Berkenalan dengan Liberalisme

Berkenalan dengan Liberalisme


Ketika mendengar istilah liberalisme, apa yang banyak orang pikirkan ? Baru-baru ini saya membaca di sebuah media massa tentang demonstrasi mahasiswa yang menolak tentang liberalisme dalam pendidikan dengan asumsi bahwa liberalisme merupakan produk impor dari barat yang bermaksud menjadikan pendidikan menjadi barang dagangan ( komersialisasi ). Mulai dari siswa SMU sampai dengan bapak Ki’ai yang berdakwah, gencar mengutuk dan menfatwa liberalisme yang dinilai tidak sesuai dengan ajaran Islam. Bahkan tak tanggung-tanggung sang proklamator bangsa Indonesia Bung Karno, menghujatnya dengan istilah yang belum pernah ada sebelumnya dalam kamus ekonomi, free fight liberalism. Apakah liberalisme mengandung kejahatan sehingga dihujat di mana-mana ? Apakah ideologi yang mengagungkan kebebasan sebagai spirit of life ini dengan sendirinya memang berarti pertarungan bebas antara yang kuat dan yang lemah ? dan apa sebenarnya makna kebebasan bagi kaum liberal ? Tulisan ini tidak bermaksud untuk mengupas secara mengakar persoalan liberalisme, namun sebagai bahan perdebatan lebih lanjut untuk memahami dialektika ideologi kontemporer.


Meredefenisikan kebebasan

Apakah liberalisme baik atau buruk ?. Pertanyaan ini mengundang kita untuk mencoba lebih dekat untuk meneropong sisi – sisi liberalisme. Secara umum liberalisme diidentikkan dengan kebebasan ( persamaan hak, pemerintahan konstitusional, dan toleransi ) . Kebebasan mengandaikan makhluk yang secara alamiah memiliki kemampuan untuk berpikir, untuk merasa, dan untuk memilih bagi dirinya sendiri. Karena itulah kebebasan jika diterjemahkan sebagai sebuah sistem pengarturan masyarakat, berarti sistem yang percaya bahwa individu-individu yang ada dalam suatu masyarakat sesungguhnya bisa menggunajan kemampuan dan harkat mereka secara alamiah, serta mampu untuk memilihbagi diri mereka sendiri. Menurut pandangan saya liberalisme tidak baik atau buruk pada dirinya sendiri. Siapa yang mengatakan kebebasan itu adalah buruk berarti turut mengingkari dirinya sebagi manusia. Kebebasan dapat melahirkan kreativitas, kebebasan membebaskan manusia dari penjajahan berupa kemerdekaan. Memang tak dapat dipungkiri kebebasan yang tak terkontrol bisa menjurus kearah anarki, untuk itulah diperluakan “ bebas yang bertanggung jawab “. Ketika kebebasan sudah mengancam kehidupan orang lain maka kebebasan tersebut akan vis a vis dengan hukum. Oleh sebab itu penegakan hukum berjalan berbarengan dengan kebebasan itu sendiri. Artinya tetap harus ada regulasi bagi kebebasan.

Sebagai ideologi modern paling berhasil, liberalisme perlu untuk kita beri porsi yang sangat penting untuk dibahas dalam kancah peta ideology. Bagaimana tidak, ide-ide liberalisme sampai hari ini berhasil bermetamorfosa menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Ide-ide seperti demokrasi, Hak Azasi Manusia ( HAM ), kebebasan pers, globalisasi, pasar bebas kini menjadi wacana sentral yang menghiasi debat akademik sampai obrolan santai di meja makan. Jika kita telusuri rekam jejak liberalisme, memang apa yang ditawarkan ideologi ini sampai detik ini masih dipakai sebagai ideolog dominan.

Setelah runtuhnya rezim komunisme pada tahun 1989, otomatis pertarungan dua kekuatan besar yang diwakili oleh Uni Soviet versus Amerika Serikat usai sudah. Komunisme sebagai rival sejati dari liberalisme ternyata mulai kehilangan taringnya dalam memecahkan persoalan-persoalan dunia. Francis Fukuyama, salah seorang pemikir kontroversial akibat karyanya yang berjudul “ the end of history “ secara tegas menyatakan bahwa sejarah telah berakhir dan seperti kita tahu, pemenangnya adalah demokrasi liberal dan kapitalisme. Gagasan – gagasan ideologi tandingan lainnya seperti (almarhum ) ideologi komunisme hingga saat ini belum muncul.

Dari konteks historisnya, gagasan liberalisme pertama kali muncul di inggris. Perang-perang sipil yang terjadi di Inggris yang merupakan konflik memperebutkan supremasi antara raja dan parlemen turut mnyemaikan ide-ide liberalisme. Pada zaman tersebut ( pertengahan ) eropa masih dikungkung oleh paham tradisionalisme yang menekankan kepatuhan individu kepada raja sebagai wakil tuhan dan kekuasaan gereja. Pandangan zaman pertengahan yang tradisional cenderung melihat orang dari segi kedudukan sosial dan komunitas dan tempat mereka berada. Tuntutan kebebasan dan toleransi telah menantang otoritas tradisional dari raja yang sok mengetahui apa yang terbaik bagi bawahan , maupun dari gereja yang sok memberitakan pada mereka apa yang harus dipikirkan. Intinya , liberalisme berkembang atas nama akal sebagai penolakan terhadap tradisi.

Tokoh-tokoh seperti John Locke turut serta memberikan sumbangsih pemikiran tentang Liberalisme. Ia dalam Treaties on Government menyatakan bahwa semua individu dikarunia oleh Tuhan dengan akal, sebagai alat untuk melihat apa yang benar dan apa yang salah. Tuhan juga mengaruniakan hak alami seperti hak untuk hidup, kebebasan dan hak milik. Gugatan terhadap otoritas lama ( tradisi dan raja ) mendapat puncaknya pada zaman pencerahan. Zaman pencerahan merupakan gerakan intelektual utama abad 18 yang bertujuan membebaskan manusia dari kungkungan tradisi. Pencerahan menyiratkan digusurnya peran raja dan gereja dari sistem bermasyarakat dan mengagungkan kemenangan akal sebagai representasi rasionalitas. Manusia pada dasarnya adalah rasional, ia dapat memenuhi kepentingannya dan menjalankan urusannya sendiri. Artinya manusia tidak ingin dikekang oleh otoritas manapun secara paksa karena setiap individu yakin dia bisa bebas memilih untuk dirinya sendiri.

Memasuki akhir dari zaman pencerahan kejayaan akal dan kebebasan berjalan berkelindan yang memunculkan tumbuh suburnya benih-benih kapitalisme awal. Era ini menandai menguatnya pamor liberalisme ekonomi. Bapak Adam Smith menjadi perhatian kita sejak beliau dalam karyanya The Wealth of nation mengajukan gagasan yang bertentangan dengan pemikiran pada zamannya, bahwa kemakmuran suatu bangsa bisa dicapai dengan arus bebas barang dan modal yang ditandakan dengan pasar bebas. Intervensi atau campur tangan pemerintah dianggap sebagai sesuatu aib yang harus dijauhi. Semakin dalam intervensi negara maka kebebasan individu semakin terancam. Individu harusnya dibiarkan bebas mengejar kepentingan dirinya sendiri yang nantinya akan membawa kemakmuran bersama. Ide-ide Smith berbicara tentang kebebasan individu, kompetisi dan negara sebagai penjaga malam. Kerangka berfikir semacam ini diperkuat kembali oleh Herbert Spencer yang menggunakan teori evolusi Darwin sebagai pijakan, bahwa yang terbaik untuk kemajuan manusia adalah survival by the fittes. Lantas apakah negara memang pengancam kebebasan individu sahingga harus dipinggirkan ?

Ternyata dalam versi liberalisme social, negara masih memainkan peran yang sangat signifikan. Anda bisa bayangkan kebebasan yang kebablasan yang tak teregulasi. Bisa memunculkan penindasan ataupun persaingan yang tidak fair, terutama pada kelompok miskin dan pra sejahtera. Adalah J.M. Keynes yang mempelopori kebaikan welfare state yang mengijinkan negara ikut campur dalam mengatur perekonomian. Pendapat Keynes, seakan menjawab ketakutan terhadap kebebasan itu sendiri. Negara harus memainkan peran sebagai regulator yang menjamin persaingan bebas yang adil. Namun sejak krisis minyak tahun 1973, ide welfare state diruntuhkan oleh bentuk liberalisme yang lebih radikal yakni neoliberalisme. Salah satu poin dari bentuk baru liberalisme ini adalah kebebasan ekonomi dalam skala global yang melintasi batas-batas negara. Atau yang sekarang kita kenal dengan istilah globalisasi.

Sejarah liberalisme di Indonesia juga sudah tertanam lama semenjak era orde baru. Dibukannya Penanaman Modal Asing di Indonesia menyiratkan sistem perekonomian liberal mulai diperkenankan masuk. Demokrasi pancasila ditengarai hanyalah sebagai kedok agar sisi-sisi liberalisme tidak terlalu terlihat. Di era reformasi ide-ide liberalisme semakin diadopsi dengan maraknya wacana tentang demokratisasi, HAM sampai privatisasi BUMN.

Kompetisi atau kerjasama

Mana yang lebih baik, kompetisi ataukah kerja sama ? Menurut saya kedua konsep ini janganlah kita dikotomikan. Maksud saya di dalam kompetisi juga terdapat kerja sama, begitu juga sebaliknya. Begitu juga dengan kepentingan individu versus kepentingan masyarakat ? keduanya terkait satu sama lain dan tidak bisa dipisahkan dengan tegas. Liberalisme dalam hal ini condong ke arah kompetisi daripada kerja sama yang identik dengan ekonomi sosialis. Kompetisi membuat orang menjadi termotivasi untuk jadi yang terbaik. Kita ambil contoh, operator telepon seluler seperti Indosat, Telkomsel dan Esia. Jika mereka dibiarkan berkompetisi untuk mencari keuntungan maka mereka harus melayani permintaan pembeli, kenapa ? pembeli cenderung akan memilih harga yang paling murah untuk digunakan. Maka konsekuensinya masing-masing perusahaan akan memperbaiki kualitas dan harga yang paling murah buat konsumen. Jika mereka tidak melakukan perbaikan terus menerus, mereka akan ditinggalkan konsumen. Berbeda dengan kerja sama, misalkan perusahaan –perusahaan tersebut di atas melakukan melakukan penggabungan ataupun kartel yang mengakibatkan masyarakat tidak memperoleh untung apapun, karena Telkomsel bekerja sama dengan M3 untuk tidak menjual harga di bawah harga pasar.

Liberalisme dan Kapitalisme

Kapitalisme sebagai anak kandung liberalisme memang membawa kesengsaraan bagi seluruh umat manusia. Kebebasan dijadikan legitimasi untuk melakukan ekspansi modal ke seluruh pelosok negara tanpa aturan karena memang negara sengaja dipinggirkan untuk hal itu. Kebebasan menjadi ruh bagi kaum kapitalis untuk melancarkan ekspansi modal ke seluruh dunia. Bagi kaum liberal kemunculan kapitalisme menyimbolkan kemajuan pesat eksistensi masyarakat berdasarkan capaian yang telah berhasil diraih. Kita adalah orang yang bebas, bekerja pada siapapun yang kita mau. Bebas untuk mengqambil apapun yang kita inginkan, kesempatan membangun diri kita, mencoba bebas untuk meraih keuntungan sebanyak-banyaknya.

Kapitalisme membanggakan kebebasan sebagai hakikat dari penciptaannya. Kebebasan adalah “ kebebasan dari “ : bebas dari tindakan sewenang-wenang, bebas dari rencana orang lain, bebas dari campur tangan pememerintah, bebas dari para ahli agama dan orang yang tidak kita inginkan. Negara yang baik adalh Negara yang melindungi kebebsan-kebebasan di atas, dan Negara menjadi jelek ketika melakukan pembatasan terhadap hak-hak prang, khususnya hak kepemilikan. Kapitalisme dengan slogan utamanya kompetisi, meyiratkan bahwa semua orang bebas untuk bersaing dengan cara mereka sendiri tanpa campur tangan orang lain. Semua orang akan berusaha untuk mengejar keuntungannya sendiri dalam arena semua orang akan bersaing maka akan tumbuh semangat enterpreuner dalam masyarakat. Tentunya ada yang kalah dan ada yang menang. Dalam kapitalisme tidak dikenal dnegan semua orang mendapat kemenangan. Oleh karena itulah sistem ini banyak dicibir sebagai sistem ekonomi rimba yang cenderung menekankan penindasan yang satu kepada yang lain. Permasalahannya , ada suatu ketidakseimbangan dalam kebebasan itu sendiri. Maksud saya begini, ada beberapa orang yang lebih dahulu memiliki pengetahuan , uang dan modal dan ada juga orang yang untuk makan saja butuh perjuangan. Lalu kita mengatakan kita semua bebas bersaing sekarang, siapa yang akan menang ? Di sini ada garis start yang tidak sama ketika kita dibebaskan untuk berkompetisi. Kita ambil contoh negara maju dengan industri dan teknologi modern-nya dengan negara dunia ketiga. Dihembuskanlah wacana kebebasan bersaing agar semua negara semakin menaikkan kualitasnya. Yang menang dalam kompetisi akan meneteskan ke bawah keuntungannya kepada pihak yang kalah, baik itu berupa pembukaan lapangan kerja maupun bantuan luar negeri. Namun , faktanya negara dunia ketiga bukannya semakin makmur, melainkan semakin miskin karena dieksploitasi

Lantas apakah ada keadilan sosial dalam diri liberalisme ? Tentunya banyak pro kontra mengenai hal ini. Kebebasan yang tanpa regulasi sebaiknya tidak menjadi pilihan. Jika kebebasan dan toleransi menjadi tuan, maka nilai moral apa yang harus dimiliki orang tanpa bercampur dengan nilai moral yang lain. Apakah cukup dengan mengatakan bahwa ini adalah masalah pribadi ?. Kebebasan yang baik haruslah bebas yang tidak sewenang-wenang, ketika kita ingin bebas dari kekangan, maka di sisi lain kita juga bebas melakukan apapun tanpa perduli dengan orang lain. Negara ada untuk mengatur manusia, karena manusia sulit diaturlah maka ada hukum dan negara. Begitu juga dengan kebebasan, harus disertai dengan regulasi yang mengaturnya, tidak bisa bebas yang sewenang-wenang. Bebas yang baik adalah bebas yang bertanggung jawab.


Penulis adalah mahasiswa semester VII

Ilmu Kesejahteraan social

Universitas padjadjaran



0 komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar Anda Di Sini :