Jatuh Cinta Lagi

JATUH CINTA LAGI

aku sangat senang menggumuli keadaan ini. Dia membantuku menemukan eksistensi. menarik sebelah tanganku saat terjatuh. Mengangkat dan mengelap keringat di dahiku saat ku lelah menari dengan kata-kata. Memberikan suntikan semangat yang menyala-nyala. Usahlah terbenah terlalu lama. seperti kata seorang DR Sjahrir " Daripada sibuk mengutuk kegelapan, lebih baik mulai menyalakan lilin ". Aku ingin berada dalam kondisi ini, fly with my destiny,make me fell calm and happy. Keep going Boys !!!! your dream will come true......

Depolitisasi Organisasi Kemahasiswaan

Depolitisasi Organisasi Kemahasiswaan

Jika menelisik sejarah perubahan sosial di Indonesia, kita harus jujur bahwa yang menjadi motor dalam menggulirkan perubahan adalah kalangan mahasiswa. Hal ini terlihat pada zaman era pra kemerdekaan, dimana sekelompok mahasiswa aktif mengambil peran sebagai martir perubahan. Kemudian peran ini berlanjut pada saat penggulingan Soekarno, The Smiling General Soeharto, sampai terwujudnya era reformasi. Artinya, mahasiswa adalah kekuatan sosial dan politik yang dari sejarahnya aktif dalam berpartisipasi membangun bangsa. Namun, hari ini ada kecenderungan mahasiswa sekarang tidak seprogresif para pendahulunya.

Apakah tugas mahasiswa adalah hanya berkutat di ranah akademis semata dan tidak boleh berpolitik ?. Wacana ini muncul dikarenakan fenomena banyaknya mahasiswa yang anti terhadap politik dan berkubang dalam dunia yang mengusung jargon hedonis, pragmatis , individualis dan apolitis. Fenomena ini tidak hanya terjadi pada tataran yang parsial , namun sudah menjadi gejala yang kalau mau dikatakan universal. Banyak mahasiswa yang enggan memasuki atau menjadi anggota organisasi kampus. Padahal saluran untuk melakukan tugas sebagai agent of change tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri. Dalam artian, mahasiswa harus punya wadah dan legitimasi untuk mengkonsepkan dan menggerakkan perubahan sosial.

Fenomena ini tentunya tidak bisa dilepaskan dari konstruksi sistem pendidikan yang dirancang untuk mengandangkan organisasi mahasiswa hanya pada ranah kampus. Penyebab yang sampai hari ini masih diyakini sebagai salah satu faktor apolitis mahasiswa adalah kebijakan NKK/BKK(Normalisasi Kehidupan Kampus dan Badan Koordinasi Kampus) pada zaman orde baru yang semangatnya adalah mendekonstruksi peran politik organisasi mahasiswa. Kebijakan ini diambil karena organisasi mahasiswa dianggap sebagai musuh potensial untuk merongrong negara. NKK/BKK membuat organisasi mahasiswa yang dulunya sejajar ( kordinatif) menjadi subordinasi dari pihak kampus. Akibat lainnya adalah mahasiswa dilarang berpolitik dan dibuat sibuk dengan urusan akademis. Sudah dapat dipastikan organisasi mahasiwa yang tadinya garang dalam menyuarakan gong perubahan, mejadi macan ompong di kandang sendiri. Peran-peran kaderisasi yang dilakukan terhadap mahasiswa pun kerap hanya di isi dengan acara-acara hiburan yang jauh dari substansi.

Mahasiswa juga adalah bagian dari rakyat. Untuk itu, sesuai dengan amanat Tri Darma Perguruan Tinggi, mahasiswa dituntut untuk juga memperjuangkan aspirasi masyarakat umum. Apalagi kampus adalah elemen strategis untuk mengkonseptualisasikan format perubahan. Organisasi kemahasiswaan sejatinya harus menjadi corong suara yang selalu lantang menjadi oposisi.

Lantas, bagaimana organisasi mahasiswa menyikapi proyek depolitisasi untuk melumpuhkan peran-peran sosial politik mahasiswa ? Pertama, organisasi mahasiswa harus punya bargaining position yang tinggi di depan penguasa. Kedua, kebijakan NKK/BKK harus diperjuangkan agar dihapuskan. Ketiga, tidak tunduk terhadap kepentingan penguasa. Keempat, organisasi mahasiswa harus memiliki tawaran konsep sebagai wacana tandingan terhadap kebijakan-kebijakan yang tidak pro mahasiswa dan masyarakat. Kelima, kegiatan-kegiatan yang dilakukan tidak hanya bersifat hiburan namun juga memberikan pendidikan politik.

Publik Di Tengah Kepungan Iklan Politik

Publik Di Tengah Kepungan Iklan Politik

Hampir di setiap persimpangan jalan umum kita melihat bentangan spanduk, baliho dan papan reklame yang mempertotonkan wajah-wajah calon peserta pemilu lengkap dengan visi dan misinya. Ketika menonton televisi di rumah, iklan-iklan tokoh yang menawarkan solusi bagi kondisi Indonesia saat ini terus bergentayangan seakan tiada henti. Di media massa, radio, internet, di ruang-ruang fasilitas publik, sampai ke pelosok gang dan jalan setapak pelosok pedesaan, kita bertemu sosok atau partai yang menawarkan diri sebagai garansi pembawa kesejahteraan bagi semua. Artinya, dimana pun kita berada, kita tidak bisa lepas dari kepungan dan gempuran iklan-iklan politik yang berseliweran.

Fenomena maraknya iklan-iklan politik tak terlepas dari momentum yang mengikutinya. Di negeri ini hampir setiap saat terjadi pilkada di berbagai tingkatan, mulai dari pemilihan bupati sampi gubernur. Seiring dengan itu, maka setiap ada momen pemilu , iklan politik tidak akan pernah tenggelam dikarenakan fungsinya sebagai alat sosialisasi yang cukup efektif guna pembentukan opini publik terhadap calon yang diusung. Selain itu, kontestan menganggap iklan politik adalah sarana yang cukup ampuh untuk mengangkat popularitas. Lihat saja bagaimana beberapa tokoh sudah berancang-ancang untuk mengenalkan dirinya ke tengah masayarakat melalui iklan. Sebut saja, Wiranto dengan isu kemiskinan, Sutrisno Bachrir dengan hidup adalah perbuatan dan Rizal Malaranggeng dengan menawarkan harapan di tengah padang gersang kondisi kesejahteraan Indonesia. Mereka rela merogoh kocek yang dalam hanya untuk sebuah popularitas. Hal ini menunjukkan iklan politik lebih dianggap cara yang mudah dan cepat untuk membentuk opini daripada harus berkunjung ke daerah-daerah untuk bersosialisasi dengan rakyat.

Munculnya iklan terkait dengan masa kampanye. Dalam marketing politik, kampanye diartikan sebagai ajang para kontestan untuk memasarkan produk-produk politik yang ditawarkan untuk mempengaruhi publik agar membeli produk tersebut. Jika kita analogikan dalam ilmu marketing , produsen adalah partai politik, konsumen adalah rakyat dan pasar adalah masa kampanye. Logika ideal pasar adalah dimana produsen dan konsumen sama-sama memiliki hubungan simbiosis mutualisme. Dalam artian, produk politik ( isu atau program ) harus memberikan kepuasan pada konsumen.

Persoalanya kemudian adalah, jika setiap kontestan beranggapan iklan sebagai cara yang lebih efektif dibanding metode lainnya, maka akan banyak sekali iklan-iklan yang akan mewarnai setiap pertimbangan pemilih untuk mengambik keputusan politik. Tentunya hal ini dapat membingungkan masyarakat, karena kebanyakan iklan politik yang hadir tidak cukup banyak memberi informasi sebagai bahan dalam menentukan pilihan. Iklan hanya menyuguhkan rekayasa citra dan tak jarang miskin aspek substansi karena yang dituju adalah bagaimana cara memukau dan menghipnotis publik dengan cara singkat. Lantas, sebagai pemilih bagaimana masayarakat melihat persoalan ini ?

Pertanyaan pertama yang ditanyakan ketika melihat sebuah iklan politik adalah apa benar ada korelasi anatara apa yang diiklankan dengan yang mengiklankan. Dalam hal ini perlu ada penelusuran rekam jejak calon. Bagaimana mungkin ada calon yang menjual isu HAM, sedangkan dia sendiri adalah penjahat HAM, ada juga calon yang diusung pernah diduga terlibat korupsi dan sekarang getol menyampaikan penegakan hukum. Artinya, masyarakat harus cerdas dan jeli dalam membuat keputusan di tengah pusaran bujuk rayu dan janji manis para politisi . Masyarakat jangan tertipu dengan gemerlap dan silaunya tawaran surga kesejahteraan karena dalam iklan politik, tidak ada yang tidak bisa dikonstruksi dan direkayasa. Namun, yang menjadi perhatian kita adalah bagaimana kita mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya tentang calon dan tidak hanya terpukau dan terjerat dari informasi yang ditawarkan oleh iklan.

Musim kampanye adalah musim menebar jala, menjaring massa. Menjadi kesalahan fatal ketika untuk merayu massa, parpol atau figur memberikan janji-janji yang tidak bisa ditepati. Banyak kita temukan muatan janji utopis yang kadang membuat parpol dan figur-figur layaknya entitas yang memegang kartu garansi akan terciptanya kondisi adil makmur, sentosa dan bebas kemiskinan. Tentunya ini bukan bentuk pengejawantahan pendidikan politik yang baik bagi rakyat. Parpol sebagai salah satu pilar demokrasi harus bisa menjelma menjadi penyambung aspirasi masyarakat. Ketika idealisme dikalahkan pragmatisme demi merebut kue kekuasaan, maka parpol hanya sebagai alat dan kendaraan bagi orang-orang yang haus kekuasaan yang tidak pernah peduli dengan konsep kesejahteraan bersama.

Cara-cara kampanye yang berpotensi mendidik masyarakat hanya sebagi objek politik harus diganti menjadi hubungan subjek dan subjek.. Coba kita bandingkan metode kampanye melalui debat kandidat dengan tebaran iklan-iklan yang menghabiskan dana yang tidak sedikit dan malah tidak memberikan pendidikan politk pada publik. Debat kandidat akan memperlihatkan kualitas calon dan apa yang ditawarkan kepada masyarakat, selama ini calon-calon yang tidak berkualitas tertutupi oleh polesan iklan-iklan politik bernilai ratusan juta. Berkaca pada pemilu Amerika Serikat yang lebih mengutamakan debat program para kontestan, dan mereka dalam iklan politik menyuguhkan janji yang spesifik dan terukur. Kita jangan malu belajar dari negara lain dalam merangkai sebuah dekorasi pesta demokrasi bagi kesejahteraan bersama.

Seiring perkembangan, ternyata rakyat juga makin kritis dalam menentukan sikap dalam kepungan iklan politik dan tebaran calon-calon yang sama sekali tidak dikenal rakyat. Calon-calon dari parpol yang dianggap memiliki rekam jejak yang buruk dihukum dengan tidak memilih kembali. Rakyat harus terus menerus dikuatkan agar memiliki posisi yang setara dengan parpol. Edukasi politik bisa menjadi solusi untuk membuka mata masyarakat dan menjadi kacamata penyaring untuk menilai siapa yang layak dipilih.

Iklan politik bukanlah sesuatu hal yang tabu. Justru, ketika iklan tersebut dikelola dengan proses dan etika yang berlaku, bukan tidak mungkin akan mendatangkan simpati dan sekaligus memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Publik harus ingat bahwa seorang pemimpin tidak dilahirkan dari iklan, namun berasal dari proses panjang pergulatan yang membentuk kualitas kepemimpinan. Seorang pemimpin sejati tidak perlu dikenal melalui iklan, namun melalui karya dan perbuatan. Tanpa iklan pun publik akan mengenal dan memberi dukungan kepada orang-orang yang memiliki komitmen dan integritas yang sudah teruji di masyarakat . Pemimpin dipilih bukan oleh kemilau jubahnya, melainkan dari pikiran dan karyanya.

Pendidikan Untuk Semua

Pendidikan Untuk Anak-anak Miskin

Tulisan ini adalah hasil dari diskusi bareng dengan salah seorang teman di HI unpad.

Kebetulan hasil dari diskusi berbentuk tulisan ini pernah di muat di Sindo.

Jadi kemaren kami berdua sepakat untuk mengirim ke sindo atas nama teman saya.

Senang juga melihat hasil diskusi dimuat di Media.


Anak-anak merupakan investasi masa depan sebuah bangsa. Mereka yang kelak akan mengisi ruang-ruang proses dialektika berbangsa dan bernegara. Wajar saja ketika banyak orang menyerukan , anak adalah bibit-bibit atau tunas yang harus diperhatikan dan dirawat dengan baik. Namun, dalam menyambut hari anak, bagimana wajah-wajah anak Indonesia ? Ternyata masih banyak kita temukan anak-anak kurang mampu berhenti sekolah karena tidak punya biaya. Kita sering melihat mereka harus dipaksa mengemis demi menghidupi keluarga, melakukan tindak kriminal dan terlantar digerus zaman, sampai harus menghadapi bentuk-bentuk kekerasan baik itu fisik maupun lewat televisi. Masih adakah setitik perhatian untuk anak-anak kita di hari anak ini ?

Pasal 5 ayat 1, 2, dan 5 UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003, secara umum menjelaskan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Warga negara yang kurang beruntung, seperti kelainan fisik, status sosial yang kurang beruntung memiliki hak untuk memperoleh pendidikan khusus. Setiap warga negara berhak untuk mendapatkan kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hidup. Artinya, Negara harus menjamin hak-hak anak atas pendidikan dan tidak boleh lalai dalam pelaksanaanya.

Keberpihakan pemerintah terhadap hak anak-anak miskin belum patut untuk diberi acungan jempol. Pemerintah lebih senang berbisnis daripada harus mengurus anak-anak yang tidak mampu mengecap pendidikan. Program-program yang ditelurkan pun masih bagus dalam tataran konsep , namun miskin implementasi. Salah satunya adalah BOS. Di lapangan ternyata anak-anak belum bebas biaya, namun masih dikutip iuran – iuran siluman yang tentunya sangat memberatkan anak dari keluarga tidak mampu.

Persoalannya kemudian, apa yang kita bisa sumbangkan pada anak di hari anak ini ? Setidaknya untuk menukung terwujudnya keberpihakan pada anak-anak miskin untuk sekolah harus terus didengungkan. Ada beberapa solusi yang bisa kita rumuskan. Petama, anak – anak miskin harus mendapatkan pendidikan gratis dan berkualitas. Pendidikan tidak seharusnya mahal dan dapat dijangkau oleh semua kalangan, juga bukan berarti pendidikan murah harus abai terhadap kualitas. Kedua, realisasikan anggaran 20 % pendidikan. Realisasi anggran ini perlu mendapat porsi utama, sebab dana adalah penyokong dari semua program-program pendidikan. Ketiga, Adanya kesejahteraan guru karena dengan sejahteranya guru, maka anak-anak juga akan lebih terperhatikan dengan baik. Keempat, kebijakan-kebijakan yang pro anak-anak miskin harus terus diperjuangkan. Negara harus terus diawasi agar berada dalam tanggungjawabnya menyediakan kebutuhan bagi rakyatnya.





Mencetak Kaum Muda Yang Berideologi

Mencetak Kaum Muda Yang Berideologi

Beri padaku sepuluh pemuda dan aku sanggup mengguncangkan Pegunungan Himalaya

(Soekarno)

Kepemimpinan kaum muda kini menjadi narasi besar dalam arus perpolitikan tanah air. Wacana ini lahir dikarenakan kejenuhan dan ketidakpercayaan terhadap tokoh-tokoh lama yang tidak pernah rela untuk melepaskan hegemoninya. “ Saatnya kaum muda memimpin” begitu nyaring dikampanyekan di setiap sudut negeri . Kaum muda dianggap sudah saatnya tampil ke depan membawa angin segar perubahan dan mencoba menjadi alternatif pilihan dalam kepemimpinan nasional. Apakah faktor usia begitu menjadi faktor determinan, sehingga menimbulkan dikotomi antara tua versus muda ?. Hal ini tentu saja menimbulkan pro dan kontra dari masing-masing pihak.

Kaum tua beranggapan bahwa setiap orang berhak untuk memimpin melalui proses demokratis tanpa ada batasan usia. Disamping itu, ia meragukan kemampuan kaum muda yang miskin pengalaman dan masih labil jiwanya, sehingga beresiko besar apabila diserahkan tampuk kepemimpinan. Sedangkan kaum muda menganggap kepemimpinan kaum tua telah gagal menghadirkan sebuah perubahan yang signifikan terhadap kondisi riil di masyarakat. Golongan tua dianggap mobil bekas yang sudah saatnya menikmati hari pensiun dan harus diganti dengan mesin-mesin yang lebih fresh.

Melihat pro dan kontra di atas, penulis tidak mau terjebak dalam perdebatan siapa yang lebih pantas memimpin bangsa ini. Kepemimpinan bukan semata urusan usia. Menjadi pemimpin setidaknya harus memiliki kapasitas, integritas dan visioner. Kaum tua dengan jam terbang yang lebih tinggi lebih dianggap merepresentasikan seseorang yang punya kapasitas, sedangkan kaum muda dianggap mencerminkan golongan yang lebih memiliki integritas dengan nilai-nilai idealisme. Namun, anggapan tersebut tidak merupakan sebuah hal yang pakem, karena ada tokoh senior yang kapasitas dan integritasnya mumpuni, karena itu kepercayaan masyarakat terus tinggi. Ada juga tokoh muda yang mendapat kepercayaan publik, tapi sayangnya enggan belajar untuk meningkatkan kapasitas dan menjaga integritasnya. Artinya, usia bukanlah faktor determinan apakah seseorang bisa menjadi pemimpin atau tidak.

Jika memang wacana kebangkitan kaum muda ini ingin serius untuk digarap, maka tentunya kabar baik bagi regenerasi kepemipinan di negeri ini. Kita harus jujur bahwa kaum muda belum mendapat tempat dalam posisi-posisi sentral dalam kancah politik tanah air. Setidaknya hal ini terlihat dari wajah-wajah lama yang mulai di gadang-gadang di pemilu 2009, juga ambisi anggota DPR yang sudah menjabat dua periode untuk kembali bercokol melalui jalur DPD. Bahkan, partai politik yang dianggap sebagai mesin kaderisasi calon-calon pemimpin, masih terkurung dalam budaya oligarki dan dinasti kekeluargaan. Ini merupakan sinyal warning dalam proses regenerasi dan kaderisasi untuk memunculkan tokoh-tokoh baru. Tersumbatnya proses sirkulasi elit akhirnya membuat kaum muda berontak dan menuntut kesempatan yang sama untuk bersaing merebut posisi-posisi strategis.

Jika kita mencoba menilik sejarah, sebenarnya kaum muda hampir selalu menjadi motor dalam menggemakan gong perubahan dan perlawanan. Maka, tak salah ucapan Benedict Anderson (1900) yang menyatakan bahwa sejarah Indonesia adalah sejarah pemudanya. Lihat saja, gagasan progressif sejumlah pemuda Indonesia di negeri Belanda yang mendirikan Indische Party yang bergulir bagaikan air bah menyadarkan kelompok pemuda dan mahasiswa yang lain. Saat itu, organisasi kaum muda dan massa tumbuh bagaikan jamur di musim hujan, menyambut konsep gagasan nasionalisme Indonesia yang di lontarkan oleh kaum muda. Kemudian dilanjutkan dengan sumpah pemuda sebagai tonggak awal kebangkitan kaum muda untuk berikrar di atas keberagaman, juga peristiwa Rengasdengklok yang berbuah penandatanganan dan pembacaan proklamasi kemerdekaan, tumbangnya orde lama dan yang terakhir adalah bagaimana kaum muda dengan heroik memaksa The Smiling General Soeharto untuk mundur dari kursi presiden demi mewujudkan reformasi. Artinya, peran pemuda dalam perubahan tidak bisa dipandang sebelah mata. Pemuda adalah salah satu kekuatan politik yang mejadi garda terdepan dalam perubahan sosial, politik dan ekonomi.

Persoalanya kemudian adalah kaum-kaum muda sendiri belum terkonsolidasi dan memiliki modal yang cukup untuk merebut kepemimpinan. Salah satu contoh nyata adalah makin luruhnya semangat nasionalisme di kalangan kaum muda. Kebanyakan malah terjebak dengan pola politik pragmatis senior-seniornya dan bahkan banyak yang terjebak dalam budaya hedonisme. Sehingga kemudian kaum muda mendapat stigma sebagai “ anak bau kencur” yang tidak memiliki kesiapan untuk memimpin. Persoalan kesiapan ini penting karena wacana saatnya kaum muda memimpin bukan hanya urusan bagaimana merebut kekuasaan dari kaum tua semata. Namun, pemuda harus memiliki arah dan orientasi perjuangan sehingga tidak gagap dan terseok-seok dalam menyelesaikan persoalan bangsa.

Dalam sebuah perjuangan, arah dan orientasi kaum muda harus jelas. Dalam artian, kaum muda harus memiliki keyakinan, nilai-nilai panduan dan tujuan yang jelas. Atau dengan kata lain, pemuda harus memiliki ideologi perjuangan. Kita bisa belajar dari tokoh-tokoh pemuda pada zaman pra dan pasca kemerdekaan . bagaimana Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka dengan idelogi dan keyakinannya masing –masing mencoba menawarkan sebuah konsep untuk kesejahteraan Indonesia. Salah satu perbedaan antara perjuangan kaum muda dulu dan sekarang yakni kaum muda dulu beranggapan bahwa ke-Indonesiaan belum selesai sehingga perlu ada sebuah konsep yang berupa ideologi yang harus diperjuangkan. Lain halnya dengan sekarang, setelah kehilangan musuh bersama secara fisik ( baca : penjajah belanda), generasi sekarang alpa dan buta terhadap musuh bersama yang lebih halus dan menggerogoti sendi-sendi berbangsa. Akhirnya, karena ketiadaan pegangan, kaum muda cenderung terombang-ambing dan lebih suka ikut arus tanpa ada pegangan teguh berupa idelogi yang ditawarkan bagi penyelesaian masalah-masalah bangsa. Idelogi kaum muda sekarang adalah pragmatisme dan hedonisme.

Untuk mencetak pemuda-pemuda yang memiliki ideologi, dibutuhkan wadah sebagai tempat penempaan dalam menjalani proses kaderisasi. Mesin kaderisasi dan distribusi calon-calon pemimpin masa depan sampai saat ini yang paling dinamis adalah partai politik. Kaum muda tidak semestinya antipati terhadap parpol. Terlepas dari track record partai-partai yang selama ini yang buruk, pemuda harus menjadikan partai sebagai wadah untuk bereksistensi. Partai memiliki sistem kaderisasi yang cukup baik dalam menghasilkan calon-calon pemimpin yang ideologis.

Namun, hari ini partai politik kurang memberi lampu hijau bagi kaum muda untuk berkiprah. Kaderisasi yang seharusnya di isi dengan doktrinasi yang sifatnya ideologis, mulai tergerus oleh pola pikir pragmatis. Seolah-olah partai hanya sebagai kendaraan mencapai kekuasaan, bukannya wadah kaderisasi dan penanaman nilai-nilai ideologis. Untuk menciptakan kader-kader muda yang ideologis, setidaknya ada beberapa hal yang sebaiknya kita perhatikan. Pertama, Membenahi partai politik. Sudah semestinya partai berbenah diri dengan melakukan perubahan besar-besaran untuk menghidupkan roda regenerasi dan menghancurkan oligarki dan dinasti kekeluargaan dengan demokratisasi. Partai harus bisa menjadi partai kader dan bukan hanya partai massa. Ini dimaksudkan agar orientasi partai adalah kaderisasi dan regenerasi yang berkeadilan.

Kedua, untuk menyokong kaum muda yang berideologi, maka kiprah pemuda dalam praktik politik juga penting. Hal ini untuk mensiasati jam terbang yang minim. Kita bisa memberi saran mengenai kuota kaum muda apakah di eksekutif, legislatif atau bahkan di tubuh partai politik. Ketiga, Membuat sumpah pemuda jilid 2. Kaum muda harus bersatu dalam keberagamannya. Seringkali karena perbedaan sudut pandang, perpecahan dan fragmentasi tidak bisa dielakkan. Padahal kita bisa belajar pada pemuda-pemuda yang mengadakan sumpah pemuda 1928. Keempat, untuk mendapat simpati publik, kaum muda perlu terus menerus untuk mengkampanyekan kepemimpinan kaum muda. Tentunya kaum muda juga harus mengimbangi dengan kualitas yang layak dibanggakan masyarakat. Kelima, bekerjasama dengan kaum tua. Kaum muda tidak bisa terlepas dari kaum tua. Pemuda harus ,menjadikan kaum tua sebagai soko guru yang membimbing arah petunjuk jalan. Bahkan, jika memang harus berkolaborasi dalam merebut kepemimpinan nasional untuk sebuah perubahan yang lebih baik, tentunya tidak akan jadi masalah.

Sekali lagi, saatnya kaum muda memimpin bukan urusan bagaimana merebut kekuasaan dari tangan kaum tua semata. Pemuda perlu memikirkan persiapan yang matang, agar tidak dikatakan nafsu besar, tenaga kurang. Keindonesiaan belumlah selesai dan takkan pernah selesai jika seluruh komponen tidak ikut andil dalam membenahinya. Untuk melakukan itu, kaum muda butuh ideologi dalam memperjuangakan konsep bagi Indonesia. Tanpa itu semua, kaum muda tidak akan ada bedanya dengan kaum tua. Sudah saatnya ideologi pragmatisme dan hedonisme digusur mejadi ideologi yang pro rakyat.

Skenario Palsu Dari Rumah Tahanan

Skenario Palsu Dari Rumah Tahanan

Biasanya rencana kejahatan disusun dari tempat-tempat yang jauh dari pengawasan dan indera penciuman aparat kepolisian. Namun, berbeda dengan kasus yang menimpa Artalyta Suryani dan Urip Tri Gunawan yang sedang mendekam di tahanan karena tersangkut kasus BLBI. Mereka berdua justru melakukan konspirasi skenario bohong dari balik rumah tahanan Polri. Kejahatan ternyata tidak sungkan dan malu lagi bersanding dari dalam institusi penegak hukum ini.

Rencana ini terungkap setelah rekaman pembicaraan keduanya disadap dan direkam Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kemudian diperdengarkan dalam sidang di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Rekaman tersebut dengan jelas menunjukkan bahwa pelaku-pelaku kejahatan dalam kasus BLBI adalah pemain-pemain yang punya kuasa. Kejadian ini juga menjadi cermin bahwa rumah tahanan tidak kebal dari bentuk-bentuk privilege bagi yang punya uang dan kekuasaaan.

Perlakuan istimewa yang diberikan kepada tahanan tidak terlepas dari adanya “
main mata” antara aparat kepolisian , penjaga rutan dengan tahanan. Sudah jamak kita ketahui bahwa rumah tahanan adalah surga kebebasan untuk melakukan rencana maupun tindak kejahatan. Seharusnya tahanan tidak diperbolehkan untuk membawa telepon seluler. Apalagi kasus yang menimpa kedua tahanan sedang hangat disorot publik maupun internasional. Namun, justru disinilah kasus ini menjadi kontoversial. Pejabat negara, kepolisian sampai dengan penjaga rutan justru menjadi penyokong untuk membantu menyelamatkan tikus-tikus pencuri uang.

Ini menjadi bahan instrospeksi dan tamparan keras aparat kepolisian bahwa lemahnya pengawasan menjadi sebab tunggal peristiwa ini. Kepolisian seharusnya malu karena ketidakprofesionalan dalam mengawasi tahanan kelas kakap ini. Apapun alasannya, polri tetap harus bertanggungjawab atas kejadian yang mencoreng institusi kepolisian. Keterlibatan oknum polisi harus di usut tuntas dan diberi sanksi yang keras. Keseriusan untuk mengungkap peristiwa ini juga untuk memulihkan kepercayaan masyarakat kepada polri. Artalyta dan Urip juga harus diberi hukuman keras karena melakukan tindak pidana dengan berencana untuk memberikan keterangan palsu di hadapan hukum.

Sterilisasi terhadap tahanan sebaiknya mulai dilakukan untuk menghapus semua bentuk diskriminasi dan privilege bagi tahanan. Aparat kepolisian maupun penjaga rutan juga dibenahi kesejahteraanya sehingga tidak luntur ketika dihadapkan dengan iming-iming uang. Moralitas penegak hukum harus dibenahi sejak dari pembinaan, karena hal tersebut merupakan salah satu faktor penting dalam penegakan hukum. Rumah tahanan seharusnya memberikan efek jera karena sebagian kemerdekaan dan kebebasan sesorang dikurangi. Bukannya menjadi markas penjahat untuk dengan bebas menyusun skenario kejahatannya dengan aman.


Adi Surya

Berlomba Merebut Sertifikat Miskin



Berlomba Merebut Sertifikat Miskin

Ada sebuah anomali di dalam masyarakat kita. Ketika hampir mayoritas orang ingin menjadi orang kaya, namun justru banyak orang berebut untuk menjadi miskin. Bukan hanya orang yang memang tadinya sudah miskin ingin tetap dikatakan miskin, namun orang-orang yang kaya pun mulai memperebutkan status sebagai orang miskin dikarenakan status miskin identik dengan “subsidi” atau “kompensasi” . Akibatnya, yang miskin akan tetap miskin dan yang kaya akan semakin kaya.

Terminologi miskin identik dengan status sosial yang berkasta rendah. Karena itu, seperti suratan nasib, para filosof dan cerdik pandai pun alergi dengan kemiskinan. George Bernard Shaw, esais, kritikus sastra dan dramawan ternama Irlandia mengatakan, "Kejahatan terbesar dan kriminalitas terburuk adalah kemiskinan. Dalam nada serupa, Aristoteles, filosof Yunani kuno pun berpikir searah, "Kemiskinan adalah orang tua dari revolusi dan kriminalitas". Di sini, masuk akal, bila tidak ada manusia rela menyandang predikat miskin, apalagi menyebut dirinya miskin, terkecuali ia sendiri yang merancangnya, sebab ideologi atau keyakinan tertentu.

Contoh sederhana untuk menggambarkan kontradiksi di atas adalah pembagian Bantuan Langsung Tunai ( BLT ) yang diberikan pemerintah sebagai penopang ekonomi masyarakat agar tidak jatuh dalam kubang kemiskinan akibat kenaikan harga BBM. Namun realitasnya, banyak orang dengan status orang miskin baru muncul dan menuntut pembagian dana BLT. Orang yang tadinya berkecukupan, tiba-tiba beramai-ramai mengurus surat keterangan miskin untuk turut mencicipi uang subsidi. Status miskin kini mengalami perubahan makna, yang tadinya merupakan sebuah aib menjadi status yang dibanggakan. Orang-orang tersebut tidak malu berdemonstarasi menyatakan dirinya miskin agar mendapat bantuan. Perilaku manipulatif dan bermental pengemis ini bukanlah muncul secara tiba-tiba, namun ikut didorong oleh bagaimana negara mengelola kemiskinan warganya.

Perilaku bermental pengemis dan manipulatif tidak hanya terjadi di tataran akar rumput (grass root). Republik ini bahkan pernah harus mengaku miskin demi mendapat pinjaman dari IMF. Tersungkur dalam cap “kesulitan ekonomi” untuk menarik rasa iba negeri-negeri donor mengirimkan bantuan. Menengadah tangan di tengah fakta bahwa meskipun negerinya miskin, sejumlah orang Indonesia mengisi daftar teratas orang-orang kaya di Asia. Pada era orde baru, berbagai daerah berebut meraih label daerah miskin untuk mendapat bantuan Inpres Desa Tertinggal (IDT). Para kepala daerah bahkan ada yang sempat protes ketika daerahnya dikatakan sudah lepas dari status daerah tertinggal.

Di bidang-bidang pelayanan sosial seperti pendidikan, dan kesehatan juga tak lepas dari ajang perebutan status miskin. Coba kita lihat mahasiswa kaya tak malu mengaku miskin untuk mendapat beasiswa, orang-orang harus mengaku miskin dulu untuk bisa berobat ke rumah sakit, mengaku miskin agar dapat beli beras dengan harga yang wajar. Juga perlu mengaku miskin supaya sekolah anak tak terhalang tingginya biaya.

Perilaku ini selain bersifat individualis juga turut diakibatkan oleh cara negara dalam mengurus rakyatnya. Selama ini negara dalam mengurus orang miskin kebanyakan memakai paradigma bagi-bagi uang dan terkesan instan dan tidak mendidik. Tentunya pola semacam ini turut mendorong masyarakat berorientasi uang. Sehingga ketika berbicara tentang uang, maka status atau kategori tidak menjadi relevan lagi. Menjadi wajar ketika orang kaya juga mencoba merebut jatah subsidi bagi rakyat tidak mampu, karena ada faktor uang yang dibutuhkan oleh setiap kalangan baik miskin atau pun kaya. Tidak perduli apa pun statusnya, bantuan yang bersifat bagi-bagi uang akan menjadi ladang perburuan setiap orang.

Seharusnya pemerintah dalam memberi bantuan penanggulangan kemiskinan bersifat jangka panjang dan mendidik. Sangat jarang ditemukan program yang menyentuh sisi pembangunan kapasitas agar orang miskin memiliki kekuatan untuk mengeluarkan dirinya sendiri dari lingkaran kemiskinan. Negara terlalu mereduksi persoalan kemiskinan hanya semata-mata urusan uang. Mengatasi kemiskinan bukanlah semata-mata urusan angka-angka. Bukan pula soal mengangkat pendapatan masyarakat menjadi diatas 2 $ per hari dengan membagi-bagi uang. Kemiskinan terakut bukan terletak pada aspek materi, tetapi terpatri pada pikiran manusia. Tetapi kalau pikiran kita telah terkontaminasi dan dimiskinkan secara sistemik, pupuslah daya jangkau akal manusia untuk keluar dari kemelut kemiskinan yang sesungguhnya.

Menyelesaikan persoalan kemiskinan tidak akan pernah tuntas ketika warganya lebih senang “ bermain “ dengan status miskin. Ada semacam perasaan tidak aman ketika tidak lagi disebut miskin. Takut tidak bisa berobat gratis, sekolah gratis, mendapat sembako murah, dan bantuan-bantuan lainnya. Jika kemiskinan sudah dianggap sebagai sebuah kondisi aman dan nyaman, maka program –program yang dirancang akan senantiasa membentur tembok tebal mentalitas pengemis dan manipulatif.










Krisis Listrik Dan Investasi Industri

Krisis Listrik Dan Investasi Industri

Bagaimana nasib industri di tengah krisis listrik yang menghantui aktivitas pelaku usaha untuk tetap bertahan hidup ? Sampai dengan saat ini, listrik masih menjadi sumber energi utama bagi masyarakat kita tak terkecuali bagi kalangan industri yang juga menggunakan listrik. Krisis ini menurut pemerintah disebabkan karena adanya ketidakseimbangan antara jumlah pasokan dan tingkat permintaan. Namun, permasalahannya adalah mengapa pemerintah tidak mengantisipasi lonjakan permintaan yang semakin hari akan semakin besar seiring sejalan dengan pertumbuhan ekonomi.

Industri adalah salah satu penggerak pertumbuhan ekonomi. Perannya dalam mendongkrak pendapatan negara bisa dibilang tidak kecil. Kelangkaan listrik tentu akan membuat industri mengalami kerugian dan bukan tidak mungkin gulung tikar dan menambah jumlah penganggur dan orang miskin baru. Begitu juga dengan minat industri untuk berinvestasi di Indonesia. Tingginya minat investasi terhadap suatu negara menunjukkan wajah bagaimana kita mengelola perekonomian. Investor tidak akan mau menanamkan modal atau pun membuka cabang usaha ketika infrastrukturnya tidak memadai bagi iklim investasi.

Statistik ekonomi dan energi dunia memperlihatkan bahwa perekonomian suatu negara berkaitan secara langsung dengan konsumsi energinya. Data tahun 2003 dari The Institute of Energy Economic of Japan menunjukkan, Amerika Serikat yang pendapatan (GDP) per kapita per tahunnya US$ 35.566, konsumsi energi listriknya 10.800 kWh (kilowatt jam) per kapita per tahun. Gabungan negara Uni Eropa yang GDP per kapitanya US$ 18.800 per tahun, konsumsi listriknya 5.725 kWh per kapita per tahun. Tiongkok dengan GDP per kapita US$ 1.067, konsumsi listriknya 1.140 kWh per kapita per tahun, sedangkan Malaysia yang GDP per kapitanya US$ 4.011 per tahun, konsumsi listriknya 2.959 kWh per kapita per tahun. Ini menunjukkan, untuk memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi , menjadi sebuah kemutlakan bagi pemerintah untuk menyediakan energi (listrik).

Solusi pemerintah melalui SKB lima menteri tentang pengalihan pengaturan jadwal kerja bukanlah solusi arif. SKB tersebut malah memperlihatkan pemerintah menyandera industri dengan intervensi dan sanksi bagi yang melanggar. Logikanya, PLN yang berulah, industri dan masyarakat yang harus berhemat dan diancam sanksi. Memang solusi untuk memenuhi pasokan listrik dengan segera sepertinya sulit terwujud dengan kondisi pembangkit-pembangkit listrik yang belum memadai. Pemerintah sebaiknya menyiasati agar tingkat konsumsi listrik industri berkurang dengan memberikan insentif-insentif yang win-win solution. Tanpa itu, industri akan gulung tikar dan hengkang ke tujuan investasi yang lebih nyaman.

googled77af4d1b3b24896.html

Just for sitemap purpose only... :-)

Kampanye Pejabat Publik Dan Etika Politik

Kampanye Pejabat Publik Dan Etika Politik

Pelaksanaan masa kampanye pemilu legislatif 2009 sudah dimulai. Tentunya parpol-parpol kontestan yang mengikuti pertandingan politik akan mulai berlomba-lomba memenangkan kejuaraan lima tahunan ini. Inilah masa dimana parpol datang menjenguk konstituen dan merebut pemilih baru. Dalam waktu kampanye ini setiap parpol akan mendayagunakan semua sumber daya organisasi, baik itu yang berada di luar pemerintahan atau pun kader-kader yang sedang menjabat sebagai pejabat publik (incumbent).

Persoalannya adalah apakah pejabat publik diperbolehkan untuk berkampanye ? Pertanyaan ini muncul ke permukaan diakibatkan adanya konflik kepentingan antara tugas sebagai pejabat negara yang mengurus rakyat dengan misi dan tanggung jawab sebagai kader parpol. Tentunya dua hal ini adalah hal yang berbeda ketika kita bicara tentang perilaku politisi kita yang lebih mengutamakan kepentingan golongan dan kelompok daripada kepentingan masyarakat. Dikhawatirkan, tugas-tugas pelayanan publik menjadi terbengkalai karena fokus dalam kampanye. Artinya, lagi-lagi perilaku yang seperti ini sangat merugikan rakyat yang seharusnya kebutuhannya dilayani oleh negara.

Ketika seseorang sudah menjabat sebagai pejabat publik, maka secara otomatis akan menjadi milik publik dan bukan hanya milik partai politik. Dalam artian, pejabat publik memiliki tugas utama melayani masyarakat dan bukannya menomorsatukan urusan parpol di atas kepentingan umum. Dalam hal ini harus kita bedakan antara tugas negara dan aktivitas berpolitik.

Pasal 85 UU No 10 Tahun 2008 hanya mengatur bahwa para pejabat tersebut bisa turut serta berkampanye sepanjang tidak menggunakan fasilitas yang terkait jabatannya dan dapat mengambil cuti di luar tanggungan negara. Persoalanya kemudian adalah mulai dari eksekutif, legislatif baik di daerah maupun pusat adalah kader partai. Bisa kita bayangkan ketika 19 menteri kabinet indonesia bersatu dan 33 gubernur provinsi lebih memilih cuti untuk kampanye dibandingkan mengurus tugas-tugas pelayanan publik. Jika memang pejabat publik diperbolehkan berkampanye, maka harus ada regulasi yang mengatur proses tersebut dan disertai sanksi yang keras.

Sebenarnya kita bisa membuat solusi yang sifatnya preventif dalam persoalan ini. Kita tahu bahwa mayoritas pejabat negara juga adalah pejabat – pejabat yang merangkap posisi strategis di partai. Seharusnya, ketika sudah mengemban amanah sebagai pelayan publik, maka elite-elite parpol harus berani melepas posisi stategis atau bahkan non aktif dari parpol dan disertai sanksi yang tegas bagi yang melanggar aturan kampanye. Dengan demikian dapat meminimalisir pejabat publik terseret jauh dalam urusan partai dalam pemenangan pemilu dan bisa fokus pada tugas-tugas negara.



Adi Surya P

Ilmu Kesejahteraan Sosial Unpad

Kt.GmnI Smedang.

Menyoal Tentang BKM

Menyoal Tentang BKM

Pro kontra terhadap rencana pemerintah untuk menyalurkan Bantuan Khusus Mahasiswa ( BKM ) kembali menjadi wacana hangat di tengah gemuruh aksi demonstrasi mahasiswa di berbagai penjuru negeri. Pasalnya, BKM dituding sebagai sebuah bentuk upaya penyuapan untuk meredam aksi-aksi mahasiswa dalam menentang kenaikan harga BBM. Sedangkan dari pihak pemerintah mencoba melihat persoalan ini dari sisi akademis dan bukan politis.

Kenaikan harga BBM sebesar 28,7 % beberapa waktu lalu memang terasa sangat membebani masayarakat. Kita bisa lihat setiap kenaikan harga BBM tentunya ikut menaikkan atau memicu kenaikan harga-harga lainnya. Semua orang, khususnya masyarakat menengah ke bawah sangat merasakan dampaknya. Rakyat terpaksa harus mengirit dan kerap kali harus berfikir ulang untuk mengeluarkan uang. Mahasiwa pun tak lepas dari dampak kenaikan BBM. Mulai dari naiknya ongkos transportasi, mahalnya biaya hidup sehari-hari sampai mahalnya harga buku dan biaya pendidikan lainnya yang tentunya akan juga naik seiring sejalan dengan biaya produksi yang semakin mahal.

Benarkah BKM untuk meredam gerakan mahasiswa ? Sebagai seorang intelektual, kita harus melihat persoalan ini secara objektif. Versi pemerintah mengatakan bahwa BKM bukan untuk meredam aksi-aksi mahasiswa, namun sebagai kompensasi dari dampak kenaikan harga BBM. Program ini akan disalurkan kepada 400.000 mahasiswa perguruan tinggi negeri dan swasta yang besarannya 500.000 per semester dan direncanakan cair pada akhir Juli nanti. Menurut pihak pemerintah, BKM tak ubahnya seperti beasiswa bagi mahasiswa yang kurang mampu. Jadi , tak ada unsur politis apapun yang terkandung di dalamnya.

Namun, pernyataan dari pemerintah tersebut dibantah oleh pihak mahasiswa dan beberapa pengamat. BKM dituding adalah sebuah bentuk penyuapan dan terkait kepentingan pemilu 2009. Di zaman orde baru, pembungkaman terhadap kekritisan mahasiswa terhadap rezim dilakukan dalam bentuk kekerasan. Melalui penculikan, penembak misterius ( petrus ), pembunuhan dan bentuk-bentuk kekerasan dilakukan secara sah atas nama stabilitas. Namun di era reformasi, cara-cara represif yang dibalut dengan tangan besi aparat negara bukanlah cara yang elegan untuk dijalankan.

Jika memang tujuan dari BKM adalah untuk meredam suara kritis mahasiswa, akan membuat suram wajah demokrasi yang susah payah diperjuangkan. Pemberangusan terhadap musuh negara ( mahasiswa ) dilakukan dengan cara-cara yang lebih soft . Protes dan pemberontakan memang cenderung hinggap pada situasi dimana seseorang berada dalam posisi ketidakpastian ataupun perasaan dimarginalkan. Dalam kondisi seperti ini, pemerintah tentunya paham benar psikologis masyarakat bisa berubah menjadi aksi-aksi yang bisa mengancam kekuasaan negara. Kita ambil contoh sederhana pemberian Bantuan Langsung Tunai pada masyarakat miskin. Sebenarnya pemberian BLT lebih ditujukan sebagai obat penenang rasa sakit akibat dampak kenaikan harga BBM. Masyarakat miskin dilihat sebagai lawan yang harus dijinakkan jika tak mau ada perlawanan terhadap negara. Dengan realita mayoritas penduduk kita yang kurang berpendidikan, maka BLT dianggap sebagai sebuah kenyamanan tersendiri dan masyarakat gagal memaknai bahwa mereka sedang dininabobokkan oleh penguasa.

Terlepas dari pro kontra BKM, kita jangan terjebak dalam penarikan kesimpulan yang terlalu dini. Waktu yang akan menjawab apa sebenarnya hakikat pemberian BKM tersebut. Mahasiswa sebagai kaum-kaum intelektual tentunya tidak bodoh melihat persoalan ini. Jika memang benar BKM ditujukan untuk membantu mahasiswa yang kurang mampu untuk melanjutkan studi di tengah badai ketidakpastian ekonomi, hal ini patut kita beri apresiasi. Namun, jika tujuannya semata hanya untuk alat peredam kekritisan dan penumpul akal sehat, maka hal ini perlu dilawan. Jika memang ingin bermain lebih cantik lagi dalam mengimbangi politik penguasa, kita ambil uangnya dan kita teruskan aksi-aksi demonstrasi-nya.





Kampanye Dan Janji Parpol

Kampanye Dan Janji Parpol

Pelaksanaan masa kampanye pemilu 2009 semakin di depan mata. Tentunya calon-calon kontestan yang mengikuti pertandingan politik akan mulai berlomba-lomba memenangkan kejuaraan lima tahunan ini. Inilah masa dimana parpol datang menjenguk konstituen dan merebut pemilih baru. Dalam waktu kampanye ini setiap parpol punya strategi dalam merebut simpati masyarakat dan sebagai pemilih kita harus cerdas melihat apa yang ditawarkan agar tidak terjebak dalam hingar bingar kampanye.

Dalam marketing politik, kampanye diartikan sebagai ajang para kontestan untuk memasarkan produk-produk politik yang ditawarkan untuk mempengaruhi publik agar membeli produk tersebut. Jika kita analogikan dalam ilmu marketing , produsen adalah partai politik, konsumen adalah rakyat dan pasar adalah masa kampanye Logika ideal pasar adalah dimana produsen dan konsumen sama-sama memiliki hubungan simbiosis mutualisme. Dalam artian, produk politik ( isu, program ) harus memberikan kepuasan pada konsumen

Namun, tenyata cita-cita politik hampir selalu berbeda dengan realitas politik. Parpol sebagai produsen hanya memandang hubungannya dengan konsumen adalah hubungan subjek – objek. Konsekuesi logisnya adalah rakyat dianggap hanya sebagai alat untuk memuluskan parpol untuk menggapai kursi kekuasaan. Setelah menang, parpol balik badan meninggalkan rakyat. Objek identik dengan pasif, dan pasif adalah gambaran matinya ruang interaksi dialogis dan lemahnya posisi tawar ( bargaining position) rakyat di mata parpol.

Musim kampanye adalah musim menebar janji menjaring massa. Menjadi kesalahan fatal ketika untuk merayu massa, parpol memberikan janji-janji yang tidak bisa ditepati. Banyak kita temukan muatan janji utopis yang kadang membuat parpol layaknya entitas yang memiliki garansi akan terciptanya kondisi adil makmur, sentosa dan bebas kemiskinan. Tentunya ini bukan bentuk pengejawantahan pendidikan politik yang baik bagi rakyat. Parpol sebagai salah satu pilar demokrasi harus bisa menjelma menjadi penyambung aspirasi masyarakat. Ketika idealisme dikalahkan pragmatisme demi merebut kue kekuasaan, maka parpol hanya sebagai alat dan kendaraan bagi orang-orang yang haus kekuasaan yang tidak pernah peduli dengan konsep kesejahteraan bersama.

Cara-cara kampanye yang berpotensi mengandung benih-benih konflik sebaiknya dikaji ulang. Coba kita bandingkan metode kampanye melalui debat kandidat dan pawai arak-arakan. Debat kandidat akan memperlihatkan kualitas calon dan apa yang ditawarkan kepada masyarakat, selama ini calon-calon yang tidak berkualitas tertutupi oleh polesan iklan-iklan politik bernilai ratusan juta. Sedangkan arak-arakan menunjukkan ketidakefisienan dan dapat memicu konflik horizontal. Berkaca pada pemilu Amerika Serikat yang lebih mengutamakan debat program para kontestan, kita jangan malu belajar dalam merangkai sebuah dekorasi pesta demokrasi bagi kesejahteraan bersama.

Seiring perkembangan, ternyata rakyat juga makin kritis dalam menentukan sikap dalam kepungan iklan politik dan tebaran calon-calon yang sama sekali tidak dikenal rakyat. Calon-calon dari parpol yang dianggap memiliki rekam jejak yang buruk dihukum dengan tidak memilih kembali. Rakyat harus terus menerus dikuatkan agar memiliki posisi yang setara dengan parpol. Edukasi politik bisa menjadi solusi untuk membuka mata masyarakat dan menjadi kacamata penyaring untuk menilai siapa yang layak dipilih.

Melihat tingkat kekritisan masyarakat, seharusnya membuat parpol juga berbenah diri. Janji adalah utang yang harus dibayar dengan kinerja, bukan iming-iming semata. Rakyat butuh parpol yang berani membuat kontrak politik dengan pemilih. Hal ini penting sebagai legitimasi rakyat dalam menuntut mundur calon dari parpol yang ingkar janji. Parpol jangan hanya datang menyapa masyarakat ketika ada pesta demokrasi, merebut hidangan dan membiarkan rakyat yang mencuci piring kotornya, melainkan ada dan berkontribusi ketika masyarakat butuh makan, saat dililit ketidakadilan dan rindu perubahan.


Adi Surya

Mahasiswa KS 04 FISIP UNPAD

Aktivis GMNI Sumedang


Demonstrasi : Antara Simpati dan Antipati

Demonstrasi : Antara Simpati dan Antipati


Dalam aksi menolak kenaikan harga BBM yang dilakukan oleh mahasiswa di depan pintu gerbang DPR/MPR beberapa waktu lalu masih menggunakan cara-cara demonstrasi. Metode ini masih menjadi pilihan utama yang diambil pelaku – pelaku gerakan karena dianggap bisa membentuk opini publik dan merubah sebuah kondisi dengan cepat. Berkaca pada euphoria peran mahasiswa yang berhasil menggulingkan rezim yang dianggap tidak pro rakyat, semuanya melalui gerakan-gerakan ekstraparlementer. Coba lihat bagaimana mahasiswa menggulingkan Soekarno yang sentralistis dengan demokrasi terpimpinnya, Soeharto sang tiran yang memberangus hak azasi selama kurang lebih tiga dasawarsa. Rezim-rezim tersebut jatuh tidak bisa dilepaskan dari aksi-aksi demonstrasi mahasiswa. Artinya, gerakan mahasiswa sebagai salah satu kekuatan politik tidak bisa dipandang sebelah mata.


Gerakan mahasiswa merupakan suatu upaya atau tindakan yang dilakukan secara terencana dengan tujuan melakukan perubahan atau pembaharuan yang meliputi semua aspek kehidupan sosial, politik, ekonomi , budaya dan lain sebagainya untuk mencapai tujuan perjuangan. Salah satu metode atau cara dalam mencapai tujuan perjuangan adalah melalui demonstrasi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ( KBBI 1997 ), demontrasi diartikan sebagai bentuk pernyataan protes yang dilakukan secara massal. Protes terhadap sebuah kondisi yang dianggap melanggar hak-hak rakyat kemudian menggugah hati nurani mahasiswa sebagai kaum-kaum yang dianggap memiliki kelebihan di atas rata-rata masyarakat awam untuk mengambil peran sebagai penyambung lidah rakyat. Dari sini kita bisa melihat bahwa aksi-aksi yang dilakukan oleh mahasiswa secara idealnya adalah semata-mata memperjuangkan kepentingan rakyat.


Namun, hari ini citra mahasiswa mendapat tantangan yang dapat menjadi boomerang bagi keberlangsungan aktivitas gerakan politik moral. Tidak hanya masih terfragmentasi karena perbedaan ideologi, bahkan sekarang masyarakat umum yang notabene adalah orang-orang yang diperjuangkan dalam setiap orasi, malah berbalik memberikan pelabelan negatif ( stigmaisasi ) terhadap aksi-aksi mahasiwa. Salah satu sebab merosotnya citra gerakan mahasiswa dikarenakan aksi-aksi demonstrasi yang dilakukan seringkali anarkis dan menggangu kepentingan umum, seperti memblokir jalan, merusak fasilitas umum sampai bentrokan yang sampai merenggut nyawa. Disini gerakan mahasiswa harus melakukan evaluasi bahwa mayoritas masyarakat tidak lagi merasa memberi mandat pada mahasiswa, dengan kata lain masyarakat menjadi antipati terhadap demonstrasi.


Bagaimana gerakan mahasiswa menyikapi hal ini ? Pertama, demonstrasi damai. Jika aksi demontrasi yang dilakukan sesuai dengan koridor dan tidak mengganggu kepentingan umum, perlahan-lahan simpati masyarakat perlahan-lahan akan muncul. Kita juga tidak etis hanya menyalahkan sikap anarkis mahasiswa karena bukan tidak mungkin sikap perlawanan yang dilakukan, muncul karena sikap aparat yang terlalu represif atau masuknya sejumlah provokator yang bertujuan memecah konsentrasi dari dalam. Kedua, membangun hubungan dengan elit. Hubungan disini bukan dalam artian politik kekuasaan, namun sebagai mitra yang memiliki tujuan yang sama. Aksi-aksi demonstrasi hanya akan menjadi teriakan angin lalu jika tidak didukung oleh elit politik. Aksi demonstrasi hanyalah menyuarakan aspirasi arus bawah, tetap saja yang mempengaruhi dan menentukan pengambilan keputusan adalah elit-elit politik. Ketiga, sudah saatnya mahasiswa bisa menawarkan sebuah alternatif yang solutif daripada hanya berteriak dan sekedar menghujat. Dalam hal ini data, fakta dan informasi diolah melalui kajian-kajian sehingga menjadi landasan untuk bergerak. Keempat, tidak menjadikan demonstrasi sebagai satu-satunya alternatif untuk mempengaruhi kebijakan dan merebut simpati masyarakat. Ada beberapa metode lain yang dapat dijadikan alternatif , seperti gerakan kultural, yaitu melakukan kerja-kerja advokasi langsung ke grass root. Kemudian gerakan akademis dengan banyak melakukan kegiatan-kegiatan kajian, penelitian dan acara-acara yang dapat menarik perhatian publik. Dan yang terakhir gerakan struktural dengan menjalin komunikasi dengan aparat-aparat pemerintahan dalam rangka bekerja sama menyelesaikan persoalan baik di tingkat lokal maupun nasional.

Sudah saatnya gerakan mahasiswa mereformasi diri dan melakukan otokritik terhadap cara-cara memperjuangkan aspirasi. Aksi-aksi anarkis yang dilakukan oleh segelintir pelaku demonstrasi juga jangan dijadikan generalisasi bahwa semua elemen mahasiswa adalah anarkis. Gerakan yang mendapat dukungan dari rakyat tentunya akan memiliki bargain position yang lebih tinggi dihadapan tembok tebal kekuasaan. Wiji Thukul, seorang sastrawan yang hilang di zaman orde baru mengatakan “ jika kami bunga, engkau adalah tembok itu. Telah kami sebar biji-biji. Suatu saat kami akan tumbuh bersama dengan keyakinan bahwa engkau harus hancur ”. Mahasiswa tidak akan pernah bisa duduk nyaman ketika duduk berdampingan dengan ketidakadilan dan akan senantiasa terus bergerak sebagai penyambung lidah rakyat.


Adi Surya

Mahasiswa KS 04 FISIP UNPAD

ucox-Gmni-sumedng@yahoo.com

Melek Huruf,Buta Membaca


Pemberantasan buta aksara ( buta huruf ) yang dilakukan pemerintah bertujuan agar seluruh penduduk yang masih buta aksara dapat menulis dan membaca. Jumlah penduduk Indonesia yang masih buta huruf ternyata cukup besar, mencapai 5,39 juta orang. Jumlah itu terdiri dari 2,80 juta orang usia 10-44 tahun dan 2,59 juta orang usia 44 tahun ke atas. . Kebanyakan Penduduk yang buta huruf adalah orang-orang yang tidak mengecap pendidikan formal, tingkat pendapatan ekonomi yang rendah dan tersisisihkan dari pusat-pusat peradaban. Artinya, buta huruf selalu identik dengan kelas sosial yang terbelakang. Menjadi sebuah kewajaran ketika mereka tetap bergelut dalam kubang kemiskinan. Sudah buta huruf, otomatis buta pula membaca.

Coba kita bandingkan dengan kelas sosial yang lain. Mahasiswa dianggap sebagai kelas menengah yang identik dengan julukan kaum intelektual. Kesehariannya bergelut dengan buku dan dituntut untuk selalu menjadi garda terdepan dalam proses perubahan masyarakat. Apakah mahasiswa buta huruf ? tentu saja tidak. Melek huruf diartikan sebagai kemampuan untuk mengidentifikasi, mengerti, menerjemahkan, membuat, mengkomunikasikan dan mengolah isi dari rangkaian teks yang terdapat pada bahan-bahan cetak dan tulisan yang berkaitan dengan berbagai situasi ( UNESCO ). Sudah barang tentu mahasiswa bisa membaca alias melek huruf. Namun, pertanyaanya kemudian adalah bagaimana minat baca dikalangan mahasiswa dengan kemampuan membaca dan tulis yang dimilikinya ?

Rendahnya Minat Baca

Bangsa yang maju adalah bangsa yang gemar membaca. Lihat saja Jepang, Jerman, Amerika Serikat yang mepunyai tradisi membaca. Bagi mereka buku merupakan sahabat yang menemani kemana pun mereka pergi. Tidaklah mengherankan jika banyak pemikir dan ilmuwan besar yang menciptakan peradaban, berasal dari negara-negara yang gemar membaca. Lantas bagaimana dengan Indonesia ? Data BPS tahun 2006 menunjukkan orang Indonesia yang membaca untuk mendapat informasi, baru 23,5% dari total penduduk. Sedangkan dengan menonton televisi sebanyak 85,9 % dan mendengarkan radio sebesar 40,3 %. Ini menunjukkan bahwa orang Indonesia belum menjadikan membaca sebagai sumber utama mendapat informasi.

Sebagai salah satu generasi penerus bangsa, mahasiswa dituntut untuk bergaul dengan buku. Dulu persepsi masyarakat terhadap sosok mahasiswa adalah orang yang berkacamata tebal, kata-katanya susah dicerna dan menjadikan buku sebagai kekasih hati yang selalu dibawa-bawa. Namun sekarang, kita bisa sama-sama melihat adanya sebuah pergeseran nilai-nilai terhadap peran yang dimiliki oleh mahasiswa. Buku menjadi barang yang menakutkan. Mahasiswa ‘ bercerai ’ dengan sumber pengetahuannya. Orang yang kutu buku justru di cap orang yang terlihat aneh dan menyimpang. Sungguh menggelikan.

Kenapa mahasiswa Indonesia malas membaca buku ? Pertama, membaca buku belum dianggap sebagai sumber motivasi untuk mendapatkan pengetahuan dan tak jarang dianggap sebagai hal yang tidak mengasyikkan. Buku belum menjadi kebutuhan primer bagi kebanyakan mahasiswa. Kedua, membaca berkaitan dengan penanaman nilai-nilai sejak kecil disertai dengan keteladanan . Absennya peran keluarga dalam proses sosialisasi tentang pentingnya membaca, turut serta menjadi faktor rendahnya minat baca. Ketiga, Minimnya sarana dan prasarana yang mendukung minat baca seperti rumah baca, perpustakaan , buku-buku bermutu dan teknologi. Keempat, dominannya budaya menonton televisi, mahalnya harga buku dan lemahnya sosialisasi pemerintah. Kelima, maraknya tempat hiburan membuat mahasiswa lebih banyak menghabiskan sebagian besar waktunya untuk sekedar nongkrong di tempat hiburan.

Menumbuhkan Budaya Baca

Membaca harus menjadi budaya. Tentunya untuk mencapai hal tersebut bukan semudah membalikkan telapak tangan. Artinya, ada ruang proses yang harus diberi tempat dalam pencapaian tujuan tersebut. Pemaksaaan dan kekerasan dalam pendidikan yang mendikte mahasiswa harus membaca, bukanlah sebuah model yang tepat. Poin yang utama adalah faktor kesadaran. Ketika membaca sudah disadari sebagai kebutuhan primer dan hal yang mengasyikkan , secara tidak langsung akan diikuti dengan motivasi untuk meningkatkan minat baca.

Proses penyadaran sebaiknya dilakukan sejak dini. Keluarga sebagai sebuah pranata sosial tempat anak mempelajari dan membentuk nilai-nilai, tidak boleh alpa menjalankan fungsi sosialisasinya. Anak harus dibiasakan membaca sejak kecil. Keteladanan orang tua juga menjadi proses imitasi ( peniruan ) yang penting dalam membentuk perilaku anak. Dengan begitu, diharapkan dari usia dini, membaca sudah menjadi kebiasaan dan rutinitas yang akan menjadi sifat atau karakter seseorang.

Di samping itu, sarana dan prasarana juga harus semakin ditingkatkan. Alfons Taryai dalam bukunya, Buku Dalam Indonesia Baru, terbitan Obor Indonesia 1999 menyebutkan bahwa di Indonesia terdapat satu perpustakaan nasional, 117.000 perpustakaan sekolah, 798 perpustakaan universitas, dan 326 perpustakaan khusus. Sedangkan perpustakaan untuk masyarakat umum hanya 2.583 perpustakaan. Jika dirasionalisasikan dengan jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 220 juta jiwa , maka perpustakaan umum yang ada harus mampu melayani 85 ribu penduduk. Artinya, jumlah perpustakaan di Indonesia masih sangat kurang memadai. Padahal, perpustakaan adalah media yang cukup penting untuk mendongkrak minat baca.

Membaca juga membutuhkan buku-buku yang memadai dan menunjang minat seseorang. Ketersediaan beragam bahan bacaan memungkinkan tiap orang memilih apa yang sesuai dengan minat dan kepentingannya. Jika dibandingkan dengan negara-negara lain, ketersediaan buku-buku masih jauh dari cukup. Cina dengan penuduk 1,3 miliar jiwa mampu menerbitkan 140.000 judul buku baru setiap tahunnya. Vietnam dengan 80 juta jiwa menerbitkan 15.000 ribu judul buku per tahun. Malaysia, 26 juta jiwa, 10.000 judul buku, sedangkan Indonesia dengan 220 juta jiwa, hanya mampu menerbitkan 10.000 judul buku per tahun ( Media Indonesia, Analisis, Sabtu,6 Oktober 2007 ). Artinya, ketersediaan buku belum sebanding dengan kebutuhan penduduk.

Penyediaan buku-buku bermutu juga dapat merangsang ‘ birahi membaca ‘ seseorang. Buku-buku yang tersebar secara luas dan merata ke berbagai lapisan masyarakat dengan sendirinya akan menumbuhkan minat baca. Diperlukan kesadaran kolektif dari setiap elemen yang ada di masyarakat untuk turut serta berpartisipasi dalam usaha menumbuhkan minat terhadap membaca buku di kalangan mahasiswa. Sinergi antara pemerintah, masyarakat , perguruan tinggi dan pihak swasta sangat penting bagi kontribusi kemajuan bangsa ini. Sehingga mahasiswa tidak menjadi generasi yang melek huruf tetapi buta membaca.


Dewan Pelindung koruptoR

Dewan Pelindung koruptoR


DPR lagi-lagi membuat sensasi. Tak puas dengan perseteruan dengan grup musik SLANK dan tertangkapnya Al Amin Nasution , Anggota Komisi IV dalam kasus suap alih fungsi hutan lindung di Riau, kali ini Ketua DPR, Agung Laksono yang berulah. Beliau melarang KPK untuk mengeledah ruang kerja Al Amin di Senayan. Berbekal dengan dua alasan yang bagi saya tidak masuk akal. Pertama, Agung mengatakan saat ini DPR sedang reses dan kedua tentang kewenangan KPK menggeledah ruang kerja dewan. Dan, tak lama berselang Agung mengumpulkan seluruh pimpinan fraksi di DPR dan hasilnya semua pimpinan fraksi sepakat perlunya etika dalam hubungan Institusi. Atau dengan kata lain, pimpinan fraksi sepakat dengan tindakan Agung. Dan, yang lebih mencengangkan lagi, malah ada wacana pembubaran KPK dari Anggota DPR. Ketika KPK lemah, anggota dewan berlomba-lomba menghujat. Namun, saat anggota dewan merasa KPK berpotensi menjadi pagar makan tanaman bagi mereka, maka berhembuslah ide untuk mendepolitisasi lembaga superbody ini. Ada-ada saja tingkah laku para politisi kita di senayan.

Sebenarnya secara logika, tindakan para anggota dewan melarang KPK dengan alasan mempertanyakan kewenangan KPK untuk melakukan penggeledahan cukup menggelikan. Kewenangan KPK justru adalah bentukan pemerintah dan DPR sebagai pembuat Undang-Undang. Jadi ketika Agung yang notabene adalah Ketua DPR malah mempersoalkan tentang kewenangan, dapat diartikan bahwa anggota DPR tak memahami peraturan yang dibuatnya sendiri. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana proses fit dan proper test untuk menghasilkan pimpinan KPK yang lebih baik oleh DPR beberapa waktu yang lalu. Tentunya secara akal sehat semua orang bisa sepakat bahwa sebenarnya pejabat-pejabat yang menjadi penguji calon-calon pimpinan KPK pada saat itu lebih mumpuni dalam hal sejauh mana batas kewenangan KPK.

Kemudian yang menjadi menarik adalah apa hubungan masa reses dengan tugas KPK. Tugas KPK adalah proses hukum yang dilindungi oleh Undang-Undang dan masa reses bukanlah alasan yang logis untuk menghentikan sebuah proses hukum. Dalam hal penegakan hukum, tidaklah mengenal waktu. Hukum bekerja setiap saat bagi siapa pun, kapan pun. Tanpa pandang bulu, tanpa pandang waktu. Lagi pula, yang menjadi sasaran penggeledahan KPK bukanlah seluruh anggota DPR yang katanya sedang reses. KPK dengan jelas mengatakan akan menggeledah ruang kerja Al-Amin yang justru sedang reses di tahanan. Lantas, sungguh tidak bijak pernyataan seorang pimpinan DPR berkata dan berlogika seperti itu. Kesan yang muncul kemudian di masyarakat bahwa DPR sedang melindungi koruptor.

Wacana pembubaran KPK pun mulai diwacanakan oleh beberapa anggota dewan dengan alasan perlunya koreksi terhadap keberadaan KPK sebagai superbody yang memiliki kewenangan sangat kuat, sehingga bisa mengabaikan hukum pidana. Pendapat tersebut sungguh memperlihatkan ketakutan anggota dewan terhadap produk ciptaannya sendiri. KPK saat ini sedang mencoba untuk menunjukkan taringnya dalam mengusut kasus-kasus kakap korupsi. Hasilnya, walaupun belum maksimal, namun sudah mampu menyeret beberapa orang yang tak tersentuh di era-era pemerintahan sebelumya. Hal ini seharusnya menjadi sebuah harapan kita bersama untuk mendukung KPK dalam membongkar borok perilaku korup. Bukannya malah membubarkannya.

Dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dijelaskan, salah satu gagasan awal pembentukan KPK tidak lepas dari performance capaian lembaga penegak hukum yang ada, dalam hal ini adalah kepolisian dan kejaksaan. KPK lahir sebagai akibat gagalnya lembaga-lembaga penegakan hukum tersebut dalam pemberantasan korupsi. UU 30/2002 meletakkan korupsi sebagai extraordinary crime. Dengan kategori itu, penegakan hukum ( law enforcement ) pemberantasan korupsi juga menghendaki cara-cara yang luar biasa pula. KPK kemudian menjelma menjadi sebuah lembaga independen yang memiliki kewenangan yang super pula. Termasuk menggeledah ruangan lembaga-lembaga tinggi negara seperti Bank Indonesia, Mahkamah Agung, Lembaga Kepresidenan dan juga DPR. Bahkan KPK dimungkinkan mengesampingkan UU lain , termasuk UU nomor 8/1981 tentang Hukum Acara Pidana.

DPR sebagai rumah rakyat tidak seharusnya tertutup untuk rakyat. Melihat citra DPR yang semakin lama semakin merosot di mata publik, ditambah dengan adanya larangan bagi KPK untuk melakukan tugasnya menambah buram wajah anggota dewan. Berbicara tentang perlunya etika dalam hubungan berinstitusi antara KPK dan DPR memang sudah sewajarnya ada. Namun jika proses hukum harus terhenti dikarenakan alasan masa reses dan kewenangan, hal tersebut tidaklah dapat dijadikan pembenaran. Sebaliknya, anggota dewan dianggap tidak pro dalam agenda pemberantasan korupsi. Seperti yang dikatakan Jusuf Kalla bahwa tidak ada lembaga yang kebal hukum di Indonesia. Semua lembaga diperlakukan sama di depan hukum.

Pemberantasan korupsi di Indonesia memang masih jauh panggang dari api. Namun, ibarat mendaki gunung yang tingginya beribu-ribu mil, kita harus mulai dengan ayunan langkah yang pertama. KPK sebagai lembaga yang ditugaskan untuk melakukan tugas mulia itu haruslah kita dukung dengan professional. Diperlukan kerjasama oleh berbagai pihak apakah eksekutif, legislatif maupun lembaga yudikatif untuk bersinergi mewujudkan Indonesia yang bebas Korupsi. Dalam hal ini KPK dan DPR perlu melakukan komunikasi antar lembaga agar tercapai kesepahaman di antara ke dua lembaga. Pemberantasan korupsi akan terasa lebih ringan jika dilakukan dan dilandasai semangat saling mendukung dari semua pihak dibanding mempersoalkan hal-hal yang sebenarnya tidak substansial dalam pemberantasan korupsi.




Dosen Bukan Tuhan

Dosen Bukan Tuhan

Oleh : Bung Ucox


Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang memanusiakan manusia

( Paulo Freire )


Perguruan tinggi merupakan tempat atau institusi yang memuat civitas akademica seperti birokrat , dosen dan mahasiswa. Kampus, sebutan yang menandakan tempat seorang mahasiswa untuk mulai belajar merubah dan membentuk cara berfikir yang sebelumnya masih bersifat ketergantungan. Mahasiswa dituntut untuk bisa bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri.

Dosen merupakan pihak yang memfasilitasi , membimbing dan mendidik mahasiswa. Dalam proses belajar ,pola hubungan ideal dosen dan mahasiswa adalah subjek vis a vis subjek yang dialogis. Dalam praktiknya, dosen memainkan peranan yang sangat menentukan. Baik itu bersifat objektif atau bahkan subjektif yang dibalut sentimen. Mulai dari kontrak belajar kuliah, penentuan nilai, lama belajar bahkan bimbingan akademik / tugas akhir mahasiswa semuanya melibatkan relasi mahasiswa dengan dosen. Dikatakan objektif, karena memuat nilai-nilai yang tidak hanya berdasarkan pada kepentingan pribadi , tetapi sebagaimana realitas yang ada. Jika memang baik, katakan baik dan begitu juga sebaliknya. Dikatakan Subjektif, ketika seseorang hanya memaki kaca mata kuda untuk menilai segalanya. Misalnya Ketika kita mendapat nilai D ( Buruk ) dalam satu mata kuliah tertentu, kadang kita merasa tidak puas dengan hasil penilaiannya. Padahal setelah dipikirkan , komponen-komponen penilaian, seperti tugas, UTS dan UAS semuanya kita ikuti. Setelah dikonfirmasi dengan dosen bersangkutan, dengan enteng mengatakan “ salah ketik “. Kasus lain, ketika kontrak belajar yang disepakati bersama oleh kedua pihak, seringkali pihak dosen yang melanggarnya. Saya jadi tergelitik dengan ucapan teman saya ,dia bilang “ kalau mahasiswa yang terlambat mengikuti kuliah pasti dikeluarkan , tetapi kalau dosen yang telat ? apakah harus dikeluarkan ? yang rugi kita-kita juga dong “.

Proses belajar yang baik menurut Paulo Fraire adalah bagaimana kita memposisikan peserta didik mempunyai kedudukan yang sejajar. Bukan patron klien yang kadang membuat daya kritis mahasiswa menjadi redup. Proses belajar menyangkut tentang metode perkuliahan. Paradigma lama memandang bahwa peserta didik hanyalah sebagai objek yang dijejali oleh isi otak dosen. Tanpa ruang untuk sikap kritis. Apa yang disampaikan dosen adalah yang benar dan tidak bisa salah. Mahasiswa datang ke kampus hanya sebagai pendengar dan penonton orkestra dosen yang bangga akan apa yang dimilikinya. Persoalannya bukan terletak pada benar atau tidak apa yang disampaikan, melainkan ada sebuah proses yang hilang yang harusnya dilewati oleh mahasiswa, yakni suatu sikap kritis yang bertanggung jawab. Perkuliahan yang berkualitas ditandai salah satunya adalah munculnya dialektika antara dosen dan mahasiswa, sehingga diharapkan mampu merangsang dan mendinamisasi proses pencarian ilmu pengetahuan.Pendidikan yang menjadikan mahasiswa sebagai subjek dan pusat belajar sepertinya belum banyak dipraktikkan di kelas-kelas. Padahal untuk mengetahui apa yang dibutuhkan oleh peserta didik hanya diketahui dari peserta didik itu sendiri. Di perkuliahan kita diajarkan untuk kritis, tetapi sering terjadi ketika kita bersikap kritis, malah ditanggapi dengan sentimen pribadi sampai dibayangi ketakutan diperlambat kelulusannya. Gawat.

Menumbuhkan pola pikir kritis merupakan hal yang penting. Sebab pandangan kritis menurut Mansour Fakih dalam artikelnya Demokratisasi Perkuliahan mentransformasikan hubungan dosen – mahasiswa dari perspektif yang mendominasi menjadi hubungan yang membebaskan. Yang tadinya dosen dijadikan subjek perkuliahan sementara mahasiswa sebagai objeknya ditransformasikan menjadi hubungan yang “ dialogis “. Hubungan dosen dan mahasiswa yang bersifat relasi kekuasaan atau “ subjugation “ yakni proses penjinakan dan penundukan,dimana proses perkuliahan yang menjadikan mahasiswa sebagai objek, dalam persfektif kritis adalah bentuk dehumanisasi.

Dosen juga manusia, punya hati, punya rasa , kadang khilaf, lupa dan marah.Ia bukanlah makluk atau dewa yang tidak bisa salah. Persoalannya adalah bagaimana menciptakan proses perkuliahan yang saling menghormati dan menempatkan posisi masing-masing dengan benar. Dialog merupakan salah satu alternatif. Membuat kesepakatan-kesepakatan yang bersifat simbiosis mutualisme ( saling menguntungkan ) yang dijalani dengan konsisten dan objektif akan turut meningkatkan proses belajar-mengajar. Selain itu, sebagai mahasiswa yang dituntut untuk kritis, tidak hanya 3 D ( datang, duduk dan diam ). Terkadang, kita sebagai mahasiswa juga turut serta membantu menciptakan proses belajar mengajar yang tidak dialogis, dikarenakan ada anggapan mahasiswa kritis akan di cap negatif. Bertanya dan terus bertanya adalah sikap yang perlu dibangun sejak dini. Karena tidak ada proses yang berhenti dalam hidup, begitu juga ilmu pengetahuan, maka tidak ada yang tidak bisa dipertanyakan, bukan ? Hidup yang tidak dipertanyakan dalah hidup yang sia-sia, begitu menurut bapak Socrates. Bagi saya, Hidup adalah hamparan pilihan yang dijalani dengan hasrat. Terserah anda apakah mau jadi mahasiswa yang cari aman alias membeo saja atau memilih jadi pemberontak intelektual (menyikapi segala sesuatu dengan kritis dan bertanggung jawab). Wassalam.


Penulis sekarang aktif di organisaisi

Gerakan Mahasiswa Nasionalisme Indonesia

Bara_nasionalis@yahoo.com

Menggugat Budaya Hedonisme Di Kalangan Mahasiswa


Ruangan itu terasa sesak dan bising. asap rokok, suara gelak tawa yang membahana, suara gelas yang melengking karena ditubrukkan, orang-orang yang saling berdiri dengan rapat menghadap stages dan tentunya alunan musik yang menjadi ruh acara menjadi penanda kesesakan dan kebisingan. Disalah sudut –sudut ruangan terlihat kumpulan muda-mudi , belasan tahun, sedang asyik bertumpuk, berkumpul, membentuk identitasnya masing-masing. Ada yang berbusana santai, kemeja rapi sampai dengan tampilan kulit yang dibalut dengan tank top ala remaja masa kini.

Seorang pria bertopi koboi berteriak, memberi semangat untuk menikmati malam, dibawah temaram rembulan yang menandakan malam semakin larut, let’s party bro. Ada yang bergoyang ala Amerika Latin, samba sampai goyang dangdut ikut menambah panas suasana. Sebuah kemeriahan yang tak jarang lagi kita lihat di kota-kota urban.

Seketika semuanya diam, sunyi, hanya terdengar suara ocehan MC yang mengisyaratkan puncak acara akan segera dimulai. Lampu sorot di arah timur menyala perlahan, kemudian diikuti di barat, utara hingga seluruh stages berubah menjadi lautan warna .Tiba-tiba ketenangan itu berubah menjadi pekik histeris massa yang menyembur bak luapan lumpur lapindo saat MC memanggil bintang tamu utama ke atas stages.

Lima orang cowok, dengan bermodalkan tampang keren langsung mengebrak para audiens. Sang gitaris mulai mengulik senar-nya, memainkan irama , nada dan not yang berpadu dalam melodi, di atas gitar itu jari-jemarinya , gesit dan lincah memencet senar gitar. Jerit penonton terdengar lagi, kali ini disambung dengan tepuk tangan dan penonton mulai berdesakan mendekat ke stages saat lagu pertama dibawakan. Tangan mulai diangkat, musik mulai merasuk, semua ikut bernyanyi, mengikuti , termasuk nyanyian di dalam hati, coba mengejar suara sang vokalis. Nampak tak ada rasa ketakutan, kegelisahan, kesedihan di raut wajah mereka. Semuanya berlomba-lomba untuk mencapai orgasme dalam menikmati alunan musik melalui dentuman lagu-lagu yang dibawakan sang bintang tamu.

Gambaran seperti inilah yang terlintas dipikiran ketika mendapat ajakan seorang teman ke sebuah acara bertajuk NIGHT PARTY di sebuah tempat hiburan di Kota Bandung. Di kota Urban ini memang kental dengan berbagai tempat hiburan untuk melepas penat dari rutinitas keseharian. Tiba-tiba dalam benak penulis terbesit pertanyaan, benarkah gambaran di atas adalah budaya hedonisme yang katanya saat ini sedang merasuki anak muda zaman sakarang ? Pertanyaan ini yang kemudian menjadi perdebatan dalam diri penulis, hingga tulisan ini di buat.

Di lihat dari sejarah, pencetus paham hedonisme adalah filsuf Epicurus (341-270 SM). Ia berpendapat bahwa kesenangan dan kenikmatan materi adalah tujuan yang paling utama dalam hidup. Filsafatnya dititikberatkan pada etika yang memberikan ketenangan batin. Kalau manusia mempunyai ketenangan batin, maka manusia mencapai tujuan hidupnya.

Tujuan hidup manusia adalah hedone (kenikmatan, kepuasan). Ketenangan batin diperoleh dengan memuaskan keinginannya. Manusia harus dapat memilih keinginan yang memberikan kepuasan secara mendalam. Hedonisme sebagai suatu “budaya” yang meletakkan dimensi kepuasan materi sebagai suatu tujuan utama memicu dan memacu pemanfaatan alam dan atau melakukan aktivitas hidup yang jauh dari dimensi spiritual (moralitas).

Menurut filsuf Aristipus of Cyrine (435-366 SM), sesungguhnya kesenangan merupakan rasa dari watak yang lemah lembut dan merupakan tujuan yang sebenarnya dari kehidupan. Semua kesenangan nilainya sama, tetapi berbeda dalam tingkat lamanya, kesenangan harus dikendalikan oleh akal. Pengendalian melalui mekanisme pemikiran (akal) tidak lain adalah usaha “rasionalisasi” keadaan yang didasarkan atas upaya penyesuaian antara keinginan sebagai tujuan dengan penyesuaian melalui pendekatan moral/etika terhadap nilai-nilai sosial dan spiritual. Keadaan demikian menjamin tercapainya keseimbangan antara tujuan material dan spiritual, sehingga secara individual tercapai kepuasan batin yang sempurna.

Benarkah Paham Hedonisme sudah merasuk di kalangan mahasiswa ? Mahasiswa kalau boleh penulis definisikan adalah orang yang dapat digolongkan sebagai intelek-intelek muda bangsa ini. Mahasiswa adalah kandidat calon orang-orang besar yang nantinya akan mengisi posisi intelektual organik yang akan memimpin bangsa ini . Oleh sebab itu sudah sewajarnya mahasiswa memiliki peranan yang sangat penting dalam sejarah bangsa Indonesia. Mahasiswa juga dilekatkan sebagai agen perubahan ( social change ) dan agen pengawasan ( social control ). Dari kedua peran tersebut , mahasiswa layaknya bersikap kritis terhadap setiap aspek yang dinilai melanggar asa-asas keadilan.

Sejarah bangsa ini mencatat bahwa perubahan yang terjadi di Indonesia sebagian besar dipengaruhi andil mahasiswa yang terlibat dalam aksi-aksi perlawanan. Mulai dari Budi Utomo sampai peristiwa Mei 98. Artinya, mahasiswa dianggap sebagai orang yang terdidik , kritis, yang sejatinya berjibaku dengan proses pembentukan pola pikir yang kritis dan peka terhadap perubahan. Tetapi kini fungsi sebagai agen perubahan dan kontrol sosial dirasakan mulai luntur. Kita bisa bedakan situasi dan aroma geliat mahasiswa dari zaman pra kemerdekaan sampai reformasi dengan kondisi mahasiswa sekarang.

Dahulu Sjahrir, Hatta, Bung Karno tak henti-hentinya belajar menuntut ilmu untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Memasuki tahun 1966, seorang tokoh pergerakan mahasiswa , Soe Hok Gie membela mati-matian idealisme mahasiswa yang harusnya belajar di kampus, berdiskusi, kritis, mencoba meraba keterbatasanya sebagai manusia dengan ketakterbatasan khazanah ilmu pengetahuan. Gie juga mengecam perilaku mahasiswa yang lebih suka dengan kegiatan pesta pora, serta apatis dengan perubahan. Sampai-sampai mengatakan lebih baik mati daripada menyerah pada kemunafikan ( Soe Hok Gie : Catatan Seorang Demonstran ).

Tetapi itu dulu, kini kondisinya jauh berbeda, kita bisa lihat sikap apatis sebagian besar mahasiswa terhadap kondisi bangsa, acuh tak acuh dengan sekitarnya. Fenomena kegiatan-kegiatan mahasiswa yang diadakan di kampus yang cenderung ke arah mengejar kenikmatan sesaat, justru selalu ramai peminat. Coba kita lihat bersama dengan mata terbuka, berapa banyak forum-forum diskusi, seminar, pelatihan yang sepi peminat. Namun selalu saja ramai saat ada pertunjukan musik ataupun kegiatan – kegiatan yang bersifat hedonis. Mahasiswa seolah-olah berada jauh dari “ rumahnya ” sendiri. Meminjam istilah alienasinya Erich Fromm, yang berarti bahwa kita terasing dari diri kita sendiri atau yang lainnya, sehingga tidak lagi menghayati diri sendiri sebagai mahasiswa yang harusnya menjalankan dan diberi tugas dan peranan oleh masyarakat melainkan menyembah hal-hal yang ada diluar dirinya yang sama sekali bukan ranahnya.

Dewasa ini, hidup ditengah-tengah hingar bingar budaya massa (mass culture) dan budaya pop (pop culture) yang dikonstruksi (dibangun) kapitalisme. Dalam tulisan Idi Subandy Ibrahim (Paradoks di balik gerakan mahasiswa , dari kampus “ hura-hura” sampai kampus “ huru-hara” . Pustaka Hidayah. 1999) dikatakan bahwa kebudayaan massa atau kebudayan populer benar- benar menjelma menjadi simbol brutalisme baru di pusat-pusat urban dunia. Di balik brutalisme kebudayaan ini orang-orang, terutama anak muda, kebingungan menghabiskan waktu luangnya. Bersamaan dengan semakin panjangnya waktu luang itulah, kebudayaan pop lahir dengan segala perniknya lewat radio, televisi atau bacaan populer sebagai pengisi waktu senggang. Kebudayaan populer, sebagai bagian bangunan hasil konstruksi produsen budaya kapitalis, selamanya akan merefleksikan impian-impian massa.

Kebudayaan populer di Indonesia mengungkapkan kisah-kisah anak muda dalam potret yang sering jauh lebih indah dari kenyataannya. Pamer hedonisme dan pola gaya hidup mewah, yang mencerminkan ikon-ikon baru remaja mulai mengalahkan idola lama mahasiswa seperti Bung Karno maupun Soe Hok Gie yang idealis. Berganti dengan pertunjukan musik, clubbing, sex party dengan tujuan akhir adalah pencapaian kenikmatan sesaat. Akibat dari itu semua, mahasiswa jarang sekali yang memakai aspek kognisi mereka untuk melihat realitas masyarakat yang ada. Mereka tidak menggunakan kompetensi pengetahuan mereka kecuali hanya didalam ruang kelas saja tetapi tidak untuk memahami realitas yang terjadi di dalam masyarakatnya.

Lalu mahasiswa juga sudah tidak memiliki kesadaran akan apa yang sedang terjadi di masyarakat. Sekali lagi karena mahasiswa sudah terhegemoni (soft hegemony ) oleh sebuah kekuatan yang kita sebut kapitalisme global. Seperti yang diutarakan John Lennon, Sex, TV, and Music make you weak. Mungkin itulah yang dapat menggambarkan hilangnya kesadaran mahasiswa. Mahasiswa oleh sebab itu tidak dapat disebut sebagai intelektual organik sebab mereka sudah tercerabut dari tempat yang semestinya, yaitu masyarakat. Mahasiswa menjadi sebuah kelas baru yang sangat prestisius, mahasiswa menjadi borjuasi-borjuasi muda dengan masa depan yang cerah dihadapannya.

Menyimak dari berbagai fenomena di atas lalu muncul pertanyaan dalam benak penulis, apakah benar contoh kecil seperti NIGHT PARTY adalah sarana untuk menghabiskan waktu luang bagi mahasiswa dikarenakan kurangnya aktivitas-aktivitas di dalam dunia kampus ? Lalu, apa memang kegiatan seperti inilah yang menyebabkan absen-nya fungsi dan peranan mahasiswa sebagai agen perubahan dan kontrol sosial ?

Jika benar ,maka ini adalah sebuah ironi. Jika Epicurus masih hidup sampai hari ini, mungkin ia akan meneteskan air mata. Karena hedonisme yang dicetuskan olehnya adalah paham untuk mencari kesenangan di dalam hidup. Artinya setiap apapun yang kita lakukan bertujuan mencapai kesenangan. Tetapi adalah sebuah kesalahan, jika kita hanya mendewakan satu tujuan saja dari beberapa tujuan. Karena dalam setiap tujuan pasti terdapat kesenangan –kesenangan yang menciptakan kepuasan batin. Wassalam.