Identitas Bangsa Dan Kebhinekaan Yang Terkoyak



“Sikap dan pandangan keagamaan masyarakat (khususnya perkotaan) yang makin memperlihatkan kecenderungan intoleran.  Sebanyak 49,5 persen responden tidak menyetujui adanya rumah ibadah bagi penganut agama yang berbeda dari agama yang dianutnya, 45 persen menyetujui sisanya sebanyak 5,5 persen menjawab tidak tahu. Sebanyak 60,9 persen responden tidak menerima berkembangnya agama tak resmi dan 52,1 persen mengharapkan pemberantasan aliran sesat. (Survey Setara Institute,2010).


     Pendahuluan
Hasil temuan dari survey yang dilakukan di daerah Jabodetabek di atas merupakan temuan menarik dan sekaligus miris. Menarik karena, survey yang dilakukan di daerah perkotaan tersebut agak bertentangan dengan asumsi masyarakat kota yang berciri rasional, terbuka, demokratis, kritis, dan mudah menerima unsur-unsur pembaharuan. Miris, karena selain sebagai tempat berbaurnya berbagai macam identitas, arus informasi dan juga tingkat pendidikan di kota-kota yang dijadikan sasaran survey juga memperlihatkan bahwa sikap intoleran kini tidak hanya milik orang-orang yang kurang berpendidikan, fanatik, tidak terbuka terhadap perubahan. Melainkan, sudah merasuk ke warga perkotaan. Lebih menarik dan mirisnya lagi, salah satu sasaran populasi adalah Ibu Kota Negara. Inikah wajah  republik ?
Belum lupa karena bekasnya yang mendalam di buku harian negeri ini. Pembantaian etnis Tionghoa di Mei kelabu 1998. Perang Islam-Kristen di Maluku dan Poso yang menghancurkan 400 gereja dan 30 mesjid serta 3000 nyawa melayang. Perang etnis antara Suku Madura dan Dayak di Kalimantan menyebabkan kerugian imateril dan materil yang sangat besar. Seolah kekerasan tiada henti-hentinya menguji kita, kini kita dihadapkan dengan konflik penyerangan umat aliran kepercayaan, perusakan rumah ibadah. Kini kekerasan sudah menjadi trend penyelesaian masalah. Urat otot dan senjata menggantikan kearifan-kearifan lokal yang dulu diajarkan nenek moyang dengan berbagai simbol-simbol. Gaya menyikapi perbedaan via jalan tol kekerasan parahnya dibiarkan oleh negara. Akhirnya, babak akhir cerita selalu ditutup pihak-pihak yang bertanggung jawab dengan pidato “ semoga ke depanya peristiwa seperti ini tidak terjadi lagi”. Faktanya, kekerasan belum mati.
            Akar kekerasan yang kita lihat lebih banyak berkutat pada pergulatan klaim identitas. Setiap manusia memiliki identitas dimana hal itu menjadi pembeda manusia yang satu dengan yang lainya. Sebagai pemilik identitas, setiap orang memiliki nilai-nilai, kepercayaan dan kriteria kebenaran menurut identitasnya. Ketika identitas berada di ruang publik yang artinya berbaur dengan identitas lain, individu atau kelolompok yang gagal menerima dan menoleransi keanekaragaman identitas lain akan mengambil sikap penaklukan terhadap identitas di luar dirinya. Lantas, kenapa kita begitu mudahnya saling meniadakan satu sama lain. Dimana nilai gotong royong, toleransi yang selama ini diajarkan di bangku-bangku pendidikan. Kemana para tokoh agama yang seharusnya menjadi benteng moral umatnya. Kemana identitas kita sebagai suatu bangsa yang berbudaya ?

            Proses Mem-bangsa

Ernest Renan mengatakan bahwa proses membangsa adalah proses hasrat bersama untuk bersatu. Bersatu bukan hanya dalam arti fisik, melainkan ada toleransi aktif untuk saling menerima, menghargai dan ikut memelihara persatuan tersebut. Indonesia merupakan negara yang dihasilkan oleh keringat dan bekas tangan-tangan kolektif. Bukan tangan agama tertentu, bukan pula keringat suku tertentu. Indonesia adalah mahakarya huruf-huruf alfabet tanpa terkecuali. Dalam wilayah NKRI, ada 17.667 pulau. Ada 210 juta jiwa penduduk. Ada 1128 suku bangsa. Ada 6 agama resmi dan 234 aliran kepercayaan yang terdaftar. Ada lebih dari 746 bahasa daerah. Keberagaman ini adalah sebuah hadiah terindah sekaligus bencara terburuk jika tidak dikelola dengan baik. Untuk itulah selama bertahun-tahun para founding fathers dan mothers berdialektika untuk merumuskan ke-Indonesiaan seperti apa yang hendak kita didirikan.
Proses membangsa bukanlah proses yang dianggap final. Pecahnya Uni Soviet bisa menjadi contoh paling nyata untuk kondisi Indonesia. Berbangsa harus terus menerus dikelola dengan berbagai macam artikulasi kepentingan yang ada. Hari ini ujian itu semakin berat, setelah selama orde baru kita diseragamkan dalam jubah atas nama pembangunan-isme. Kini, kita dihadapkan dengan menguatnya sentimen dan kekerasan dengan perebutan klaim kebenaran atas suatu keyakinan kelompok. Masyarakat Indonesia yang dikenal toleran dan mempunyai kearifan lokal dalam menanggapi perbedaan-perbeadaan, kini dengan cepatnya telah berubah menjadi pemarah dan agresif. Sedikit saja disulut dengan isu-isu yang sensitif – seperti kebebasan beragama dan berkeyakinan – masyarakat dapat dengan mudah menjadi berapi-api, seperti rumput kering yang mudah terbakar. Nampaknya sudah tak ada ruang bagi masyarakat untuk menjaga ke-bhinekaan yang tunggal ika, seperti yang dahulu diwariskan oleh pendahulu negri ini. Hingga pada hari ini, yang terlihat pada wajah masyarakat Indonesia kini adalah kelompok mayoritas yang coba menggulung kelompok minoritas, yang berbeda coba dipaksakan untuk sama, dan yang beragam coba untuk diseragamkan.

            Dimana Identitas Bangsa ?

Identitas bangsa pada hakekatnya merupakan manifestasi nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang dalam aspek kehidupan suatu bangsa, dengan ciri-ciri khas yang membedakan suatu bangsa dengan bangsa lain dalam kehidupannya. Berdasarkan pengertian yang demikian, maka setiap bangsa di dunia memiliki identitas sendiri-sendiri sesuai dengan keunikan, sifat, ciri-ciri serta karakter dari bangsa tersebut.
Identitas bangsa sangat ditentukan oleh proses bagaimana bangsa tersebut terbentuk secara historis. Identitas bangsa berhubungan dengan pengalaman sebuah bangsa di masa lalu. Pengalaman bangsa di masa lalu mengendap menjadi karakter, sifat, dan nilai-nilai hidup bersama. Berdasarkan hakikat pengertian identitas bangsa sebagaimana dijelaskan di atas maka identitas suatu bangsa tidak dapat dipisahkan dengan jati diri bangsa atau lebih kepribadian suatu bangsa.
            Fungsi identitas bangsa sebenarnya untuk mewujudkan integrasi nasional. Penerimaan akan identitas sebagai faktor perekat membuat pondasi berbangsa dan bernegara menjadi semakin kokoh. Namun proses perekatan identitas itu dicederai pada saat rezim orde baru membajak nilai-nilai yang sekian lama coba ditumbuhkembangkan. Salah satunya dengan melakukan penyeragaman atas tafsir tunggal pancasila versi orde baru yang jauh melenceng dari apa yang telah digariskan oleh para pemimpin bangsa sebelumnya. Keberagaman dipaksa dengan keseragaman menggunakan apa yang dikataka oleh Althusser sebagai Idelogy State Aparatus (ISA) melalui doktrinisasi Pancasila versi orba dan untuk memperkuatnya rezim orde baru menggunakan Ideology Represive Apparatus (IRA) dengan penggunaan tekanan militer.
            Sebagai akibatnya, masyarakat kehilangan jati dirinya. Masyarakat terus dijejali dengan berbagai karakter dan nilai-nilai militeristime sebagai alat ikat bangsa. Perasaan pentingnya persatuan dalam ke-bhinekaan yang sejatinya merupakan alasan dasar kita menjadi bangsa Indonesia, namun pada masa Orde Baru ternyata ke-bhinekaan tersebut justru dianggap sebagai sebuah ancaman yang terus merongrong kekuasaan. Rezim Orde Baru dengan sifat meliteristiknya yang monolitik, terpusat dan penyanjung utama tindak kekerasan, telah memaksa kita untuk sama dan menghilangkan nilai-nilai ke-Bhinekaan yang dianggapnya sebagai ancaman.
Selama itu pula Orde Baru  telah menciptakan lingkungan yang monolitik, yang tidak mengenal dalam dirinya sifat oposan bahkan kompetisi terbuka. Dalam konteks ini termasuk pula penolakan terhadap semua bentuk perbedaan perspektif dan ideologis. Segala bentuk realitas heterogen diingkari. Hal ini telah melahirkan masyarakat yang tidak memiliki kemampuan untuk menerima perbedaan yang ada. Perbedaan baik itu agama, ras, etnis, adalah sesuatu yang demikian melahirkan perbedaan berat, bahkan kecurigaan yang kehilangan rasionalitas.
Setelah tumbangnya orde baru, masyarakat yang tadinya sudah kehilangan jati diri, berhadapan dengan nilai-nilai lama yang sudah pudar, tetapi nilai baru belum datang. Ini kondisi yang disebut oleh tokoh sosiologi, Robert Merton sebagai kondisi Anomie. Salah satu identitas yang paling parah mengalami destruksi adalah nilai-nilai keberagaman (bhineka tunggal ika). Masing kelompok ingin menetapkan identitas kelompoknya di tengah belum kekosongan nilai-nilai. Fakta yang terjadi, masyarakat begitu mudah marah terhadap saudara setanah airnya sendiri dengan melahirkan peristiwa yang membuat kita miris.
            Selain faktor dari dalam tersebut, rapuhnya nilai-nilai toleransi juga dipengaruhi dari luar. Globalisasi menawarkan nilai universal yang harus dianut semua bangsa. Artinya, tidak akan ada kearifan lokal yang ditawarkan oleh globalisasi karena merupakan penyatuan budaya yang disebut budaya dunia. John Naisbitt berpandangan dalam era globalisasi telah terjadi kecenderungan paradoksal.Salah satunya dengan derasnya trend ke arah terbentuknya kota buana (global city) akibat dari kemajuan teknologi transformasi dan informatika. Namun sisi lainnya,masyarakat modern semakin merindukan nilai-nilai dan gaya promordial,terutama pada romantisme etnis. Bahkan Naisbitt menyerukan trend ini telah begitu mengeras sehingga menjelma bagaikan virus tribalisme.
Selain itu Arnold Toynbee mengutarakan, kebudayaan akan berkembang apabila ada keseimbangan antara challenge dan response. Kalau challenge terlalu besar, sedangkan kemampuan untuk me-response terlalu kecil, kebudayaan itu akan terdesak. Tetapi jika yang terjadi sebaliknya, justru akan menumbuhkan kreativitas masyarakat . Saat ini kita bisa saksikan bagaimana generasi muda kita menghamba pada selera pasar dan budaya-budaya yang dijajakan kapitalisme. Hal ini dalam jangka panjang akan menggerus kita punya budaya. Nilai-nilai kolektif jangan sampai digantikan oleh nilai-nilai individualisme. Oleh karena itu, seperti yang dikatakan Toynbee, kita harus punya kemampuan merespon dan mengelola budaya-budaya yang masuk dari luar tersebut. Maka, agar tidak terombang ambing, kepribadian kita harus kuat terlebih dahulu.
Sesudah 13 tahun berlalu, reformasi juga ternyata belum mampu mengembalikan identitas bangsa yang telah lama diberangus dari kepribadian masyarakat. Faktanya mulai marak kekerasan berlabel kelompok yang mengatasnamakan agama. 

Data Peningkatan Angka Kekerasan Atas Nama Agama
-        Setara Institute melansir jumlah kekerasan mengusung agama pada tahun 2010 telah terjadi sebanyak 286 kali di negeri ini. Pelanggaran kebebeasan beragama itu cenderung meningkat disbanding tahun 2009 yang menurut Setara Institute terjadi 17 kasus. Sementara pada tahun 2008, The Wahid Institute melansir 59 kasus kekerasan yang dilakukan organisasi masyarakat tertentu, dengan dalih agama.
-         Moderate Moslem Society (MMS) mencatat sekitar 81 kasus intoleransi beragama di Indonesia sepanjang 2010. Angka ini naik 30% dari tahun sebelumnya yang hanya mencapai 59 kasus. Berdasarkan siaran pers yang diterima kemarin, MMS juga mengatakan ada tiga daerah yang paling tinggi tingkat intoleransinya yakni Jawa Barat (73 kasus), Sumatera Barat (56 kasus), dan Jakarta (45 kasus).
-        Laporan Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri di depan rapat gabungan Komisi DPR RI dan pemerintah mengungkapkan di tahun 2007 tercatat 10 tindakan kekerasan dilakukan ormas. Jumlah tindakan kekerasan menurun menjadi 8 di tahun 2008, namun meningkat tajam menjadi 40 tindakan kekerasan ormas di tahun 2009. Dan di tahun 2010 saja yang baru berlangsung tengah tahun pertama telah terjadi 49 tindak kekerasan yang dilakukan ormas. Dan Kapolri secara tegas menunjuk salah satu ormas Islam sangat dominan dalam melakukan 107 tindak kekerasan tersebut.

            Kemana Negara, Tokoh Agama Dan Guru Bangsa ?

            Dalam pembukaan UUD 1945 dikatakan “untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Dalam hal ini negara sebagai organisasi yang dibentuk karena ketidakmampuan orang per orang untuk menyelesaikan masalahnya, harusnya tampil ke depan sebagai pemecah masalah. Namun, hari ini wajah negara adalah wajah negara yang abstain. Negara hadir tetapi memilih tidak melakukan apa-apa.    
Tokoh agama sebagai benteng moral juga tidak banyak berperan dalam  memberikan pemahaman kehidupan bermasyarakat yang benar. Ini akibat derasnya godaan berpolitik sehingga lupa akan tugas dan tanggung jawabnya sebagai “penjewer kuping” pemerintah ketika berjalan di jalan yang salah. Selain itu, tanggung jawab dan pengaruh  kepada umat juga dirasakan semakin memudar. Umat tidak lagi tunduk pada tokoh agamanya, karena disekitarnya banyak tokoh agama yang justru bermain mata dengan apa yang diajarkannya. Sedangkan guru bangsa, kini mulai kekurangan stok.
Menurut Romo Franz Magnis Suseno, masalah-masalah ke-bhinnekaan mencakup tiga hal; masyarakat, tokoh dan negara. Dari sisi masyarakat dan ketokohan, bahwa tradisi yang ramah adalah pondasi penting yang telah dimiliki masyarakat Indonesia. Fakta akhir-akhir ini, tak lepas dari kodrat manusia yang memang sempit, sesuatu yang belum diketahui menjadi dicurigai. Lebih jauh, perubahan dan persaingan menjadikan orang lebih mudah untuk tidak toleran. Ketakutan akan ketertinggalan dan oleh karenanya ketertindasan menjadi pemicu menurunnya tingkat toleransi. Oleh karenanya masyarakat perlu dibantu, baik oleh panutan maupun negara untuk kembali menumbuhkan sikap-sikap toleransi dalam masyarakat yang belakangan hari ini mulai tergeser dari tempatnya. Toleransi disini harus dipahami sebagai toleransi aktif bukan pasif. Jika pasif, maka seseorang sadar dan menerima dirinya dan orang lain berbeda. Sedangkan toleransi aktif, selain sadar akan perbedaan, juga aktif dalam memelihara perbedaan tersebut agar tidak menjadi faktor perusak kohesi bermasyarakat.

Kembali Pada Bhineka Tunggal Ika Sebagai Identitas

            UUD 1945 pasal 36 dengan tegas menempatkan Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan bangsa Indonesia. Ke-bhinekaan yang Tunggal Ika seperti yang tertulis dalam kitab Sutasoma karangan Mpu Tantular pada masa Kerajaan Majapahit di abad ke-14, merupakan identitas asli bangsa ini yang sudah tertanam sejak lama dalam pribadi setiap rakyatnya. Sebuah identitas suatu bangsa yang berdiri diatas keaneka-ragaman yang mungkin tidak akan kita jumpai pada belahan dunia manapun. Di dalam Bhinneka Tunggal Ika pula terdapat sejarah panjang bangsa ini. Sejarah akan sebuah bangsa yang berdiri diatas tanah yang pernah dikuasai oleh kerajaan Hindu, Budha, Islam, Portugis, Inggris, Spanyol, Jepang dan Belanda. Tentunya semua itu mempengaruhi segala aspek kehidupan masyarakat di Indonesia, baik dalam budaya, bahasa, agama dan keyakinan dll. Perubahan yang terjadi pada masyarakat Indonesia dari masyarakat yang berkepercayaan dinamisme dan animisme hingga menjadi penganut agama-agama import bawaan saudagar-saudagar china, timur tengah, dan barat, juga semakin memperkaya bangsa ini dalam ranah ilmu pengetahuan alam dan sosial maupun teologi. Perlahan demi perlahan toleransi antar umat beragamapun berkembang pada masyarakat Indonesia, seiring dengan semakin derasnya ajaran-ajaran agama baru yang menginvasi Indonesia.
            Jika kita pahami identitas bukanlah suatu yang selesai dan final dan keadaan yang dinegosiasi terus-menerus, maka wujudnya akan selalu tergantung dari proses yang membentuknya. Identitas bangsa Indonesia merupakan sesuatu yang perlu diwujudkan dan terus menerus berkembang atau seperti yang telah dirumuskan Bung Karno sebagai ekspresi roh kesatuan Indonesia, kemauan untuk bersatu dan mewujudkan sesuatu dan bermuatan yang nyata. Perwujudan identitas bangsa Indonesia tersebut jelaslah merupakan hasil proses pendidikan sejak dini dalam lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan formal dan in-formal. Untuk itu bagaimana, pemerintah, tokoh agama dan masyarakat bersinergi untuk kembali pada identitas kita yang asli yakni bangsa yang berbeda-beda tetapi satu jua. Dalam hal ini Terdapat tiga strategi dalam proses perubahan masyarakat (Zaltman, Gerald dan Kaufman, 1972 : 51-61), yakni :

A) empiric rational
Strategi ini membawa perubahan dengan informasi atau dengan data-data tentang suatu obyek, seperti melalui publikasi, ataupun sosialisasi. Cth : Sosialisasi 4 Pilar Berbangsa, Penggunaan media komunikasi dan informasi  sebagai sarana publikasi nilai-nilai,  sosialisasi perangkat peemerintah terkecil di lingkunganya, mendorong keluarga dalam penanaman nilai-nilai toleransi.
B) Strategi normative re-educative.
 Pada dasarnya strategi ini membawa perubahan dengan mengubah norma-norma yang dianut oleh masyarakat. Contoh : 4 pilar berbangsa diejawantahkan dalam produk peraturan perundang-undangan, Menggunakan pendidikan dan institusi keagamaan sebagai sarana pengubah norma, dsb.
C) Strategi power - coercive.
Perubahan dapat terjadi dengan adanya kekuasaan. Strategi ini berhubungan dengan kebijakan yang diambil oleh pihak yang mempunyai kekuasaan seperti Pemerintah. Disini tindakan sigap dan tegas aparat dalam menjaga kerukunan umat beragama dan menindak setiap pelaku yang mencoba mencederai hal tersebut.

Kita hendak mendirikan suatu negara "semua buat semua". Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, - tetapi "semua buat semua".
(Soekarno)
Adi Surya
Alumni FISIP UNPAD
Mantan Ketua GMNI 2007-2009