Bangsa Copy Paste


 Julukan bangsa copy-paste memang cocok dilabelkan dengan Indonesia. Bagaimana tidak, mulai dari musik, film, karya sastra, karya ilmiah, dan sinetron ditiru mentah-mentah tanpa mencantumkan nama pemiliknya. Tindakan plagiat ini sudah menjadi budaya tanpa rasa malu. Tindakan negatif yang dilakukan oleh banyak orang, akan menjadi hal yang dimaklumi saja, dianggap lumrah dan menjadi perbuatan yang biasa saja. Tentunya jika hal ini dibiarkan, bisa mematikan naluri kreatif kita sebagai manusia Indonesia yang harusnya terus mencipta bagi peradaban manusia. Matinya kreatifitas adalah awal dari jatuhnya martabat suatu bangsa yang hanya bisa meniru tanpa bisa mencipta orisinalitas ide.

          Lantas,kenapa tindakan plagiat dikatakan sebagai “dosa” atau tercela ?. Untuk menjawabnya, kita menelisik defensi plagiat yang dimukakan oleh Adimihardja (2005), plagiarisme adalah pencurian dan penggunaan gagasan atau tulisan orang lain (tanpa cara-cara yang sah) dan diakui sebagai miliknya sendiri.  Plagiarisme juga didefinisikan sebagai kegiatan dengan sengaja menyalin pemikiran atau kerja orang lain tanpa cara-cara yang sah. Menjadi jelas bagi kita, ada pihak yang dirugikan akibat tindakan plagirisme. Secara garis besar, tindakan yang termasuk plagiarisme antara lain (Rosyidi, 2007) menyalin tulisan orang lain mentah-mentah, tanpa memberikan penjelasan bahwa tulisan tersebut diambil dari tulisan lain dan/atau tanpa menyebutkan sumbernya dan mengambil gagasan orang lain tanpa memberikan keterangan yang cukup tentang sumber gagasan tersebut.

            Perbuatan tercela ini ternyata tidak hanya menjadi budaya massa. Namun, juga menyentuh kalangan elit(tokoh) yang tidak sepantasnya melakukan tindakan tersebut. Peristiwa terungkapnya plagiarisme yang dilakukan oleh seorang profesor di Bandung dan calon guru besar di Yogyakarta. Padahal profesor dan guru besar menurut Kebamoto (2004), bukan orang sembarangan. Jabatan guru besar menandakan kebesaran strata, keterbedaan (antara guru dan dosen), prestasi maksimum dalam karier dosen, dan kelebihan lainnya.

            Plagiarisme adalah tanda-tanda merasuknya budaya menerabas,budaya instan,cepat saji dan tidak mau berkeringat dalam menghasilkan suatu karya. Koentjaraningrat (1974) menggambarkan sifat yang dominan dimiliki bangsa ini? Komunitas terbesar dari bangsa ini disebutnya memiliki mental menerabas yakni sikap mental yang cenderung tancap gas, sembarang tuduh, atau ingin cepat sampai ke tujuan tanpa perlu mempertimbangkan rambu-rambu. Ketika seseorang mencapai sesuatu dengan cara apapun tanpa mempertimbangkan aturan-aturan yang berlaku maka ia telah bermental menerabas.

            Untuk itu diperlukan cara-cara yang komprehensif untuk mencegah budaya plagiat ini semakin menjamur. Pertama, penegakan hukum yang tegas.Selama ini,tindakan plagiarisme berjalan mengendap-endap dibelakang hukum yang melempem.Kedua, selain itu perlu juga dicoba membudayakan budaya malu. Setiap plagiator yang melakukan, akan diekspose secara besar-besaran untuk mendapat efek jera.Ketiga, perlunya mempromosikan budaya progresif yang dilakukan Korea Selatan tentang penanaman budaya kreatif, ingin berprestasi, keinginan bersaing yang kuat, ulet dan percaya pada diri sendiri. Promosi budaya ini memang butuh cara yang radikal melalui kerjasama semua pihak khususnya lembaga pendidikan. Tindakan plagiat tidak cukup hanya dipandang sebagai kecurangan. Namun, sekaligus menggambarkan budaya bangsa yang menuju titik nadir kebangkrutan.


Adi Surya
Ketua DPC GMNI Sumedang
2007-2009