15 Tahun Reformasi dan Bekunya Demokrasi

15 tahun silam, tonggak perubahan rezim otoritarian menuju demokrasi disepakati dengan nama reformasi dengan enam tuntutan yakni penegakan supremasi hukum, pemberantasan KKN, pengadilan terhadap mantan presiden Soeharto dan kroninya, amandemen konstitusi, pencabutan dwi fungsi ABRI dan otonomi daerah. Kini, sampai dimana perjalanan perjuangan reformasi tersebut ? Meminjam penjelasan O’Donnel dan Schmitter (1993) , transisi menuju demokrasi selalu penuh ketidakpastian, sama sekali tidak linear dan rasional. Sehingga banyak sekali ketidakpastian soal kemampuan melewati masa ini. Seringkali, transisi demikian tidak berakhir dengan happy ending, tetapi justru sebaliknya. Banyak contoh menunjukkan bahwa saat transisi baru setengah jalan, lalu menjadi abortif dan gagal.
Jika melihat enam tuntutan reformasi tersebut, kita sebenarnya sudah memperbaiki beberapa hal namun disisi lainnya juga memperburuk hal lainnya. Sebut saja, amandemen konstitusi, pencabutan dwi fungsi ABRI serta otonomi daerah sudah kita selesaikan meskipun dengan hasil yang masih butuh kajian-kajian mendalam akan efek yang ditimbulkannya. Sementara itu, penegakan supremasi hukum dan pemberantasan KKN ditambah dengan instabilitas politik elit sampai saat ini terus merongrong proses konsolidasi demokrasi. Larry Diamond mengatakan, bahwa esensi konsolidasi demokrasi adalah terbentuknya suatu perilaku dan sikap, baik di tingkat elit maupun massa, yang mencakup dan bertolak dari metode dan prinsip-prinsip demokrasi.
Lemahnya penegakan hukum tampak dalam maraknya aksi-aksi kelompok-kelompok yang mengatasnamakan masyarakat ”mengadili” kaum minoritas, banyaknya vonis-vonis hakim yang tidak adil, oknum-oknum lembaga penegak hukum yang terlibat korupsi bebas berkeliaran karena merasa diatas hukum bahkan konflik institusional antar penegak hukum turut mencederai proses berdemokrasi kita. Melihat ini. menjadi ironi adagium hukum yang berbunyi Fiat Justitia Ruat Caelum "hukum harus ditegakkan walau langit akan runtuh". Belum lagi, maraknya kerusuhan dalam pesta demokrasi (pemilu), ketidakadilan terhadap hak-hak minoritas serta oligarki politik yang menjadi penumpang gelap yang justru membajak demokrasi itu sendiri. Artinya, perilaku dan sikap, baik di tingkat elit maupun massa, yang mencakup dan bertolak dari metode dan prinsip-prinsip demokrasi, meskipun sudah ada perbaikan namun belum sepenuhnya terwujud dengan baik. Oleh karenanya, fase transisi, tidak mustahil tercipta rezim otoriter baru (continued authoritarianism) atau sekedar demokrasi terbatas (limited democracy). Untuk menuju konsolidasi demokrasi, masih penuh ”ranjau-ranjau”, bahkan bukan tidak mungkin kita berbalik dan mengarah pada kondisi transisi menuju demokrasi gagal.
Jika terus menerus dibiarkan, menjadi benar apa yang dikatakan oleh George Sorensen, dosen senior dalam bidang politik internasional di Universitas Aarhus, Denmark, yang memperkenalkan frozen democracy. Sorensen memperkenalkan konsep demokrasi beku yang menggambarkan kondisi masyarakat dimana sistem politik demokrasi yang sedang bersemi berubah menjadi layu karena berbagai kendala yang ada. Proses demokrasi mengalami pembusukan dikarenakan ketidakmampuan pemerintah yang berkuasa melakukan perubahan sosial, politik, dan ekonomi yang mendasar sesuai dengan tuntutan reformasi, terutama yang menyangkut kepentingan dan perbaikan nasib masyarakat miskin. Hal ini juga didukung oleh studi John Markoff dalam bukunya Gelombang Demokrasi Dunia (2002) menyebutkan empat indikator yang mendasari beroperasinya konsep demokrasi beku yaitu: kondisi perekonomian yang tak kunjung membaik, mandeknya pembentukan masyarakat sipil, konsolidasi sosial politik yang tak pernah mencapai soliditas, dan penyelesaian sosial politik hukum masa lalu yang tak kunjung tuntas.
Demokrasi beku harus diwaspadai karena ada potensi kita menuju ke arah sana. Indikator pertama, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan I-2013 sebesar 6,02% dibandingkan periode yang sama tahun lalu atau tumbuh 1,41% dibandingkan triwulan sebelumnya. Meskipun ekonomi indonesia sedang tumbuh, namun jika tidak disertai dengan pemerataan hanya akan menghasilkan pertumbuhan yang tinggi dengan tingkat kesenjangan yang juga tinggi. BPS mengumumkan data kemiskinan terbaru Indonesia dengan perincian jumlah penduduk miskin per September 2012 mencapai 28,59 juta orang (11,66 persen), menurun dibanding Maret 2012 yang tercatat 29,13 juta orang (11,96 persen). Artinya, dengan pertumbuhan ekonomi yang bagus, justru  penurunan kemiskinan berjalan lambat.
Indikator kedua, mandeknya pembentukan masyarakat sipil.  Pasca reformasi, pembentukan masyarakat sipil kembali bergeliat. Faultier (2001) dikutip Dzuriyatun Toyibah menjelaskan bahwa sejak reformasi 1998 tengah terjadi peningkatan fungsi masyarakat sipil. Meski demikian, masih terdapat segmen tertentu dari masyarakat sipil yang berwatak eksklusif dan membatasi partisipasi warga negara lainnya. Kebebasan justru digunakan sebagai sebuah cara untuk membatasi partisipasi negara lain. Sebagai contoh, fatwa-fatwa MUI, penyerbuan massa terhadap para pengikut ajaran-ajaran tertentu, kampanye-kampanye penegakan syariat Islam, menunjukkan trend pembangkangan kepada negara mengatasnamakan tafsir tunggal kebenaran tertentu. Masyarakat sipil tumbuh, tetapi tidak disertai ketertiban dan keadaban. Tindakan anarkis dalam menyuarakan aspirasi sampai pengambilalihan tugas negara dalam menjaga ketertiban umum mewarnai konsolidasi demokrasi kita.
            Indikator ketiga, konsolidasi sosial politik yang tak pernah mencapai soliditas. Sistem pemerintahan presidensil dengan multipartai menciptakan iklim demokrasi yang tersandera kepentingan masing-masing partai. Akibatnya kondisi sosial politik menjadi ramai oleh hiruk pikuk. Juan Linz dan Arturo Velenzuela (1994) berpendapat, sistem presidensial yang diterapkan di atas struktur politik multipartai (presidensial-multipartai) cenderung melahirkan konflik antara lembaga presiden dan parlemen serta menghadirkan demokrasi yang tidak stabil. Kegaduhan ini membuat agenda demokratisasi menjadi semakin sumbang. Selain itu, perilaku elit juga turut memperburuk keadaan. Banyaknya kasus pelanggaran hukum, buruknya moral dan kuatnya nalar pragmatisme tidak memberikan degradasi kepada agenda demokratisasi.
Indikator keempat, penyelesaian sosial politik hukum masa lalu yang tak kunjung tuntas. Menurut data dari Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) terdapat kasus-kasus yang sama sekali belum tersentuh proses hukum  seperti pembantaian missal 1965, penembakan misterius, kasus timor timur, Aceh, Papua, Dukun Santet, Marsinah and Bulukumba. Sementara kasus yang macet di Kejagung seperti Kasus Talangsari, Mei 1998, Semanggi I dan II dan Penembakan mahasiswa Trisakti.
Oleh karena itu, agar demokrasi terkonsolidasi, Diamond mengatakan di mana para elit, organisasi dan massa, semuanya harus percaya, bahwa sistem politik (demokrasi) yang mereka miliki, layak dipatuhi dan dipertahankan, baik dalam tataran norma maupun dalam tataran perilaku. Diamond juga mengatakan, bahwa konsolidasi demokrasi mencakup tiga agenda besar, yaitu (1) kinerja politik dan ekonomi rejim pemerintah demokratis; (2) institusionalisasi politik (penguatan birokrasi, partai politik, parlemen, pemilu, akuntabilitas horizontal, dan penegakan hukum); dan (3) restrukturisasi hubungan sipil-militer yang menjamin adanya kontrol otoritas sipil atas militer di satu pihak dan terbentuknya civil society yang otonom di pihak lain.
Untuk menjadikan demokrasi sebagai budaya perlu sebuah instrumen agar bangunan sistem demokrasi diisi oleh “tukang-tukang” yang berjiwa demokrat pula. Demokrasi kita dalam keseharian adalah demokrasi yang dijiwai oleh Ketuhanan Yang Maha Esa, keadilan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia  dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Proses pembudayaan demokrasi memerlukan aktor-aktor yang offensif pula. Institusi negara dan civil  society merupakan aktor-aktor demokrasi dalam proses tersebut. Pengaturan aturan main dalam berdemokrasi memerlukan pemberian sosialisasi nilai-nilai, pengubahan nilai-nilai melalui konstitusi sampai penggunaan aparat negara dalam menindak dan turut menjaga iklim demokrasi agar tumbuh sehat.

      
Adi Surya Purba
Tenaga Ahli Anggota DPR-RI
Mahasiswa Pascasarjana FISIP UI

RUU ORMAS DALAM TIMBANGAN

Fenomena gelombang penolakan terhadap RUU Ormas bisa kita baca sebagai tanda rapuhnya kepercayaan (trust) dalam relasi negara dan masyarakat sipil. Rendahnya kepercayaan tersebut akibat trauma kebijakan kontrol masyarakat sipil yang dilakukan Orde Baru melalui UU Nomor 8 tahun 1985 tentang Ormas. Sehingga, muncul kecurigaan terhadap pengaturan kebebasan yang sedang dilakukan DPR bersama Pemerintah melalui revisi UU Ormas. Revisi ini, meminjam Ketua PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin dianggap memutar kembali arah jarum jam sejarah otoritarianisme Orde Baru. Dalam hal ini, ucapan dari Milan Kundera mungkin tepat menggambarkan penolakan ini. Sastrawan Cekoslowakia ini mengatakan sejatinya bahwa perjuangan melawan kekuasaan, adalah perjuangan ingat melawan lupa.
          Dalam konteks hubungan negara dan masyarakat sipil seringkali yang terjadi adalah saling mendominasi. Konsep mengenai negara sebagaimana  yang banyak dianut oleh para ahli ilmu politik  adalah konsep negara sebagaimana yang diformulasikan oleh Max Weber yang  mengatakan bahwa “Negara sebagai organisasi  pemaksa yang bertugas mengendalikan wilayah  dan penduduk yang tinggal dalam wilayah  tersebut melalui pengorganisasian yang bersifat  koersif, ekstraktif, legal, dan administratif.”  Tidak jauh berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Alfred Stepan yang  mengatakan bahwa  “Negara mempunyai  kemampuan bertindak tidak hanya untuk  menentukan bentuk  hubungannya dengan  masyarakat tetapi lebih  daripada itu menentukan  hubungan-hubungan yang terjadi dalam  masyarakat, dimana negara mempunyai  karakteristik yang intervensionis artinya sedikit  banyak negara ikut mencampuri urusan  masyarakatnya sendiri.”  
Dalam hubungan masyarakat dengan negara, Idi Jahidi dalam tulisan “Peran Masyarakat Menuju Sistem Pemerintahan Negara Yang Demokratis” menyebutkan civil society memiliki tiga fungsi, yaitu: Pertama, sebagai komplementer di mana elemen-elemen civil society mempunyai aktivitas memajukan kesejahteraan untuk melengkapi peran negara sebagai pelayan publik (public services). Kedua, sebagai subtitutor. Artinya, kalangan civil society melakukan serangkaian aktivitas yang belum atau tidak dilakukan negara dalam kaitannya sebagai institusi yang melayani kepentingan masyarakat luas. Dan ketiga, sebagai kekuatan tandingan negara atau counterbalancing the state atau counterveiling forces. Kalangan civil society melakukan advokasi, pendampingan, ligitasi, bahkan praktik-praktik oposisi untuk mengimbangi kekuatan hegemonik negara atau paling tidak menjadi wacana alternatif di luar aparatur birokrasi negara. Oleh karena itu pula, civil society menjadi penting dalam pembangunan.

          Kebebasan Dalam RUU Ormas
          Berbicara RUU Ormas sebenarnya berbicara mengenai konsep kebebasan. Perdebatan mengenai kebebasan ini sudah terjadi sejak abad-abad sebelumnya di Eropa. Kelamnya zaman kegelapan dimana Gereja dan sistem pemerintahan monarki absolut menyebabkan rakyat tertindas. Oleh karena itu, John Locke, Montesquieu, Rousseau menentang monarki dengan mengetengahkan konsep kebebasan, kontrak sosial, pembagian kekuasaan dan menempatkan bandul kekuasaan di tangan rakyat. Oleh karena itu, dalam masyarakat Barat, kebebasan individu sangat dijunjung tinggi. Berbeda dengan Indonesia yang tidak punya pengalaman yang sama dengan Barat. Kebebasan merupakan reaksi dari sejarah kolonialisme. Oleh karena itu, semangat kolektivisme, gotong royong, lebih dominan dibandingkan dengan individualisme.
          Pengaturan kebebasan berserikat dan berkumpul diatur dalam konsititusi tepatnya pasal 28E ayat (3) UUD NRI tahun 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Membaca pasal ini secara sepotong-sepotong memberi tafsir kebebasan adalah bebas tanpa aturan. Bebas hanya sebagai hak setiap orang. Namun, karena kebebasan juga mengandung potensi kearah penyalahgunaan kebebasan, maka kebebasan harus dibatasi. Hal ini jelas terlihat dalam pasal pasal 28 huruf (J) ayat (1) dimana “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Juga diatur pada ayat (2) yang bunyinya “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”. Disini kebebasan tidak berhenti sebagai hak, tetapi juga kewajiban untuk menghormati kebebasan orang lain.
          Melalui konsep kebebasan diatas, maka kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat harus diatur. Namun pengaturan kebebasan seringkali mendapat perlawanan dikarenakan kekuatiran dalam pengaturan tersebut negara lalai dalam tugasnya memenuhi Hak Azasi Manusia yang salah satunya adalah jaminan akan kebebasan itu sendiri.

          Peran Pemerintah dan HAM
          Dalam naskah Akademis RUU Ormas dijelaskan bagaimana peran negara dalam pemenuhan HAM. Pertama, negara harus menghormati (to respect) HAM. Kewajiban dan tanggungjawab negara untuk melakukan penghormatan (obligation to respect) merupakan kewajiban negara untuk tidak turut campur untuk mengatur warga negaranya ketika melaksanakan hak-haknya. Dalam hal ini, negara memiliki kewajiban untuk tidak melakukan tindakan-tindakan yang akan menghambat pemenuhan dari seluruh hak asasi. Misalnya dengan membuat undang-undang jaminan kepada warganya untuk menyampaikan pendapat dan juga pemenuhan hak atas informasi.
          Kedua, negara harus melindungi (to protect) HAM. Kewajiban dan tanggungjawab negara untuk memberikan perlindungan (obligation to protect) merupakan kewajiban negara agar bertindak aktif untuk memberi jaminan perlindungan terhadap hak asasi warganya. Dalam hal ini, negara berkewajiban untuk mengambil tindakan-tindakan untuk mencegah pelanggaran semua hak asasi manusia oleh pihak ke tiga.
          Ketiga, negara harus memenuhi (to fullfil) HAM. Kewajiban dan tanggungjawab negara untuk melakukan pemenuhan (obligation to fulfill) hak merupakan kewajiban dan tanggung jawab negara untuk bertindak secara aktif agar semua warga negaranya itu bisa terpenuhi hak-haknya. Negara juga berkewajiban untuk meningkatkan kapasitas aparat hukum (polisi, jaksa, dan hakim) untuk bisa ikut mewujudkan penghotmatan hak sipil dan politik. Negara berkewajiban untuk mengambil langkah-langkah legislatif, administratif, hukum, dan tindakan-tindakan lain untuk merealisasikan secara penuh hak asasi manusia.

          Kontroversi Azas Ormas
          Gelombang penolakan RUU Ormas bisa kita bagi menjadi dua kelompok. Pertama, kelompok yang menolak pasal-pasal tertentu tanpa menolak RUU secara keseluruhan dan kelompok yang memang menganggap RUU Ormas sudah cacat sejak dini.  Penolakan ini seharusnya tidak dianggap remeh oleh parlemen. Dengan pilihan sistem demokrasi, negara dan masyarakat sipil sebenarnya berada dalam posisi yang sejajar dan saling mengembangkan. Menurut Henry B. Mayo, Sistim demokrasi membuka pintu menyelesaikan pertikaian secara damai dan sukarela. Demokrasi adalah satu-satunya sistim yang mengakui sahnya ekspresi politis dari pertikaian-pertikaian semacam itu dan mengatur penyelesaiannya secara damai melalui perundingan politik, sebagai alternatif  kekerasan. Demokrasi mengadakan suatu cara yang unik untuk menyelesaikan pertikaian secara damai, menegakkan ketertiban umum dan membuat kebijaksanaan-kebijaksanaan umum dengan fungsi komprominya. Oleh karena itu, segala masukan dari masyarakat hendaknya dinilai sebagai partisipasi politik yang positif dalam rangka penguatan fase konsolidasi demokrasi.
          Penundaan pembahasan RUU Ormas di Rapat Tim Perumus RUU sebanrnya langkah positif untuk semua pihak sama-sama mendinginkan pikiran dan melihat bersama isi RUU ini. Mengenai penolakan asas tunggal, dalam RUU ini tepatnya pasal 2 berbunyi “ Asas ormas tidak bertentangan dengan Pancasila dengan UUD”. Coba bandingkan dengan azas ormas di UU Nomor 8 tahun 1985 yang berbunyi “Organisasi Kemasyarakatan berasaskan Pancasila sebagai satu-satunya asas”. Kedua rumusan ini harus kita kritisi, rumusan pertama, sama sekali tidak mencerminkan ideologi bangsa kita. Sebagai bangsa yang memiliki nilai-nilai luhur, ideologi negara sudah sepatutnya menjadi azas setiap ormas yang hidup, tumbuh dan berkembang di Republik Indonesia. Sedangkan rumusan kedua, adalah rumusan yang lahir dari rezim otoriter.  Lebih baik dan lebih elegan mengatur azas ormas menjadi “Asas Ormas adalah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta dapat mencantumkan asas lainnya yang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
          Trauma akan politisasi Pancasila sebaiknya tidak membuat kita anti dan alergi mencantumkan Pancasila sebagai identitas ideologi kita. Hal ini sama seperti kita yang hendak membersihkan air mandi bayi, tetapi ikut membuang bayinya. Sudah terlalu sering kita melihat tindakan ormas yang anarkis, ormas-ormas asing yang merongrong kedaulatan NKRI, ormas-ormas proyekan musiman dan mandulnya peran serta ormas dalam pembangunan politik. Semua ini tidak akan bisa diatur jika trust antara negara dan masyarakat sipil tidak terbangun. Seturut pendapat Henry B. Mayo diatas bahwa demokrasi menyediakan cara penyelesaian secara damai dan sukarela. Pansus RUU Ormas hendaknya lebih aktif menyosialisasikan ke pihak-pihak yang kontra dan melibatkan mereka untuk berpartisipasi mengawal RUU ini.
     Pansus bisa membentuk tim untuk berdialog secara intensif dengan ormas-ormas yang berkeberatan. Hal ini akan menjadi pelajaran yang baik, bahwa DPR ternyata tidak tuli dan buta. Dalam jangka panjang, budaya “duduk bareng” ini yang akan memupuk trust antara negara dan masyarakat dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.


Adi Surya Purba
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik
FISIP UI

TERSESAT DALAM SESAT PIKIR PANCASILA

Tanpa mengurangi rasa hormat kepada Bapak Harry Tjan Silalahi, saya mohon izin untuk memberi tanggapan terhadap tulisan beliau di Kompas (12/04) yang berjudul “Sesat Pikir Pancasila Sebagai Pilar”. Tulisan yang ditulis Peneliti Senior CSIS ini menarik, karena mungkin maksud dari penulis adalah bagaimana menampatkan Pancasila di tempat yang benar (the right thing in the right place). Semangat itu pula yang hendak dituangkan dalam tulisan ini sehingga perdebatan di sebagian kalangan tentang istilah pilar ini bisa didialogkan dalam konstruksi yang positif.
          Pertama, hendaknya jika kita sepakat untuk membahas persoalan ini dalam ranah akademis, maka kita juga hendaknya menggunakan rujukan ilmiah. Perdebatan soal pilar sebagai tiang penyangga atau sebagai dasar hanya akan berbuah debat kusir jika kita tidak mencari tahu dalam semangat apa istilah Pilar itu lahir. Jika kita membaca Buku Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara yang disusun oleh Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR 2009-2014, istilah pilar yang dirujuk dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka, hal 873), berarti tiang penguat, dasar, yang pokok atau induk. Dari definisi ini bisa kita lihat bahwa sebenarnya definisi pilar tidaklah semata-mata hanya tiang penyangga. Pilar juga bisa berarti yang pokok atau induk. Penyebutan Empat Pilar kehidupan berbangsa dan bernegara tidaklah dimaksudkan bahwa keempat pilar tersebut memiliki kedudukan yang sederajat. Setiap pilar memiliki tingkat, fungsi dan konteks yang berbeda. Pada prinsipnya Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara kedudukannya berada diatas tiga pilar lainnya.
          Masih dalam buku yang sama, dimasukkannya Pancasila sebagai bagian dari Empat Pilar semata-mata untuk menjelaskan adanya landasan ideologi dan dasar negara, UUD NRI tahun 1945 sebagai konstitusi negara, NKRI sebagai bentuk negara dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan negara. Dari sini kemudian kita bisa membantah argumentasi dasar dalam tulisan Bapak Harry Tjan bahwa “Setiap orang memahami bahwa pilar tak sama maknanya dengan dasar”.
          Kedua, empat pilar dikatakan sebagai amanat UU Partai Politik Nomor 27 tahun 2008. Sepemahaman sebagai warga negara biasa, UU Partai Politik tidak ada bernomor 27 tahun 2008. UU Partai Politik diatur dalam UU Nomor 2 tahun 2008 dan UU Nomor 2 tahun 2011. Artinya landasan hukum yang disajikan Harry Tjan dalam bangunan tentang empat pilar sudah keliru. Selain itu, Empat Pilar juga bukan amanat UU Partai Politik, melainkan pada Pasal 15 ayat (1) huruf e  UU No. 27 Tahun 2009 tentang  MPR RI, DPD RI, DPR/DPRD, menyebutkan bahwa tugas Pimpinan MPR adalah mengkoordinasikan anggota MPR untuk memasyarakatkan UUD  NRI Tahun 1945.  Juga diatur di Pasal 12 huruf (c) Keputusan MPR RI  Nomor  1 tahun 2010 tentang Peraturan Tata Tertib MPR RI menyatakan bahwa “Anggota MPR mempunyai kewajiban  memasyarakatkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945”. Serta dalam Pasal 12 huruf (d) Keputusan MPR RI  Nomor  1 tahun 2010 tentang Peraturan Tata Tertib MPR RI menyatakan bahwa “Anggota MPR mempunyai kewajiban  memperkukuh dan memelihara kerukunan nasional serta menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam semangat Bhinneka Tunggal Ika. Disini pemahaman sejarah lahirnya empat pilar akan membawa kita kepada pemahaman yang benar pula.
          Ketiga, dengan menyitir pidato Bung Karno yang menyebut Pancasila sebagai asas dan dasar negara sebenarnya tidak membuat kesesatan apapun dalam terminologi empat pilar. Pancasila tetap sebagai pilar yang fungsinya sebagai ideologi dan dasar negara. Memang kalau kita keliru sejak awal memahami pilar sebagai tiang, justru sesat pikir yang terjadi. Namun, kalau kita artikan pilar sebagai yang pokok atau induk sesuai definisi KBBI diatas, maka penempatan dan fungsi Pancasila sebagai asas maupun dasar negara tidak mengalami persoalan apa-apa.
          Keempat, kontroversi yang mempersoalkan istilah Pilar sebenarnya sah-sah saja. Namun, jika dilihat dari kepentingan yang lebih besar, Sosialisasi Empat Pilar yang dilakukan  MPR bisa menjadi momentum perubahan bangsa ini. Bukankah lebih baik menyalakan lilin daripada sibuk mengutuk kegelapan ? Dalam situasi kekinian, masyarakat dihadapkan berbagai macam konflik sosial seperti konflik yang melibatkan kekerasan atas nama agama dan kelompok, juga radikalisme dan perilaku brutal lainnya yang sama sekali tidak sesuai dengan kepribadian bangsa. Bangsa Indonesia yang dikenal toleran dan mempunyai kearifan lokal dalam mengelola perbedaan-perbedaan, kini dengan cepatnya telah berubah menjadi pemarah dan agresif. Sedikit saja disulut dengan isu-isu yang sensitif – seperti kebebasan beragama dan berkeyakinan – masyarakat dapat dengan mudah menjadi vandalis, layaknya seperti rumput kering yang mudah sekali terbakar.
         Kelima, sesat pikir hanya bisa terjadi ketika kita tidak melalui proses berpikir yang benar. Kesimpulan sahih bisa diperoleh jika ada landasan teori yang benar, definisi yang benar, data dan informasi yang tepat. Tanpa itu semua, tudingan sesat pikir justru bisa berbalik menjadi tersesat dalam sesat pikir sendiri. Tulisan ini sama sekali tidak bermaksud menggurui, namun sebagai pelengkap dan sedikit meluruskan tulisan sebelumnya sehingga ruang publik kita diisi oleh perdebatan yang dialogis akan empat pilar berbangsa dan bernegara.

Adi Surya Purba
Mahasiswa Magister Ilmu Politik
FISIP Universitas Indonesia