maraknya partai baru yang sedang open recruitmen untuk posisi-posisi strategis. Tak ayal, peluang ini ditangkap oleh politisi-politisi yang haus kuasa dan merasa tidak terkomodir untuk segera bergabung dengan partai baru tersebut.

Kutu loncat bukanlah politisi yang memiliki karakter ideologi yang kuat. Satu-satunya ideologi yang dijunjung tinggi hanyalah pragmatisme politik. Ketiadaan karakter ideologi yang kuat ini ditengarai disebabkan oleh peran partai yang memang lemah dalam menggembleng kader-kader yang berideologi kuat. Partai lebih suka mencari-cari celah untuk mencari atau mempertahankan kekuasaan dibanding pembenahan kaderisasi dan melaksanakan peran partai di masyarakat. Atau dengan kata lain, partai di Indonesia belumlah menjadi partai kader yang memiliki landasan ideologi yang dipegang teguh oleh setiap kadernya. Malah, kecenderungannya partai yang mengaku sebagai partai kader lebih suka menampilkan diri sebagai partai massa.

Menurut Yasraf A. Piliang dalam bukunya berjudul Transpolitika, ada semacam nomadisme yang tidak saja merupakan kecenderungan psikologis, khususnya psikologis politik yang menghinggapi politisi kita. Nomadisme politik digerakan oleh semacam mental nomad (nomad psychology), yaitu kondisi psikis para politikus yang dicirikan oleh sifat inkonsistensi, tidak pernah menetap, dan tanpa ketetapan (ucapan, diri, identitas, keyakinan, ideologi). Ia hidup di dalam semacam ruang petualangan politik, yang didalamnya diri, simbol, identitas, dan ideologi menjadi semacam pakaian yang dengan mudah ditukar dengan kekuasaan, dan keyakinan (politik, agama, cultural) dapat ditukar dengan sebuah kursi.

Akibat yang ditimbulkan dari kutu-kutu loncat ini bukannya tidak ada. Kutu loncat hanya akan meimbulkan kecemburuan di dalam partai. Kader-kader yang merangkak dari bawah dan sudah antri untuk bisa dinominasikan partai menjadi pejabat publik, harus gigit jari ditelikung oleh orang baru yang langsung mendapat posisi-posisi strategis. Dalam jangka panjang, selain menumpulkan proses regenerasi , tentunya akan menanam api dalam sekam di tubuh partai. Kutu loncat juga tidak memberikan pembelajaran politik yang baik bagi masyarakat. Di budaya kita yang masih paternalistik, terkadang perilaku elit menjadi teladan dan contoh untuk diikuti di tataran grass root. Masyarakat disuguhkan contoh budaya jalan pintas dalam menggapai sesuatu tujuan. Padahal, sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, rakyat berhak untuk mendapat hak dalam pendidikan politik yang cerdas.

Sebenarnya, perpindahan antar parpol merupakan hak politik seseorang yang tidak bisa dibatasi oleh siapa pun. Sah-sah saja ketika seorang politikus memutuskan untuk bergabung di wadah manapun, namun yang harus menjadi catatan sebenarnya adalah lebih pada alasan kepindahan tersebut. Jika pindah hanya karena like and dislike atau sakit hati karena tidak dicalonkan lagi jadi caleg dan faktor-faktor yang tidak substansi lainnya, perilaku pindah parpol hanya akan menelanjangi nafsu berkuasa politisi. Lain halnya jika memang kepindahan itu sendiri sebagai bentuk reaksi terhadap kekecewaan buruknya wajah parpol, sehingga memunculkan perlawanan idealisme dalam bentuk hengkang ke partai lain yang dianggap lebih baik sebagai alat perjuangan.

Dibutuhkan peran partai yang lebih besar dalam menempa kader-kadernya untuk loyal secara pemikiran dalam berjuang, untuk setia pada ideologi. Hal ini dapat terwujud jika proses internalisasi ideologi berjalan dengan baik. Juga para sesama elit partai, tidak saling memainkan jurus jegal menjegal yang terkadang membuat kepentingan di atas segalanya. Peran media massa dan organisasi kemasyarakatan juga sangat penting dalam menginformasikan kepada rakyat bagaimana perilaku politisi –politisi yang tidak lagi membela rakyat. Hukuman bagi para kutu loncat politik ini akan berakhir di ujung tangan rakyat sebagai pemegang mandat. Rakyat yang sudah tahu rekam jejak politisi, diharapkan tidak lagi kembali memilih calon tersebut. Sudah saatnya rakyat cerdas dalam menilai dan melek dalam politik agar tidak tertipu oleh politikus yang suka gonta-ganti baju identitas hanya demi sebuah kursi kekuasaan.

Adi Surya (UCOX)

Ketua DPC GMNI Kab Sumedang 2007-2009





Kupu-kupu Hitam Poetih










Kupu-Kupu Hitam Poetih


Pagi tadi seekor kupu-kupu terbang mengitariku
Kepakan sayapmu halus seraya menggodaku
Kau tampak segar nan aduhai
Kau mendekat, hinggap di pundakku dan bisikkanku
Mutiara-mutiara kasih

Aku menatapmu dengan lembut
Mencoba menyerap auramu masuk jauh ke dalam sel terkecilku
Ku giring ke dua bola matamu ikuti irama jiwaku
Mainkan nada-nada cinta yang buat sayapmu bergelayut
Dan sekali lagi ku lihat senyum itu

Kupu-kupu yang telah lama kunantikan untuk mengisi hari-hari kosongku
Adakah kau mencium serbuk sari yang telah mekar
Sampai kapan pun wangi tubuhku adalah gelisahmu
Sampai kapan pun ciuman hangatku slalu jadi mimpimu
Entah sampai kapan kau berhenti bersandar di pundakku
Karena Kau selalu bilang separuh tubuhmu adalah aku
Izinkan aku jadi satu kepak sayapmu


untuk: kupu-kupu berambut ikal harum yang berdiri di pintuku tadi pagi, dengan mata ngantuk
dan belum mandi :P, menenteng serantang apel kesukaanku :) terima kasih...

Di Dalam Keheningan





Di Dalam Keheningan


Untukmu...
yang telah berhasil mengangkatku dari rasa sedih dan terpuruk, membuatku merasa penting dan istimewa, menemaniku di pagi, siang, dan malamku...
Terima kasih untuk telah hadir dan menyeka setiap tetes air mataku..


Di dalam gelap pun ku merasa terang
Di kala mati pun ku merasa tetap hidup
Di saat perang ku rasakan damai
Di dera benci pun kerasakan cinta
Jika Bersamamu..bersamamu

Mencoba untuk terus melangkah
Berpegang erat untuk tak jatuh dari garis kematian
Melawan ombak menahan badai
Merelakan sebelah jantungku, membunuh rasa sakiku
Semua Untukmu..untukmu

Kan kupetik bintang temani bulanmu
Kuhapus awan agar tak halangi pancaranmu
Kupadamkan neraka agar hanya ada surgamu
Kuhapus benciku agar tersisa cintamu
Kuhembuskan nafasku untuk hidupmu
Hanya untukmu…
Ada hitam dan putih
Ada besar dan kecil
Ada gelap dan terang
Ada siang dan malam
Ada aku dan kamu
Sekali lagi, Aku dan kamu…