Tahun Baru Kelabu

Tahun Baru Kelabu

Mudah-mudahan bukan tipes atau DBD. Sudah 3 hari aku terbaring di kamarku yang lembab. Kepala berat,cairan terus mengalir dari hidung,lemas dan sesekali diseingi oleh batuk. Kejadianya bermula sehabis fitnes bareng Agri. Tiba-tiba saja badanku terasa drop dan mulai bersin-bersin. Daya tahan tubuhku menurun dan biasanya sangat rentan dengan virus-virus yang ada di udara. Padahal makanan dan minuman untuk mendongkrak vitalitas belum mampu berbuat apa-apa.

Sementara orang-orang di luar sana asyik pulang ke kampung halaman,ada yang liburan dan menghabiskan tahun baru dengan semarak. Sebelum itu beberapa kejadian yang kurang baik menghampiriku. Aku bertanya dalam-dalam,jangan-jangan aku sedang diperingatkan oleh yang Kuasa? Bisa jadi. Sudah lama aku ga mengunjungi rumah bapa. Bahkan aku selalu merasa bisa tanpa bantuan-Nya.

Tadi malam menggigilnya luar biasa. Selimut tebal ini tak mampu membendung getaran di sekujur tubuhku. Sampai akhirnya jam 1 pagi baru bisa terlelap. Sungguh menderita banget dengan penyakit yang satu ini. Aku paling benci kalau udah diserang yang begini. Flu,sakit kepala,ingusan,panas,menggigil,batuk dan lemas.Alamak,lengkap sudah penderitaan,bunuh diri pun aku mau asal lepas dari derita ini.

Seperti biasa,tiap tahun baru tidak ada yang spesial buatku. Berbeda ketika aku berada di Medan. Tahun Baru adalah moment yang harus disambut dengan pesta dan hura-hura. Seolah kita yang tidak merayakannya dianggap kampungan dan ketinggalan zaman. Disini,mentalku sudah tertempa bak baja. Terserah orang mau ke palanet Jupiter bertamasya saat Tahun Baru, kalau aku merasa itu hanya hura-hura miskin substansi, ya cuek aja. Lebih baik kita berefleksi ria dan mengevaluasi sudah sejauh mana perjalanan kita. Apa yang berkembang dan apa yang masih kurang. Life must go on babeh...

Setelah mengevaluasi, aku mendapati ada sedikit kemajuan dan bayak kemunduran. Kemajuanku di tahun ini adalah aku berhasil jadi penulis di berbagai media massa. Tetapi kekurangan juga banyak seperti wawasan yang semakin berkurang,Skripsi yang belum kelar,bahasa Inggris yang jalan di tempat,kurang ada gairah untuk maju dan suka merasa puas. Padahal dulu saat masih zaman perjuangan,militansiku mencari pengetahuan dan bergerak sangat kencang. Apakah setiap zaman ada fase dan karakteristiknya ?Kadang aku berpikir di umur yang sekarang,berpikir yang praktis-praktis aja. Dan kita ga bisa kuasai semua hal.

Tahun baru ini aku mau berhenti dan kurangi hal-hal buruk. Aku harus bisa menantang diriku lagi. Harus mampu membuat perjanjian untuk maju. Harus selalu merasa kecil dan ga pernah puas. Harus berani berkata TIDAK pada setiap godaaan. Intinya,di tahun 2010 nanti,segala kekurangan akan tertutupi. Jadi judulnya bukan tahun baru kelabu lagi.. Semakin kita jatuh dan terpukul merupakan saat-saat paling tepat untuk melakukan turning point.Hari ini memang kita bukan siapa-siapa..Tapi tunggu aku akan buktikan kalau aku bisa buktikan aku ini siapa-siapa..

Lonceng Kematian Pendidikan Nasional

Lonceng Kematian Pendidikan Nasional


Pro kontra yang menyelimuti pemberlakuan status badan hukum pada penyelenggara dan /atau satuan pendidikan terjawab dengan ketukan palu sidang dari ruang DPR. Rancangan Undang-Undang BHP yang menjadi perdebatan di ranah publik akhirnya menjadi undang-undang yang mengikat secara hukum. Pengesahan ini dianggap sebagian kalangan sebagai bentuk halus dari privatisasi pendidikan yang semakin membuat pendidikan menjadi barang dagangan. Tampak jelas terlihat bahwa ada semangat untuk memaksa institusi pendidikan harus dikelola seperti korporasi melalui pengaturan tentang tata kelola,pengurus kekayaan,biaya operasional dan istilah-istilah baru yang cocok diterapkan pada perusahaan.

Jika kita menarik garis sejarah kebelakang, Badan Hukum Pendidikan merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 23 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyebutkan penyelenggara dan /atau satuan pendidikan formal yang didirikan pemerintah atau masyarakat harus berbentuk badan hukum pendidikan. Undang-undang inilah sumber pangkal dari penerapan otonomisasi institusi pendidikan. Dengan status BHP,maka semakin menelanjangi fakta lepas tanganya pemerintah dan memberi pembenaran bahwa BHP merupakan wujud dari demokratisasi pendidikan.

Kesalahan paradigima lainya adalah dijadikanya pendidikan sebagai salah satu sektor jasa. Proses meliberalkan pendidikan telah diinstitusionalkan dalam kebijakan-kebijakan yang sifatnya mengikat. Pada putaran WTO di Doha, disepakati bahwa pendidikan termasuk sektor jasa yang diperdagangkan. Artinya, pendidikan direduksi dan dijadikan komoditi transaksional dalam ruang pasar. Saat ini biaya bangku kuliah untuk memasuki perguruan tinggi negeri sudah semakin tak terjangkau dan diskriminatif. Universitas berlomba-lomba dalam membuka jalur-jalur yang dianggap bisa memberikan profit. Sementara jatah kursi untuk seleksi formal seperti SPMB jumlahnya semakin berkurang. Kuota bagi mahasiswa asing untuk kuliah, ditutupnya jurusan yang tidak menghasilkan profit dan pelibatan swasta dalam pengelolaan pendidikan dikhawatirkan akan membunuh jati diri perguruan tinggi sebagai lembaga pendidikan.Dengan demikian,kampus sedang menuju sebuah transisi dari yang awalnya untuk memenuhi hak-hak pendidikan warga negara menjadi sebuah perusahaan yang berorientasi profit.

Ada beberapa persoalan yang terkait dengan penerapan Undang-Undang BHP bagi masyarakat.Pertama,biaya pendidikan yang semakin mahal. Saat pemerintah berperan sebagai penjamin hak-hak pendidikan,subsidi merupakan jalan yang tepat untuk menekan biaya yang tinggi. Namun,ketika otonomi kampus yang jadi pilihan, institusi pendidikan akan berlomba mencari dana untuk tidak pailit, salah satunya adalah menaikkan biaya pendidikan. Kedua, pembukaan jalur-jalur pendidikan berbau dagang. Di Institut Teknologi Bandung kita mengenal Ujian Saringan Masuk (USM); di UPI ada Ujian Masuk (UM); dan di Universitas Padjadjaran ada Seleksi Masuk Universitas Padjadjaran (SMUP) yang biayanya tentu di atas rata-rata.

Ketiga, status pailit. Pendidikan sebagai hak warga negara menjadi tidak pasti karena adanya status pailit bagi insitusi pendidikan. Untuk itu dapat kita prediksi bagaimana peserta didik sangat rentan akibat ketidakpastian pendidikan,selain itu insitutusi pendidikan akan mencari jalur-jalur agar tidak pailit termasuk dengan membuka jurusan berorientasi pasar,menaikkan biaya pendidikan,sehingga dalam jangka panjang membentuk budaya bisnis dalam dunia pendidikan.

Untuk itu kita tidak bisa tinggal diam menyikapi persoalan ini. Selain melakukan aksi protes dengan berunjuk rasa ke pihak-pihak terkait. Gelombang protes juga harus dilakukan secara mengakar,yakni melakukan uji materil (judicial review) Pasal 53 UU Nomor 20 tahun 2003.Sebagai penganut negara kesejahteraan,sejatinya peran negara sangat berperan besar dalam mengurus dan memenuhi hak dan kebutuhan warganya. Bukan menyerahkan nasib warga ke dalam lubang hitam pasar yang ganas dengan diktum survival by the fittest atau siapa yang kuat dialah yang akan bertahan dan yang lemah akan tergilas mati.

Adi Surya

Mahasiswa Ilmu Kesejahteraan Sosial

Fisip Unpad

Kurban Sebagai Ibadah Transformatif

Kurban Sebagai Ibadah Transformatif

Apakah semakin tinggi animo masyarakat untuk menyembelih hewan kurban mencerminkan tingkat kesalehan yang semakin meningkat pula?.Pertanyaan ini tidak berpijak dari ruang kosong,melainkan hadir dari refleksi pemaknaan hari besar keagamaan oleh sebagian besar masyarakat kita. Seringkali konteks ibadah yang menjadi momentum untuk menemukan hikmah dalam ruang transendental kehilangan artinya yang substansial.Perayaan hari besar agama seperti Idul Adha kini menjadi ruang perebutan status dan simbolisasi prestise dengan menjadikannya hanya sebatas ritual yang kering akan makna.

Kata kurban berasal dari qaruba yaqrubu qurban wa qurbanan yang berarti mendekat atau pendekatan. Menurut istilah, kurban berarti melakukan ibadah penyembelihan binatang dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Ibadah kurban telah dituntunkan sejak Nabi Adam AS (QS Al Maidah: 27). Sedang ibadah kurban yang dilakukan umat Islam saat ini ittiba’ kepada sunah Nabi Ibrahim.Dalam QS Al Kautsar: 2, Allah SWT berfirman Fashalli lirabbika wanhar (maka dirikanlah salat karena Tuhanmu dan berkurbanlah). Sedang Rasulullah SAW melarang orang yang mampu berkurban tetapi tidak berkorban untuk mendekati musalanya (HR Ahmad). Namun demikian, Allah mengingatkan bahwa darah dan daging kurban tidak akan sampai kepada-Nya, yang sampai adalah ketakwaan (QS Al Haj 22: 37).

Dari sisi sejarah, hari kurban merupakan peringatan atas pengalaman rohani Nabi Ibrahim AS bersama anaknya, Ismail dan istri beliau, Siti Hajar, dalam menghadapi kesulitan akibat kekeringan di daerah Makah. Dalam bentuknya yang lebih lengkap, peringatan pengalaman tersebut dilaksanakan di Tanah Suci berupa ibadah haji bersama-sama oleh segenap umat Islam dari segala penjuru dunia. Berkurban- yang pada masa Nabi Ibrahim disimbolkan dengan mengorbankan seekor domba - memiliki nilai-nilai kemanusiaan yang begitu indah dan agung. Diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Ibrahim melalui mimpi yang haq untuk menyembelih anaknya, Ismail. Perintah itu sekaligus ujian bagi Nabi Ibrahim untuk rela mengorbankan anaknya demi memperoleh rida Allah yang kemudian Allah mengganti kurban tersebut dengan seekor kambing.

Sebenarnya kurban dalam arti “pendekatan”, tidak terjebak pada kedekatan pada Allah dengan mengharapkan pahala,melainkan juga dekat pada sesama manusia. Dalam arti,selain memiliki makna ritual,kurban juga memiliki makna sosial dalam wujud kepedulian sosial.Saat ini kondisi bangsa diselimuti oleh berbagai penderitaan yang semakin berat. Bencana alam, kemiskinan, kriminalitas kerah putih dan segudang krisis lainnya patut kita jadikan sasaran bantuan kita. Korban Lapindo Brantas masih tersingkir dari hak-hak yang seharusnya mereka peroleh.Mereka ditelantarkan begitu saja dan justru dianggap sebagai beban negara yang dikategorikan mengganggu. Banyaknya gelandangan dan pengemis di persimpangan jalan menampilkan parade keangkuhan negara dan masyarakat terhadap nasib mereka.Seorang ibu yang bunuh diri bersama anak-anaknya dikarenakan tidak bisa menyediakan sepiring nasi di meja makan adalah bukti lunturnya solidaritas sosial.

Namun,diseberang lainnya, gedung-gedung mewah berdiri angkuh,orang-orang kaya membuang muka saat si miskin mencoba mengulurkan tangan mengetuk pintu hati.Lembaran uang dihambur-hamburkan hanya untuk sebuah pesta pernikahan dan mengajukan pembenaran bahwa orang miskin harus berusaha sendiri tanpa subsidi negara demi tegaknya “ideologi perut” berjubahkan keserakahan yang bernama kapitalisme. Banyak pesta pora di negeri ini, tapi banyak pula pesta penderitaan di sisi lainnya. Lonceng kematian atas solidaritas kini mencapai titik nadir di negeri ini. Walau banyak yang berkurban,tidak lebih hanya dalam waktu yang sifatnya temporer.

Ada beberapa alasan mendasar ketika seorang umat untuk melakukan ibadah kurban. Pertama, sebagai sebuah kewajiban bagi seseorang yang telah memiliki kemampuan khususnya dalam aspek materi untuk berbagi terhadap sesama. Wujud dari alasan ini dengan cara menyembelih hewan dan membagikanya pada orang lain yang membutuhkan sebagai simbol kepedulian. Kedua, mensyukuri nikmat Allah. Kekayaan dan rezeki yang diperoleh di dunia ini semata-mata karena kehendak Allah. Dengan berkurban,manusia diingatkan agar selalu berbagi dengan sesamanya. Namun,banyak pula orang berkurban untuk alasan-alasan yang bertentangan dengan agama. Menjadikan hari Idul Adha sebagai prestise dan berselimut kepentingan duniawi adalah bentuk lain dari penyimpangan. Banyak orang berkurban,menyembelih ratusan hewan namun hanya untuk mencari popularitas, menjaga gengsi karena tidak mau ketinggalan arus. Ada pula yang menjadikannya sebagai lahan untuk membersihkan dan menutupi kebobrokan dari perbuatan negatif. Politisi, koruptor, kriminal rela menyumbang hewan kurban kepada masyarakat dengan iming-iming suara pada saat pemilu nanti. Artinya, kurban harus dilandasi oleh keiklasan dan kesucian hati untuk benar-benar peduli pada sesama.

Untuk membantu pemahaman berkurban ada beberapa hal yang bisa kita lakukan. Pertama, menjauhkan makna kurban hanya sebatas menyembelih hewan. Dalam konteks berkorban,tidak melulu harus berupa materi. Tenaga, waktu dan sumbangan gagasan bagi perbaikan kondisi lingkungan kita juga adalah salah satu cara mengaktualisasi semangat kepedulian kita. Pada zaman Nabi Ibrahim,ternak dijadikan kurban karena pada zaman itu simbol kekayaan tertinggi adalah orang-orang yang memiliki ternak seperti kambing. Namun, pada saat ini kekayaan tertinggi bisa bersumber pada materi dan buah pikir dalam bentuk solusi bagi penderitaan sesama. Kedua, menjadikan kurban sebagai sesuatu yang transformatif. Dalam artian, pengorbanan yang kita beri harus bisa mengerakkan perubahan sosial dan berkelanjutan.Alangkah lebih baik kita berkorban untuk jangka panjang dengan membantu orang yang menderita agar dapat menolong dirinya sendiri. Jadi bantuan bukan bersifat charity semata,namun bantuan yang dalam jangka panjang bisa membuat orang yang kita bantu menjadi berdaya dan mandiri.Semangat kepedulian sosial tidak dilakukan hanya setiap hari Idul Adha,melainkan sepanjang kita hidup dalam ruang ritual dan sosial.

Persoalanya bagaimana kita mengimplementasikan nilai-nilai semangat berkurban dalam kehidupan sehari-hari untuk meringankan nasib saudara-saudara kita.Bukan berbicara seberapa banyak hewan, seberapa menggunungya materi yang kita bagikan. Ibadah kurban semestinya menjadi lonceng kehidupan bagi momentum kita kembali menyadari hakikat sebagai manusia yang beragama dan bermasyarakat.

Adi Surya Purba

Ketua DPC GMNI Sumedang 2007-2009

Mengibarkan Perang Melawan Terorisme

Mengibarkan Perang Melawan Terorisme

Serangan teror yang terjadi di Kota Mumbai memberi pesan kepada dunia bahwa aksi-aksi kekerasan masih menebar ancaman bagi tiap orang di muka bumi ini. Padahal perang melawan terorisme global sudah intensif dilakukan oleh negara-negara dengan melahirkan regulasi baik bersifat regional maupun multilateral. Teror di India melahirkan anggapan tidak ada satu negara pun yang bisa bebas dari aksi-aksi terorisme. Dalam hal ini, kita harus memutar otak untuk menelurkan solusi-solusi bagi terciptanya tatanan global yang damai.

Dilihat dari konteks sejarahnya, Istilah teror (isme), pertama kali, populer pada masa Revolusi Perancis (1789-1794). Akan tetapi, praktik terorisme itu sendiri terjadi jauh sebelumnya. Dalam catatan sejarah, terorisme telah dipraktikkan manusia sejak zaman Yunani kuno. Xenophon (431-350 SM) misalnya, menuliskan dalam bukunya tentang terorisme dalam term "perang psikologis" untuk menaklukkan musuh.

Hari ini terorisme mengambil bentuk sebagai reaksi atas ketidakadilan dari negara-negara maju terhadap negara berkembang. Politik hegemoni Amerika dan negara-negara eropa menyebabkan munculnya arus balas dendam dengan dibalut penafsiran doktrin agama yang sempit.Selain itu perubahan sosial di era modern sekarang menyebabkan kondisi anomie yakni suatu keadaan di mana setiap individu manusia kehilangan ikatan yang memberikan perasaan aman dan kemantapan dengan sesama manusia lainnya, sehingga menyebabkan kehilangan pengertian yang memberikan petunjuk tentang arti dan tujuan kehidupan di dunia ini.

Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia dan kondisi sosial politik yang belum stabil menjadi ladang subur lahirnya prajurit-prajurit dengan ideologi kekerasan. Namun, untuk mengatasinya diperlukan kerjasama yang benar-benar erat, karena berhadapan dengan teroris ibarat berperang dengan gerilyawan yang tidak bisa diprediksi.

Ada beberapa garis besar yang bisa kita konsepsikan. Pertama, kita harus bisa memaknai bahwa lebih baik kita memberantas “proses pembuatan” daripada memburu pelaku teror.Dalam hal ini, peran keluarga,tokoh masyarakat dan ulama harus bisa mengambil peran utama dalam meningkatkan kualitas hidup seperti toleransi dan kesejahteraan.Kedua, peran aktif negara baik itu dalam menjamin kesejahteraan,membuat regulasi dan kolaborasi institusi seperti Badan Intelejen Negara (BIN) dan pembentukan perangkat/satuan anti teror.Ketiga,Mao Zedong yang mengibaratkan teroris dan masyarakat sebagai ikan dengan air di dalam kolam, di mana ikan adalah teroris, sementara air adalah masyarakat.Ikan dapat berenang ke mana saja apabila cakupan airnya besar sehingga untuk menangkap ikan harus dilakukan dengan mengeringkan airnya.Teroris dapat bergerak leluasa apabila masyarakatnya kurang memiliki kewaspadaan terhadap terorisme,begitu pula sebaliknya.Artinya,partisipasi publik dalam memerangi terorisme bersifat vital karena tanpa hal itu maka kinerja aparat keamanan akan kurang maksimal dalam memerangi terorisme.

Adi Surya Purba

Mahasiswa Kesejahteraan Sosial

Fisip Unpad

Aktivis GMNI

Posisis Strategis Buruh Dalam Hubungan Industrial

Posisis Strategis Buruh Dalam Hubungan Industrial

Aksi protes buruh yang terjadi di berbagai kota di tanah air menyelipkan pesan bahwa sampai saat ini kondisi kesejahteraan buruh masih jauh panggang dari api.Beberapa waktu belakangan aksi buruh marak untuk menuntut kenaikan upah minimum yang layak sesuai dengan tingkat kebutuhan hidup. Ada beberapa persoalan pokok seperti penolakan SKB empat menteri yang bertendensi lepas tangan negara sebagai pelindung kesejahteraan dan penentuan Upah Minimum Kota/Provinsi untuk tahun 2009.Tarik menarik kepentingan dalam beberapa persoalan mendasar membuat pengusaha, buruh dan pemerintah selalu terjebak dalam konflik yang berkepanjangan.

Gelombang aksi protes buruh tidak terlepas dari peran serikat pekerja. Seiring dengan reformasi, nafas demokratisasi di tingkatan buruh ditindaklanjuti dengan kebebasan untuk mendirikan serikat-serikat buruh.Sesuai pasal 5 Undang - Undang Nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh terdapat kebebasan para buruh untuk membentuk serikat kerja di tiap-tiap unit usaha dengan dukungan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang buruh. Kebebasan dalam membentuk serikat kerja ini betul-betul dimanfaatkan oleh buruh untuk mendeklarasikan serikat kerja sesuai warna dan kepentingan politiknya. Paling tidak kurang dari 20 (dua puluh) serikat kerja yang tampil mewakili aspirasi buruh,baik yang beririkan afiliasi agama,sosial demokrasi sampai yang pragmatis (Uwiyono, 2001).

Jika kita membedah kepentingan dari masing-masing pihak,akan terlihat warna kepentingan yang saling berkaitan.Pihak pengusaha dengan orientasi penumpukan keuntungan senantiasa memperlakukan buruh sebagai mesin dan terlihat kurang berpihak pada kesejahteraan pekerja. Buruh atau karyawan akan selalu dibimbing oleh nalar kewajiban perusahaan untuk memberi upah dan imbalan kerja yang layak. Sementara pemerintah sebagai regulator,berkepentingan menjaga kondisi pertumbuhan ekonomi makro melalui investasi korporasi.Namun,yang seringkali terjadi adalah kepentingan perusahaan dan pemerintah berada di atas kepentingan buruh.Semestinya, buruh dan pengusaha mencerminkan hubungan simbiosis mutualisme dan menghilangkan logika eksploitasi.Tentunya hal ini tidak akan terjadi jika hubungan industrial antara kedua belah pihak berjalan harmonis.

Secara sederhana,Suwarto (2000) menyimpulkan bahwa hubungan industrial dapat diartikan sebagai sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku proses produksi barang dan/atau jasa.Pihak-pihak yang terkait di dalam hubungan ini terutama adalah pekerja, pengusaha, dan pemerintah.Dalam membangun hubungan industrial yang harmonis,masing-masing pihak harus mampu menangkap dan saling empati terhadap masing-masing kepentingan.Namun,seringkali posisi buruh sebagai pencari pekerjaan berada dalam posisi yang inferior dihadapan pemilik perusahaan.Kebijakan menyangkut kesejahteraan buruh ditetapkan secara sepihak sesuai dengan kepentingan perusahaan tanpa mengkomunikasikannya dengan perwakilan buruh. Hal ini dalam jangka panjang dapat menyebabkan terjadinya perselisihan hubungan indusutrial.

Untuk mendesain posisi buruh yang memiliki daya tawar (bargaining position) yang tinggi di mata perusahaan, diperlukan kerjasama dari banyak pihak.Pertama,buruh harus memiliki serikat kerja/buruh yang betul-betul membawa aspirasi buruh.Serikat tersebut hendaknya berasal dari buruh sendiri dan tidak berasal dari perusahaan. Anggota serikat buruh hendaknya memiliki kapasitas sumber daya manusia yang paham akan hubungan industrial. Sehingga serikat buruh tersebut tidak dapat dipermainkan dan diintimidasi oleh perusahaan. Serikat buruh juga sebaiknya melakukan pendidikan,penyadaran dan peningkatan kapasitas bagi buruh.

Kedua,menggugat peran negara sebagai regulator untuk menghasilkan produk-produk aturan yang mampu menjembatani masing-masing kepentingan.Selama ini kebijakan pemerintah turut memicu kurang harmonisnya hubungan industrial buruh-perusahaan.Negara harus netral dalam perselisihan hubungan industrial dan tidak terjebak dalam salah satu kepentingan saja. Selanjutnya pihak perusahaan harus turut mendukung melalui komunikasi intensif dengan pihak buruh. Sejatinya buruh tidak akan dinakatirikan jika posisi buruh berada pada posisi yang strategis di hadapan perusahaan dan pemerintah.

Adi Surya

Mahasiswa Ilmu Kesejahteraan Sosial

Fisip Unpad.

Ketua GMNI

Kontroversi Iklan Politik PKS

Kontroversi Iklan Politik PKS

Upaya merebut simpati publik menuju pemilu 2009 semaik gencar dilakuan oleh kontestan politik. Salah satunya menyangkut pro dan kontra tentang iklan PKS yang dianggap tidak etis dengan menghadirkan tokoh-tokoh yang memiliki basis massa dari kelompok tertentu, juga perihal kontroversi mantan Presiden Soeharto sebagai pahlawan. Manuver PKS ini kemudian menggelinding menjadi wacana hangat di ruang publik. Pencantuman tokoh-tokoh seperti Soekarno, KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asyari dalam iklan tersebut memicu protes dari kalangan NU dan Muhammadiyah. Dasar protes tersebut menyangkut klaim figur yang selama ini menjadi identitas kelompok politik. Begitu juga dengan memunculkan Soeharto sebagai tokoh pahlawan yang dianggap sebagian pihak sebagai ketidakkonsistenan PKS menjaga amanat reformasi.

Manuver-manuver yang dilakukan oleh aktor politik tidak bisa kita lihat secara parsial. Tindakan politik dibimbing oleh adanya tujuan, yakni bagaimana partai bisa memenangkan tiket menuju kekuasaan. Jadi dalam membaca iklan PKS, tidak terlepas dari agenda pemenangan pemilu.Kontroversi pertama menyangkut tentang tokoh-tokoh bangsa yang memicu polemik. Sebenarnya sah-sah saja PKS memunculkan tokoh bangsa dalam iklan politiknya. Sebagai tokoh bangsa, Soekarno, KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asyari walaupun memiliki akar sejarah dengan kekuatan politik tertentu, namun tidak menghalangi masyarakat untuk menjadikannya sebagai milik semua pihak.

Pemunculan tokoh bangsa ini dimaknai sebagai perluasan pasar pemilih PKS. Dalam marketing politik, pembagian jenis-jenis pemilih dapat kita klasifikasi menjadi internal dan eksternal. Pemilih internal lebih dikenal sebagai konstituen yakni kelompok masyarakat yang merasa diwakili oleh suatau ideologi tertentu yang kemudian termanifestasikan dalam institusi politik seperti partai politik. Sedangkan pemilih eksternal terbagi atas konstituen partai lain dan pemilih non partisan yang ideologi dan tujuan politiknya tidak dikaitkan kepada suatu partai dan juga konstituen partai lain. PKS dikenal memiliki pemilih konservatif yang tidak mudah berubah haluan. Oleh sebab itu, untuk mencapai tujuan politiknya, pemilih eksternal kini menjadi sasaran. Upaya perluasan pasar PKS ini mulai terbaca ketika partai dakwah ini memunculkan wacana pergeseran platform politik ke arah nasionalis. Begitu pula saat PKS berkoalisi dengan PDS dalam pilkada di Papua. Tampaknya PKS mencoba mendekonstruksi ekslusivitas menjadi partai terbuka bagi semua golongan. Ada sebuah kesadaran jika PKS hanya berebut di pemilih Islam tradisional, maka PKS hanya akan berebut dengan PKB,PPP dan PBB. Dengan konstituen politik yang bisa dikatakan setia, tidaklah terlalu berpengaruh ketika partai ini melakukan manuver yang dianggap berlawanan dengan citra PKS.

Begitu pula dengan pemunculan tokoh yang mewakili kaum-kaum nasionalis, NU dan Muhammadiyah tidak lebih sebagai upaya merebut konstituen pihak lawan. Aksi protes NU dan Muhammadiyah juga tidak lebih dari kekuatiran dan kegeraman akan berkurangnya pemilih pada pemilu 2009. Kontroversi kedua menyangkut Soeharto. Walaupun gelar pahlawan hanya bisa diberi oleh negara, momentuh hari pahlawan dengan kemunculan Soeharto memberi benang merah bahwa PKS memiliki dua maksud. Pertama, merebut simpati keluarga cendana sebagai bentuk dukungan politik. Kedua, PKS sengaja agar iklan ini menjadi kontroversi yang terus bergulir sehingga menguntungkan partai.PKS menangkap ada kerinduan masyarakat arus bawah terhadap sosok Soeharto ditengah badai ketidakpastian kondisi politik dan ekonomi. Pembicaraan tentang iklan PKS tersebut tampak sedikit berhasil membuat publik membicarakannya.Padahal dilihat dari jangka waktu kemunculan iklan tersebut hanya selama tiga hari.

Terlepas dari kontroversi yang ada, kita sebaiknya belajar dan menguji efektivitas iklan tersebut dalam pendulangan suara sebuah partai dalam kampanye. Dalam marketing politik, kampanye diartikan sebagai ajang para kontestan untuk memasarkan produk-produk politik yang ditawarkan untuk memengaruhi publik agar membeli produk tersebut. Jika kita analogikan dalam ilmu marketing , produsen adalah partai politik, konsumen adalah rakyat dan pasar adalah masa kampanye. Logika ideal pasar adalah dimana produsen dan konsumen sama-sama memiliki hubungan simbiosis mutualisme. Dalam artian, produk politik ( isu atau program ) harus memberikan kepuasan pada konsumen. Dalam hal ini komunikasi politik berbentuk iklan harus dapat menyentuh kepentingan publik.

Menurut Lazarfefeld et al ( dalam Brader,2006) semua jenis propaganda pada dasarnya adalah permainan emosi publik. Baden (dalam Brader,2006) menambahkan bahwa iklan politik pada intinya lebih ditujukan untuk menggugah aspek emosional dibanding intelektual. Stimulus emosi dalam iklan politik pada umumnya terbagi dua,yaitu rasa takut dan harap. Rasa takut akan mendorong seseorang memilih sosok pemimpin yang mendatangkan stabilitas, sedangkan rasa harap akan menolong seseorang memilih sosok pemimpin atau partai yang mendatangkan perubahan. Pemunculan tokoh bangsa pada iklan PKS dibaca sebagai pemunculan harapan dan kerinduan akan sosok yang kuat dalam memerintah bangsa ini. Kebesaran sosok Soekarno sebagai pemimpin, keteladanan KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asyari dan stabilitas pada era Soeharto kemudian menjadi simbol untuk menggambarkan harapan dan kerinduan publik.

Namun, tidak selamanya kekuatan iklan selalu berkorelasi dengan tingkat keterpilihan. Jika tidak ditopang oleh aksi lanjutan, iklan politik PKS tidak akan berdampak signifikan bagi pendulangan suara. Dalam tulisan Muhammad Faisal, seorang analis psikologi politik di sebuah media nasional, mengatakan bahwa iklan politik harus memberi stimulus emosi ketimbang rasionalitas. Hal ini ditunjukkan dengan stagnasi dan penurunan popularitas sejumlah elit yang gagal menangkap faktor emosi sebagai bahan kampanye. Hasil survey Lingkar Survey Indonesia pada Oktober lalu menunjukkan bahwa popularitas Soetrisno Bachrir tetap stagnan pada angka 49 persen. Begitu juga dengan Rizal Malaranggeng dengan slogan “ Generasi baru, harapan baru” yang hanya mengantar popularitas Rizal pada angka 13 persen. Ini berbeda dengan iklan Gerindra yang cukup jitu menjadikan emosi publik dalam iklannya. Dalam iklan tersebut tampak Gerindra mencoba membangkitkan emosi rakyat melalui visualisasi semangat kerja petani dan gambaran akan kebangkitan Indonesia yang kemudian membuat pada September lalu popularitas Gerindra mencapai angka 65 persen.

Iklan PKS jika kita lihat tidak banyak menggambarkan sisi-sisi emosional pemilih. Dengan memunculkan tokoh-tokoh bangsa, rakyat tidak akan mudah berpindah haluan. Iklan politik akan lebih terasa jika ditopang jaringan pada akar rumput. Ditambah pemilih semakin rasional dalam menanggapi iklan politik yang membuat seorang pemimpin atau partai tidak akan menang dengan iklan semata. Iklan PKS sebaiknya tidak perlu direspon secara berkepanjangan. Iklan tersebut bagi penulis tidak lebih seperti iklan-iklan politik lainnya. Justru, kecaman terhadap iklan tersebut akan semakin menguntungkan PKS karena merasa sebagai pihak yang tampak selalu dijadikan musuh. Gaya politik PKS tersebut kiranya bisa dibaca kontestan lain sehingga tidak terjebak dalam alur main yang didesain untuk mengambil keuntungan.

Menggagas Politik Beras Untuk Mandiri

Menggagas Politik Beras Untuk Mandiri

Secara sederhana swasembada beras dapat didefenisikan sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan beras dalam negeri. Dalam sejarahnya, Indonesia pernah mengalami swasembada pada tahun 1984 di era Orde Baru. Sebagai perbandingan, jika tahun 1969 Indonesia hanya mampu memproduksi beras sekitar 12,2 juta ton, pada tahun 1984 bisa mencapai 25,8 juta ton kebutuhan sekitar 160 juta penduduk (saat itu) dan bahkan secara gotong royong petani Indonesia mengumpulkan gabah secara sukarela sebesar 100.000 ton untuk disumbangkan kepada petani dunia lain yang kekurangan pangan. Bisakah kita mengulang masa-masa era keemasan melimpahnya produksi beras ?

Pertanyaan tersebut mengindikasikan bahwa kondisi sekarang jauh dari nostalgia swasembada beras. Impor beras dari Vietnam beberapa tahun belakangan menggambarkan carut marutnya kondisi perberasan kita.Walaupun Menteri Petanian,Anton Apriantono mengklaim Indonesia sebenarnya sudah swasembada beras sejak tahun 2004, kita masih merasakan munculnya kerentanan-kerentanan jika produksi gagal panen ataupun ancaman dari perubahan-perubahan ekonomi dan alam.Artinya, kondisi ketahanan produksi beras kita, masih jauh dari aman.

Ada beberapa persoalan yang masih membelit kemandirian perberasan kita. Saat ini terjadi peralihan lahan pertanian menjadi pusat aktivitas ekonomi,pemukiman dan pembangunan fisik. Ditambah lagi dengan kegagalan panen,wabah hama,, minimnya infrasturuktur dan kondisi alam yang fluktuatif membuat kita rawan mengalami krisis beras.Liberalisasi pangan yang sekarang mulai berefek pada jatuhnya harga gabah petani menambah buram potret politik perberasan. Belum lagi aksi penyeludupan beras ke luar negeri karena harga di luar lebih menjanjikan dibanding harga dalam negeri.

Untuk keluar dari benang kusut permasalahan perberasan, kita perlu langkah-langkah jangka pendek dan jangka panjang. Pertama,menerapkan politik beras untuk menjaga stabilitas makroekonomi.Caranya dengan mengendalikan harga lewat penyeimbangan pasokan dan permintaan. Kedua, pengadaan infrastruktur tanaman pangan seperti pengadaan daerah dan jaringan irigasi,pencetakan lahan tanaman pangan khususnya padi, jagung, gandum, kedelai serta akses jalan ekonomi.Ketiga, membendung laju konversi lahan dan peningkatan produktivitas melalui penelitian dan pengembangan varieas unggul. Keempat, membuat kebijakan-kebijakan yang pro petani, seperti mengalokasikan anggaran buat sektor pangan ataupun subsidi pupuk yang cukup bagi petani. Diharapkan Indonesia bukan hanya bisa memenuhi kebutuhan “perut sendiri” tetapi sudah mampu berkontribusi buat “perut negara lain”.

Adi Surya Purba

Mahasiswa Kesejahteraan Sosial

Fisip Unpad

Aktivis GMNI



.

Republik Mencari Pemimpin Alternatif

Republik Mencari Pemimpin Alternatif

Sebenarnya wacana pemimpin alternatif tidak perlu muncul tatkala kepempinan nasional berjlan dinamis. Wacana ini justru semakin menegaskan bahwasanya Indonesia sedang mengalami stagnasi kepemimpinan, bukan karena kekurangan pemimpin tetapi lebih pada hegemoni status quo yang tidak pernah puas dengan hasrat berkuasanya. Alumni-alumni pilpres 2004 tampaknya masih akan mewarnai belantika pemilihan presiden dan wakil presiden 2009. Lihat saja Megawati yang kembali mencalonkan diri sebagai presiden. Padahal masih belum hilang ingatan kita penjualan aset-aset bangsa di zaman Mega memimpin. Kemudian ada Wiranto dan Prabowo yang merupakan wajah lama yang nyata-nyata adalah bagian dari Orde Baru dan diduga terlibat pelanggaran HAM. Hari ini Indonesia benar-benar mendambakan pemimpin alternatif.

Pemimpin alternative diartikan secara sederhana sebagai :yang bukan wajah lama”. Isu ini pun kemudian mendapat sambutan yang dinamis di tengah publik. Sambutan ini ditandai dengan munculnya keberanian untuk menerabas jalur lama dan memelopori gagasan baru.Saat ini ada tiga jalur yang sedang diperjuangkan sebagai lorong munculnya pemimpin alternatif. Pertama, jalur independen. Jalur ini adalah jalur non parpol dan baru berhasil sampai pemilihan kepala daerah saja.Kedua,kepemimpinan kaum muda. Pemuda dianggap mewarisi tugas dan tanggungjawab sejarah untuk memimpin dan membawa perubahan di negeri ini. Ketiga, calon dari parpol yang reformis dan bukan status quo. Calon dari partai ternyata masih diminati oleh publik,oleh karena itu jalur parpol juga masih ada harapan untuk melahirkan pemimpin alternatif.

Munculnya pemimpin alternative ibarat oase di padang tandus. Rakyat sudah bosan dan jenuh dengan calon “ lu lagi-lu lagi “. Namun, di tenghah harapan akan munculnya tokoh baru, perjuangan memunculkan calon alternative sangat susah. Hal ini terlihat dari syarat untuk mengajukan presiden adalah 20 persen dari kursi DPR. Begitu juga dengan calon independen yang terhambat oleh konstitusi untuk masuk bursa. Kaum muda pun tampaknya belum akan mendapat angin segar, karena partai politik lebih mengutamakan orang-orang yang punya uang dan massa. Artinya, calon alternatif kecil sekali kemungkinanya untuk tampil.

Ini merupakan bukti bahwa rakyat hanya diberikan kedaulatan semu untuk menentukan pemimpin. Kita hanya penoton dan objek politik dari ekdaulatan parpol. Sudah saatnya mencari dan mengusung pemimpin alternatif yang juga disertai dengan integritas, kapasitas dan akseptabilitas. Indonesia merindukan sosok ratu adil yang dating memebaw kemashalatan bagi tiap-tiap orang di republik ini. Jika status quo gagal, saatnya mencari pemimpin alternatif.

UU PORNOGRAFI DAN PEMBANGKANGAN SIPIL







UU PORNOGRAFI DAN

PEMBANGKANGAN SIPIL

Dengan diketuknya palu pengesahan RUU Pornografi menjadi Undang-Undang, menandakan sebuah titik klimaks pergulatan antara benar-salah, monotafsir-multitafsir, berfikir keliru-berfikir benar dan penyeragaman-perlindungan di tingkat legislatif. RUU pornografi menjadi kontroversial karena bersentuhan dengan moral dan ranah privat dalam sebuah bingkai keberagaman yang selalu menghadirkan ruang relativitas. Selain itu, RUU ini berhasil memecah rekor dalam lamanya pembahasan yakni selama 10 tahun yang melahirkan kubu pro dan kontra. Menarik ketika sinyal perdebatan mulai direduksi oleh publik menjadi peperangan pendukung syariat Islam dan pendukung pluralisme. Warna-warni inilah yang kemudian membuat RUU ini selalu tampak “seksi” dan “ panas” ketika disajikan di ruang publik. Namun, DPR seolah harus kejar tayang untuk buru-buru mengesahkan RUU tersebut, padahal didalamnya masih terkandung nada protes dari sebagian besar masyarakat.

Jika kita membalik ingatan kita pada awal kenapa pornografi harus diatur melalui undang-undang adalah adanya keprihatinan terhadap moral bangsa agar terlindung dari aksi-aksi porno. Pornografi dianggap sebagai salah satu masalah sosial (social problem) yang dikawatirkan menjadi bahaya laten demi terwujudnya generasi bangsa yang berakhlak dan bermoral. Dalam perjalannya, kekawatiran tersebut diartikulasi ke dalam bentuk undang-undang yang sifatnya mengikat dan menyeluruh. Perdebatan gagasan pun seperti “gayung bersambut” dalam ruang-ruang setuju maupun menolak. Bukan hanya di tingkat elit, namun gaungnya sudah menggema ke daerah-daerah yang memang rentan terkena imbas pengaturan terhadap apa yang disebut porno. Bali, Papua, Sulawesi Utara adalah sedikit daerah yang kritis terhadap RUU ini.

Gelombang yang merespon terbagi atas tiga kubu. Pertama, menolak RUU Pornografi, kedua, Revisi terbatas terhadap pasal-pasal yang dianggap bermasalah dan ketiga, mendukung RUU Pornografi segera. Sejarah perdebatan memang sangat alot. Sejak undang-undang ini masih bernama RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi sampai dirubah dan disahkan mejadi RUU Pornografi. RUU APP pada saat penyusunanya memang mengandung beberapa potensi disintegrasi dan kekeliruan berfikir. Salah satunya adalah tidak dijelaskan secara tegas tentang perlindungan adat, budaya dan kearifan lokal yang berpotensi terjerat pasal-pasal karet. Begitu pula tentang defenisi yang sangat multitafsir tentang apa batasan yang disebut porno. Kemudian setelah menerima kritik dan saran dari berbagai elemen masyarakat, RUU tersebut diubah menjadi RUU Pornografi untuk mengakomodir kelemahan-kelemahan pada rancangan sebelumnya. Meskipun demikian, RUU Pornografi masih dianggap belum kompatibel dengan apa yang diinginkan oleh beberapa pihak. Malah wacana penolakan pengesahan RUU ini kemudian mengalami distorsi yakni sikap menolak berarti mendukung pornografi. Sebuah kekeliruan berfikir yang tidak pada tempatnya.

Pokok –pokok perdebatan antara lain adalah mencakup hal-hal yang belum teruji di lapangan seperti argumen akan adanya penyeragaman, anarkisme sipil, salah hukum dan beberapa pasal lain yang berbau multitafsir. Perdebatan pasal multitafsir pertama menyangkut tentang defenisi pornografi. Kesalahan yang terjadi disini adalah DPR yang menganggap bisa mengatur persepsi individu terhadap suatu objek. Defenisi ini seolah menganggap bahwa respon seseorang dianggap sama dengan respon orang lain. Ini terlihat dari klausul “dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat". Kedua, pasal yang Pasal 4 (ayat 1h) tentang muatan "tampilan yang mengesankan keterlanjangan"; dan Pasal 10 terkait "eksploitasi seksual" juga pasal yang m,engatur tentang peran masyarakat. Seperti apa yang dimaksud dengan kedua frasa ini tidak dijelaskan dalam RUU ini. Lalu bagaimana menentukan suatu tampilan sudah "mengesankan keterlanjangan" dan "eksploitasi seksual"?. Peran masyarakat juga bisa menjadi bias karena apa yang dianggap porno atau tidak masih multitafsir. Padahal bahasa hukum haruslah menunjukkan ketegasan, bukan bahasa yang menimbulkan interpretasi yang beragam.

Ketiga adalah isu penyeragaman budaya. Memang pada RUU APP yang dulu, aroma penyeragaman sangat terlihat jelas, namun pada RUU Pornografi, daerah-daerah yang yang memiliki budaya telah diakomodasi. Budaya adalah hasil cipta karsa membentuk peradaban dan sejatinya bukan ditujukan untuk pornografi dan bukan salah satu pengecualian dari bentuk-bentuk pornografi. Namun, apa daya palu telah diketuk dan konsekuensi demokrasi memang tidak bisa memuaskan semua pihak. Keputusan di tingkat elit telah dibuat, sekarang bola menggelinding ke rakyat sebagai objek sekaligus subjek pemegang daulat. Beberapa tokoh masyarakat di Bali bahkan sudah menggelindingkan wacana pembangkangan sipil tanda tidak setuju dengan pengesahan tersebut. Menarik mendengar wacana pembangkangan sipil terhadap peraturan yang dibat oleh wakil rakyat sendiri. Ada aroma ketidakserasian antara wakil rakyat dengan suara rakyat.

Pembangkangan sipil terjadi ketika sebuah negara yang didirikan untuk mencapai kemakmuran, keadilan dan kesejahteraan berubah wajah menjadi kekeuatan besar yang menindas hak-hak warganya, membelenggu kemerdekaan dan merampas rasa keadilan masyarakat. Rawls(1971 : 333) menetapkan bahwa aksi pembangkangan sipil memiliki peran stabilisasi dalam sebuh pemerintahan yang hampir terbuka sebagai jaminan kerukunan anatara konstitusi dengan warga negara. Rawls mencatat bahwa ketidakadilan sengaja mengundang pembangkangan dan perlawanan. Senada dengan Rawls, Jurgen Habermars berpandangan pembenaran pembangkangan sipil terletak pada pemahaman yang dinamis tentang konstitusi sebagai sebuah rancangan yang tidak pernah berakhir. Dari perspektif jangka panjang ini, sebuah negara konstitusional tidak merepresentasikan suatu struktur yang sudah berakhir, tetapi suatu struktur yang lunak dan sensitif yang tujuannya adalah mewujudkan sistem hak yang baru dalam keadaan-keadaan yang berubah, yaitu menafsirkan hak yang lebih baik, melembagakan secara lebih sesuai dan mendesak isinya secara lebih radikal.

Dalam hal ketidaksetujuan rakyat terhadap pengesahan RUU Pornografi, pembangkangan sipil jangan sampai mengambil ruang-ruang sempit anarkisme, namun hendaknya memanfaatkan jalur-jalur konstitusional. Masyarakat bisa mengajukan judicial review dalam bentuk pengajuan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Disini publik menyerahkan kepada pihak ketiga yang berwujud lembaga negara yang berwenang untuk menguji sebuah undang-undang.

Adapun wacana otonomi khusus (otsus) belum menjadi sebuah kebutuhan yang mendesak karena selain poin budaya sudah diakomodir oleh undang-undang dan pemerintah daerah (pemda) bisa menjabarkan ke dalam bentuk peraturan daerah (perda) sesuai dengan karakteristik dan kearifan lokal yang dimiliki daerah-daerah yang merasa terancam akan budayanya. Lagipula, wacana otonomi khusus (otsus) ini bisa menjadi “latah wacana” bagi daerah-daerah lain yang mungkin saja berujung pada semangat disintegrasi.

Kita semua sepakat untuk memerangi pornografi. Namun, disini yang terpenting bukanlah tataran spiritnya, namun bagaimana proses yang mencerminkan rasa keadilan antar sesama warga negara. Sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam negara demokrasi, rakyat diharapkan berpartisipasi aktif untuk membangun ruang - ruang dialogis dalam bingkai keberagaman. Tanpa itu semua, setiap peraturan hanya akan menjadi otoritas murni elit politik karena melihat realitas ketiadaan bargaining position rakyat untuk mempengaruhi setiap kebijakan.


Adi Surya P

Ketua DPC GMNI Kab. Sumedang 2007-2009

Bidang Hukum dan HAM DPD KNPI Sumedang