Publik Di Tengah Kepungan Iklan Politik

Publik Di Tengah Kepungan Iklan Politik

Hampir di setiap persimpangan jalan umum kita melihat bentangan spanduk, baliho dan papan reklame yang mempertotonkan wajah-wajah calon peserta pemilu lengkap dengan visi dan misinya. Ketika menonton televisi di rumah, iklan-iklan tokoh yang menawarkan solusi bagi kondisi Indonesia saat ini terus bergentayangan seakan tiada henti. Di media massa, radio, internet, di ruang-ruang fasilitas publik, sampai ke pelosok gang dan jalan setapak pelosok pedesaan, kita bertemu sosok atau partai yang menawarkan diri sebagai garansi pembawa kesejahteraan bagi semua. Artinya, dimana pun kita berada, kita tidak bisa lepas dari kepungan dan gempuran iklan-iklan politik yang berseliweran.

Fenomena maraknya iklan-iklan politik tak terlepas dari momentum yang mengikutinya. Di negeri ini hampir setiap saat terjadi pilkada di berbagai tingkatan, mulai dari pemilihan bupati sampi gubernur. Seiring dengan itu, maka setiap ada momen pemilu , iklan politik tidak akan pernah tenggelam dikarenakan fungsinya sebagai alat sosialisasi yang cukup efektif guna pembentukan opini publik terhadap calon yang diusung. Selain itu, kontestan menganggap iklan politik adalah sarana yang cukup ampuh untuk mengangkat popularitas. Lihat saja bagaimana beberapa tokoh sudah berancang-ancang untuk mengenalkan dirinya ke tengah masayarakat melalui iklan. Sebut saja, Wiranto dengan isu kemiskinan, Sutrisno Bachrir dengan hidup adalah perbuatan dan Rizal Malaranggeng dengan menawarkan harapan di tengah padang gersang kondisi kesejahteraan Indonesia. Mereka rela merogoh kocek yang dalam hanya untuk sebuah popularitas. Hal ini menunjukkan iklan politik lebih dianggap cara yang mudah dan cepat untuk membentuk opini daripada harus berkunjung ke daerah-daerah untuk bersosialisasi dengan rakyat.

Munculnya iklan terkait dengan masa kampanye. Dalam marketing politik, kampanye diartikan sebagai ajang para kontestan untuk memasarkan produk-produk politik yang ditawarkan untuk mempengaruhi publik agar membeli produk tersebut. Jika kita analogikan dalam ilmu marketing , produsen adalah partai politik, konsumen adalah rakyat dan pasar adalah masa kampanye. Logika ideal pasar adalah dimana produsen dan konsumen sama-sama memiliki hubungan simbiosis mutualisme. Dalam artian, produk politik ( isu atau program ) harus memberikan kepuasan pada konsumen.

Persoalanya kemudian adalah, jika setiap kontestan beranggapan iklan sebagai cara yang lebih efektif dibanding metode lainnya, maka akan banyak sekali iklan-iklan yang akan mewarnai setiap pertimbangan pemilih untuk mengambik keputusan politik. Tentunya hal ini dapat membingungkan masyarakat, karena kebanyakan iklan politik yang hadir tidak cukup banyak memberi informasi sebagai bahan dalam menentukan pilihan. Iklan hanya menyuguhkan rekayasa citra dan tak jarang miskin aspek substansi karena yang dituju adalah bagaimana cara memukau dan menghipnotis publik dengan cara singkat. Lantas, sebagai pemilih bagaimana masayarakat melihat persoalan ini ?

Pertanyaan pertama yang ditanyakan ketika melihat sebuah iklan politik adalah apa benar ada korelasi anatara apa yang diiklankan dengan yang mengiklankan. Dalam hal ini perlu ada penelusuran rekam jejak calon. Bagaimana mungkin ada calon yang menjual isu HAM, sedangkan dia sendiri adalah penjahat HAM, ada juga calon yang diusung pernah diduga terlibat korupsi dan sekarang getol menyampaikan penegakan hukum. Artinya, masyarakat harus cerdas dan jeli dalam membuat keputusan di tengah pusaran bujuk rayu dan janji manis para politisi . Masyarakat jangan tertipu dengan gemerlap dan silaunya tawaran surga kesejahteraan karena dalam iklan politik, tidak ada yang tidak bisa dikonstruksi dan direkayasa. Namun, yang menjadi perhatian kita adalah bagaimana kita mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya tentang calon dan tidak hanya terpukau dan terjerat dari informasi yang ditawarkan oleh iklan.

Musim kampanye adalah musim menebar jala, menjaring massa. Menjadi kesalahan fatal ketika untuk merayu massa, parpol atau figur memberikan janji-janji yang tidak bisa ditepati. Banyak kita temukan muatan janji utopis yang kadang membuat parpol dan figur-figur layaknya entitas yang memegang kartu garansi akan terciptanya kondisi adil makmur, sentosa dan bebas kemiskinan. Tentunya ini bukan bentuk pengejawantahan pendidikan politik yang baik bagi rakyat. Parpol sebagai salah satu pilar demokrasi harus bisa menjelma menjadi penyambung aspirasi masyarakat. Ketika idealisme dikalahkan pragmatisme demi merebut kue kekuasaan, maka parpol hanya sebagai alat dan kendaraan bagi orang-orang yang haus kekuasaan yang tidak pernah peduli dengan konsep kesejahteraan bersama.

Cara-cara kampanye yang berpotensi mendidik masyarakat hanya sebagi objek politik harus diganti menjadi hubungan subjek dan subjek.. Coba kita bandingkan metode kampanye melalui debat kandidat dengan tebaran iklan-iklan yang menghabiskan dana yang tidak sedikit dan malah tidak memberikan pendidikan politk pada publik. Debat kandidat akan memperlihatkan kualitas calon dan apa yang ditawarkan kepada masyarakat, selama ini calon-calon yang tidak berkualitas tertutupi oleh polesan iklan-iklan politik bernilai ratusan juta. Berkaca pada pemilu Amerika Serikat yang lebih mengutamakan debat program para kontestan, dan mereka dalam iklan politik menyuguhkan janji yang spesifik dan terukur. Kita jangan malu belajar dari negara lain dalam merangkai sebuah dekorasi pesta demokrasi bagi kesejahteraan bersama.

Seiring perkembangan, ternyata rakyat juga makin kritis dalam menentukan sikap dalam kepungan iklan politik dan tebaran calon-calon yang sama sekali tidak dikenal rakyat. Calon-calon dari parpol yang dianggap memiliki rekam jejak yang buruk dihukum dengan tidak memilih kembali. Rakyat harus terus menerus dikuatkan agar memiliki posisi yang setara dengan parpol. Edukasi politik bisa menjadi solusi untuk membuka mata masyarakat dan menjadi kacamata penyaring untuk menilai siapa yang layak dipilih.

Iklan politik bukanlah sesuatu hal yang tabu. Justru, ketika iklan tersebut dikelola dengan proses dan etika yang berlaku, bukan tidak mungkin akan mendatangkan simpati dan sekaligus memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Publik harus ingat bahwa seorang pemimpin tidak dilahirkan dari iklan, namun berasal dari proses panjang pergulatan yang membentuk kualitas kepemimpinan. Seorang pemimpin sejati tidak perlu dikenal melalui iklan, namun melalui karya dan perbuatan. Tanpa iklan pun publik akan mengenal dan memberi dukungan kepada orang-orang yang memiliki komitmen dan integritas yang sudah teruji di masyarakat . Pemimpin dipilih bukan oleh kemilau jubahnya, melainkan dari pikiran dan karyanya.

0 komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar Anda Di Sini :