Berlomba Merebut Sertifikat Miskin



Berlomba Merebut Sertifikat Miskin

Ada sebuah anomali di dalam masyarakat kita. Ketika hampir mayoritas orang ingin menjadi orang kaya, namun justru banyak orang berebut untuk menjadi miskin. Bukan hanya orang yang memang tadinya sudah miskin ingin tetap dikatakan miskin, namun orang-orang yang kaya pun mulai memperebutkan status sebagai orang miskin dikarenakan status miskin identik dengan “subsidi” atau “kompensasi” . Akibatnya, yang miskin akan tetap miskin dan yang kaya akan semakin kaya.

Terminologi miskin identik dengan status sosial yang berkasta rendah. Karena itu, seperti suratan nasib, para filosof dan cerdik pandai pun alergi dengan kemiskinan. George Bernard Shaw, esais, kritikus sastra dan dramawan ternama Irlandia mengatakan, "Kejahatan terbesar dan kriminalitas terburuk adalah kemiskinan. Dalam nada serupa, Aristoteles, filosof Yunani kuno pun berpikir searah, "Kemiskinan adalah orang tua dari revolusi dan kriminalitas". Di sini, masuk akal, bila tidak ada manusia rela menyandang predikat miskin, apalagi menyebut dirinya miskin, terkecuali ia sendiri yang merancangnya, sebab ideologi atau keyakinan tertentu.

Contoh sederhana untuk menggambarkan kontradiksi di atas adalah pembagian Bantuan Langsung Tunai ( BLT ) yang diberikan pemerintah sebagai penopang ekonomi masyarakat agar tidak jatuh dalam kubang kemiskinan akibat kenaikan harga BBM. Namun realitasnya, banyak orang dengan status orang miskin baru muncul dan menuntut pembagian dana BLT. Orang yang tadinya berkecukupan, tiba-tiba beramai-ramai mengurus surat keterangan miskin untuk turut mencicipi uang subsidi. Status miskin kini mengalami perubahan makna, yang tadinya merupakan sebuah aib menjadi status yang dibanggakan. Orang-orang tersebut tidak malu berdemonstarasi menyatakan dirinya miskin agar mendapat bantuan. Perilaku manipulatif dan bermental pengemis ini bukanlah muncul secara tiba-tiba, namun ikut didorong oleh bagaimana negara mengelola kemiskinan warganya.

Perilaku bermental pengemis dan manipulatif tidak hanya terjadi di tataran akar rumput (grass root). Republik ini bahkan pernah harus mengaku miskin demi mendapat pinjaman dari IMF. Tersungkur dalam cap “kesulitan ekonomi” untuk menarik rasa iba negeri-negeri donor mengirimkan bantuan. Menengadah tangan di tengah fakta bahwa meskipun negerinya miskin, sejumlah orang Indonesia mengisi daftar teratas orang-orang kaya di Asia. Pada era orde baru, berbagai daerah berebut meraih label daerah miskin untuk mendapat bantuan Inpres Desa Tertinggal (IDT). Para kepala daerah bahkan ada yang sempat protes ketika daerahnya dikatakan sudah lepas dari status daerah tertinggal.

Di bidang-bidang pelayanan sosial seperti pendidikan, dan kesehatan juga tak lepas dari ajang perebutan status miskin. Coba kita lihat mahasiswa kaya tak malu mengaku miskin untuk mendapat beasiswa, orang-orang harus mengaku miskin dulu untuk bisa berobat ke rumah sakit, mengaku miskin agar dapat beli beras dengan harga yang wajar. Juga perlu mengaku miskin supaya sekolah anak tak terhalang tingginya biaya.

Perilaku ini selain bersifat individualis juga turut diakibatkan oleh cara negara dalam mengurus rakyatnya. Selama ini negara dalam mengurus orang miskin kebanyakan memakai paradigma bagi-bagi uang dan terkesan instan dan tidak mendidik. Tentunya pola semacam ini turut mendorong masyarakat berorientasi uang. Sehingga ketika berbicara tentang uang, maka status atau kategori tidak menjadi relevan lagi. Menjadi wajar ketika orang kaya juga mencoba merebut jatah subsidi bagi rakyat tidak mampu, karena ada faktor uang yang dibutuhkan oleh setiap kalangan baik miskin atau pun kaya. Tidak perduli apa pun statusnya, bantuan yang bersifat bagi-bagi uang akan menjadi ladang perburuan setiap orang.

Seharusnya pemerintah dalam memberi bantuan penanggulangan kemiskinan bersifat jangka panjang dan mendidik. Sangat jarang ditemukan program yang menyentuh sisi pembangunan kapasitas agar orang miskin memiliki kekuatan untuk mengeluarkan dirinya sendiri dari lingkaran kemiskinan. Negara terlalu mereduksi persoalan kemiskinan hanya semata-mata urusan uang. Mengatasi kemiskinan bukanlah semata-mata urusan angka-angka. Bukan pula soal mengangkat pendapatan masyarakat menjadi diatas 2 $ per hari dengan membagi-bagi uang. Kemiskinan terakut bukan terletak pada aspek materi, tetapi terpatri pada pikiran manusia. Tetapi kalau pikiran kita telah terkontaminasi dan dimiskinkan secara sistemik, pupuslah daya jangkau akal manusia untuk keluar dari kemelut kemiskinan yang sesungguhnya.

Menyelesaikan persoalan kemiskinan tidak akan pernah tuntas ketika warganya lebih senang “ bermain “ dengan status miskin. Ada semacam perasaan tidak aman ketika tidak lagi disebut miskin. Takut tidak bisa berobat gratis, sekolah gratis, mendapat sembako murah, dan bantuan-bantuan lainnya. Jika kemiskinan sudah dianggap sebagai sebuah kondisi aman dan nyaman, maka program –program yang dirancang akan senantiasa membentur tembok tebal mentalitas pengemis dan manipulatif.










1 komentar:

Anonim mengatakan...

Kawan, aku kok gerah melihat tulisanmu ini. Menyakitkan... itulah menjadi orang miskin.
Panaorama dan luluhnya pikiran kau bakal terbuncah kalau kau lihat seorang bapak yang menangis menceritakan tragedi hidup. Air mata kawan. itulah menjadi miskin. Kau bisa berbicara seperti ini. karena kau tak tau lelahnya menjadi miskin. Jangan dekontruksi atau direkontruksi. Mereka butuh bantuan. Apa yang bisa kau lakukan. ...
Tak ada. Secara struktur, mereka terbenam dalam kemiskinan.. itulah kawan. jadi orang miskin lah kau. maka, akau rasakan ajab menjadi miskin itu.

Posting Komentar

Beri Komentar Anda Di Sini :