MENYOAL RUU ORMAS


Eksistensi organisasi masyarakat (ormas) telah terlihat jauh sebelum Negara Republik Indonesia berdiri. Pada zaman pergerakan nasional, ormas merupakan alat perjuangan penting dalam mencapai Indonesia merdeka. Membentuk ormas kala itu adalah satu-satunya pilihan realistis yang harus diambil dengan pemikiran bahwa perjuangan tidak bisa dilakukan sendirian. Namun tentu saja, membentuk ormas dengan tujuan merdeka dari exploitation de l'homme par l'homme  merupakan suatu hal yang penuh resiko. Kontrol penjajah terhadap kebebasan berserikat dan berkumpul begitu ketat. Banyak yang dijebloskan di penjara dan beberapa dibuang ke pengasingan. Namun, ormas pulalah yang pada saat itu memberi andil melahirkan tokoh-tokoh pemimpin nasional serta rumusan model cara perjuangan ke arah cita-cita Indonesia merdeka. Tidak berlebihan kiranya jika kita  berkata tanpa ormas, belum tentu ada cerita tentang Indonesia Merdeka.
           Perkembangan masyarakat tak dapat dilepaskan dari peran ormas di setiap zaman. Kita mengenal Boedi Oetomo (1908) yang mencoba memperbaiki taraf pendidikan dan budaya untuk rakyat Jawa dan Madura, Syarikat Dagang Islam (1911) yang memiliki orientasi memperkuat perekonomian umat. Begitu pula halnya dengan organisasi lainnya seperti Perhimpunan Indonesia, Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama, yang turut menjadi obor dalam menerangi kelamnya kolonialisme dan imperalisme. Pasca-kemerdekaan, perkembangan ormas di Indonesia banyak mengalami pasang surut seiring bergantinya sistem pemerintahan. Zaman Orde Baru merupakan saat-saat di mana kebebasan berserikat dan berkumpul berada di titik nadir. Karakter otoritarian negara membuat semua kekuatan politik yang kritis dilemahkan. Ormas menjadi sasaran tembak dari pemerintahan yang arogan dan despotis. Negara melakukan pengontrolan, homogenisasi sampai pembekuan yang otoritas tafsirnya hanya ada di tangan pemerintah. Siapa melawan, pasti “digebuk”.
     Setelah reformasi menjungkalkan Orde Baru, tuntutan demokrasi semakin kencang. Penguatan inisiatif lokal dan HAM terus tumbuh, keterbukaan dan desentralisasi mengemuka menjadi wacana publik. Perubahan momentum yang drastis itu turut membawa angin segar bagi perkembangan ormas yang lama direpresi. Tidak hanya secara kuantitas, perkembangan ormas juga terlihat dari beragamnya visi misi yang diusung masing-masing organisasi. Makin berjamurnya ormas yang ada, seyogyanya juga diikuti dengan pengaturan dan penataan organisasi yang semata-mata berorientasi pada kepentingan publik. Sebelumnya, pengaturan ormas terdapat dalam UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Namun peraturan tersebut dinilai masih belum memadai untuk mengatasi masalah terkait dengan ormas dan dianggap tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan dinamika kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 
          Salah satu masalah yang nyata terlihat adalah makin eksisnya ormas-ormas yang jutsru memperlemah komitmen terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Isu kekerasan, ancaman terhadap pluralisme, serta spionase merupakan masalah terkait ormas yang harus segera diselesaikan. Dalam perkembangannya kini, DPR telah membentuk panitia khusus (pansus) untuk segera merampungkan revisi UU tersebut. Pentingnya revisi aturan ormas ini tidak lepas dari semangat kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat yang merupakan bagian dari hak asasi manusia serta dijamin oleh UUD NRI 1945. 
           Dalam evaluasinya, ada beberapa poin penting dalam revisi Undang-undang ormas yang harus kita kawal bersama. Pertama, menyangkut asas ormas. Orde baru melakukan politisasi ideologi Pancasila sebagai tameng untuk “homogenisasi” ormas dengan asas tunggal yakni Pancasila. Ormas yang melawan mendapat labelisasi “ekstrem kanan” atau “ekstrem kiri” dan dikategorikan membahayakan Ideologi negara. Label itu menjadi legitimasi pemerintah Orde Baru untuk memberangus ormas yang menentang tersebut. Antipati terhadap pemerintahan Orde Baru juga berimbas pada Pancasila yang dinilai sebagai produk Orba. Namun, perlu disadari bahwa Pancasila adalah dasar negara dan falsafah bangsa, dan bukan merupakan alat politik rezim. Oleh karenanya, penempatan Pancasila sebagai asas ormas dalam menjalankan kegiatan dan mencapai tujuannya, tidak mengandung tendensi politik yang merelasikannya dengan Orba. Tindakan terorisme mengatasnamakan Islam tentu tidak membuat kita anti-Islam. Maka, seharusnya dalam rumusan UU Ormas wajib mencantumkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai asas dasar ormas dan dapat membuat ciri ormas sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
      Kedua, mengenai ormas-ormas yang berafiliasi dengan partai politik. Banyak pihak berpendapat sebaiknya ormas tidak dijadikan kendaraan politik untuk melakukan kegiatan-kegiatan politik praktis. Karenanya, banyak kalangan menyodorkan definisi ormas tidak termasuk organisasi yang berafiliasi dengan parpol. Namun, yang menjadi pertanyaan, masuk dalam kategori apakah ormas yang berafiliasi dengan parpol jika UU melarang ormas berafiliasi dengan parpol? Dan bagaimana cara pengaturannya? Ormas parpol seperti Baitul Muslimin, Kosgoro, Garda Bangsa dan sebagainya, juga cerminan kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Agar tidak menimbulkan kekosongan hukum, perlu dibentuk pengaturan ormas yang berafiliasi dengan parpol dalam revisi UU Ormas.
        Ketiga, menyangkut masalah kegiatan dan keuangan ormas. Hal ini menjadi penting karena diduga banyak ormas yang menerima dana-dana yang tidak jelas pertanggungjawabannya. Selama ini dalam UU tentang Ormas, tidak diatur secara jelas tegas bagaimana dan lewat cara apa suatu Ormas mempertanggungjawabkan keuangannya. Lantas bagaimana kita mengatur keuangan ormas ?. Di dalam Bab Ketentuan Umum, Pasal 1 angka 3, UU Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, ormas yang seluruh dananya atau seluruh dananya bersumber dari APBN dan/atau APBD, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri dikategorikan sebagai badan publik. Kemudian pada pasal 9 UU ini diatur tentang informasi yang wajib diinformasikan oleh badan publik yang salah satunya mengenai informasi kegiatan, kinerja dan laporan keuangan secara berkala. Merujuk pada aturan tersebut, menarik untuk menggulirkan adanya semacam audit keuangan terhadap ormas dalam kapasitasnya sebagai badan publik. Hal ini bukan untuk mengekang ormas melainkan mencegah penyimpangan yang bertujuan menganggu kepentingan nasional. Oleh karena itu, pengelolaan keuangan ormas harus dikelola dengan semangat profesional, transparan, dan menjunjung tinggi prinsip tata kelola keuangan yang baik. Selama ini pun semua ormas juga menuntut adanya transparansi birokrasi, maka sudah sepatutnya transparansi tersebut juga berjalan di organisasinya.
            Keempat, larangan dan sanksi. Kebebasan mendirikan ormas tidak berarti tanpa aturan. Kebebasan sebagai hak juga melahirkan kewajiban sebagai bentuk pertanggungjawaban kebebasan tersebut. Merebaknya tindak kekerasan beberapa ormas belakangan ini membuat negara harus membuat rambu-rambu pengaturanya. Poin pentingnya adalah ormas bukan negara dan karenanya ormas tidak dibenarkan mengambil alih fungsi negara. Dalam RUU Ormas harus dicantumkan perihal larangan kegiatan ormas yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, melakukan  tindakan yang bisa menyebabkan disintegrasi bangsa,  mengganggu ketertiban umum dan merusak fasilitas umum dan menyebarkan isu-isu permusuhan yang berbau suku, agama dan ras. Selain itu, ormas juga dilarang menerima bantuan asing sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
       Adapun mengenai sanksi, sebaiknya ormas-ormas yang melakukan pelanggaran dikenakan sanksi bertahap mulai dari sanksi administratif sampai pembubaran ormas yang tidak dimonopoli pemerintah. Untuk itu perlunya dimasukkan mekanisme peradilan yang mencegah tafsir tunggal dari pemerintah atas tindakan ormas. Dalam UU ormas sebelumnya, pemerintah memegang kuasa otoritatif tanpa ada mekanisme peradilan. Selain itu, sanksi bagi ormas asing yang mengganggu kepentingan nasional juga perlu diatur. Sebaiknya negara tegas dalam menyikapi ormas asing yang membahayakan kepentingan nasional dengan cara mencabut izin dan melarang beroperasi di Indonesia.
          Kelima, pengaturan tentang ormas asing. Dalam Pasal 39 RUU Ormas, dikatakan Ormas asing dalam pelaksanaan kegiatanya wajib bekerja sama atau melibatkan ormas Indonesia. Namun yang harus dikawal adalah apakah ormas Indonesia yang diajak bekerja sama perlu dipilih berdasarkan syarat-syarat tertentu, semisal lama beroperasi dan statusnya sudah berbadan hukum. Hal ini untuk menghindari rekayasa pembentukkan Ormas Indonesia yang muncul tiba-tiba hanya untuk kepentingan terlaksananya kegiatan ormas asing di Indonesia yang bukan tidak mungkin mengganggu kepentingan nasional kita.
        Untuk itu penting kiranya dalam merevisi UU Ormas, pembuat undang-undang merujuk pada Pancasila dan UUD 1945. Hal ini agar hasil revisi mempunyai ruh dan semangat yang sesuai dengan nilai-nilai luhur yang hidup dan berkembang di masyarakat. Baik pihak pemerintah maupun ormas harus memahami, pengaturan terhadap salah satu elemen masyarakat ini diwujudkan bukan dalam makna yang represif dan subordinatif. Keduanya harus bekerja sama untuk mewujudkan sistem masyarakat yang ideal, madani, dan berdikari.

Adi Surya, S.Sos
Alumnus FISIP UNPAD

PEMIMPIN TANPA JIWA PANCASILA

Apa jadinya jika pemimpin publik “ogah” taat hukum ?. Padahal, sebagai suatu aturan tatanan sosial, hukum berusaha menimbulkan perilaku para individu sesuai dengan yang diharapkan melalui pengundangan tindakan-tindakan paksaaan. Austin (1885) pernah berkata bahwasanya “Setiap hukum atau peraturan merupakan perintah. Lebih tepatnya lagi, hukum atau peraturan merupakan suatu spesies perintah. Artinya, subjek hukum memiliki kewajiban untuk melaksanakan perintah yang sifatnya memaksa dan mengandung saksi tertentu tanpa ada embel-embel popularitas ataupun tekanan segelintir orang yang tidak puas.  Logikanya sederhana, jika subjek hukum tidak mematuhi putusan hukum yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang, maka subjek tersebut disebut melakukan pembangkangan terhadap institusi negara.
            Bagaimana jadinya perjuangan menuju sebuah negara hukum yang demokratis ketika warga negara dipertontonkan tayangan tingkah pemimpin yang “ogah” taat hukum.  Pelbagai penelitian menunjukkan, bahwa tinggi rendahnya kinerja etis suatu komunitas ternyata terutama ditentukan oleh perilaku kepemimpinan. Begitu pula, beberapa studi kasus menunjukkan bahwa tingginya kinerja etis suatu komunitas sangat tergantung pada tingginya kandungan etis dalam perilaku kepemimpinan (Stewart, 1996).  Dalam konteks ini, pembangkangan hukum oleh pemimpin turut memberi dampak terhadap perilaku etis warga yakni perilaku kepatuhan terhadap hukum yang semakin sumir.
           

Ada Tidaknya Political Will
            Fenomena pembangkangan ini jelas tampak dalam kasus pencabutan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) GKI Yasmin oleh Walikota Bogor.  Jemaat GKI Taman Yasmin, yang sudah memperoleh SK Walikota Bogor tentang Izin Mendirikan Bangunan (IMB) sejak 13 Juli 2006 tiba-tiba harus menghentikan proses pembangunan gereja. Hal ini menyusul dikeluarkannya pembekuan IMB oleh Kepala Dinas Tata Kota dan Pertamanan Kota Bogor pada 14 Februari 2008.
            Dalam kasus ini, semua upaya hukum sudah ditempuh dan menghasilkan keputusan yang sifatnya final dan mengikat. Adalah keputusan Mahkamah Agung yang memberi penolakan kasasi dan dilanjutkan dengan penolakan Permohonan Peninjauan Kembali (PK)  kepada Walikota Bogor dalam putusan MA nomor 127 PK/TUN/2009 tertanggal 9 Desember 2010. Artinya, ini bukan bicara tentang polemik dasar hukum lagi, melainkan berada dalam ranah political will walikota sendiri.
Adapun yang dijadikan alasan tidak dilaksanakanya putusan MA karena pertimbangan keresahan dan tekanan massa. Pertanyaanya, massa yang mana yang sebegitu kuasa itu ?. Sebagai pemimpin tertinggi di Kota Bogor, Walikota memiliki posisi sentral dalam pengambilan kebijakan dengan berpegang pada hukum yang berlaku terkecuali walikota sendiri yang biarkan dirinya dilecehkan dengan tunduk pada tekanan segelintir kelompok.


            Bukan Konflik Agama
Mencermati pelanggaran hukum yang dilakukan walikota, menjadi jelas buat kita bahwa ini sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan konflik antar agama. Tetapi juga tidak bisa dimaknai hanya sebagai pelanggaran hukum an sich. Melainkan memberitahu kita bahwa Ideologi Pancasila, UUD 1945 dan Bhinneka Tunggal Ika belumlah menjadi meja statis, leitstar dinamis (bintang pemandu). Kebijakan-kebijakan yang ditelurkan justru seringkali tidak mengandung spirit keadilan, bahkan dalam beberapa kasus justru berani melawan dan mengambil posisi vis a vis dengan konstitusi. Bahkan dalam kasus GKI Yasmin ini, jangan sampai membuat kita berpikir pemerintah lebih mudah memberi izin pembangunan mall, spa, café, diskotik dan tempat hiburan lainya daripada tempat beribadah. Pendirian rumah ibadah adalah hak azasi yang dijamin konstitusi. Walikota Bogor sebagai milik bersama masyarakat tidak boleh diskriminatif, apalagi terhadap minoritas. Walau jumlahnya kecil, mereka juga pemilik sah republik ini. Ikut berjuang dan ikut bertaruh nyawa.
            Bila kita sejenak merujuk pada referensi sejarah, Pidato  Bung Karno 1 Juni tentang Lahirnya Pancasila memberi kita pencerahan bahwa kita mendirikan negara semua untuk semua dimana tidak ada klaim kultural maupun stempel identitas tertentu di atas blanko republik ini. Dalam UUD 1945, Pasal 1 ayat 3 menyatakan Indonesia adalah negara hukum. Sedangkan dalam pasal 2 UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, jelas tercantum “Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum”.  Sementara Bhinneka Tunggal Ika, nilai-nilai luhurnya sudah lama ada di sanubari tiap-tiap rakyat Indonesia. Kesadaran akan hidup bersama di dalam keberagaman sudah tumbuh dan menjadi jiwa serta semangat anak-anak bangsa di negeri ini.
            Rujukan ideologis, kultural dan konstitusional memberi kita makna bahwa Indonesia punya cita-cita kolektif dimana semua golongan bisa hidup berdampingan dengan berlandaskan pada norma-norma hukum dimana sumber rujukanya adalah Pancasila. Untuk kasus Yasmin, kita bisa melihat jelas pantulan cermin kebijakan publik yang bertentangan dengan nilai, praktik-praktik yang hidup dan berkembang di masyarakat. Singkatnya, kebijakan pencabutan izin dan tidak mau mematuhi putusan MA berlawanan dengan cita-cita kolektif itu.

Kebijakan publik minus Pancasila
            Kebijakan publik menurut Thomas Dye (1981) adalah apapun pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan (public policy is whatever governments choose to do or not to do).  Dye kemudian mengutip apa yang dikatakan Harold Laswell dan Abraham Kaplan yang berpendapat hendaknya kebijakan publik berisi tujuan, nilai-nilai dan praktika yang ada dalam masyarakat. Ketika kebijakan publik berisi nilai-nilai yang hidup dalam masyakarat, maka kebijakan publik tersebut akan mendapat resistensi ketika diimplementasikan. Sebaliknya, kepentingan publik harus mampu mengakomodasi nilai-nilai dan praktika-praktika yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.
Nilai-nilai itu pernah digali oleh para founding fathers dalam sidang-sidang BPUPK yang menghasilkan rumusan Pancasila. Menurut Notonagoro, sebagai ideologi, Pancasila berfungsi sebagai staatfundamentalnorm. Pancasila dilihat sebagai cita hukum (rechtsidee) merupakan bintang pemandu. Posisi ini mengharuskan pembentukan hukum positif adalah untuk mencapai ide-ide dalam Pancasila, serta dapat digunakan untuk menguji hukum positif. Dengan ditetapkannya Pancasila sebagai Staatsfundamentalnorm  maka pembentukan hukum, penerapan, dan pelaksanaanya tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai Pancasila.
Dalam kasus GKI Yasmin, kebijakan Walikota Bogor untuk tidak melaksanakan putusan MA bertentangan dengan hukum yang otomatis mencederai hak azasi manusia dalam menjalankan agama dan kepercayaan sehingga dapat kita katakan bertentangan dengan nilai-nilai kebaikan bersama yang terkandung dalam Pancasila. Seharusnya setiap pemimpin menjaga keutuhan bangsa berdasar ideologi, memperkuat  prinsip demokrasi dan prinsip nomokrasi (negara hukum), mengutamakan keadilan sosial dan mendasarkan pada prinsip ketuhanan yang berkebudayaan.
Pembangkangan terhadap hukum dengan dalih menjaga ketertiban umum adalah sikap pengecut. Selama bangsa ini dipimpin oleh orang—orang yang berjiwa kerdil, jangan pernah berharap bangsa ini bisa besar. Demokrasi yang bersendi Pancasila harus dijalankan dengan hubungan mayoritas dan minoritas yang berimbang (majority rule, minority rights). DAlam hal ini berwujud kebijakan publik yang berkeadilan sesuai dengan nilai-nilai kekeluargaan yang terkandung dalam sila-sila Pancasila. Tanpa itu, demokrasi hanya akan jadi pepesan kosong bagi rakyat yang lapar rasa adil dan haus rasa nyaman.

            Adi Surya
Tenaga Ahli Anggota DPR-RI
2009-2014
Aktivis GMNI

Memperkuat Demokrasi Di Tengah Problem Kebangsaan

Apalah arti suatu “Sistem Demokrasi” tanpa jiwa demokrat
 (Churchill dan Anthony de Jasay)
               
Demokrasi sesungguhnya adalah kedaulatan rakyat. Dalam sebuah negara demokrasi, kekuasaan itu berasal dari, oleh dan untuk rakyat. Artinya, rakyat itu sendirilah yang menentukan arah penyelengaraan negara. Prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat dapat menjamin peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, sehingga setiap kebijakan yang diterapkan dan ditegakkan benar-benar mencerminkan perasaan keadilan masyarakat. Pertanyaan apakah lantas kemudian demokrasi menggaransi kesejahteraan rakyat ?. Belum tentu. Banyak faktor yang mempengaruhi terwujudnya demokrasi yang menyejahterakan itu, seperti penegakan hukum, budaya dan norma-norma yang ada. Namun, demokrasi dibandingkan sistem pemerintahan lainya adalah satu-satunya yang menyediakan akses partisipasi rakyat untuk menentukan cita-cita kolektif yang benihnya dibuat, ditanam dan dipanen oleh rakyat itu sendiri.
Salah satu teori dominan tentang demokrasi yang jamak diterima dalam wacana demokrasi adalah teori yang dikemukakan oleh Robert A. Dahl. Menurut Dahl, karakteristik inti dari demokrasi memuat tiga hal. Pertama, adanya persaingan yang sehat untuk meraih posisi-posisi dalam pemerintahan; kedua, partisipasi warga negara dalam memilih para pemimpin politik dan; ketiga, terselenggaranya kebebasan sipil dan politik, termasuk terjaminnya hak-hak asasi manusia (Martinussen, 1997: 195). Karakteristik yang dikemukakan Dahl tersebut, akan kita gunakan untuk melihat bagaimana perjalanan demokrasi di Indonesia.
Perjalanan demokrasi di Indonesia terus dan sedang mencari bentuk terbaiknya. Kita juga tidak bisa menutup mata bahwa kita memilih demokrasi memberikan perbaikan-perbaikan yang positif. Selama pemerintahan orde baru, demokrasi justru dijalankan dengan cara-cara yang anti demokrasi. Karakteristik adanya persaingan yang sehat dalam masa orde baru, tidak kita jumpai. Stabilitas menjadi mantra untuk mengharamkan kontestasi politik. Jargon yang ditanamnkan oleh orde saat itu adalah politic no, economy yes. Namun, di era reformasi dengan model demokrasi langsung, memberikan angin segar munculnya persaingan politik. Walapun masih banyak fenomena kecurangan dalam setiap kontestasi, tetapi keran persaingan sudah terbuka. Sesuatu yang mustahil ditemukan ketika rezim orde baru berkuasa.
Disamping itu, partisipasi warga dalam memilih pemimpin juga sangat rendah. Sejak 1955 hingga 2009, jumlah golput terus meningkat meski alasan untuk golput berbeda. Bila golput dihitung dari pemilih yang tidak datang dan suara tidak sah, tercatat 12,34 persen (1955), 6,67 persen (1971), 8,40 persen (1977), 9,61 persen (1982), 8,39 persen (1987), 9,05 persen (1992), 10,07 persen (1997), 10,40 persen (1999), 23,34 persen (Pemilu Legislatif 2004), 23,47 persen (Pilpres 2004 putaran I), 24,95 persen (Pilpres 2004 putaran II). Pada pilpres putaran II, angka 24,95 persen setara dengan 37.985.424 pemilih. Sedangkan pada Pemilu Legislatif 2009, bila jumlah golput sekitar 30 persen atau dikalikan dengan DPT sesuai dengan Perppu No 1/2009 sebesar 171.265.442 jiwa, maka jumlah golput pada 2009 setara dengan 51.379.633 pemilih (Kontan, 7/7).
Penyelenggaraan kebebasan sipil dan politik di era reformasi bisa dikatakan cukup baik jika dibandingkan dengan masa orde baru. Terbentuknya berbagai elemen masyarakat sipil dan terbukanya saluran berpolitik menjadi catatan positif buah demokrasi. Namun, kebebasan itu lebih dominan pada kebebasan politik dibandingkan kebebasan sipil. Hak-hak minoritas yang coba diancam beberapa waktu belakangan ini, belum memberi arti kebebasan bagi semua pihak. Selain itu, pemenuhan atas hak azasi manusia seperti hak atas penghidupan yang layak, persamaan dalam hokum, pendidikan, beribadat dan meyakini kepercayaan, memperoleh pekerjaan belum banyak tersentuh.
Atas nama demokrasi, orang bebas berbuat apa saja, sesuka hatinya dan terkadang memaksakan kebenaran tunggal miliknya. Seperti yang dikatakan oleh Michael Mann (2005) Sisi gelap demokrasi menjadi terbukti bahwa demokrasi memang pada dirinya mengandung sisi yang baik dan sisi yang jahat. Sisi yang baik nampak ketika demokrasi memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan umum. Sebaliknya, sisi yang jahat tampak ketika demokrasi diperjuangkan dengan cara-cara yang tidak demokratis, seperti kecurangan, manipulasi, kekerasan ataupun bentuk perilaku yang kontradiktif dengan semangat demokrasi.
Begitu juga halnya dengan penyelenggaraan negara. Walaupun dipuja sebagai negara demokrasi ketiga terbesar di dunia, lebih banyak dilihat dari pelaksanaan demokrasi prosedural seperti pemilihan umum yang relatif kondusif. Namun, ketika bicara demokrasi dalam ranah demokrasi substansi, maka sebutan negara demokrasi terbesar hanyalah puja-puji tanpa penilaian yang objektif. Perjalanan 13 tahun pasca reformasi belum memperlihatkan cahaya pengharapan di tengah gelapnya keputus-asaan. Jika terus menerus dibiarkan, menjadi benar apa yang dikatakan oleh george Sorensen, dosen senior dalam bidang politik internasional di Universitas Aarhus, Denmark, yang memperkenalkan frozen democracy.
Sorensen memperkenalkan konsep demokrasi beku yang menggambarkan kondisi masyarakat dimana sistem politik demokrasi yang sedang bersemi berubah menjadi layu karena berbagai kendala yang ada. Proses demokrasi mengalami pembusukan dikarenakan ketidak mampuan pemerintah yang berkuasa melakukan perubahan sosial, politik, dan ekonomi yang mendasar sesuai dengan tuntutan reformasi, terutama yang menyangkut kepentingan dan perbaikan nasib masyarakat miskin. Hal ini juga didukung oleh studi John Markoff dalam bukunya Gelombang Demokrasi Dunia (2002) menyebutkan empat indikator yang mendasari beroperasinya konsep demokrasi beku yaitu: kondisi perekonomian yang tak kunjung membaik, mandeknya pembentukan masyarakat sipil, konsolidasi sosial politik yang tak pernah mencapai soliditas, dan penyelesaian sosial politik hukum masa lalu yang tak kunjung tuntas.
           Indikator pertama, kondisi perekonomian tidak kunjung membaik. Demokrasi yang kita pilih sebagai suatu sistem pemerintahan masih sibuk berkutat pada wilayah politik. Ruang publik dipenuhi oleh problem menata pemilihan umum yang ideal, penataan hubungan antar lembaga negara, politik hukum dan bagaimana membenahi peran partai politik sebagai penyalur aspirasi rakyat. Padahal demokrasi juga harus menyelesaikan soal-soal ekonomi. Tingginya angka pengangguran, kemiskinan dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang memprihatinkan. Angka kemiskinan yang dikeluarkan BPS untuktahun 2010 menyatakan angka kemiskinan sebesar 31,02 juta orang (dengan garis kemiskinan Rp.7000/hari) dan data jumlah penduduk hampir miskin (near poor) sebesar 29,38 juta orang. Padahal,kalau kita adopsi garis kemiskinan US$ 2 per hari, seperti Vietnam dan negara Asia Tenggara lain, tingkat kemiskinan kita bisa meledak jadi 42% dari total populasi. Sedangkan angka Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada Agustus 2010 mencapai 7,14 persen. Sementara itu, laporan Pembangunan Manusia 2010 yang dikeluarkan UNDP menunjukkan bahwa indeks pembangunan manusia (IPM) Indonesia berada di peringkat 108 dari 169 negara yang tercatat. IPM merupakan indeks komposit yang mencakup kualitas kesehatan, tingkat pendidikan, dan kondisi ekonomi (pendapatan). Di lingkup ASEAN, Indonesia hanya berada di peringkat 6 dari 10 negara. Peringkat ini masih lebih rendah daripada Singapura (27), Brunei Darussalam (37), Malaysia (57), Thailand (92), dan Filipina (97).
            Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat produk Domestik Bruto (PDB) per kapita Indonesia pada 2010 mencapai US$3.004,9. Padahal menurut Wakil Presiden Boediono, sejumlah studi menunjukkan tingkat kemajuan ekonomi merupakan faktor penentu keberlanjutan demokrasi. Berdasarkan pengalaman empiris selama 1950-1990, rezim demokrasi di negara dengan penghasilan per kapita 1.500 dollar AS (dihitung berdasarkan purchasing power parity/PPP dollar tahun 2001) mempunyai harapan hidup hanya delapan tahun. Pada tingkat penghasilan per kapita 1.500-3.000 dollar AS, demokrasi dapat bertahan rata-rata 18 tahun. Pada penghasilan per kapita di atas 6.000 dollar AS daya hidup sistem demokrasi jauh lebih besar dan probabilitas kegagalannya hanya 1 : 500. Jika melihat pendapatan per kapita kita yang masih berada pada level US$2.349,6 pada tahun 2009 dan US$3.004,9 pada 2010, maka negara kita masih jauh dari batas aman.
           Indikator kedua, mandeknya pembentukan masyarakat sipil.  Pasca reformasi, pembentukan masyarakat sipil kembali bergeliat. Faultier (2001) dikutip Dzuriyatun Toyibah menjelaskan bahwa sejak reformasi 1998 tengah terjadi peningkatan fungsi masyarakat sipil . Meski demikian, masih terdapat segmen tertentu dari masyarakat sipil yang berwatak eksklusif dan membatasi partisipasi warga negara lainnya. Kebebasan justru digunakan sebagai sebuah cara untuk membatasi partisipasi negara lain. Sebagai contoh, fatwa-fatwa MUI, penyerbuan massa terhadap para pengikut ajaran-ajaran tertentu, kampanye-kampanye penegakan syariat Islam, menunjukkan trend pembangkangan kepada negara mengatasnamakan tafsir tunggal kebenaran tertentu. Masyarakat sipil tumbuh, tetapi tidak disertai ketertiban dan keadaban. Tindakan anarkis dalam menyuarakan aspirasi sampai pengambilalihan tugas Negara dalam menjaga ketertiban umum mewarnai konsolidasi demokrasi kita.
Agar pemerintahan berjalan efektif, sebuah rezim harus memiliki jangkauan pada masyarakat sipil. Bagi Zinecker (2007), tidak ada pemerintahan yang efektif jika dalam masyarakat sipilnya masih terdapat aktor-aktor yang bisa memveto kekerasan. Dalam rezim non-otoritarian, tindak kekerasan terbesar muncul dari aktor-aktor non-negara yang berada di dalam masyarakat sipil. Keadaban sebuah rezim politik dengan demikian bertumpu pada keadaban masyarakat sipil. Demokrasi yang berlangsung pada level negara tidak selalu berjalan seiring dengan demokrasi pada tingkat masyarakat sipil.
            Indikator ketiga, konsolidasi sosial politik yang tak pernah mencapai soliditas. Sistem pemerintahan presidensil dengan multipartai menciptakan iklim demokrasi yang tersandera kepentingan masing-masing partai. Akibatnya kondisi sosial politik menjadi ramai oleh hiruk pikuk. uan Linz dan Arturo Velenzuela (1994) berpendapat, sistem presidensial yang diterapkan di atas struktur politik multipartai (presidensial-multipartai) cenderung melahirkan konflik antara lembaga presiden dan parlemen serta menghadirkan demokrasi yang tidak stabil. Pandangan ini diperkuat Scott Mainwaring dan Matthew Soberg Shugart (1997) bahwa presidensial-multipartai akan melahirkan presiden minoritas (minority president) dan pemerintahan terbelah (divided government), kondisi di mana presiden sangat sulit mendapatkan dukungan politik di parlemen. Kegaduhan ini membuat agenda demokratisasi menjadi semakin sumbang. Selain itu, perilaku elit juga turut memperburuk keadaan. Banyaknya kasus pelanggaran hukum, buruknya moral dan kuatnya nalar pragmatisme tidak memberikan degradasi kepada agenda demokratisasi. Gajah-gajah bertarung, pelanduk mati terinjak-injak.
Indikator keempat, penyelesaian sosial politik hukum masa lalu yang tak kunjung tuntas. Menurut data dari Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) terdapat kasus-kasus yang sama sekali belum tersentuh proses hukum  seperti pembantaian missal 1965, penembakan misterius, kasus timor timur, Aceh, Papua, Dukun Santet, Marsinah and Bulukumba. Sementara kasus yang macet di Kejagung seperti Kasus Talangsari, Mei 1998, Semanggi I dan II dan Penembakan mahasiswa Trisakti.
Empat indikator tanda-tanda bekunya demokrasi tampak dalam perjalanan bangsa pasca reformasi.  Kompleksitas persoalan yang melilit, membuat demokrasi tersandera dan belum mampu menjawab masalah-masalah bangsa. Oleh karena itu, kita sebagai warga negara harus memikirkan bagaimana cara memperkuat “otot” demokrasi. Larry Diamond mengatakan, bahwa esensi konsolidasi demokrasi adalah terbentuknya suatu perilaku dan sikap, baik di tingkat elit maupun massa, yang mencakup dan bertolak dari metode dan prinsip-prinsip demokrasi. Oleh karena itu, agar demokrasi terkonsolidasi, Diamond mengatakan di mana para elit, organisasi dan massa, semuanya harus percaya, bahwa sistem politik (demokrasi) yang mereka miliki, layak dipatuhi dan dipertahankan, baik dalam tataran norma maupun dalam tataran perilaku. Diamond juga mengatakan, bahwa konsolidasi demokrasi mencakup tiga agenda besar, yaitu (1) kinerja politik dan ekonomi rejim pemerintah demokratis; (2) institusionalisasi politik (penguatan birokrasi, partai politik, parlemen, pemilu, akuntabilitas horizontal, dan penegakan hukum); dan (3) restrukturisasi hubungan sipil-militer yang menjamin adanya kontrol otoritas sipil atas militer di satu pihak dan terbentuknya civil society yang otonom di pihak lain.
            Namun, di atas semua itu, sistem demokrasi tidak akan bisa bertahan dan mungkin sekali bergeser ke arah otoratarianisme jika tidak dibarengi  oleh budaya demokrasi. Inglehart (2000:96) bahwa dalam jangka panjang, demokrasi tidak hanya didasari pada perubahan institusi atau perilaku elit politik, melainkan keberlangsungannya akan tergantung pada nilai dan kepercayaan dari masyarakat awam di wilayahnya. Dahl (1997: 34) memperkuat gagasan bahwa konsolidasi demokrasi menuntut budaya demokrasi yang kuat yang memberikan kematangan emosional dan dukungan yang rasional untuk menerapkan prosedur-prosedur demokrasi. Ia melandaskan penekanannya pada pentingnya budaya demokrasi pada asumsi bahwa semua sistem politik termasuk sistem demokrasi, cepat atau lambat akan menghadapi krisis, dan budaya demokrasi yang tertanam dengan kuatlah yang akan menolong negara-negara demokrasi melewati krisis tersebut. Implikasinya proses demokratisasi tanpa budaya demokrasi yang mengakar menjadi rentan dan bahkan hancur ketika menghadapi krisis seperti kemerosotan ekonomi, konflik regional atau konflik sosial, atau krisis politik yang disebabkan oleh korupsi atau kepemimpinan yang terpecah. Sejalan dengan pemikiran Dahl, Huntington (ibid: 258) memfokuskan pada isu budaya demokrasi dalam hubungan antara kinerja dan efektifitas pemerintah demokratis baru dan legitimasinya, sebagai bentuk kepercayaan publik dan elit politik terhadap sistem nilai demokrasi. Budaya demokratis harus berarti adanya pemahaman bahwa demokrasi bukanlah panacea. Karena itu, konsolidasi demokrasi terjadi bila masyarakat menyadari bahwa demokrasi merupakan solusi dari masalah tirani tetapi belum tentu untuk masalah lain (ibid: 263).
            Untuk menjadikan demokrasi sebagai budaya perlu sebuah instrumen agar bangunan sistem demokrasi diisi oleh “tukang-tukang” yang berjiwa demokrat pula. Demokrasi kita dalam keseharian adalah demokrasi yang dijiwai oleh Ketuhanan yang Maha Esa, Keadilan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia  dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Proses pembudayaan demokrasi memerlukan aktor-aktor yang offensif pula. Institusi negara dan civil  society merupakan aktor-aktor demokrasi dalam proses tersebut. Pengaturan aturan main dalam berdemokrasi memerlukan pemberian sosialisasi nilai-nilai, pengubahan nilai-nilai melalui konstitusi sampai penggunaan aparat negara dalam menindak dan turut menjaga iklim demokrasi agar tumbuh sehat.

            Adi Surya
Alumnus FISIP Universitas Padjadjaran