Menyoal Tentang BKM

Menyoal Tentang BKM

Pro kontra terhadap rencana pemerintah untuk menyalurkan Bantuan Khusus Mahasiswa ( BKM ) kembali menjadi wacana hangat di tengah gemuruh aksi demonstrasi mahasiswa di berbagai penjuru negeri. Pasalnya, BKM dituding sebagai sebuah bentuk upaya penyuapan untuk meredam aksi-aksi mahasiswa dalam menentang kenaikan harga BBM. Sedangkan dari pihak pemerintah mencoba melihat persoalan ini dari sisi akademis dan bukan politis.

Kenaikan harga BBM sebesar 28,7 % beberapa waktu lalu memang terasa sangat membebani masayarakat. Kita bisa lihat setiap kenaikan harga BBM tentunya ikut menaikkan atau memicu kenaikan harga-harga lainnya. Semua orang, khususnya masyarakat menengah ke bawah sangat merasakan dampaknya. Rakyat terpaksa harus mengirit dan kerap kali harus berfikir ulang untuk mengeluarkan uang. Mahasiwa pun tak lepas dari dampak kenaikan BBM. Mulai dari naiknya ongkos transportasi, mahalnya biaya hidup sehari-hari sampai mahalnya harga buku dan biaya pendidikan lainnya yang tentunya akan juga naik seiring sejalan dengan biaya produksi yang semakin mahal.

Benarkah BKM untuk meredam gerakan mahasiswa ? Sebagai seorang intelektual, kita harus melihat persoalan ini secara objektif. Versi pemerintah mengatakan bahwa BKM bukan untuk meredam aksi-aksi mahasiswa, namun sebagai kompensasi dari dampak kenaikan harga BBM. Program ini akan disalurkan kepada 400.000 mahasiswa perguruan tinggi negeri dan swasta yang besarannya 500.000 per semester dan direncanakan cair pada akhir Juli nanti. Menurut pihak pemerintah, BKM tak ubahnya seperti beasiswa bagi mahasiswa yang kurang mampu. Jadi , tak ada unsur politis apapun yang terkandung di dalamnya.

Namun, pernyataan dari pemerintah tersebut dibantah oleh pihak mahasiswa dan beberapa pengamat. BKM dituding adalah sebuah bentuk penyuapan dan terkait kepentingan pemilu 2009. Di zaman orde baru, pembungkaman terhadap kekritisan mahasiswa terhadap rezim dilakukan dalam bentuk kekerasan. Melalui penculikan, penembak misterius ( petrus ), pembunuhan dan bentuk-bentuk kekerasan dilakukan secara sah atas nama stabilitas. Namun di era reformasi, cara-cara represif yang dibalut dengan tangan besi aparat negara bukanlah cara yang elegan untuk dijalankan.

Jika memang tujuan dari BKM adalah untuk meredam suara kritis mahasiswa, akan membuat suram wajah demokrasi yang susah payah diperjuangkan. Pemberangusan terhadap musuh negara ( mahasiswa ) dilakukan dengan cara-cara yang lebih soft . Protes dan pemberontakan memang cenderung hinggap pada situasi dimana seseorang berada dalam posisi ketidakpastian ataupun perasaan dimarginalkan. Dalam kondisi seperti ini, pemerintah tentunya paham benar psikologis masyarakat bisa berubah menjadi aksi-aksi yang bisa mengancam kekuasaan negara. Kita ambil contoh sederhana pemberian Bantuan Langsung Tunai pada masyarakat miskin. Sebenarnya pemberian BLT lebih ditujukan sebagai obat penenang rasa sakit akibat dampak kenaikan harga BBM. Masyarakat miskin dilihat sebagai lawan yang harus dijinakkan jika tak mau ada perlawanan terhadap negara. Dengan realita mayoritas penduduk kita yang kurang berpendidikan, maka BLT dianggap sebagai sebuah kenyamanan tersendiri dan masyarakat gagal memaknai bahwa mereka sedang dininabobokkan oleh penguasa.

Terlepas dari pro kontra BKM, kita jangan terjebak dalam penarikan kesimpulan yang terlalu dini. Waktu yang akan menjawab apa sebenarnya hakikat pemberian BKM tersebut. Mahasiswa sebagai kaum-kaum intelektual tentunya tidak bodoh melihat persoalan ini. Jika memang benar BKM ditujukan untuk membantu mahasiswa yang kurang mampu untuk melanjutkan studi di tengah badai ketidakpastian ekonomi, hal ini patut kita beri apresiasi. Namun, jika tujuannya semata hanya untuk alat peredam kekritisan dan penumpul akal sehat, maka hal ini perlu dilawan. Jika memang ingin bermain lebih cantik lagi dalam mengimbangi politik penguasa, kita ambil uangnya dan kita teruskan aksi-aksi demonstrasi-nya.





0 komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar Anda Di Sini :