PEMIMPIN TANPA JIWA PANCASILA

Apa jadinya jika pemimpin publik “ogah” taat hukum ?. Padahal, sebagai suatu aturan tatanan sosial, hukum berusaha menimbulkan perilaku para individu sesuai dengan yang diharapkan melalui pengundangan tindakan-tindakan paksaaan. Austin (1885) pernah berkata bahwasanya “Setiap hukum atau peraturan merupakan perintah. Lebih tepatnya lagi, hukum atau peraturan merupakan suatu spesies perintah. Artinya, subjek hukum memiliki kewajiban untuk melaksanakan perintah yang sifatnya memaksa dan mengandung saksi tertentu tanpa ada embel-embel popularitas ataupun tekanan segelintir orang yang tidak puas.  Logikanya sederhana, jika subjek hukum tidak mematuhi putusan hukum yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang, maka subjek tersebut disebut melakukan pembangkangan terhadap institusi negara.
            Bagaimana jadinya perjuangan menuju sebuah negara hukum yang demokratis ketika warga negara dipertontonkan tayangan tingkah pemimpin yang “ogah” taat hukum.  Pelbagai penelitian menunjukkan, bahwa tinggi rendahnya kinerja etis suatu komunitas ternyata terutama ditentukan oleh perilaku kepemimpinan. Begitu pula, beberapa studi kasus menunjukkan bahwa tingginya kinerja etis suatu komunitas sangat tergantung pada tingginya kandungan etis dalam perilaku kepemimpinan (Stewart, 1996).  Dalam konteks ini, pembangkangan hukum oleh pemimpin turut memberi dampak terhadap perilaku etis warga yakni perilaku kepatuhan terhadap hukum yang semakin sumir.
           

Ada Tidaknya Political Will
            Fenomena pembangkangan ini jelas tampak dalam kasus pencabutan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) GKI Yasmin oleh Walikota Bogor.  Jemaat GKI Taman Yasmin, yang sudah memperoleh SK Walikota Bogor tentang Izin Mendirikan Bangunan (IMB) sejak 13 Juli 2006 tiba-tiba harus menghentikan proses pembangunan gereja. Hal ini menyusul dikeluarkannya pembekuan IMB oleh Kepala Dinas Tata Kota dan Pertamanan Kota Bogor pada 14 Februari 2008.
            Dalam kasus ini, semua upaya hukum sudah ditempuh dan menghasilkan keputusan yang sifatnya final dan mengikat. Adalah keputusan Mahkamah Agung yang memberi penolakan kasasi dan dilanjutkan dengan penolakan Permohonan Peninjauan Kembali (PK)  kepada Walikota Bogor dalam putusan MA nomor 127 PK/TUN/2009 tertanggal 9 Desember 2010. Artinya, ini bukan bicara tentang polemik dasar hukum lagi, melainkan berada dalam ranah political will walikota sendiri.
Adapun yang dijadikan alasan tidak dilaksanakanya putusan MA karena pertimbangan keresahan dan tekanan massa. Pertanyaanya, massa yang mana yang sebegitu kuasa itu ?. Sebagai pemimpin tertinggi di Kota Bogor, Walikota memiliki posisi sentral dalam pengambilan kebijakan dengan berpegang pada hukum yang berlaku terkecuali walikota sendiri yang biarkan dirinya dilecehkan dengan tunduk pada tekanan segelintir kelompok.


            Bukan Konflik Agama
Mencermati pelanggaran hukum yang dilakukan walikota, menjadi jelas buat kita bahwa ini sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan konflik antar agama. Tetapi juga tidak bisa dimaknai hanya sebagai pelanggaran hukum an sich. Melainkan memberitahu kita bahwa Ideologi Pancasila, UUD 1945 dan Bhinneka Tunggal Ika belumlah menjadi meja statis, leitstar dinamis (bintang pemandu). Kebijakan-kebijakan yang ditelurkan justru seringkali tidak mengandung spirit keadilan, bahkan dalam beberapa kasus justru berani melawan dan mengambil posisi vis a vis dengan konstitusi. Bahkan dalam kasus GKI Yasmin ini, jangan sampai membuat kita berpikir pemerintah lebih mudah memberi izin pembangunan mall, spa, café, diskotik dan tempat hiburan lainya daripada tempat beribadah. Pendirian rumah ibadah adalah hak azasi yang dijamin konstitusi. Walikota Bogor sebagai milik bersama masyarakat tidak boleh diskriminatif, apalagi terhadap minoritas. Walau jumlahnya kecil, mereka juga pemilik sah republik ini. Ikut berjuang dan ikut bertaruh nyawa.
            Bila kita sejenak merujuk pada referensi sejarah, Pidato  Bung Karno 1 Juni tentang Lahirnya Pancasila memberi kita pencerahan bahwa kita mendirikan negara semua untuk semua dimana tidak ada klaim kultural maupun stempel identitas tertentu di atas blanko republik ini. Dalam UUD 1945, Pasal 1 ayat 3 menyatakan Indonesia adalah negara hukum. Sedangkan dalam pasal 2 UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, jelas tercantum “Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum”.  Sementara Bhinneka Tunggal Ika, nilai-nilai luhurnya sudah lama ada di sanubari tiap-tiap rakyat Indonesia. Kesadaran akan hidup bersama di dalam keberagaman sudah tumbuh dan menjadi jiwa serta semangat anak-anak bangsa di negeri ini.
            Rujukan ideologis, kultural dan konstitusional memberi kita makna bahwa Indonesia punya cita-cita kolektif dimana semua golongan bisa hidup berdampingan dengan berlandaskan pada norma-norma hukum dimana sumber rujukanya adalah Pancasila. Untuk kasus Yasmin, kita bisa melihat jelas pantulan cermin kebijakan publik yang bertentangan dengan nilai, praktik-praktik yang hidup dan berkembang di masyarakat. Singkatnya, kebijakan pencabutan izin dan tidak mau mematuhi putusan MA berlawanan dengan cita-cita kolektif itu.

Kebijakan publik minus Pancasila
            Kebijakan publik menurut Thomas Dye (1981) adalah apapun pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan (public policy is whatever governments choose to do or not to do).  Dye kemudian mengutip apa yang dikatakan Harold Laswell dan Abraham Kaplan yang berpendapat hendaknya kebijakan publik berisi tujuan, nilai-nilai dan praktika yang ada dalam masyarakat. Ketika kebijakan publik berisi nilai-nilai yang hidup dalam masyakarat, maka kebijakan publik tersebut akan mendapat resistensi ketika diimplementasikan. Sebaliknya, kepentingan publik harus mampu mengakomodasi nilai-nilai dan praktika-praktika yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.
Nilai-nilai itu pernah digali oleh para founding fathers dalam sidang-sidang BPUPK yang menghasilkan rumusan Pancasila. Menurut Notonagoro, sebagai ideologi, Pancasila berfungsi sebagai staatfundamentalnorm. Pancasila dilihat sebagai cita hukum (rechtsidee) merupakan bintang pemandu. Posisi ini mengharuskan pembentukan hukum positif adalah untuk mencapai ide-ide dalam Pancasila, serta dapat digunakan untuk menguji hukum positif. Dengan ditetapkannya Pancasila sebagai Staatsfundamentalnorm  maka pembentukan hukum, penerapan, dan pelaksanaanya tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai Pancasila.
Dalam kasus GKI Yasmin, kebijakan Walikota Bogor untuk tidak melaksanakan putusan MA bertentangan dengan hukum yang otomatis mencederai hak azasi manusia dalam menjalankan agama dan kepercayaan sehingga dapat kita katakan bertentangan dengan nilai-nilai kebaikan bersama yang terkandung dalam Pancasila. Seharusnya setiap pemimpin menjaga keutuhan bangsa berdasar ideologi, memperkuat  prinsip demokrasi dan prinsip nomokrasi (negara hukum), mengutamakan keadilan sosial dan mendasarkan pada prinsip ketuhanan yang berkebudayaan.
Pembangkangan terhadap hukum dengan dalih menjaga ketertiban umum adalah sikap pengecut. Selama bangsa ini dipimpin oleh orang—orang yang berjiwa kerdil, jangan pernah berharap bangsa ini bisa besar. Demokrasi yang bersendi Pancasila harus dijalankan dengan hubungan mayoritas dan minoritas yang berimbang (majority rule, minority rights). DAlam hal ini berwujud kebijakan publik yang berkeadilan sesuai dengan nilai-nilai kekeluargaan yang terkandung dalam sila-sila Pancasila. Tanpa itu, demokrasi hanya akan jadi pepesan kosong bagi rakyat yang lapar rasa adil dan haus rasa nyaman.

            Adi Surya
Tenaga Ahli Anggota DPR-RI
2009-2014
Aktivis GMNI