Depolitisasi Organisasi Kemahasiswaan

Depolitisasi Organisasi Kemahasiswaan

Jika menelisik sejarah perubahan sosial di Indonesia, kita harus jujur bahwa yang menjadi motor dalam menggulirkan perubahan adalah kalangan mahasiswa. Hal ini terlihat pada zaman era pra kemerdekaan, dimana sekelompok mahasiswa aktif mengambil peran sebagai martir perubahan. Kemudian peran ini berlanjut pada saat penggulingan Soekarno, The Smiling General Soeharto, sampai terwujudnya era reformasi. Artinya, mahasiswa adalah kekuatan sosial dan politik yang dari sejarahnya aktif dalam berpartisipasi membangun bangsa. Namun, hari ini ada kecenderungan mahasiswa sekarang tidak seprogresif para pendahulunya.

Apakah tugas mahasiswa adalah hanya berkutat di ranah akademis semata dan tidak boleh berpolitik ?. Wacana ini muncul dikarenakan fenomena banyaknya mahasiswa yang anti terhadap politik dan berkubang dalam dunia yang mengusung jargon hedonis, pragmatis , individualis dan apolitis. Fenomena ini tidak hanya terjadi pada tataran yang parsial , namun sudah menjadi gejala yang kalau mau dikatakan universal. Banyak mahasiswa yang enggan memasuki atau menjadi anggota organisasi kampus. Padahal saluran untuk melakukan tugas sebagai agent of change tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri. Dalam artian, mahasiswa harus punya wadah dan legitimasi untuk mengkonsepkan dan menggerakkan perubahan sosial.

Fenomena ini tentunya tidak bisa dilepaskan dari konstruksi sistem pendidikan yang dirancang untuk mengandangkan organisasi mahasiswa hanya pada ranah kampus. Penyebab yang sampai hari ini masih diyakini sebagai salah satu faktor apolitis mahasiswa adalah kebijakan NKK/BKK(Normalisasi Kehidupan Kampus dan Badan Koordinasi Kampus) pada zaman orde baru yang semangatnya adalah mendekonstruksi peran politik organisasi mahasiswa. Kebijakan ini diambil karena organisasi mahasiswa dianggap sebagai musuh potensial untuk merongrong negara. NKK/BKK membuat organisasi mahasiswa yang dulunya sejajar ( kordinatif) menjadi subordinasi dari pihak kampus. Akibat lainnya adalah mahasiswa dilarang berpolitik dan dibuat sibuk dengan urusan akademis. Sudah dapat dipastikan organisasi mahasiwa yang tadinya garang dalam menyuarakan gong perubahan, mejadi macan ompong di kandang sendiri. Peran-peran kaderisasi yang dilakukan terhadap mahasiswa pun kerap hanya di isi dengan acara-acara hiburan yang jauh dari substansi.

Mahasiswa juga adalah bagian dari rakyat. Untuk itu, sesuai dengan amanat Tri Darma Perguruan Tinggi, mahasiswa dituntut untuk juga memperjuangkan aspirasi masyarakat umum. Apalagi kampus adalah elemen strategis untuk mengkonseptualisasikan format perubahan. Organisasi kemahasiswaan sejatinya harus menjadi corong suara yang selalu lantang menjadi oposisi.

Lantas, bagaimana organisasi mahasiswa menyikapi proyek depolitisasi untuk melumpuhkan peran-peran sosial politik mahasiswa ? Pertama, organisasi mahasiswa harus punya bargaining position yang tinggi di depan penguasa. Kedua, kebijakan NKK/BKK harus diperjuangkan agar dihapuskan. Ketiga, tidak tunduk terhadap kepentingan penguasa. Keempat, organisasi mahasiswa harus memiliki tawaran konsep sebagai wacana tandingan terhadap kebijakan-kebijakan yang tidak pro mahasiswa dan masyarakat. Kelima, kegiatan-kegiatan yang dilakukan tidak hanya bersifat hiburan namun juga memberikan pendidikan politik.

0 komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar Anda Di Sini :