Kampanye Pejabat Publik Dan Etika Politik

Kampanye Pejabat Publik Dan Etika Politik

Pelaksanaan masa kampanye pemilu legislatif 2009 sudah dimulai. Tentunya parpol-parpol kontestan yang mengikuti pertandingan politik akan mulai berlomba-lomba memenangkan kejuaraan lima tahunan ini. Inilah masa dimana parpol datang menjenguk konstituen dan merebut pemilih baru. Dalam waktu kampanye ini setiap parpol akan mendayagunakan semua sumber daya organisasi, baik itu yang berada di luar pemerintahan atau pun kader-kader yang sedang menjabat sebagai pejabat publik (incumbent).

Persoalannya adalah apakah pejabat publik diperbolehkan untuk berkampanye ? Pertanyaan ini muncul ke permukaan diakibatkan adanya konflik kepentingan antara tugas sebagai pejabat negara yang mengurus rakyat dengan misi dan tanggung jawab sebagai kader parpol. Tentunya dua hal ini adalah hal yang berbeda ketika kita bicara tentang perilaku politisi kita yang lebih mengutamakan kepentingan golongan dan kelompok daripada kepentingan masyarakat. Dikhawatirkan, tugas-tugas pelayanan publik menjadi terbengkalai karena fokus dalam kampanye. Artinya, lagi-lagi perilaku yang seperti ini sangat merugikan rakyat yang seharusnya kebutuhannya dilayani oleh negara.

Ketika seseorang sudah menjabat sebagai pejabat publik, maka secara otomatis akan menjadi milik publik dan bukan hanya milik partai politik. Dalam artian, pejabat publik memiliki tugas utama melayani masyarakat dan bukannya menomorsatukan urusan parpol di atas kepentingan umum. Dalam hal ini harus kita bedakan antara tugas negara dan aktivitas berpolitik.

Pasal 85 UU No 10 Tahun 2008 hanya mengatur bahwa para pejabat tersebut bisa turut serta berkampanye sepanjang tidak menggunakan fasilitas yang terkait jabatannya dan dapat mengambil cuti di luar tanggungan negara. Persoalanya kemudian adalah mulai dari eksekutif, legislatif baik di daerah maupun pusat adalah kader partai. Bisa kita bayangkan ketika 19 menteri kabinet indonesia bersatu dan 33 gubernur provinsi lebih memilih cuti untuk kampanye dibandingkan mengurus tugas-tugas pelayanan publik. Jika memang pejabat publik diperbolehkan berkampanye, maka harus ada regulasi yang mengatur proses tersebut dan disertai sanksi yang keras.

Sebenarnya kita bisa membuat solusi yang sifatnya preventif dalam persoalan ini. Kita tahu bahwa mayoritas pejabat negara juga adalah pejabat – pejabat yang merangkap posisi strategis di partai. Seharusnya, ketika sudah mengemban amanah sebagai pelayan publik, maka elite-elite parpol harus berani melepas posisi stategis atau bahkan non aktif dari parpol dan disertai sanksi yang tegas bagi yang melanggar aturan kampanye. Dengan demikian dapat meminimalisir pejabat publik terseret jauh dalam urusan partai dalam pemenangan pemilu dan bisa fokus pada tugas-tugas negara.



Adi Surya P

Ilmu Kesejahteraan Sosial Unpad

Kt.GmnI Smedang.

0 komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar Anda Di Sini :