Melek Huruf,Buta Membaca


Pemberantasan buta aksara ( buta huruf ) yang dilakukan pemerintah bertujuan agar seluruh penduduk yang masih buta aksara dapat menulis dan membaca. Jumlah penduduk Indonesia yang masih buta huruf ternyata cukup besar, mencapai 5,39 juta orang. Jumlah itu terdiri dari 2,80 juta orang usia 10-44 tahun dan 2,59 juta orang usia 44 tahun ke atas. . Kebanyakan Penduduk yang buta huruf adalah orang-orang yang tidak mengecap pendidikan formal, tingkat pendapatan ekonomi yang rendah dan tersisisihkan dari pusat-pusat peradaban. Artinya, buta huruf selalu identik dengan kelas sosial yang terbelakang. Menjadi sebuah kewajaran ketika mereka tetap bergelut dalam kubang kemiskinan. Sudah buta huruf, otomatis buta pula membaca.

Coba kita bandingkan dengan kelas sosial yang lain. Mahasiswa dianggap sebagai kelas menengah yang identik dengan julukan kaum intelektual. Kesehariannya bergelut dengan buku dan dituntut untuk selalu menjadi garda terdepan dalam proses perubahan masyarakat. Apakah mahasiswa buta huruf ? tentu saja tidak. Melek huruf diartikan sebagai kemampuan untuk mengidentifikasi, mengerti, menerjemahkan, membuat, mengkomunikasikan dan mengolah isi dari rangkaian teks yang terdapat pada bahan-bahan cetak dan tulisan yang berkaitan dengan berbagai situasi ( UNESCO ). Sudah barang tentu mahasiswa bisa membaca alias melek huruf. Namun, pertanyaanya kemudian adalah bagaimana minat baca dikalangan mahasiswa dengan kemampuan membaca dan tulis yang dimilikinya ?

Rendahnya Minat Baca

Bangsa yang maju adalah bangsa yang gemar membaca. Lihat saja Jepang, Jerman, Amerika Serikat yang mepunyai tradisi membaca. Bagi mereka buku merupakan sahabat yang menemani kemana pun mereka pergi. Tidaklah mengherankan jika banyak pemikir dan ilmuwan besar yang menciptakan peradaban, berasal dari negara-negara yang gemar membaca. Lantas bagaimana dengan Indonesia ? Data BPS tahun 2006 menunjukkan orang Indonesia yang membaca untuk mendapat informasi, baru 23,5% dari total penduduk. Sedangkan dengan menonton televisi sebanyak 85,9 % dan mendengarkan radio sebesar 40,3 %. Ini menunjukkan bahwa orang Indonesia belum menjadikan membaca sebagai sumber utama mendapat informasi.

Sebagai salah satu generasi penerus bangsa, mahasiswa dituntut untuk bergaul dengan buku. Dulu persepsi masyarakat terhadap sosok mahasiswa adalah orang yang berkacamata tebal, kata-katanya susah dicerna dan menjadikan buku sebagai kekasih hati yang selalu dibawa-bawa. Namun sekarang, kita bisa sama-sama melihat adanya sebuah pergeseran nilai-nilai terhadap peran yang dimiliki oleh mahasiswa. Buku menjadi barang yang menakutkan. Mahasiswa ‘ bercerai ’ dengan sumber pengetahuannya. Orang yang kutu buku justru di cap orang yang terlihat aneh dan menyimpang. Sungguh menggelikan.

Kenapa mahasiswa Indonesia malas membaca buku ? Pertama, membaca buku belum dianggap sebagai sumber motivasi untuk mendapatkan pengetahuan dan tak jarang dianggap sebagai hal yang tidak mengasyikkan. Buku belum menjadi kebutuhan primer bagi kebanyakan mahasiswa. Kedua, membaca berkaitan dengan penanaman nilai-nilai sejak kecil disertai dengan keteladanan . Absennya peran keluarga dalam proses sosialisasi tentang pentingnya membaca, turut serta menjadi faktor rendahnya minat baca. Ketiga, Minimnya sarana dan prasarana yang mendukung minat baca seperti rumah baca, perpustakaan , buku-buku bermutu dan teknologi. Keempat, dominannya budaya menonton televisi, mahalnya harga buku dan lemahnya sosialisasi pemerintah. Kelima, maraknya tempat hiburan membuat mahasiswa lebih banyak menghabiskan sebagian besar waktunya untuk sekedar nongkrong di tempat hiburan.

Menumbuhkan Budaya Baca

Membaca harus menjadi budaya. Tentunya untuk mencapai hal tersebut bukan semudah membalikkan telapak tangan. Artinya, ada ruang proses yang harus diberi tempat dalam pencapaian tujuan tersebut. Pemaksaaan dan kekerasan dalam pendidikan yang mendikte mahasiswa harus membaca, bukanlah sebuah model yang tepat. Poin yang utama adalah faktor kesadaran. Ketika membaca sudah disadari sebagai kebutuhan primer dan hal yang mengasyikkan , secara tidak langsung akan diikuti dengan motivasi untuk meningkatkan minat baca.

Proses penyadaran sebaiknya dilakukan sejak dini. Keluarga sebagai sebuah pranata sosial tempat anak mempelajari dan membentuk nilai-nilai, tidak boleh alpa menjalankan fungsi sosialisasinya. Anak harus dibiasakan membaca sejak kecil. Keteladanan orang tua juga menjadi proses imitasi ( peniruan ) yang penting dalam membentuk perilaku anak. Dengan begitu, diharapkan dari usia dini, membaca sudah menjadi kebiasaan dan rutinitas yang akan menjadi sifat atau karakter seseorang.

Di samping itu, sarana dan prasarana juga harus semakin ditingkatkan. Alfons Taryai dalam bukunya, Buku Dalam Indonesia Baru, terbitan Obor Indonesia 1999 menyebutkan bahwa di Indonesia terdapat satu perpustakaan nasional, 117.000 perpustakaan sekolah, 798 perpustakaan universitas, dan 326 perpustakaan khusus. Sedangkan perpustakaan untuk masyarakat umum hanya 2.583 perpustakaan. Jika dirasionalisasikan dengan jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 220 juta jiwa , maka perpustakaan umum yang ada harus mampu melayani 85 ribu penduduk. Artinya, jumlah perpustakaan di Indonesia masih sangat kurang memadai. Padahal, perpustakaan adalah media yang cukup penting untuk mendongkrak minat baca.

Membaca juga membutuhkan buku-buku yang memadai dan menunjang minat seseorang. Ketersediaan beragam bahan bacaan memungkinkan tiap orang memilih apa yang sesuai dengan minat dan kepentingannya. Jika dibandingkan dengan negara-negara lain, ketersediaan buku-buku masih jauh dari cukup. Cina dengan penuduk 1,3 miliar jiwa mampu menerbitkan 140.000 judul buku baru setiap tahunnya. Vietnam dengan 80 juta jiwa menerbitkan 15.000 ribu judul buku per tahun. Malaysia, 26 juta jiwa, 10.000 judul buku, sedangkan Indonesia dengan 220 juta jiwa, hanya mampu menerbitkan 10.000 judul buku per tahun ( Media Indonesia, Analisis, Sabtu,6 Oktober 2007 ). Artinya, ketersediaan buku belum sebanding dengan kebutuhan penduduk.

Penyediaan buku-buku bermutu juga dapat merangsang ‘ birahi membaca ‘ seseorang. Buku-buku yang tersebar secara luas dan merata ke berbagai lapisan masyarakat dengan sendirinya akan menumbuhkan minat baca. Diperlukan kesadaran kolektif dari setiap elemen yang ada di masyarakat untuk turut serta berpartisipasi dalam usaha menumbuhkan minat terhadap membaca buku di kalangan mahasiswa. Sinergi antara pemerintah, masyarakat , perguruan tinggi dan pihak swasta sangat penting bagi kontribusi kemajuan bangsa ini. Sehingga mahasiswa tidak menjadi generasi yang melek huruf tetapi buta membaca.


0 komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar Anda Di Sini :