Mencetak Kaum Muda Yang Berideologi

Mencetak Kaum Muda Yang Berideologi

Beri padaku sepuluh pemuda dan aku sanggup mengguncangkan Pegunungan Himalaya

(Soekarno)

Kepemimpinan kaum muda kini menjadi narasi besar dalam arus perpolitikan tanah air. Wacana ini lahir dikarenakan kejenuhan dan ketidakpercayaan terhadap tokoh-tokoh lama yang tidak pernah rela untuk melepaskan hegemoninya. “ Saatnya kaum muda memimpin” begitu nyaring dikampanyekan di setiap sudut negeri . Kaum muda dianggap sudah saatnya tampil ke depan membawa angin segar perubahan dan mencoba menjadi alternatif pilihan dalam kepemimpinan nasional. Apakah faktor usia begitu menjadi faktor determinan, sehingga menimbulkan dikotomi antara tua versus muda ?. Hal ini tentu saja menimbulkan pro dan kontra dari masing-masing pihak.

Kaum tua beranggapan bahwa setiap orang berhak untuk memimpin melalui proses demokratis tanpa ada batasan usia. Disamping itu, ia meragukan kemampuan kaum muda yang miskin pengalaman dan masih labil jiwanya, sehingga beresiko besar apabila diserahkan tampuk kepemimpinan. Sedangkan kaum muda menganggap kepemimpinan kaum tua telah gagal menghadirkan sebuah perubahan yang signifikan terhadap kondisi riil di masyarakat. Golongan tua dianggap mobil bekas yang sudah saatnya menikmati hari pensiun dan harus diganti dengan mesin-mesin yang lebih fresh.

Melihat pro dan kontra di atas, penulis tidak mau terjebak dalam perdebatan siapa yang lebih pantas memimpin bangsa ini. Kepemimpinan bukan semata urusan usia. Menjadi pemimpin setidaknya harus memiliki kapasitas, integritas dan visioner. Kaum tua dengan jam terbang yang lebih tinggi lebih dianggap merepresentasikan seseorang yang punya kapasitas, sedangkan kaum muda dianggap mencerminkan golongan yang lebih memiliki integritas dengan nilai-nilai idealisme. Namun, anggapan tersebut tidak merupakan sebuah hal yang pakem, karena ada tokoh senior yang kapasitas dan integritasnya mumpuni, karena itu kepercayaan masyarakat terus tinggi. Ada juga tokoh muda yang mendapat kepercayaan publik, tapi sayangnya enggan belajar untuk meningkatkan kapasitas dan menjaga integritasnya. Artinya, usia bukanlah faktor determinan apakah seseorang bisa menjadi pemimpin atau tidak.

Jika memang wacana kebangkitan kaum muda ini ingin serius untuk digarap, maka tentunya kabar baik bagi regenerasi kepemipinan di negeri ini. Kita harus jujur bahwa kaum muda belum mendapat tempat dalam posisi-posisi sentral dalam kancah politik tanah air. Setidaknya hal ini terlihat dari wajah-wajah lama yang mulai di gadang-gadang di pemilu 2009, juga ambisi anggota DPR yang sudah menjabat dua periode untuk kembali bercokol melalui jalur DPD. Bahkan, partai politik yang dianggap sebagai mesin kaderisasi calon-calon pemimpin, masih terkurung dalam budaya oligarki dan dinasti kekeluargaan. Ini merupakan sinyal warning dalam proses regenerasi dan kaderisasi untuk memunculkan tokoh-tokoh baru. Tersumbatnya proses sirkulasi elit akhirnya membuat kaum muda berontak dan menuntut kesempatan yang sama untuk bersaing merebut posisi-posisi strategis.

Jika kita mencoba menilik sejarah, sebenarnya kaum muda hampir selalu menjadi motor dalam menggemakan gong perubahan dan perlawanan. Maka, tak salah ucapan Benedict Anderson (1900) yang menyatakan bahwa sejarah Indonesia adalah sejarah pemudanya. Lihat saja, gagasan progressif sejumlah pemuda Indonesia di negeri Belanda yang mendirikan Indische Party yang bergulir bagaikan air bah menyadarkan kelompok pemuda dan mahasiswa yang lain. Saat itu, organisasi kaum muda dan massa tumbuh bagaikan jamur di musim hujan, menyambut konsep gagasan nasionalisme Indonesia yang di lontarkan oleh kaum muda. Kemudian dilanjutkan dengan sumpah pemuda sebagai tonggak awal kebangkitan kaum muda untuk berikrar di atas keberagaman, juga peristiwa Rengasdengklok yang berbuah penandatanganan dan pembacaan proklamasi kemerdekaan, tumbangnya orde lama dan yang terakhir adalah bagaimana kaum muda dengan heroik memaksa The Smiling General Soeharto untuk mundur dari kursi presiden demi mewujudkan reformasi. Artinya, peran pemuda dalam perubahan tidak bisa dipandang sebelah mata. Pemuda adalah salah satu kekuatan politik yang mejadi garda terdepan dalam perubahan sosial, politik dan ekonomi.

Persoalanya kemudian adalah kaum-kaum muda sendiri belum terkonsolidasi dan memiliki modal yang cukup untuk merebut kepemimpinan. Salah satu contoh nyata adalah makin luruhnya semangat nasionalisme di kalangan kaum muda. Kebanyakan malah terjebak dengan pola politik pragmatis senior-seniornya dan bahkan banyak yang terjebak dalam budaya hedonisme. Sehingga kemudian kaum muda mendapat stigma sebagai “ anak bau kencur” yang tidak memiliki kesiapan untuk memimpin. Persoalan kesiapan ini penting karena wacana saatnya kaum muda memimpin bukan hanya urusan bagaimana merebut kekuasaan dari kaum tua semata. Namun, pemuda harus memiliki arah dan orientasi perjuangan sehingga tidak gagap dan terseok-seok dalam menyelesaikan persoalan bangsa.

Dalam sebuah perjuangan, arah dan orientasi kaum muda harus jelas. Dalam artian, kaum muda harus memiliki keyakinan, nilai-nilai panduan dan tujuan yang jelas. Atau dengan kata lain, pemuda harus memiliki ideologi perjuangan. Kita bisa belajar dari tokoh-tokoh pemuda pada zaman pra dan pasca kemerdekaan . bagaimana Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka dengan idelogi dan keyakinannya masing –masing mencoba menawarkan sebuah konsep untuk kesejahteraan Indonesia. Salah satu perbedaan antara perjuangan kaum muda dulu dan sekarang yakni kaum muda dulu beranggapan bahwa ke-Indonesiaan belum selesai sehingga perlu ada sebuah konsep yang berupa ideologi yang harus diperjuangkan. Lain halnya dengan sekarang, setelah kehilangan musuh bersama secara fisik ( baca : penjajah belanda), generasi sekarang alpa dan buta terhadap musuh bersama yang lebih halus dan menggerogoti sendi-sendi berbangsa. Akhirnya, karena ketiadaan pegangan, kaum muda cenderung terombang-ambing dan lebih suka ikut arus tanpa ada pegangan teguh berupa idelogi yang ditawarkan bagi penyelesaian masalah-masalah bangsa. Idelogi kaum muda sekarang adalah pragmatisme dan hedonisme.

Untuk mencetak pemuda-pemuda yang memiliki ideologi, dibutuhkan wadah sebagai tempat penempaan dalam menjalani proses kaderisasi. Mesin kaderisasi dan distribusi calon-calon pemimpin masa depan sampai saat ini yang paling dinamis adalah partai politik. Kaum muda tidak semestinya antipati terhadap parpol. Terlepas dari track record partai-partai yang selama ini yang buruk, pemuda harus menjadikan partai sebagai wadah untuk bereksistensi. Partai memiliki sistem kaderisasi yang cukup baik dalam menghasilkan calon-calon pemimpin yang ideologis.

Namun, hari ini partai politik kurang memberi lampu hijau bagi kaum muda untuk berkiprah. Kaderisasi yang seharusnya di isi dengan doktrinasi yang sifatnya ideologis, mulai tergerus oleh pola pikir pragmatis. Seolah-olah partai hanya sebagai kendaraan mencapai kekuasaan, bukannya wadah kaderisasi dan penanaman nilai-nilai ideologis. Untuk menciptakan kader-kader muda yang ideologis, setidaknya ada beberapa hal yang sebaiknya kita perhatikan. Pertama, Membenahi partai politik. Sudah semestinya partai berbenah diri dengan melakukan perubahan besar-besaran untuk menghidupkan roda regenerasi dan menghancurkan oligarki dan dinasti kekeluargaan dengan demokratisasi. Partai harus bisa menjadi partai kader dan bukan hanya partai massa. Ini dimaksudkan agar orientasi partai adalah kaderisasi dan regenerasi yang berkeadilan.

Kedua, untuk menyokong kaum muda yang berideologi, maka kiprah pemuda dalam praktik politik juga penting. Hal ini untuk mensiasati jam terbang yang minim. Kita bisa memberi saran mengenai kuota kaum muda apakah di eksekutif, legislatif atau bahkan di tubuh partai politik. Ketiga, Membuat sumpah pemuda jilid 2. Kaum muda harus bersatu dalam keberagamannya. Seringkali karena perbedaan sudut pandang, perpecahan dan fragmentasi tidak bisa dielakkan. Padahal kita bisa belajar pada pemuda-pemuda yang mengadakan sumpah pemuda 1928. Keempat, untuk mendapat simpati publik, kaum muda perlu terus menerus untuk mengkampanyekan kepemimpinan kaum muda. Tentunya kaum muda juga harus mengimbangi dengan kualitas yang layak dibanggakan masyarakat. Kelima, bekerjasama dengan kaum tua. Kaum muda tidak bisa terlepas dari kaum tua. Pemuda harus ,menjadikan kaum tua sebagai soko guru yang membimbing arah petunjuk jalan. Bahkan, jika memang harus berkolaborasi dalam merebut kepemimpinan nasional untuk sebuah perubahan yang lebih baik, tentunya tidak akan jadi masalah.

Sekali lagi, saatnya kaum muda memimpin bukan urusan bagaimana merebut kekuasaan dari tangan kaum tua semata. Pemuda perlu memikirkan persiapan yang matang, agar tidak dikatakan nafsu besar, tenaga kurang. Keindonesiaan belumlah selesai dan takkan pernah selesai jika seluruh komponen tidak ikut andil dalam membenahinya. Untuk melakukan itu, kaum muda butuh ideologi dalam memperjuangakan konsep bagi Indonesia. Tanpa itu semua, kaum muda tidak akan ada bedanya dengan kaum tua. Sudah saatnya ideologi pragmatisme dan hedonisme digusur mejadi ideologi yang pro rakyat.

0 komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar Anda Di Sini :