Pahitnya Janji Manis Reformasi Polri

Reformasi di tubuh institusi Polri ternyata masih sebatas jargon. Tetap saja persepsi publik terhadap institusi ini bernada miring. Penanganan dalam bentrok warga Ogan Ilir, Sumatera Selatan dan terungkapnya dugaan korupsi proyek pengadaan alat simulator kemudi mobil dan motor yang dilakukan Korps Lalu Lintas Polri (Korlantas Polri) menambah catatan buram wajah Kepolisian. Padahal, sejak berpisah dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI), Polri diharap bisa mengambil peran pelayan dan pelindung ketertiban dan keamanan masyarakat. Seturut dengan pemisahan itu pula, reformasi Polri menjadi istilah yang terus menerus digaungkan karena peran sentral institusi ini dalam penegakan hukum. Komitmen reformasi ini adalah janji Polri kepada republik. Maka tak heran, ketika setiap penyelewengan kewenangan akan disorot begitu keras oleh publik.
        Landasan tujuan Kepolisian tertuang dalam pasal 4 UU Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang bunyinya “Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia”. Tujuan mulia tersebut menuntut personel-personel yang sudah terlebih dulu bisa mengamankan, menertibkan, menentramkan, melindungi dirinya sendiri dari godaan praktik melanggar hukum. Dalam hal ini, perlu diingatkan, bahwasanya Polri lahir dari rakyat dan selama-lamanya mengabdi kepada rakyat dalam kerangka besar pemenuhan tujuan bernegara, melindungi segenap bangsa dan tanah tumpah darah Indonesia.

        Oleh karenanya, dalam kerangka menuju ke arah Polri yang bisa menjadi abdinya rakyat, perlu disusun langkah-langkah pencapaian. Polri sudah membuatnya di atas kertas bernama Grand Strategy Polri 2005-2025 yang terbagi atas tiga periode. Pertama, Periode 2005 – 2010 merupakan tahap trust building, Periode 2010 – 2014 tahap patnership dan Periode 2015 – 2025 tahap strive for excellence. Melihat pembabakan tersebut, seharusnya Polri saat ini berada pada tahap patnership, yang fokus membangun  kerjasama  yang  erat  dengan  berbagai pihak yang terkait dengan penyelenggaraan  fungsi  kepolisian. Namun, benarkah Polri telah melewati tahap yang pertama, yakni tahap membangun kepercayaan dimata publik ? Salah satu indikator untuk menjawabnya bisa dilihat dari fenomena main hakim sendiri yang dilakukan baik oleh kerumunan orang maupun ormas. Indikator lainya, keberadaan KPK yang terus menerus hendak diperkuat yang sebenarnya menelanjangi reformasi Polri yang belum beres berbenah diri. Polri belum dapat dipercaya.

        Proses pembenahan ini seharusnya dipimpin langsung oleh pucuk komando tertinggi, yakni Kapolri. Meminjam ucapan Cicero dalam buku Imperium, “Ikan busuk dari kepalanya”. Jika pimpinan benar, maka anak buah akan ikut benar, begitu pun sebaliknya. Jika pimpinan hanya bisa berjanji, maka anak buah juga berpotensi besar untuk terjangkit. Kapolri sebagai “kepala ikan” harusnya dituntut merealisasikan janji sepuluh komitmen revitalisasi Polri pada saat fit and proper test di DPR. Pertama, menjunjung tinggi supremasi hukum dengan menegakkan hukum dan selalu bertindak sesuai dengan ketentuan hukum, memenuhi rasa keadilan dan kepastian hukum. Faktanya, adanya tudingan Polri tebang pilih dalam beberapa kasus memang mencederai supremasi hukum kita. Salah satunya terlihat dari penanganan kasus surat palsu MK. Disisi lain, polisi justru sangat cepat memproses kasus yang menimpa masyarakat kecil tetapi sangat lambat dalam memproses “kaum berpunya”.   

        Kedua, memastikan penuntasan penanganan perkara yang memenuhi rasa keadilan dan kepastian hukum serta diinformasikan penanganannya secara transparan kepada masyarakat. Menurut data yang dilansir dari ICW, ada sebanyak 20 kasus macet yang belum jelas penangananya. Polri selalu beralasan bahwa belum ditemukanya cukup bukti. Ketiga, memberikan pelayanan publik yang lebih baik, lebih mudah, lebih cepat, lebih berkualitas, lebih nyaman dan memuaskan bagi masyarakat. Sebenarnya sudah menjadi rahasia umum bahwa pelayanan yang dilakukan oleh Polri masih belum memuaskan masyarakat. Kita sering mendengar masyarakat yang per­nah ber­urus­an  da­lam pem­bu­at­an SIM/STNK/SKCK, pe­lang­gar­an per­atur­an la­lu lin­tas, la­por­an ke­hi­lang­an, ke­ce­la­ka­an, dan la­por­an ka­sus pi­da­na, tidak puas terhadap pelayanan yang dilakukan polri. Survei Integritas Sektor Publik yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan pelayanan polisi dalam penerbitan surat-surat seperti Surat Izin Mengemudi dan Surat Keterangan Catatan Kepolisian mendapat nilai di bawah rata-rata. Unit layanan SIM dan SKCK Kepolisian di 22 kota tercatat memperoleh indeks sebesar 4,60, di bawah rata-rata 5,42, alias indeks integritas paling rendah.
        Keempat, membangun kerjasama dengan seluruh stakeholder dalam berbagai bidang yang terkait dengan tugas pokok, fungsi dan peran polri, termasuk bentuk kerjasama dalam bidang keamanan, pelayanan, pengembangan sumber daya manusia, penelitian dan pengembangan serta pengawasan. Polri diketahui telah melakukan kerjasama dengan  Komnas HAM pada tanggal 9 Mei 2011 di bidang pendidikan dan penyelesaian kasus-kasus HAM. Namun, faktanya, kerjasama yang dilakukan oleh Polri tidak memberi efek getar perubahan dalam perubahan mindset khususnya penggunaan tindakan kekerasan. Polri sejak berpisah dari TNI diharapkan tidak lagi menggunakan pola-pola militer dalam setiap tindakanya. Namun faktanya, tindakan polri terkadang malah melebihi militer.

        Kelima, menunjukkan sikap kepemimpinan tauladan yang melayani dan memberdayakan bawahan. Kepemimpinan dilihat dari seberapa besar keberhasilanya menggerakkan bawahan untuk mencapai tujuan. Tujuan polri dalam mewujudkan keamanan dan ketertiban serta pelayanan dan pengayom masyarakat telah gagal. Ini bisa terlihat dari catatan buruk kepolisian beberapa waktu ke belakang baik dalam kekerasan aparat, pembiaran kekerasan, tudingan mafia hukum di tubuh polri, dugaan rekening gendut, polemik penerimaan dana dari PT. Freeport, ketidakmampuan memprediksi dan mengatasi konflik dan sebagainya.

        Keenam, bekerja dengan senang hati, tulus, ikhlas dalam tugas dan pengabdian serta mencurahkan segenap kemampuan, pemikiran, waktu, dan tenaga untuk keberhasilan Polri. Jika janji revitalisasi nomor enam ini dilaksanakan, tentu Polri tidak akan menghadapi persoalan – persoalan seperti saat ini. Ketujuh, menerapkan prinsip reward and punishment dengan memberikan penghargaan terhadap anggota yang berprestasi serta memberi sanksi tegas bagi personel yang melanggar hukum, kode etik, dan disiplin Polri. Salah satu faktor peningkatan kepercayaan terhadap lembaga Polri adalah bagaimana polri berperilaku adil kepada setiap warga negara. Tetapi, pelanggaran oleh aparat polri dalam banyak kasus, hanya dikenakan sebatas sanksi disiplin saja.

        Kedelapan, menjamin keberlanjutan kebijakan dan program yang telah dilaksanakan oleh pejabat Kapolri sebelumnya sebagaimana yang tertuang pada Grand Strategy Polri 2005-2014, reformasi birokrasi Polri, dan akselerasi transformasi Polri. Jika kita lihat Grand Strategy Polri 2005-2014, Kapolri periode lalu berada dalam tahap pembangunan kepercayaan (trust building) yang dimulai dari 2005-2009. Namun, bisa jelas kita lihat, Kapolri yang sekarang menjabat, tidak berhasil mengemban tugas tersebut, malah tindakan main hakim sendiri maupun pengambilalihan tugas polri oleh sekelompok ormas, semakin marak.

        Kesembilan, taat asas dan berlaku adil dengan bersikap dan berperilaku sesuai etika, prosedur, dan hukum yang dilandasi rasa keadilan. Salah satu kejadian dimana Polri melanggar etika, prosedur dan hukum yang dilandasi keadilan adalah penggunaan tindakan dalam mengatasi unjuk rasa di Bima. Pada saat itu, Polri melanggar Protap Nomor 1/X/2010 tentang Penanggulangan Tindakan Anarki yang mengakibatkan adanya korban tewas. Kesepuluh, menjaga integritas dengan bersikap tidak menyalahgunakan wewenang, transparan, akuntabel, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, etika dan moral. Data Komnas HAM, polisi pada tahun 2011 ditempatkan sebagai penegak hukum paling atas yang melakukan pelanggaran HAM. Data yang dimiliki Komnas HAM bulan Januari – Oktober 2011 sebanyak 1075 kasus. Sementara pada tahun 2010 sebanyak 872 kasus. Artinya, terjadi peningkatan tindakan pelanggaran HAM sebesar 18,88% dari tahun sebelumnya.
            Polri sebaiknya serius berbenah. Inilah masa pembuktian janji-janji manis Kapolri. Rakyat sudah lama rindu akan sosok pengayom, pelayan, pelindung hak-haknya. Komando penegakan hukum harus terus dikorbarkan. Keamanan dan ketertiban tidak jatuh dari langit. Semua butuh perjuangan. Jika tidak, jangan sampai apa yang dikatakan Cicero, bahwa “ikan busuk dari kepala”, terjadi di tubuh polri. Anda mau ? Maaf saya tidak. 

Adi Surya Purba
Mahasiswa Pasca Sarjana FISIP UI
Tenaga Ahli Anggota DPR RI

INFLASI PANCASILA


          Benarkah Pancasila masih dibutuhkan? Pada tahun 2011 silam, Presiden SBY pada peringatan Pidato Bung Karno 1 Juni 1945 tentang Lahirnya Pancasila di gedung DPR/MPR, memaparkan hasil survei BPS tentang cara pandang masyarakat Indonesia terhadap Pancasila. Sebanyak 79,26 persen masyarakat beranggapan Pancasila penting untuk dipertahankan.  Kemudian 89 persen menganggap berbagai permasalahan bangsa seperti tawuran, konflik antara kelompok masyarakat dan sebagainya terjadi karena kurangnya pemahaman dan pengamalan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Survei ini bisa saja dipandang positif, tetapi sebenarnya mengandung ironi. Ironinya, 67 tahun sejak Pidato 1 Juni 1945 tentang lahirnya pancasila, masalah yang dibicarakan masih saja sebatas kurangnya pemahaman dan pengamalan Pancasila.
        Pancasila hanya dipahami hanya sebatas lima silanya, yakni dimulai Sila Ketuhanan sampai Sila Keadilan Sosial. Padahal, bukankah untuk bisa mengaktualisasikan makhluk yang bernama Pancasila, kita perlu telusuri apa dan siapa dan dalam kondisi apa Pancasila lahir. Di saat yang sama, berbagai seminar, pidato, diskusi terus menerus mereproduksi Pancasila sebagai bagian dari wacana. Degradasi terjadi ketika repetisi yang berlangsung hanya sebatas simbol-simbol dan bukannya pemahaman terhadap nilai-nilai Pancasila secara menyeluruh. Inflasi pelafalan Pancasila yang tidak dibarengi dengan internalisasi dan implementasinya menyebabkan devaluasi nilai dasar negara ini. Pancasila terus menerus direproduksi tanpa tahu fungsi dan utilitasnya. Produk tersebut seringkali ditempatkan di “etalase solusi” yang ketika ada persoalan, dengan enteng telunjuk kita mengarah ke etalase tersebut.
        Beramai-ramai orang menyebut Pancasila sebagai solusi dari masalah yang dihadapi negara ini. Solusi yang dirasa abstrak karena konkretisasi nilai-nilai Pancasila masih jauh untuk direalisasikan karena masih dalam tataran wacana saja. Komitmen untuk mengaplikasikan Pancasila dalam lini-lini kehidupan berbangsa dan bernegara ini tidak banyak dimiliki oleh individu maupun institusi yang seharusnya turut mengawal tumbuh kembang Pancasila.

       Bunyi-Bunyian Pancasila
        Pancasila yang terlihat begitu melekat dalam setiap aktivitas pejabat negara sampai dengan rakyat biasa, tidak berarti apa-apa ketika dihadapkan dengan masalah pluralisme yang banyak terjadi di berbagai titik di Indonesia. Lihat sumpah jabatan pejabat negara yang kini jadi tumpukan sampah. Dalam UUD 1945 baik sebelum maupun sesudah amandemen, sumpah presiden berbunyi “memegang teguh UUD” (di mana ada Pancasila di dalamnya). Lihat pula komitmen para kepala daerah dalam Pasal 27 huruf (a) UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang berbunyi “Kepala daerah dan wakil kepala daerah mempunyai kewajiban memegang teguh dan mengamalkan pancasila...”. Buka pula tentang sumpah PNS dalam Pasal 26 UU 43 tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian yang bunyi sumpahnya “Bahwa saya, untuk diangkat menjadi PNS, akan setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945...” Sampai ke tingkatan peserta didik, di mana dalam upacara bendera, tidak pernah ketinggalan, pembacaan sila-sila pancasila. Tetapi kenyataanya sangat jauh panggang dari api. Oleh karena itu, menarik apa yang dikatakan Yudi Latif (2011), bahwa di zaman orde baru, penataran Pedoman Penghayatan dan Penerapan Pancasila (P4), buku-buku dan pidato para pejabat di mana-mana tentang Pancasila, tidak memiliki satu pun kandungan yang dapat diterapkan. Wacana Pancasila lebih mirip bunyi-bunyian di dunia ide, yang enak didengar, enak diulang-ulang, enak dipentaskan di berbagai panggung tetapi secara tidak sadar, hal ini bisa saja menimbulkan efek “eneg Pancasila” di dunia nyata.
        Setidaknya munculnya “eneg Pancasila” hari ini bisa kita lacak dari tiga aspek yang mencakup aspek kenegaraan, kebangsaan dan kemasyarakatan. Pertama, aspek kenegaraan. Notonagoro melihat Pancasila, sebagai cita hukum (rechtsidee) merupakan bintang pemandu. Posisi ini mengharuskan pembentukan hukum positif adalah untuk mencapai ide-ide dalam Pancasila, serta dapat digunakan untuk menguji hukum positif. Dengan ditetapkannya Pancasila sebagai Staatsfundamentalnorm  maka pembentukan hukum, penerapan, dan pelaksanaanya tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai Pancasila. Dalam hal ini, perwujudan nyata-nya bisa kita lihat pada Pasal 2 UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Peraturan Pembentukan Perundang-undangan yang bunyinya “Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara”. Berlawanan dengan itu, data di Mahkamah Konstitusi menyebutkan, dari sekitar 400 pengaduan gugatan UU yang masuk ke lembaga itu pada Agustus 2003-Mei 2012, sekitar 27 persen di antaranya dibatalkan karena melanggar nilai-nilai Pancasila. Belum lagi maraknya perda-perda yang nyata-nyata bertentangan dengan Pancasila. Serta tak lupa kebijakan kepala daerah yang begitu vulgar mengingkari ideologi negara.
        Kedua, aspek kebangsaan. Hal yang paling aktual adalah bagaimana kita gagal merawat permata pluralisme kebangsaan Indonesia. Kekerasan atas nama pemurnian dan perlindungan terhadap agama dilakukan mulai marak terjadi sejak awal 2000-an. Sepanjang 2007- 2010 Mabes Polri mencatat paling tidak terjadi 107 kekerasan yang dilakukan organisasi kemasyarakatan berbasis keagamaan maupun primordialisme etnis. Pada 2007 ada 10 tindak kekerasan. Pada 2008 ada 8 kali. Pada 2009 ada 40 kali, sementara pada 2010 ada 29 kali. Data Mabes Polri ini diperkuat dengan data yang dikeluarkan Setara Institute, yang menunjukkan sepanjang 2009-2010 terjadi sebanyak 183 kekerasan atas nama agama dilakukan aktor non-negara.
        Demokrasi liberal turut serta berdampak pada proses liberalisasi ideologi dalam kehidupan kebangsaan kita. Ditambah lagi dengan  hancurnya perekonomian nasional akibat ekspansi kapital multi-nasional dalam kerangka neo-liberal yang juga merupakan dampak dari ketiadaan nilai atau ideologi bangsa  di kalangan elit politik dan pejabat negara. Kelompok radikal keagamaan relatif berhasil  menjual ‘mimpi’ akan kehidupan yang lebih layak dibawah naungan  hukum syariah atau bentuk negara khilafah ditengah-tengah masyarakat yang frustasi akibat problem ekonomi yang tiada berujung.
        Ketiga, aspek kemasyarakatan. Hal yang paling nyata terlihat dalam keseharian masyarakat adalah bagaimana budaya asing begitu mendominasi ruang publik serta semakin menguatnya nilai individualisme. Absensinya nilai-nilai gotong-royong datang bersama modernisasi ala barat di segala sektor kehidupan. Fundamentalisme agama juga merasuk mengisi kekosongan dalam tubuh masyarakat yang lahir akibat perubahan sosial yang berderap cepat.

          Radikalisasi Positif Ideologi
        Pancasila tidaklah jatuh dari langit, melainkan ideologi yang butuh perjuangan. Sudah saatnya kita berhenti berdebat tentang Pancasila dan saatnya menggaungkan radikalisasi ideologi. Dalam hal ini, Bung Karno dalam bagian akhir pidatonya pada 1 Juni di depan sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai menekankan betapa pentingnya perjuangan Ideologi itu. “Maka dari itu, jikalau bangsa Indonesia ingin supaya Pancasila yang saya usulkan itu, menjadi satu realiteit,...ingin hidup sempurna dengan sociale rechtvaardigheid, ingin hidup dengan sejahtera dan aman, dengan ketuhanan yang luas dan sempurna – janganlah lupa akan syarat untuk menyelenggarakannya, ialah perjuangan, perjuangan, dan sekali lagi perjuangan!”
        Di sini Pancasila sebaiknya, meminjam istilah Yudi Latief, mengalami proses radikalisasi yang positif yakni penjangkaran dan pengakaran lebih dalam di masyarakat. Artinya ideologi tidak sekadar hafalan, tidak sekadar bunyi-bunyian, tidak pula sekadar macan kertas. Istilah radikalisasi ini, oleh budayawan Kuntowijoyo, menunjuk pada upaya “mengaktifkan” sila-sila dalam Pancasila agar “operasional”, untuk menjadi dasar negara, pedoman, filsafat, serta ideologi dan tercermin dalam perilaku keseharian bangsa, terutama para elite politik. Proses radikalisasi Pancasila ini bisa dilakukan dengan jalan mengembalikan Pancasila sebagai ideologi negara, mengembangkan Pancasila sebagai ideologi menjadi Pancasila sebagai ilmu, mengusahakan Pancasila memiliki konsistensi dengan produk-produk perundangan, koherensi antarsila, dan korespondensi dengan realitas sosial, serta menjadikan Pancasila yang semula hanya melayani kepentingan vertikal (negara) menjadi Pancasila yang melayani kepentingan horizontal sekaligus menjadikan Pancasila sebagai kritik kebijakan negara. Dengan begitu, Pancasila akan menjadi lebih operasional dalam kehidupan dan ketatanegaraan, sanggup memenuhi kebutuhan praktis dan pragmatis, dan bersifat fungsional.
        Untuk itu menjadi tepat apa yang dilakukan MPR-RI periode 2009-2014 menjadikan setiap 1 Juni  sebagai peringatan bersejarah dimana untuk pertama kalinya Bung Karno berpidato tentang Pancasila sebagai dasar negara di depan BPUPK. Begitu pun sosialisasi empat pilar yang dilakukan oleh MPR bisa menjadi mata air ditengah keruhnya lautan air mata republik. Tetapi MPR tidaklah bisa sendirian. Harus ada sinergi dengan instansi-instansi lain yang dapat mendukung proses pembumian Pancasila dalam kehidupan masyarakat. Bangsa ini sudah terlalu lama tiarap. Kita segenap rakyat Indonesia sudah sejatinya menjadi prajurit pengawal benteng Ideologi republik. Anda ingin tetap melihat bangsa ini terus terpuruk terhina? Maaf, saya tidak.

Adi Surya Purba
Tenaga Ahli Anggota DPR RI
Aktivis GMNI



Pukul Dua Empat Nol-Nol...

Sudah pukul 23.59 Wib. Tak sabar aku selalu menunggu. Jantungku berdetak kencang sembari membayangkan apa yang akan aku katakan. Menyiapkan segudang canda agar bisa mendengarnya tertawa bahkan terpingkal-pingkal. Karena hanya itu persembahan di segala keterbatasan. Sedang apa kau disana, bagaimana perasaanmu, adakah kau sudah dijemput kantuk. Membayangkanmu tak pernah terasa cukup. Melihatmu tak selalu penuhi telagaku. Mendengarmu yang bisa menggenapi semuanya. Dengan suara yang malu-malu,dengan nada yang bersahaja.

Menunggu mungkin membosankan. Tetapi tidak buatku. Detik-detik menuju penantian bagikan jalinan dan bauran zat-zat yang membuat ringan tubuh. Bercampur aduk hingga tak pernah ada kata yang bisa mewakilinya. Tak puas bahasa untuk merepresentasikannya. Tak cukup glosarium untuk mengartikannya. Aku tahu kau sedang menunggu. Dan aku tahu ada senyum di seberang sana. Aku tahu ada cinta yang menderu-deru.

30 detik berlalu. Ingin segera ku mendahui waktu. Kenapa harus aku menunggu. Namun,di sisa waktu aku ingin sekali mengimajinasikanmu. Di sisa waktu aku bagaikan perakit bom yang menikmati ledakannya. Aku bukan puas atas seberapa dasyatnya. Aku tak puas dengan banyaknya yang mati. Aku menikmati “proses menanti”. Di situ ada gelisah. Di situ ada irama detak yang berlari-lari kencang. Di situ ada sedikit resah. Semuanya saling menyatu tapi tak pernah ia mampu. Ia bagaikan sebotol minuman dengan aneka rasa. Bagaimana mungkin aku bisa menjawab apa rasanya. Manis ? Tidak. Asam ? Tidak. Pahit kah ? Juga tidak. Aku kehilangan kata-kata. Narasiku serasa buta. 

15 detik menjelang. Aku masih disini. Masih setia menunggu di atas jarum jam yang kemarin. Rembulan tersenyum malu-malu. Angin menderu-deru. Gemintang muncul satu persatu. Malam semakin pekat. Waktuku semakin dekat. Bayangmu semakin dekat. Mulutku mulai komat kamit. Lima, empat, tiga, dua, satu.............”hallo...”

Subuh Itu, Kumenggugat...


Aku agak terganggu dengan pembicaraan kita tentang masa depan hubungan ini. Pada zona nyaman yang selama ini kuhindari untuk diperbincangkan. Tetapi aku tahu itu hanya seperti menunggu bom waktu. Cepat atau lambat,konflik itu akan tiba. Aku selalu tergoda membicarakannya,tetapi selalu tak siap dengan jawaban yang abstrak dan seperti menyerahkan semua pada waktu.Padahal waktu tidaklah bisa menjawab. Aku dan kau yang memberi keputusan. Apakah harus diperjuangkan atau hanya sekedar cinta yang singgah dan kemudian terbang lagi.

Kita berbeda bukan karena kita menginginkannya. Semua orang bisa memahami itu dan semua orang juga di satu sisi ikut mengutuknya. Bukan salah kita,bukan pula salah mereka. Aku pun tak mengerti kenapa kita harus mencari siapa yang salah. Aku cuma ingin bersuara dan menunjukkan pada dunia bahwa kita saling mencintai.Bahwa cinta kita lahir dari proses unik yang takkan terlupakan oleh anak cucu kita. Aku sangat mencintaimu dan kau pun begitu tanpa memandang keyakinan dan kepercayaan masing-masing. Karena kita tahu cinta itu tak bersekat,diskriminatif,sempit dan ekslusif. Aku tak tahu ternyata ada hukum religi yang bilang manusia tidak boleh mencintai manusia lain yang berbeda.Apakah “yang berbeda” itu iblis yang kafir ?. Apakah ini tanda dalam agama pun ada diskriminasi ?

Cinta ada dalam setiap agama. Apakah agama hanya membatasi kita boleh mengasihi seseorang tetapi hanya kepada agama kita sajalah kita boleh berbagi cinta asmara pada lawan jenis kita.Pernahkah kalian yang membaca ini berada dalam posisi kami ?. Kalau kalian menyalahkan kami karena memutuskan untuk saling mencintai,bukankah kalian juga sering berucap cinta itu bisa datang kapan saja-dimana saja. Satu sisi kalian memuja,tapi satu sisi menghujat. Saya hanya ingin mengajak agar kita berpikir sesuai dengan kacamata orang lain juga.Mencoba merasakan berada di posisi kami.

Apakah kalian tahu bagaimana aku mencintai perempuan itu ?. Tentu tidak. Dia yang membuatku bersemangat. Dia yang rela melaggar prinsip-psrinsip hidupnya demi lelaki ini. Dia yang bisa hadirkan hal yang indah. Dia yang membelai rambut seraya mengecup kening hantarkan tidurku. Dia adalah dia..seseorang yang sangat kucinta.Tiap hari kita saling menyapa,saling berbagi cerita. Kadang diselingi gelak tawa,sesekali ada tangis dan beberapa dinamika yang buatku merupakan bumbu sebuah hubungan. Kami sangat bahagia.

Aku ingin dia yang membacakan doa saat aku beristirahat di sisi-Nya. Aku ingin dia yang mencabut uban yang memutih di kepalaku. Dia yang membawakan sebuah tongkat untuk aku berjalan. Aku ingin bersamanya dalam tidurku bahkan aku berdoa agar dia selalu memenuhi mimpiku. Lantas haruskah cinta kami kalian pisahkan dengan arogansi tanpa setitik nada mengerti ?. Andai aku bisa menolak cinta ini sejak awal,aku akan berdoa pada Allah. Namun,bukankah Dia juga yang menciptakan cinta itu ?

Ingatkah kalian bagaimana kalian membunuh Socrates dengan minum racun ? Lupakah kalian bagaimana dengan semena-mena kalian membunuh galileo karena mengatakan bumi itu bulat ? Lupakah kita bagaimana kita membunuhi dan membantai saudara-saudara kita yang kalian tuduh PKI ? Masihkan kalian ingat bagaimana kalian membunuh Syekh Siti Djenar dengan keji ?. Sekarang justru kalian juga mengelu-elukan nama Socrates dalam ajaran-ajarannya. Hari ini kalian beramai-ramai bilang kalau matahari mengelilingi bumi. Hari ini kalian juga bisa lantang berucap bahwa belum tentu PKI adalah dalang peristiwa GESTAPU. Dan di toko-toko buku kalian pula,berjejer karya Djenar yang kalian rekomendasikan untuk dibaca. 

Sekarang kalian akan memisahkan kami jugakah ? mencerca kami dengan sebutan kafir,iblis,dan semua sumpah serapah yang kalian sudah persiapkan buat kami.Meskipun itu yang kalian akan lakukan. Aku cuma mau bilang “ kami saling mencintai”.