Akrobat Politik Para Pesolek Dan Pesulap

Kekuatan elemen politik Indonesia sedang pecah kongsi bahkan saling kunci. Rakyat pun merugi karena agenda pemerintah dalam menyejahterakan rakyat, untuk kesekian kalinya dikesampingkan dahulu.  Indikasi pecah kongsi sebenarnya sudah tampak pada kasus Gayus Tambunan. Kasus mafia pajak tersebut tidak bisa dibaca murni sebagai kasus seorang pegawai negeri golongan III yang berusaha memperkaya diri sendiri. Gayus-gate menyeret kekuatan-kekuatan politik besar untuk saling buka kartu politik dan saling terkam di atas kasus tersebut. Seperti ramai diberitakan oleh media, Aburizal Bakrie, disebut-sebut sebagai salah satu pemain dalam kasus Gayus. Sudah barang tentu, pemain-pemain politik ramai-ramai masuk panggung. Berlomba mempertontonkan akting-nya di depan rakyat. Inilah pentas tontonan publik hari ini. Pertunjukan akrobat para badut penguasa. Saling telanjang-menelanjangi, saling kunci-saling maki.
            Fenomena pecah kongsi dan saling kunci bisa terlihat dari tidak solidnya koalisi gabungan pemerintah dalam menghadapi berbagai persoalan. Sebut saja, kasus Century. Koalisi besar justru menjadi penikam utama SBY-Boediono yang namanya dikaitkan dengan dana 6,7 trilliun bailout Bank Century. Sebut lagi pada saat menyikapi kriminalisasi pimpinan KPK. Lagi terlihat kekuatan koalisi terbelah menyikapi usulan deponeering. Terakhir, menyoal hak angket perpajakan yang berujung pada dua kutub kekuatan yang saling intip,ikat dan hantam.
Partai Demokrat adalah kelompok yang paling keras menolak hak dewan tersebut. Padahal partai ini juga yang pertama kali mengusulkan yang kemudian menjilat ludahnya sendiri. Sementara di sisi lainya, Partai Golkar, ngotot dengan dalih temuan pansus bisa menjadi landasan bagi percepatan proses reformasi birokrasi di Kementerian Keuangan sehingga bisa menghambat kerugian negara. Tentunya, kedua kutub ini sedang berperang dalam satu kapal yang sama, yakni kapal para penguasa. Oleh karena tu, rakyat jangan tertipu karena dibutakan matanya, jangan terbuai karena dirayu pula hatinya dan jangan diam mulutnya  karena dipaksa menonton dagelan politik dengan perut yang lapar.
Karena persoalan ini berlangsung antar aktor-aktor politik, maka kita juga perlu membaca dari kacamata politik pula. Politik bisa diteropong sebagai sebuah seni untuk memanfaatkan kelemahan lawan dan mengubahnya menjadi keuntungan. Lasswell (1936) pernah mengatakan bahwa  Politics : who gets what and when. Pesan yang ingin disampaikan dari pengertian ini adalah politik tidak lepas dari tawar menawar yang sifatnya pragmatis. Defenisi lain tentang politik yang umum adalah politik sebagai seni kemungkinan (art of possibility) yang menyiratkan tidak ada yang tidak mungkin dalam ranah politik sehingga memunculkan sebuah adagium tak ada teman atau musuh abadi, yang abadi hanyalah kepentingan.
Begitupula dengan kasus Gayus, pro-kontra hak angket, sampai dengan pemanggilan ketua Umum PDI-P, Megawati, sebagai saksi meringankan dalam kasus travel check Miranda Gultom, harus juga kita baca dari sisi kepentingan politik siapa yang bermain. Sampai-sampai, ada pihak yang menganggap Tragedi Ahmadiyah juga berlatar belakang politik elit. Kejadian-kejadian tersebut mengisyaratkan turbulensi politik di tataran elit. Turbulensi selalu mengandung ketegangan dan benturan yang tidak beraturan. Namun, turbulensi politik seringkali berujung pada kompromi. Ada pihak yang mendapat dan ada yang memberi (take and give) yang didahului baik oleh kesamaan kepentingan, gertakan sampai intimidasi politik melalui tangan aparat penegak hukum.
Kita coba melihat kasus Gayus. Kasus ini dijadikan amunisi untuk menghabisi citra Aburizal Bakrie. Ketua umum Golkar ini disinyalir bisa menjadi pesaing Demokrat pada pertarungan politik 2014. Terlihat bagaimana Satgas Mafia hukum bentukan presiden SBY malah lebih getol pada kasus ini dibandingkan aparat hukum lainya. Demokrat juga punya agenda agar kasus Century jangan diganggu dan kalau bisa “diamankan”. Sementara, Aburizal juga berkepentingan agar namanya tidak diseret-seret oleh kasus Gayus. Meskipun secara gamblang, Gayus menyebut perusahaan-perusahaan milik Aburizal sebagai klienya. Suara-suara tentang siapa tokoh dibalik Gayus serta dukungan agar kasus mafia pajak segera ditangani KPK yang berasal dari kubu Demokrat, merupakan isyarat perang bagi Golkar. Maka, serangan balik melalui pengguliran hak angket perpajakan mulai menjadi bola panas di parlemen.
Sementara dari kubu oposisi, hak angket itu diharapkan dapat menelanjangi kebobrokan di dalam sistem perpajakan dalam negeri. Selain itu, pansus juga diharapkan secara terbuka dapat mengungkap praktek kongkalikong antara petugas pajak seperti Gayus Tambunan dengan para wajib pajak yang diduga melakukan pengempalangan. Bagi PDI-P, Pansus angket mafia pajak merupakan hak konstitusional DPR. Sebagai oposisi yang selalu kritis terhadap penyelewengan oleh penguasa, PDI-P ingin mengurai benang kusut birokrasi perpajakan dan indikasi penyalahgunaaan kebijakan perpajakan nasional secara transparan dan tuntas sehingga keputusannya nanti bisa jadi acuan pemerintah dan penegak hukum untuk menindak lanjutinya. Namun, PDI-P juga harus hati-hati. Seringkali manuver-manuver politik yang berkembang di DPR, justru malah memberi keuntungan politik bagi salah satu kekuatan untuk dijadikan alat bargaining politik. Apalagi kalau bukan soal mendapat kue kekuasaan yang lebih besar lagi. 
Memang hak angket sebagai hak dewan perlu digulirkan dalam konteks momentum untuk melakukan pembenahan aspek penerimaan negara atau pemberantasan korupsi. Jika berharap pada Kejaksaan dan Kepolisian, sudah sangat sulit. Berkali-kali kasus-kasus korupsi yang ditangani lembaga tersebut berbuah hasil yang sangat mengecewakan. Apalagi KPK yang sekarang dituding sarat dengan intervensi elit, sehingga diragukan komitmenya seperti lambatnya penyelesaian kasus Century. Ini membuat pansus hak angket menjadi daya gedor yang besar untuk mendorong pemerintah memperbaiki sektor – sektor penerimaan negara. Alangkah lebih baik pula hak angket tersebut jika disertai dengan tansparansi, sehingga bisa dikawal oleh rakyat.
Konflik sesama penguasa ini ternyata membawa dampak negatif buat rakyat. Tontonan saling jegal dan intrik tidak bermanfaat apa-apa buat petani garam yang mengeluh akan merajalelanya garam impor. Semua akrobat politik tersebut hanya berujung pada ending antiklimaks, tidak lebih. Oleh karena itu, kita sebagai rakyat kecil harus terus membuka mata, terus siaga jangan sampai tertipu terus. Jika perlu, ikut turun ke jalan. Hanya kekuatan rakyat yang bisa membuka mata pemerintah yang korup. Oleh karena itu, hak angket harus tetap jalan tetapi tanpa hidden agenda untuk cuci nama atau cari nama. Hak angket harus terus dikawal agar tetap berada pada jalurnya. Jangan sampai ditunggangi lagi.
Atraksi akrobatik para penguasa tampaknya akan terus punya episode-episode lanjutan. Pemain utama dan pemain pengganti akan silih berganti mempertunjukkan kebolehan aktingnya setidaknya sampai episode akhir pemilihan anggota legislatif dan pemilihan presiden 2014. Semunya berlomba agar mendapat piala pemain sinetron politik terbaik dan terfavorit pilihan pemirsa. Maka dari itu, salon-salon politik akan penuh sesak dipenuhi bedak dan gincu merah menyala. Lampu-lampu sorot silih berganti menyorot dan menambah riuh semarak. Dan kita para petani, tukang becak, guru TK, supir, nelayan dan kaum melarat lainnya, masihkah tetap beli karcis dan jadi penonton ?

Adi Surya
Alumnus Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik
FISIP UNPAD

Bung Karno Tentang Ahmadiyah


Tentang Ahmadiyah Penggalan dari Buku DBR Bagian Artikel “Tidak Pertjaja bahwa Mirza Gulam Ahmad adalah Nabi “ (Endeh, 25 Nopember 1936)

Dan mengenai Ahmadijah, walaupun beberapa fatsal didalam mereka punja visi saja tolak dengan jakin, toch pada umumnja ada mereka punja “feature” jang saja setudju; mereka punja rationalisme, mereka punja kelebaran penglihatan (bradmindedness), mereka punja modernisme, mereka punja hati-hati terhadap kepada hadits, mereka punja streven Qur’an sahadja dulu, mereka punja systematische aannemelijk making van den Islam. (p. 346)
Maka oleh karena itulah, walaupun ada beberapa pasal dari Ahmadijah tidak saja setudjui dan malahan saja tolak, misalnja mereka punja “pengeramatan” kepada Mirza Gulam Ahmad, dan mereka punja ketjintaan kepada imperialisme Inggeris, toch saja merasa wadjib berterima kasih atas faedah-faedah dan penerangan-penerangan jang telah saja dapatkan dari mereka punja tulisan-tulisan jang ratineel, modern, broadminded dan logis itu. (p.346)

Tentang Ahmadiyah Penggalan dari Me-Muda-kan Pengertian Islam (“Pandji Islam”, 1940)
Saja tidak akan membitjarakan disini pergerakan-pergerakan politik dikalangan ummat Islam India itu, (seperti misalnja All-India Moslem League, atau sajap-Islam dari Indian National Congress), jang lapang-pekerdjaannja terutama sekali terletak dibagian politik, tetapi jang toch barang tentu sekali ada pengaruh pula diatas lapangan sjari’at dan pengeritan agama, tetapi saja sebutkan disini beberapa pergerakan Muslim india jang semata-mata bertjorak agama dan jang njata-njata mendjadi elemen-elemen pembaharuan diatas lapangan “Moslem out-look” itu. Pergerakan-pergerakan muda inilah jang njata mendjadi gelombang-gelombangnja aliran panta rei jang mentjutji “outlook” itu dengan lambat laun. Orang boleh mufakat, atau tidak mufakat, boleh mengutuk atau tidak mengutuk pergerakan-pergerakan muda ini, tetapi orang tidak dapat membantah kenjataan, bahwa pergerakan-pergerakan ini banjak berdjasa mengreksi keagamaan ummat Islam di India, membersihkan kotoran-kotoran faham didalam dunia Islam di India, meliberalkan “outlook”-nja sebagian kaum kolot di India sedjak bertahun-tahun. (p. 388)
Pertama “pergerakan Aligarh”, kedua “pergerakan Ahmadijah”. Pergerakan Aligarh jang berpusat di Aligarh, dan pergerakan Ahmadijah jang berpusat di Lahre. Nama jang orang berikan kepada bapak pergerakan itu, — Sir Ahmed Khan—, adalah djitu sekali buat menggambarkan “outlook”nja pergerakan itu. (p. 388)
Orang namakan Sir Ahmed Khan “The Apostle of Reconciliation”, —“De apostel der Verzoening”, “Dutanja perdamaian”. Perdamaian antara kemadjuan dan agama Islam, perdamaian antara kemoderenan dan sjari’at. Reconciliation, verzoening, perdamaian, … dan bukan tabrakan! Herankah kita, kalau kita melihat tjara-bekerdjanja kaum Aligarh penuh dengan reconciliation pula? Setjara “halus”, setjara “bidjaksana”, setjara … “perdamaian”? Perdamaian, dan bukan membongkar mentah-mentahan faham-faham jang salah, bukan mengadakan pengertian jang baharu, — bukan reinterpretasi jang baru, jang berkata: “inilah interpretasi jang benar, jang lain adalah salah”. (p.388)
Lain sekali dengan metode pergerakan jang kedua, jakni pergerakan Ahmadijah. Ahmadijah tidak pertjaja bahwa bisa ada perdamaian antara salah dan benar. Bukan reconciliation-lah ia punja sembojan, ia punja sembojan ialah reintepretasi. “Interpretasi jang dulu adalah salah, marilah kita buang interpretasi jang salah itu, marilah kita mentjari interpretasi jang baru.” Ahmadijah adalah besar pengaruhnja, djuga diluar India. Ia bertjabang dimana-mana ia menjebarkan banjak perpustakaannja kemana-mana. Sampai di Eropah dan Amerika orang batja ia punja buku-buku, sampai disana ia sebarkan ia punja propagandis-propagandis. Tjorak ia punja sistim adalah mempropagandakan Islam dengan mempertahankan Islam itu terhadap serangan-serangan dunia Nasrani: memprpagandakan Islam dengan membuktikan kebenaran islam dihadapan kritiknja dunia nasrani. Ja… Ahmadijah tentu ada tjatjat-tjatjatnja,—dulu pernah saja terangkan didalam surat-kabar “Pemandangan” apa sebab misalnja saja tidak mau masuk Ahmadijah—, tetapi satu hal adalah njata sebagai satu batu-karang jang menembus air laut: Ahmadijah adalah salah satu faktor penting didalam pembaharuan pengertian Islam di India, dan satu faktor penting pula didalam propaganda Islam dibenua Eropah chususnja, dikalangan kaum intelektuil seluruh dunia umumnja. Buat djasa ini,— ia pantas menerima salut penghormatan dan pantas menerima terima kasih. Salut penghormatan dan terima kasih itu, marilah kita utjapkan kepadanja disini dengan tjara jang tulus dan ichlas! (pp. 388-389)

Penggalan dari Tidak Pertjaja bahwa Mirza Gulam Ahmad adalah Nabi (Endeh, 25 Nopember 1936)
Islam adalah satu agama jang luas jang menudju kepada persatuan manusia. (p.346)
Agama Islam hanjalah bisa kita peladjari sedalam-dalamnja, kalau kita bisa membukakan semua pintu-pintu budi akal kita bagi semua pikiran-pikiran jang berhubungan kepadanja dan jang harus kita saring dengan saringan Qur’an dan Sunnah Nabi. (p. 346)
Djikalau benar-benar kita saring kita punja keagamaan itu dengan saringan pusaka ini dan tidak dengan saringan lain, walaupun dari Imam manapun djuga, maka dapatlah kita satu Islam jang tidak berkotoran bid’ah, jang tak bersifat tachajul sedikit djuapun, jang tiada “keramat-keramatan”, jang tiada kolot dan mesum, jang bukan “hadramautisme”, jang selamanya “up to date”, jang rationeel, jang gampang, jang tjinta kemadjuan dan ketjerdasan, jang luas dan “broadminded”, jang hidup, jang levend. (pp. 346-347)

Penggalan dari Me-Muda-kan Pengertian Islam (“Pandji Islam”, 1940)

Maka dengan alasan kekaretan ini (dalam arti jang baik), djumudlah kita, kalau kita mau berkepala batu memegang teguh kepada pengertian-pengertian ulama dari seribu tahun jang lalu, atau dari lima ratus tahun jang lalu, atau dari dua ratus tahun jang lalu, waktu keadaan sekarang. Islam bisa tjotjok dengan semua kemadjuan, karena hukum-hukumnja “seperti karet”, — begitulah Sir Syed Ameer Ali berkata. Dan perkataan beliau ini adalah benar. Islam tidak akan bisa hidup hampir seribu empat ratus tahun, kalau hukum-hukumnja tidak “seperti karet”. Islam tidak akan bisa meninggalkan suasananja abad pertama, tatkala manusia tak kenal lain kendaraan melainkan onta dan kuda, tak kenal lain sendjata melainkan pedang dan panah, tak kenal lain alam melainkan alamnja padang-pasir, — kalau hukum-hukumnja tidak “seperti karet”. Zaman beredar, kebutuhan manusia berubah, — panta rei! —, maka pengertian manusia tentang hukum-hukum itu adalah berobah pula. Dan siapa tidak mau merobah, siapa tidak mau ikut zaman, siapa tidak mau ikut ber-“panta rei”, — ia akan ditinggalkan oleh zaman itu, zonder ampun, zonder kasihan, zonder harapan. (p. 375)
Kekaretan” hukum-hukum Islam itulah jang mendjadi sebabnja kultur Islam selalu berobah tjorak. Kultur Omayah adalah lain tjorak dari kultur Abbassyah, kultur Abbassyah lain tjorak dari kultur Usmanijah. Kultur Islam Arabia adalah lain kultur Islam Sepanjol, kultur Islam Sepanjol lain lagi dari kultur Islam sekarang. Ja, malahan dizaman sekarangpun kita melihat perbedaan-perbedaan pengertian tentang isi dan maunja hukum-hukum Islam itu. Dizaman sekarangpun kita melihat pertingkat-tingkatan didalam modern atau kolotnja pengertian agama itu dipelbagai negeri-negeri Islam. Apakah ini hanja karena ulama Fulan lain daripada taknja ulama Fulun, pengertian ulama Fulan tidak sama dengan ulama Fulun? Tidak! Sebab kita melihat, bahwa perbedaan-perbedaan antara ulama dan ulama sahadja, bukanlah perbedaan antara anggapan persoon dan anggapan persoon, tetapi dapatlah kita bahagikan pula didalam anggapan-anggapan daerah atau anggapan-anggapan negeri. (pp. 375-376)
Kita melihat “anggapan Mesir” lain dari “anggapan Turki”, “anggapan India” laindari “anggapan Palestina”. Kita melihat satu negeri sama sekali lebih modern interpretasinja Islam dari lain negeri sama sekali pula, satu negeri sama sekali lebih radikal mengreksi anggapannja dari lain negeri sama sekali pula. Kita melihat “mazhab Mesir” berlainan dengan “mazhab palestina”, “mazhab Palestina” berlainan dari “mazhab Turki”. Kini melihat perbedaan faham jang demikian itu, maka kita tanja: apa sebab? Karena berlainan otak ulama-ulama sahadja? Karena tidak ada dua orang jang satu fikiran? Tidak! Sebabnja ialah oleh karena kebanjakan hukum-hukum Islam itu boleh diinterpretasikan menurut kehendak masa. Sebabnja ialah oleh karena satu negeri lebih sempat dan mampu mengadjar masa daripada negeri jang lain, lebih “tjakap” mengadjar masa daripada jang lain, lebih tjakap “mengkaretkan” pengertiannja kepada masa, daripada jang lain. (p. 376)
Marilah kita menindjau bersama-sama, agar supaja kita mengetahui, bahwa diluar tradisi fikiran kita sendiri itu adalah pula aliran-aliran lain. Dengan begitu, kita kemudian lantas dapat membandingkan tradisi fikiran kita sendiri itu dengan pendapat rang lain. Mana jang benar nanti? Jang benar ialah jang tjotjok dengan kita punja akal, — asal akal kita itu akal jang merdeka. Akal jang masih terikat pada tradisi fikiran sendiri, akal jang belum akal merdeka, tak dapatlah kita pakai sebagai penjuluh untuk mentjari kebenaran didalam rimbanja kegelapan. “Agama adalah bagi orang jang berakal”, begitulah Nabi bersabda. Orang jang berakal hanjalah orang jang bisa menggunakan akalnja itu dengan merdeka. Orang jang akalnja masih terikat bukanlah orang jang berakal. Orang jang demikian itu adalah orang jang mengambing kepada tradisi fikiran sendiri. Orang jang demikian itu adalah “kuddemensch”. (p. 377)
Maukah saudara mendengar pendapatnja seorang Orientalis Belanda tentang keadaan ummat Islam zaman sekarang? “Bukan Qur’anlah kitab-hukumnja orang Islam, tetapi apa jang ulama-ulama dari segala waktu tjabutkan dari Qur’an dan sunnah itu. Maka ini ulama-ulama dari segala waktu adalah terikat pula kepada utjapan-utjapannja ulama-ulama jang terdahulu dari mereka, masing-masing didalam lingkungan mazhabnja sendiri-sendiri. Mereka hanja dapat memilih antara pendapat-pendapatnja otoritet-otoritet jang terdahulu dari mereka. … Maka sjari’at seumumnja achirnja tergantunglah kepada idjmak, firman jang asli.” Begitulah pendapatnja Professor Snouck Hurgronje, jang tertulis didalam ia punja “Verspreide Geschriften” djilid jang pertama. (p. 401)
Dapatkah, kita membantah kebenarannja? Maka kalau seorang bukan-Islam sebagai Professor Snouck Hurgronje itu tahu akan hal itu, jakni tahu akan menjimpangnja idjmak dari rochnja Islam jang asli, alangkah aibnja pemuka-pemuka Islam Indonesia kalau tidak mengetahuinja pula! (p. 401)

Sumber http://www.facebook.com/notes/yosie-abdi/ahmadiyah-dalam-dbr/10150099527466484#!/notes/yosie-abdi/ahmadiyah-dalam-dbr/10150099527466484