Tahun Baru Kelabu

Tahun Baru Kelabu

Mudah-mudahan bukan tipes atau DBD. Sudah 3 hari aku terbaring di kamarku yang lembab. Kepala berat,cairan terus mengalir dari hidung,lemas dan sesekali diseingi oleh batuk. Kejadianya bermula sehabis fitnes bareng Agri. Tiba-tiba saja badanku terasa drop dan mulai bersin-bersin. Daya tahan tubuhku menurun dan biasanya sangat rentan dengan virus-virus yang ada di udara. Padahal makanan dan minuman untuk mendongkrak vitalitas belum mampu berbuat apa-apa.

Sementara orang-orang di luar sana asyik pulang ke kampung halaman,ada yang liburan dan menghabiskan tahun baru dengan semarak. Sebelum itu beberapa kejadian yang kurang baik menghampiriku. Aku bertanya dalam-dalam,jangan-jangan aku sedang diperingatkan oleh yang Kuasa? Bisa jadi. Sudah lama aku ga mengunjungi rumah bapa. Bahkan aku selalu merasa bisa tanpa bantuan-Nya.

Tadi malam menggigilnya luar biasa. Selimut tebal ini tak mampu membendung getaran di sekujur tubuhku. Sampai akhirnya jam 1 pagi baru bisa terlelap. Sungguh menderita banget dengan penyakit yang satu ini. Aku paling benci kalau udah diserang yang begini. Flu,sakit kepala,ingusan,panas,menggigil,batuk dan lemas.Alamak,lengkap sudah penderitaan,bunuh diri pun aku mau asal lepas dari derita ini.

Seperti biasa,tiap tahun baru tidak ada yang spesial buatku. Berbeda ketika aku berada di Medan. Tahun Baru adalah moment yang harus disambut dengan pesta dan hura-hura. Seolah kita yang tidak merayakannya dianggap kampungan dan ketinggalan zaman. Disini,mentalku sudah tertempa bak baja. Terserah orang mau ke palanet Jupiter bertamasya saat Tahun Baru, kalau aku merasa itu hanya hura-hura miskin substansi, ya cuek aja. Lebih baik kita berefleksi ria dan mengevaluasi sudah sejauh mana perjalanan kita. Apa yang berkembang dan apa yang masih kurang. Life must go on babeh...

Setelah mengevaluasi, aku mendapati ada sedikit kemajuan dan bayak kemunduran. Kemajuanku di tahun ini adalah aku berhasil jadi penulis di berbagai media massa. Tetapi kekurangan juga banyak seperti wawasan yang semakin berkurang,Skripsi yang belum kelar,bahasa Inggris yang jalan di tempat,kurang ada gairah untuk maju dan suka merasa puas. Padahal dulu saat masih zaman perjuangan,militansiku mencari pengetahuan dan bergerak sangat kencang. Apakah setiap zaman ada fase dan karakteristiknya ?Kadang aku berpikir di umur yang sekarang,berpikir yang praktis-praktis aja. Dan kita ga bisa kuasai semua hal.

Tahun baru ini aku mau berhenti dan kurangi hal-hal buruk. Aku harus bisa menantang diriku lagi. Harus mampu membuat perjanjian untuk maju. Harus selalu merasa kecil dan ga pernah puas. Harus berani berkata TIDAK pada setiap godaaan. Intinya,di tahun 2010 nanti,segala kekurangan akan tertutupi. Jadi judulnya bukan tahun baru kelabu lagi.. Semakin kita jatuh dan terpukul merupakan saat-saat paling tepat untuk melakukan turning point.Hari ini memang kita bukan siapa-siapa..Tapi tunggu aku akan buktikan kalau aku bisa buktikan aku ini siapa-siapa..

Lonceng Kematian Pendidikan Nasional

Lonceng Kematian Pendidikan Nasional


Pro kontra yang menyelimuti pemberlakuan status badan hukum pada penyelenggara dan /atau satuan pendidikan terjawab dengan ketukan palu sidang dari ruang DPR. Rancangan Undang-Undang BHP yang menjadi perdebatan di ranah publik akhirnya menjadi undang-undang yang mengikat secara hukum. Pengesahan ini dianggap sebagian kalangan sebagai bentuk halus dari privatisasi pendidikan yang semakin membuat pendidikan menjadi barang dagangan. Tampak jelas terlihat bahwa ada semangat untuk memaksa institusi pendidikan harus dikelola seperti korporasi melalui pengaturan tentang tata kelola,pengurus kekayaan,biaya operasional dan istilah-istilah baru yang cocok diterapkan pada perusahaan.

Jika kita menarik garis sejarah kebelakang, Badan Hukum Pendidikan merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 23 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyebutkan penyelenggara dan /atau satuan pendidikan formal yang didirikan pemerintah atau masyarakat harus berbentuk badan hukum pendidikan. Undang-undang inilah sumber pangkal dari penerapan otonomisasi institusi pendidikan. Dengan status BHP,maka semakin menelanjangi fakta lepas tanganya pemerintah dan memberi pembenaran bahwa BHP merupakan wujud dari demokratisasi pendidikan.

Kesalahan paradigima lainya adalah dijadikanya pendidikan sebagai salah satu sektor jasa. Proses meliberalkan pendidikan telah diinstitusionalkan dalam kebijakan-kebijakan yang sifatnya mengikat. Pada putaran WTO di Doha, disepakati bahwa pendidikan termasuk sektor jasa yang diperdagangkan. Artinya, pendidikan direduksi dan dijadikan komoditi transaksional dalam ruang pasar. Saat ini biaya bangku kuliah untuk memasuki perguruan tinggi negeri sudah semakin tak terjangkau dan diskriminatif. Universitas berlomba-lomba dalam membuka jalur-jalur yang dianggap bisa memberikan profit. Sementara jatah kursi untuk seleksi formal seperti SPMB jumlahnya semakin berkurang. Kuota bagi mahasiswa asing untuk kuliah, ditutupnya jurusan yang tidak menghasilkan profit dan pelibatan swasta dalam pengelolaan pendidikan dikhawatirkan akan membunuh jati diri perguruan tinggi sebagai lembaga pendidikan.Dengan demikian,kampus sedang menuju sebuah transisi dari yang awalnya untuk memenuhi hak-hak pendidikan warga negara menjadi sebuah perusahaan yang berorientasi profit.

Ada beberapa persoalan yang terkait dengan penerapan Undang-Undang BHP bagi masyarakat.Pertama,biaya pendidikan yang semakin mahal. Saat pemerintah berperan sebagai penjamin hak-hak pendidikan,subsidi merupakan jalan yang tepat untuk menekan biaya yang tinggi. Namun,ketika otonomi kampus yang jadi pilihan, institusi pendidikan akan berlomba mencari dana untuk tidak pailit, salah satunya adalah menaikkan biaya pendidikan. Kedua, pembukaan jalur-jalur pendidikan berbau dagang. Di Institut Teknologi Bandung kita mengenal Ujian Saringan Masuk (USM); di UPI ada Ujian Masuk (UM); dan di Universitas Padjadjaran ada Seleksi Masuk Universitas Padjadjaran (SMUP) yang biayanya tentu di atas rata-rata.

Ketiga, status pailit. Pendidikan sebagai hak warga negara menjadi tidak pasti karena adanya status pailit bagi insitusi pendidikan. Untuk itu dapat kita prediksi bagaimana peserta didik sangat rentan akibat ketidakpastian pendidikan,selain itu insitutusi pendidikan akan mencari jalur-jalur agar tidak pailit termasuk dengan membuka jurusan berorientasi pasar,menaikkan biaya pendidikan,sehingga dalam jangka panjang membentuk budaya bisnis dalam dunia pendidikan.

Untuk itu kita tidak bisa tinggal diam menyikapi persoalan ini. Selain melakukan aksi protes dengan berunjuk rasa ke pihak-pihak terkait. Gelombang protes juga harus dilakukan secara mengakar,yakni melakukan uji materil (judicial review) Pasal 53 UU Nomor 20 tahun 2003.Sebagai penganut negara kesejahteraan,sejatinya peran negara sangat berperan besar dalam mengurus dan memenuhi hak dan kebutuhan warganya. Bukan menyerahkan nasib warga ke dalam lubang hitam pasar yang ganas dengan diktum survival by the fittest atau siapa yang kuat dialah yang akan bertahan dan yang lemah akan tergilas mati.

Adi Surya

Mahasiswa Ilmu Kesejahteraan Sosial

Fisip Unpad

Kurban Sebagai Ibadah Transformatif

Kurban Sebagai Ibadah Transformatif

Apakah semakin tinggi animo masyarakat untuk menyembelih hewan kurban mencerminkan tingkat kesalehan yang semakin meningkat pula?.Pertanyaan ini tidak berpijak dari ruang kosong,melainkan hadir dari refleksi pemaknaan hari besar keagamaan oleh sebagian besar masyarakat kita. Seringkali konteks ibadah yang menjadi momentum untuk menemukan hikmah dalam ruang transendental kehilangan artinya yang substansial.Perayaan hari besar agama seperti Idul Adha kini menjadi ruang perebutan status dan simbolisasi prestise dengan menjadikannya hanya sebatas ritual yang kering akan makna.

Kata kurban berasal dari qaruba yaqrubu qurban wa qurbanan yang berarti mendekat atau pendekatan. Menurut istilah, kurban berarti melakukan ibadah penyembelihan binatang dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Ibadah kurban telah dituntunkan sejak Nabi Adam AS (QS Al Maidah: 27). Sedang ibadah kurban yang dilakukan umat Islam saat ini ittiba’ kepada sunah Nabi Ibrahim.Dalam QS Al Kautsar: 2, Allah SWT berfirman Fashalli lirabbika wanhar (maka dirikanlah salat karena Tuhanmu dan berkurbanlah). Sedang Rasulullah SAW melarang orang yang mampu berkurban tetapi tidak berkorban untuk mendekati musalanya (HR Ahmad). Namun demikian, Allah mengingatkan bahwa darah dan daging kurban tidak akan sampai kepada-Nya, yang sampai adalah ketakwaan (QS Al Haj 22: 37).

Dari sisi sejarah, hari kurban merupakan peringatan atas pengalaman rohani Nabi Ibrahim AS bersama anaknya, Ismail dan istri beliau, Siti Hajar, dalam menghadapi kesulitan akibat kekeringan di daerah Makah. Dalam bentuknya yang lebih lengkap, peringatan pengalaman tersebut dilaksanakan di Tanah Suci berupa ibadah haji bersama-sama oleh segenap umat Islam dari segala penjuru dunia. Berkurban- yang pada masa Nabi Ibrahim disimbolkan dengan mengorbankan seekor domba - memiliki nilai-nilai kemanusiaan yang begitu indah dan agung. Diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Ibrahim melalui mimpi yang haq untuk menyembelih anaknya, Ismail. Perintah itu sekaligus ujian bagi Nabi Ibrahim untuk rela mengorbankan anaknya demi memperoleh rida Allah yang kemudian Allah mengganti kurban tersebut dengan seekor kambing.

Sebenarnya kurban dalam arti “pendekatan”, tidak terjebak pada kedekatan pada Allah dengan mengharapkan pahala,melainkan juga dekat pada sesama manusia. Dalam arti,selain memiliki makna ritual,kurban juga memiliki makna sosial dalam wujud kepedulian sosial.Saat ini kondisi bangsa diselimuti oleh berbagai penderitaan yang semakin berat. Bencana alam, kemiskinan, kriminalitas kerah putih dan segudang krisis lainnya patut kita jadikan sasaran bantuan kita. Korban Lapindo Brantas masih tersingkir dari hak-hak yang seharusnya mereka peroleh.Mereka ditelantarkan begitu saja dan justru dianggap sebagai beban negara yang dikategorikan mengganggu. Banyaknya gelandangan dan pengemis di persimpangan jalan menampilkan parade keangkuhan negara dan masyarakat terhadap nasib mereka.Seorang ibu yang bunuh diri bersama anak-anaknya dikarenakan tidak bisa menyediakan sepiring nasi di meja makan adalah bukti lunturnya solidaritas sosial.

Namun,diseberang lainnya, gedung-gedung mewah berdiri angkuh,orang-orang kaya membuang muka saat si miskin mencoba mengulurkan tangan mengetuk pintu hati.Lembaran uang dihambur-hamburkan hanya untuk sebuah pesta pernikahan dan mengajukan pembenaran bahwa orang miskin harus berusaha sendiri tanpa subsidi negara demi tegaknya “ideologi perut” berjubahkan keserakahan yang bernama kapitalisme. Banyak pesta pora di negeri ini, tapi banyak pula pesta penderitaan di sisi lainnya. Lonceng kematian atas solidaritas kini mencapai titik nadir di negeri ini. Walau banyak yang berkurban,tidak lebih hanya dalam waktu yang sifatnya temporer.

Ada beberapa alasan mendasar ketika seorang umat untuk melakukan ibadah kurban. Pertama, sebagai sebuah kewajiban bagi seseorang yang telah memiliki kemampuan khususnya dalam aspek materi untuk berbagi terhadap sesama. Wujud dari alasan ini dengan cara menyembelih hewan dan membagikanya pada orang lain yang membutuhkan sebagai simbol kepedulian. Kedua, mensyukuri nikmat Allah. Kekayaan dan rezeki yang diperoleh di dunia ini semata-mata karena kehendak Allah. Dengan berkurban,manusia diingatkan agar selalu berbagi dengan sesamanya. Namun,banyak pula orang berkurban untuk alasan-alasan yang bertentangan dengan agama. Menjadikan hari Idul Adha sebagai prestise dan berselimut kepentingan duniawi adalah bentuk lain dari penyimpangan. Banyak orang berkurban,menyembelih ratusan hewan namun hanya untuk mencari popularitas, menjaga gengsi karena tidak mau ketinggalan arus. Ada pula yang menjadikannya sebagai lahan untuk membersihkan dan menutupi kebobrokan dari perbuatan negatif. Politisi, koruptor, kriminal rela menyumbang hewan kurban kepada masyarakat dengan iming-iming suara pada saat pemilu nanti. Artinya, kurban harus dilandasi oleh keiklasan dan kesucian hati untuk benar-benar peduli pada sesama.

Untuk membantu pemahaman berkurban ada beberapa hal yang bisa kita lakukan. Pertama, menjauhkan makna kurban hanya sebatas menyembelih hewan. Dalam konteks berkorban,tidak melulu harus berupa materi. Tenaga, waktu dan sumbangan gagasan bagi perbaikan kondisi lingkungan kita juga adalah salah satu cara mengaktualisasi semangat kepedulian kita. Pada zaman Nabi Ibrahim,ternak dijadikan kurban karena pada zaman itu simbol kekayaan tertinggi adalah orang-orang yang memiliki ternak seperti kambing. Namun, pada saat ini kekayaan tertinggi bisa bersumber pada materi dan buah pikir dalam bentuk solusi bagi penderitaan sesama. Kedua, menjadikan kurban sebagai sesuatu yang transformatif. Dalam artian, pengorbanan yang kita beri harus bisa mengerakkan perubahan sosial dan berkelanjutan.Alangkah lebih baik kita berkorban untuk jangka panjang dengan membantu orang yang menderita agar dapat menolong dirinya sendiri. Jadi bantuan bukan bersifat charity semata,namun bantuan yang dalam jangka panjang bisa membuat orang yang kita bantu menjadi berdaya dan mandiri.Semangat kepedulian sosial tidak dilakukan hanya setiap hari Idul Adha,melainkan sepanjang kita hidup dalam ruang ritual dan sosial.

Persoalanya bagaimana kita mengimplementasikan nilai-nilai semangat berkurban dalam kehidupan sehari-hari untuk meringankan nasib saudara-saudara kita.Bukan berbicara seberapa banyak hewan, seberapa menggunungya materi yang kita bagikan. Ibadah kurban semestinya menjadi lonceng kehidupan bagi momentum kita kembali menyadari hakikat sebagai manusia yang beragama dan bermasyarakat.

Adi Surya Purba

Ketua DPC GMNI Sumedang 2007-2009

Mengibarkan Perang Melawan Terorisme

Mengibarkan Perang Melawan Terorisme

Serangan teror yang terjadi di Kota Mumbai memberi pesan kepada dunia bahwa aksi-aksi kekerasan masih menebar ancaman bagi tiap orang di muka bumi ini. Padahal perang melawan terorisme global sudah intensif dilakukan oleh negara-negara dengan melahirkan regulasi baik bersifat regional maupun multilateral. Teror di India melahirkan anggapan tidak ada satu negara pun yang bisa bebas dari aksi-aksi terorisme. Dalam hal ini, kita harus memutar otak untuk menelurkan solusi-solusi bagi terciptanya tatanan global yang damai.

Dilihat dari konteks sejarahnya, Istilah teror (isme), pertama kali, populer pada masa Revolusi Perancis (1789-1794). Akan tetapi, praktik terorisme itu sendiri terjadi jauh sebelumnya. Dalam catatan sejarah, terorisme telah dipraktikkan manusia sejak zaman Yunani kuno. Xenophon (431-350 SM) misalnya, menuliskan dalam bukunya tentang terorisme dalam term "perang psikologis" untuk menaklukkan musuh.

Hari ini terorisme mengambil bentuk sebagai reaksi atas ketidakadilan dari negara-negara maju terhadap negara berkembang. Politik hegemoni Amerika dan negara-negara eropa menyebabkan munculnya arus balas dendam dengan dibalut penafsiran doktrin agama yang sempit.Selain itu perubahan sosial di era modern sekarang menyebabkan kondisi anomie yakni suatu keadaan di mana setiap individu manusia kehilangan ikatan yang memberikan perasaan aman dan kemantapan dengan sesama manusia lainnya, sehingga menyebabkan kehilangan pengertian yang memberikan petunjuk tentang arti dan tujuan kehidupan di dunia ini.

Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia dan kondisi sosial politik yang belum stabil menjadi ladang subur lahirnya prajurit-prajurit dengan ideologi kekerasan. Namun, untuk mengatasinya diperlukan kerjasama yang benar-benar erat, karena berhadapan dengan teroris ibarat berperang dengan gerilyawan yang tidak bisa diprediksi.

Ada beberapa garis besar yang bisa kita konsepsikan. Pertama, kita harus bisa memaknai bahwa lebih baik kita memberantas “proses pembuatan” daripada memburu pelaku teror.Dalam hal ini, peran keluarga,tokoh masyarakat dan ulama harus bisa mengambil peran utama dalam meningkatkan kualitas hidup seperti toleransi dan kesejahteraan.Kedua, peran aktif negara baik itu dalam menjamin kesejahteraan,membuat regulasi dan kolaborasi institusi seperti Badan Intelejen Negara (BIN) dan pembentukan perangkat/satuan anti teror.Ketiga,Mao Zedong yang mengibaratkan teroris dan masyarakat sebagai ikan dengan air di dalam kolam, di mana ikan adalah teroris, sementara air adalah masyarakat.Ikan dapat berenang ke mana saja apabila cakupan airnya besar sehingga untuk menangkap ikan harus dilakukan dengan mengeringkan airnya.Teroris dapat bergerak leluasa apabila masyarakatnya kurang memiliki kewaspadaan terhadap terorisme,begitu pula sebaliknya.Artinya,partisipasi publik dalam memerangi terorisme bersifat vital karena tanpa hal itu maka kinerja aparat keamanan akan kurang maksimal dalam memerangi terorisme.

Adi Surya Purba

Mahasiswa Kesejahteraan Sosial

Fisip Unpad

Aktivis GMNI