Menggagas Sumpah Pemuda Jilid 2




Menggagas Sumpah Pemuda Jilid 2

Pergulatan bangsa Indonesia adalah dinamika para pemudanya. Pemuda dalam lembaran sejarah merupakan aktor kunci sebagai katalisator perubahan sosial,ekonomi dan politik. Menjadi sebuah kesimpulan yang tidak terbantahkan apa yang dikatakan oleh seorang Indonesianis, Benedict Anderson bahwa sejarah Indonesia adalah sejarah pemudanya. Pemuda menyimbolkan semangat, idealisme, progresif dan berpikir radikal. Sampai-sampai panglima besar revolusi Indonesia, Bung Karno, mengatakan “ beri padaku sepuluh orang pemuda, maka akan berguncang Pegunungan Himalaya”. Artinya, pemuda adalah sosok yang dianggap pembawa perubahan atas kondisi-kondisi yang butuh perubahan. Namun, sungguh menjadi ironi sejarah, ketika hari ini kiprah pemuda tenggelam dalam arus besar hedonisme, kriminal dan pragmatis. Republik kehilangan sosok penjaga dan pengawas yang beberapa dekade lalu begitu heroik menjaga titah bangsa di rel idealisme.

Untuk meneropong dan mencari sebab mundurnya semangat kaum muda untuk membangun negara, kita coba menganalisa dengan metode komparatif kondisi dulu dengan sekarang. Jika kita sejenak berkaca ke masa lalu, tidak dapat kita pungkiri peran pemuda dalam membangun republik sangat vital. Selalu teringat dalam pikiran kita, bagaimana pada tahun 1908, organisasi modern pertama dibentuk sebagai center (pusat) gerakan menuju Indonesia merdeka. Adalah mahasiswa (pemuda) dari STOVIA yang menjadi aktor–aktor perumusnya, sehingga era ini ditandai sebagai tonggak awal kebangkitan nasional. Beranjak atas dasar pemikiran, bahwa gerakan menuju kemerdekaan masih terfragmentasi dalam belahan-belahan suku, geografis , kelompok, maka pemuda Indonesia sadar untuk kemudian menyamakan langkah dan mengepalkan tangan berjuang atas nama kemerdekaan Indonesia. Spirit yang mendorong lahirnya Sumpah Pemuda adalah ruh persatuan yang tercermin dalam satu bangsa, tanah air dan bahasa. Dalam masa ini pula pemuda –pemudi Indonesia mempersiapkan simbol-simbol nasionalisme seperti lagu Indonesia Raya.

Memasuki detik-detik terakhir kekalahan Jepang atas Amerika Serikat, dengan sigap pula pemuda-pemuda menculik proklamator Soekarno-Hatta untuk segera mungkin memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Masa itu terjadi pertentangan antara kaum tua dengan kaum muda tentang kapan seharusnya kemerdekaan dicetuskan. Patut dicatat bahwa kemerdekaan Indonesia belum tentu terwujud jika para pemuda tidak segera mendesak Dwi Tunggal membacakan teks proklamasi. Artinya, kemerdekaan juga merupakan buah dari perjuangan pemuda.

Menarik melihat dinamika dan motivasi gerakan pemuda pasca kemerdekaan. Saat itu musuh bersama mengalami transformasi dari penjajah ke rezim pemerintah yang dianggap korup dan menindas. Terjadi pergeseran sasaran dari borjuasi asing menjadi borjuasi bangsa sendiri. Tumbangnya rezim Soekarno menunjukkan pemuda tidak terpengaruh oleh kharisma dalam menegakkan keadilan. Era demokrasi pancasila Soeharto yang penuh tipu muslihat kemudian menyulut gerakan pemuda menjatuhkan rezim yang tidak pro rakyat. Sampai disini pemuda dielu-elukan sebagai pahlawan reformasi yang bergerak atas dasar moral.

Di tengah pusaran arus globalisasi, pemuda Indonesia seperti kehilangan tempat berpijak. Sumpah yang didengungkan beberapa puluh tahun lalu, hanya jargon kosong tanpa arti. Peringatan sumpah pemuda tahun demi tahun juga hanya sekedar seremoni dan dimanfatkan sebagai momentum politik segelintir orang, dan parahnya banyak pemuda yang tidak tahu isi Sumpah Pemuda 1928. Jika dulu Soekarno, Hatta, Sjahrir , Tan Malaka dan tokoh lainnya berjuang dengan idelogi yang khatam, kini ideologi –idelogi tersebut hanya dianggap barang antik yang sudah layak masuk museum sejarah. Ideologi pemuda adalah kebebasan tanpa batas, pragmatisme dan hedonisme. Sangat jarang kita mendengar sumbangan dan perdebatan gagasan dari pemuda tentang membangun bangsa. Sumpah hanyalah tinggal teks mati yang cukup diperingati setiap tahun.

Catatan-catatan heroisme pemuda bukanlah tanpa koreksi. Pertama. pergerakan yang dilakukan pemuda tidak dapat kita katakan mencerminkan kiprah seluruh pemuda Indonesia. Jika kita lihat, pemuda yang peduli akan nasib bangsanya hanyalah segelintir orang. Sedangkan sisanya, sibuk dengan pencarian identitas yang tak jarang jatuh dalam lubang hitam hedonisme, kriminal dan cenderung pragmatis. Kedua, persatuan pemuda hanya bersifat reaktif. Pemuda cenderung hanya bersatu saat muncul musuh bersama. Penjajah kolonial, komunisme, rezim Soeharto adalah musuh bersama tempat patriotisme itu muncul. Pasca lenyapnya musuh bersama, pemuda seperti kehilangan arah dan malah terpecah dan saling bertentangan satu dengan yang lain. Artinya, pemuda Indonesia sampai hari ini belum bersatu secara alamiah. Ketiga, pemuda dipandang hanya sebagai alat pendobrak yang tidak punya konsep. Setelah kejatuhan orde lama dan orde baru, pemuda justru sekedar pemulus pembajak demokrasi yang berpura-pura pro reformasi.

Apakah cita-cita Sumpah Pemuda sudah tercapai ?. Beberapa waktu yang lalu terdengar isu gerakan separatis seperti Aceh, Riau, Ambon, Papua. Terjadi konflik berdarah atas nama agama dan etnis yang mengancam integrasi bangsa. Sekarang terjadi semacam politik identitas yang cenderung mementingkan kepentingan kelompok di atas kepentingan bangsa.Dari sini dapat terlihat jelas, sudah delapan puluh tahun usia Sumpah Pemuda dan kita masih berbicara bagaimana menyatukan bangsa. Kita belum bicara tentang bagaimana unjuk kekuatan, kita belum memikirkan tentang bagaimana kekayaan alam dikelola dan menunjukkan pada dunia internasional kita adalah bangsa yang berdaulat. Satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa masih jauh panggang dari api. Sudah saatnya pemuda-pemudi Indonesia menggagas sumpah pemuda jilid dua untuk memperkuat kembali nasionalisme, menancapkan tonggak awal kebangkitan dan mengibarkan bendera tanda persatuan. Sudah saatnya kita unjuk gigi pada bangsa lain melalui peran pemuda, apakah itu di bidang seni budaya, olahraga, ilmuwan dan peneliti ,pengusaha, negarawan dan bidang-bidang lain yang harus menjadi ranah berkiprah pemuda. Saat ini pemerintah tengah menggodok RUU Kepemudaan sebagai landasan kongkrit bagaimana peran pemuda dalam agenda pembangunan nasional. Melalui regulasi tersebut kita sama-sama berharap pemuda mendapat perhatian dari negara, karena tidak dapat dipungkiri negara turut memainkan peran penting dalam membangun pemuda-pemudi yang tangguh menghadapi putaran roda zaman.

Perlu dicermati bahwa proyek membangun Indonesia belum selesai hanya dengan sumpah. Pembangunan bangsa merupakan hal yang selalu dinamis dan tak pernah selesai. Pemuda dan pemudi Indonesia saatnya meredefenisi dan merevitalisasi tujuan dan arah perjuangan untuk membangun rumah Indonesia. Kita tentunya tidak ingin suatu hari ada yang mengatakan sejarah kehancuran bangsa Indonesia adalah sejarah pemudanya.



Adi Surya P

Ketua DPC GMNI Sumedang 2007-2009

KNPI Sumedang Bidang Hukum dan HAM

Mahasiswa KS FISIP Unpad


Hilangnya Mantra Tangan-Tangan Ajaib

Hilangnya Mantra Tangan-Tangan Ajaib

Krisis keuangan yang melanda Amerika Serikat ternyata membawa dampak yang signifikan bagi perekonomian dunia. Negara adidaya yang menganut fatsun pasar bebas itu akhirnya ambruk setelah kredit macet perumahan (subprime mortgage) meluluhlantahkan korporasi-korporasi yang selama ini menjadi denyut nadi perekonomian negeri Paman Sam. Dunia pun bergejolak karena semakin terintegrasinya pasar keuangan dalam bingkai globalisasi, membawa konsekuensi jika Amerika Serikat bersin, maka belahan dunia lainnya ikut demam. Krisis ini menunjukkan Amerika Serikat yang merupakan barometer dunia, semakin kehilangan pamornya sebagai penganjur paling getol tentang non-intervensi negara dalam perekonomian.

Dengan disetujuinya dana talangan (bailout) oleh kongres, sebenarnya pemerintah Amerika Serikat seperti menjilat ludahnya sendiri. Penganut doktrin mekanisme pasar sangat anti pada intervensi negara. Mereka lebih suka membiarkan pasar mengoreksi sendiri dari segala kebobrokan finansial. Namun faktanya, pemerintah akhirnya turun tangan juga untuk menyelamatkan dan meredam krisis agar tidak terlalu parah. Berangkat dari sini, akhirnya bermuara kepada pertanyaan, apakah era doktrin mekanisme pasar telah jatuh ke titik nadir ?

Dalam perdebatan tentang bagaimana mengelola ekonomi, ada dua mahzab yang senantiasa menjadi musuh bebuyutan. Pertama, mahzab ekonomi klasik yang berpandangan pasar tidaklah sempurna, untuk itu peran negara dibutuhkan. Kedua, penganut pasar bebas yang memiliki gagasan intervensi negara hanya akan merusak dinamika pasar dan negara harus keluar dari arena. Pasar dianggap punya mekanismenya sendiri yakni invisible hand (tangan ajaib) yang bisa mengoreksi ketidaksempurnaan pasar itu sendiri. Pasar bebas mensyaratkan free entry dan free exit ( bebas masuk dan keluar). Hanya keuntungan dan bukan pemerintah yang menentukan pelaku ekonomi masuk pasar dan menyerap surplus, lalu keluar di saat defisit.

Menurut Joseph Stiglitz, pemenang hadiah nobel ekonomi mengatakan, pasar telah secara ilmiah tidak bisa berjalan sempurna. Ideal pasar bebas yang sempurna hanya bisa berjalan salah satunya bila ada informasi sempurna. Sementara, dalam pasar bebas ada informasi yang asimetris yaitu suatu kondisi pasar dimana yang satu memiliki informasi lebih dibanding pihak lainnya. Asimetri ini yang membuat ekonomi pasar inheren mengandung ketimpangan.

Krisis keuangan ini membawa pesan dan sinyal perlunya kita meninjau ide mekanisme pasar untuk mengatur ekonomi. Sangat penting untuk merumuskan kembali keseimbangan pasar dan negara. Ironis ketika pelaku krisis adalah korporasi yang sepakat dengan ide mekanisme pasar tetapi ketika ambruk berteriak meminta campur tangan negara dengan mengeluarkan dana talangan yang notabene adalah uang rakyat.

Adi Surya Purba

Mahasiswa Kesejahteraan Sosial

Fisip Unpad

Aktivis GMNI Sumedang

Dekonstruksi Desa Sebagai Simbol Ketertinggalan

Dekonstruksi Desa Sebagai Simbol Ketertinggalan

Logika sederhana untuk menjelaskan alasan seseorang penduduk desa pindah ke kota adalah kawasan perkotaan dianggap lebih mampu menyediakan pemenuhan kebutuhan dibandingkan dengan pedesaan.Adanya pendikotomian kawasan seperti barat-timur, desa-kota membawa implikasi sisi yang satu lebih baik dibandingkan sisi lainnya.Hal tersebut kemudian memberikan semacam garis batas yang tegas terhadap klasifikasi apa yang disebut maju dan tertinggal.Kota menjelma menjadi pusat segala aktivitas karena pemusatan pembangunan, sedangkan desa identik sebagai tempat orang-orang yang masih terbelakang, udik, dan tidak modern.Dikotomi tersebut ternyata juga merasuk ke dalam rancangan para pengambil kebijakan pembangunan. Kota kemudian menjadi anak kandung pembangunan dan desa hanya dianggap anak tiri yang lekat dengan diskriminasi.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan warga melakukan urbanisasi. Pertama, adanya faktor penarik. Dikarenakan sentralisme pembangunan kota, menjadi sebuah kewajaran kawasan perkotaan maju pesat dengan segala institusi pemenuhan kebutuhannya.Faktor penarik tersebut antara lain penyediaan lapangan pekerjaan, akses pendidikan, sarana rekreasi dan hiburan yang tidak terpenuhi di desa. Kedua, faktor pendorong. Akibat ketertinggalan yang dialami desa, maka mendorong warga untuk mencari pemenuhan kehidupan yang lebih baik. Tahun 2008, dunia akan mencatat lembaran sejarah baru.Untuk pertama kalinya lebih dari separuh (3,3 miliar) penduduk di muka bumi akan hidup di wilayah perkotaan.Pertumbuhan populasi yang pesat ini terutama terjadi di negara berkembang (State of World Population 2007).

Michael P. Todaro (1978) memandang perbedaan upah antara desa dan kota sebagai variabel dominan yang mempengaruhi arus urbanisasi.Di Indonesia, sekalipun faktor-faktor yang mempengaruhi urbanisasi merupakan jalinan multidimensional, akan tetapi variabel ekonomi sangat dominan. Fenomena urbanisasi di Indonesia sangat dipengaruhi oleh menyempitnya lapangan kerja di pedesaan,perubahan struktur atas kepemilikan tanah,serta bertambahnya populasi petani gurem berlahan sempit.

Dengan momentum otonomi daerah, seharusnya desa bisa menggugat pemerintah daerah agar memberdayakan desa sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Potensi pertanian dan perkebunan dan aktivitas ekonomi berbasis lokal harusnya dikembangkan menjadi spesialisasi yang bernilai jual. Potensi yang dimaksud juga meliputi natural capital, human capital, dan social capital. Kemudian melakukan segregasi yang berarti konsentrasi suatu tipe kelompok orang atau kegiatan tertentu pada suatu wilayah tertentu. Kota tidak harus menjadi pusat segalanya, namun harus membagi pusat-pusat kegiatan yang bisa dibangun di desa. Semisal daerah hunian, pariwisata, perhotelan, pusat-pusat perdagangan pertanian yang tidak boleh dimonopoli oleh kota.

Dengan adanya keseimbangan dan pemihakan terhadap pemberdayaan desa, diharapkan wajah desa sebagai simbol keterbelakangan sedikit demi sedikit bertransformasi. Sehingga dikotomi desa dan kota tidak lagi berat sebelah melainkan saling melengkapi sesuai dengan potensi yang dimiliki kota atau desa.


Adi Surya Purba

Mahasiswa Ilmu Kesejahteraan Sosial

Fisip Unpad

Aktivis GMNI




Djakarta, Benci Tapi Rindu




Djakarta, Benci Tapi Rindu


Sudah hampir seminggu aku di kota ini. Kebetulan sekarang lagi libur lebaran. Daripada membusuk di kota tak berpenghuni, lebih baik cabut. Sudah setahun lebih kakiku tak lagi menginjak kota ini. Ada sebentuk rasa takut yang akut, penuh cemas bercampur kangen yang menyelinap. Kota ini adalah catatan perjalanku yang penuh dengan cerita. Aku punya bayang-bayang masa lalu yang tak mungkin dihapuskan. Di saat aku meninggalkan seorang kupu-kupu liarku yang telah lama hilang. Ku berjalan di tempat pertama kali aku bertemu dia. Tepat di bawah jam besar di tengah-tengah taman, di depan markas KOPASSUS di Cijantung,Jakarta Timur.Tempat ini adalah tongkrongan favorit. Kalau ga karena setiap jam 12 , kodok – kodok hijau dengan senjata laras panjang yang mengusir, sudah bisa disebut rumah tuh tongkrongan. Hujan rintik seakan bermain irama ketika tunas - tunas rasa itu mulai menyembul. Sementara detak jam terus bergoyang, aku nikmati malam ini. Dan, di situ pula kau kutinggalkan dengan rintik hujan yang sama.

Aku tinggal di Komplek POLRI di pinggiran Jakarta. Bapak adalah polisi dan bibiku selalu menyuruhku agar berlibur di rumahnya, karena dia tahu, aku hanyalah anak sebatang kara yang coba mengadu otak di Jatinangor. Sebenarnya di rumah ini aku sangat berkecukupan. Makan tinggal makan, tidur tinggal tidur. Kurang enak apalagi. Namun, setiap kali berjibaku dengan hiruk pikuk Djakarta yang seakan tak mengenal mati, aku selalu rindu suasana di kampung kedua-ku, Djatinangor.

Tadi pagi, aku dapat sms dari teman sekelas. “ Tulisan Loe masuk PR Bos, Udah jadi pelanggan Koran Jabar nih, jangan lupa kalau pulang ke nangor, uang honornya dibagi-bagi “. Melihat beberapa tulisan yang pernah dimuat,aku jadi heran, mengingat dulu betapa malasnya aku menulis. Sekarang, aku punya target beli Laptop,tanpa harus mengemis ke orang tua. Toh, menulis bisa jadi sumber pemasukan. Aku selalu bercita-cita bisa jadi orang yang paling struggle menghadapi hidup ini. Aku benci melihat mahasiswa yang bisanya cuma minta dan disuapin. Gemes melihat orang-orang yang hanya berlindung di bawah batok tempurungnya sendiri. Aku tak mau seperti itu. Dan, Djakarta, telah menjadi saksi bagaimana sakit sekaligus nikmatnya hidup sebatang kara. Di sini aku ditempa jadi diri sendiri. Kota ini megajarkanku banyak hal tentang perjuangan hidup. Bahwa ga perlu gengsi untuk tetap makan. Ga perlu ngadu bokap –nyokap loe yang kaya mampus, ketika menghadapi kesulitan.

Aku belajar banyak di sini. Geliat persaingan dan bunuh – membunuh dalam arti “ yang kuat yang akan bertahan “ benar-benar terasa. Inilah sekolah hidup tanpa teks dan buku-buku. Di sini, kelihaian dan gesit adalah jimat untuk tetap eksis. Aku masih ingat saat aku harus tinggal di sebuah rumah kontrakan sempit, tak ada kasur, lemari dan bantal. Untuk menyeka kepalaku saat tertidur, terpaksa berbantalkan pakaian yang kutumpuk agar bisa menyangga leher saat ku terlelap. Pernah sekali, karena tidak lagi punya uang, harus sarapan roti setiap pagi seharga 500 perak untuk menambal sarapan di pagi hari. Bukannya aku tak punya banyak saudara kaya raya disini,bukan pula orang tua yang tidak mampu kirim uang. Tapi aku sendiri yang coba menjalani bagaimana rasanya hidup sendiri. Dengan bekerja di sebuah cafĂ©, dengan gaji yang tak pernah cukup , aku coba bertahan. Sedih memang, tapi sekaligus menempa hati kita bermental baja. Setidaknya aku tak lebih cengeng dari anak-anak rumahan yang taunya Cuma minta.

Pagi ini aku menjalani setiap tapak-tapak kakiku yang dulu. Tak lagi kulihat teman-temanku yang dulu. Jalan yang dulu cuma setapak, kini angkuh memayungi langkahku. Kembali aku jadi orang asing di sini. Namun, jika kuingat bagaimana tak berperasaannya kota ini memperlakukan manusia, rasa benciku bertumpuk-tumpuk. Ingin aku jadi penguasa Kota dan kuubah nasib orang-orang yang menderita. Aku tak ingin melihat kota ini menjelma menjadi Ibu tiri yang kejam, bukannya Ibu kota yang mengayomi. Di sini, ada istilah “ gue-gue dan elo ya elo “. Sebuah istilah yang menggambarkan pudarnya solidaritas sesama manusia. Itu yang paling ku benci dari Djakarta.

Lusa, aku sudah berencana untuk pulang ke Jatinangor. Aku sudah harus bekerja lagi di kandang banteng itu. Mengasuh, mengajari dan tak letih-letihnya mengajari anak-anak banteng muda yang haus akan eksistensi. Walau aku sebut ini adalah pekerjaan berat,aku tau ini adalah pekerjaan mulia. Bayangkan, mengembangkan orang lain yang bukan siapa-siapa agar dirinya berkembang dan tidak dibayar sepeser pun. Sampai-sampai harus berkorban Skripsi yang tertunda, kuliah yang bolong-bolong. Tapi aku yakin, semua tidak ada yang sia-sia. Jika kita terus berpikiran bisa , kita akan bisa.

Benci tapi rindu adalah kata yang tepat menggambarkan suasana hatiku di sini. Saat jauh, ingin kembali, tapi tiap kali kembali selalu ingin pergi lagi. Pengalaman adalah guru terbaik dan Mencoba hal baru adalah cara belajar yang paling mantap. Lusa, aku harus pergi. Djakarta oh Djakarta…





“ Untuk Apa Semua Ini Nak ?

Untuk Apa Semua Ini Nak ?

Kemudian Sang Ibu berpapasan dengan Gie di pinggir jalan. Wajahnya menampilkan raut kecemasan. Zaman itu adalah saat pergolakan politik mencapai titik terpanas. Di jalan-jalan mahasiswa berdemo, bernyanyi mengejek menteri-menteri yang dianggap goblok memerintah. Mereka bergerak bukan karena haus kuasa, bukan pula karena segepok uang haram. Melainkan murni berlandaskan panggilan hati dan nurani. Berparaskan idealisme yang tak lekang dimakan hormat pada para pemimpin negeri. Namun, di sudut muka Sang Ibu, wanita yang penuh perasaan, bergumpal setitik interupsi sebagai Ibu, melihat tingkah anak-anaknya yang sibuk tanpa pamrih memperjuangkan sebuah kata yang disebut “ perubahan”. Tepat di di depan Gie , sang demonstran, ia berujar “ untuk apa semua ini nak ? “.

Sekelompok anak-anak muda yang peduli pada nasib bangsanya berkumpul di ruang yang penuh asap rokok. Sayup-sayup mengalir cacian pada rezim yang tak pernah melihat rakyatnya sedang tergantung di tiang gantungan kesengsaraan. Sebentar lagi mati. Dengan bahasa intelek, mereka mulai mengurutkan satu persatu problem bangsa ini. Hari ini zaman-nya harga minyak tanah mahal. Harga beras, gula , minyak goreng pun enggan untuk turun. Di luar sana, petani menjerit-jerit , tergopoh-gopoh mencari uang untuk anak yang murung menahan malu karena tak bisa sekolah seperti anak-anak bangsawan lain. Dari kejauhan, di dalam imajinasi tergambar seorang tukang becak di persimpangan, kepanasan diterjang sengatan tajam mentari, menunggu penumpang yang tak kunjung datang. Bulir demi bulir keringat berselancar diantara guratan-guratan legam wajahnya. Hingga sore menjelang, baru pulang untuk anak istri yang bosan menunggu di meja makan. Hari ini terpaksa mengutang lagi untuk makan.

Gambaran derita anak bangsa membuat darah anak-anak muda tadi mendidih. Apa yang bisa kami perbuat untuk mereka ? “. Diskusi-diskusi tanpa solusi tak ada artinya jika hanyut dibawa mimpi. Saatnya bergerak. Mulai dari advokasi sampai demonstrasi pun direncanakan. Mereka mengumpulkan biaya perjuangan dari udunan masing-masing orang. Beli spanduk dan logistik saja uang udunan tak sampai. Lantas ngamen dari warung-warung pun dijadikan jalan. Itu juga belum cukup. Akhirnya, advokasi sampai demostrasi pun seadanya. Bukankah lebih penting esensi dibanding polesannya ?. Dengan semangat, pembagian tugas dimulai. Si Anu ke desa Sukasari mengumpulkan data. Si Polan mengurus perizinan, Si A, B, C mendapat tugas-tugas yang berbeda-beda. Terkadang kuliah dan bertemu dosen pembimbing skripsi dinomorduakan. Di hadapan barisan aparat keamanan yang berjejer bak tembok baja, mereka berteriak lantang menuntut keadilan. Sampai suara mulai kehabisan, parau ,serak ,TOA ( pengeras suara ) baru di digilir, begitu seterusnya hingga tak ada lagi diantara mereka yang sanggup berorasi.

Baru, menjelang subuh, tubuh-tubuh muda terkapar lemas kehabisan energi. Suara dengkuran yang bersahut-sahutan menandakan capek yang hebat. Anak-anak muda tadi tertidur pulas sehabis rapat evaluasi. Berharap esok perubahan akan terjadi. Meskipun sudah berkorban materi dan keringat, masih ada saja tudingan miring pada aksi mereka tadi siang. Demo pesanan lah, ditunggangi partai lah, Ga ada kerjaan lah, sampai disebut cuma pengen eksis di hadapan kuli-kuli tinta dan kamera. Orang-orang memang tak bisa disalahkan. Banyak kasus yang menimpa rekan-rekan mereka yang memang menggadaikan harta terakhir generasi muda,yakni idealisme.

Mereka tidak menuntut uang, tidak pula ingin duduk di kursi-kursi kekuasaan. Mereka sudah cukup senang melihat petani, buruh, guru, kuli pelabuhan, pedagang, anak—anak yang lapar karena kurang gizi, kakek tua renta yang tak mampu makan 3 kali sehari dan semua orang yang mereka sebut tertindas, tersenyum karena hak-nya sebagai manusia dikembalikan dan terpenuhi. Intinya,senyum rakyat adalah senyum mereka juga. Ada rasa puas tatkala melihat si tukang beca bisa membawa sebungkus makanan buat anaknya. Ada rasa bangga ketika berhasil menggulingkan rezim korup. Ada nyanyian dan tarian dalam jiwa saat tuntutan dikabulkan. Mereka,anak-anak muda dengan idealisme,tidak pernah minta banyak. Apalagi dengan pamrih.

Lalu, untuk apa semua ini ?. Saat uang jajan ludes untuk biaya aksi demo, saat daftar absensi berjejer penuh nama mereka, tatkala mereka di bawah ancaman Drop Out ( DO), Kadang mereka juga tak makan 3 kali sehari hanya agar aksi bisa terwujud. Beberapa dari mereka sudah 9 tahun tak lulus –lulus karena sialnya waktu aksi selalu pas bersamaan dengan jadwal bimbingan. Aku bertanya, apa yang mereka dapat ?. Bukankah setiap orang adalah pragmatis. Ingin mendapat keuntungan bagi dirinya sendiri. Kadang aku berpikir, anak-anak muda tadi lebih beriman dibanding rekan-rekan mereka yang ngakunya wakil Tuhan. Walaupun tak hafal setiap ayat kitab suci, tapi mereka melakukan lebih banyak dibandingkan orang yang kerjanya menghafal ayat tanpa pernah berbuat. Berdemo saja dia enggan. Padahal iman tanpa perbuatan adalah mati. Jika dipikir-pikir pekerjaan tanpa gaji anak-anak muda tadi sunggu mulia. Mereka gusar mendengar kemiskinan, mereka terusik dengan penggusuran dan mereka marah karena kesewenang-wenangan. Mereka hanya berpikir untuk nasib orang lain. Bukankah itu sangat mulia ?

Untuk apa semua ini ?” adalah pertanyaan dari orang-orang yang tidak pernah mau mengerti jalan pikiran anak-anak muda tadi. Dan bisa dikatakan si penanya juga terasing dari dirinya. Orang-orang seperti itu sibuk membahas untuk apa semua ini, hingga esok harinya kita bertemu, juga ditanya dengan pertanyaan yang sama. Hidup hanya sementara. Alangkah indahnya ketika berbuat secuil untuk orang lain. Kalau bukan kita, siapa lagi.


Penulis adalah salah satu penanya “ Untuk Apa Semua Ini ?“

Yang kemudian bergabung dengan anak-anak muda tadi

Dalam barisan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia.