Dari Tiket Sampai Revolusi

Orang-orang yang akhirnya melakukan amuk pun berteriak “revolusi PSSI”. Ucapan itu keluar dari para calon penonton yang akhirnya mengamuk, merusak dan bahkan menduduki stadion Gelora Bung Karno dengan kecewa yang amat sangat. Para penonton yang antusias untuk menonton Tim Garuda berlaga di final pada leg kedua Piala AFF di Jakarta seakan “dipaksa” untuk berontak. Hal ini dipicu lagi-lagi karena urusan tiket. Antrian yang berjejal-jejal datang dari penjuru tanah air. Beberapa bahkan rela bermalam hanya untuk selembar tiket. Mereka adalah pemain ketiga belas yang rela “bertaruh nyawa” demi prestasi sepakbola Indonesia. Namun, bukanya manis yang mereka dapatkan, buruknya manajemen tiket membuat pil pahit harus ditelan tanpa air. Mereka bersabar, namun ditipu. Jangan heran kalau akhirnya mereka hilang kesabaran. Sesulit-sulitnya menonton ke negeri seberang, ternyata lebih sulit menonton di negeri sendiri.
            Suporter sepakbola dalam teori sosiologi termasuk dalam jenis kerumunan. Menurut Soerjono Soekanto (1990), kerumunan (crowd) adalah kelompok sosial yang tidak teratur yang merupakan individu-individu yang berkumpul sementara secara kebetulan pada waktu dan tempat yang sama. Kerumunan tidak mempunyai pribadi. Artinya, identitas seseorang tenggelam dan melebur. Seorang mahasiswa, dosen, tentara, pegawai mempunyai kedudukan sosial yang sama dalam kerumunan. Suatu kerumunan mudah sekali beraksi karena adanya satu pusat perhatian yang sama. Orang-orang yang ada dalam kerumunan itu akan mudah sekali beraksi dan meniru orang. Gustave Le Bon (1841-1931) memberi gambaran siapa pun yang ada dalam kerumunan pasti berpikir, merasa, dan bertindak serupa. Kekuatan emosional dan irasional menyeruak. Nafsu barbarian muncul. Keragaman individualitas ditenggelamkan homogenitas kerumunan.
            Memang tidak semua kerumunan menciptakan kerusakan dan kekacauan. Herbert Blumer (1900-1987), sebagaimana diuraikan Alex Thio (Sociology, 1989: 580) mengklasifikasikan empat tipe kerumunan: (1) kerumunan tidak tetap (casual crowd), yang keberadaannya amat singkat dan terorganisasi secara longgar. Tipe ini bersifat spontan, misalnya orang yang bersama-sama melihat gedung terbakar atau kecelakaan; (2) kerumunan konvensional (conventional crowd), yang terjadi secara terencana dan berperilaku teratur, misalnya penonton dalam teater atau pertandingan sepak bola; (3) kerumunan bertindak (acting crowd), yang keterlibatannya didasari pada permusuhan atau aktivitas destruktif, misalnya mob yang melakukan pembantaian; dan (4) kerumunan ekspresif (expressive crowd), yang muncul untuk melampiaskan emosi dan ketegangan, misalnya para penonton konser musik rock.
            Dalam hal ini, kerumunan penonton sepakbola yang dikecewakan akhirnya meluapkan tekanan psikologis dalam bentuk anarki. Tindakan yang dimulai dari beberapa orang kemudian mempunyai efek menular yang sangat cepat diikuti oleh anggota suporter lainya. Bahayanya, acapkali memiliki arah destruktif seperti penghancuran fasilitas publik, pembakaran sampai penganiayaan. Namun, terlepas dari kerumunan berpotensi merusak, persoalanya ada pada penyebab mengapa kerumunan bisa berperilaku tertentu dalam situasi tertentu pula. Kerumunan suporter bukanlah fenomena langka untuk disaksikan baik langsung ataupun tidak. Hampir tiap minggu ada pertandingan sepakbola nasional maupun internasional. Kita bisa saksikan, kebanyakan suppoter akan bertindak destruktif ketika ada stimuli yang mengecewakan mereka. Sepertinya rumus sederhana “tidak ada asap tanpa ada api” lalai dicerna oleh PSSI. Kerumunan yang merasa kecewa selalu berpotensi besar menghasilkan kerusakan. Buktinya sudah ada di depan mata.
            Tentunya teriakan “revolusi PSSI” tidak datang dari ruang kosong. Hal itu hanya sebagai pertanda, masyarakat sepakbola Indonesia sudah geram dengan kinerja PSSI. Bukan tidak mungkin, amukan suporter di GBK merupakan puncak gunung kekecewaan atas PSSI. Bisa kita bayangkan, belum ada satupun prestasi gemilang yang ditorehkan oleh PSSI selama 7 tahun kebelakang. Indonesia Raya tidak pernah berkumandang lagi di berbagai pentas laga regional maupun Internasional. Padahal pada era tahun 1970 hingga 1980-an, Indonesia termasuk salah satu kesebelasan yang cukup disegani di kawasan Asia. Prestasi yang membuat hati serasa diris-iris.
            Momen yang sangat menyakitkan terjadi pada tahun 2010, untuk pertama kali dalam 14 tahun, gagal lolos ke putaran final Piala Asia. Saat Sea Games, kesebelasan Indonesia bahkan dikalahkan oleh tim yang tidak pernah dibayangkan bakal menang lawan PSSI yakni Laos. Kita tidak bisa menutup telinga, kalau orang bilang, Indonesia merupakan negeri terluas dan sangat beragam penduduknya. Penduduk Indonesia mencapai 200 juta lebih. Tetapi tak pernah bisa mengolah 11 orang  untuk menjadi tim juara sepak bola.
            Minimnya prestasi dan setumpuk persoalan internal PSSI diperparah lagi dengan buruknya manajemen tiket pada saat laga piala AFF. Kericuhan pertama kali dimulai dari leg semifinal melawan Filipina. Panitia menutup loket sementara tiket belum dibagikan. Kontan saja, suporter kecewa dan merusak bendera dan mencopoti plang di halaman Sekretariat PSSI. Huruf-huruf PSSI di bagian atas pintu masuk kantor itu juga dicopot. Bahkan, sebuah mobil operasional induk organisasi sepak bola di Indonesia itu nyaris dirusak. Ketua Umum PSSI Nurdin Halid juga dicerca dengan kata-kata kotor. Kemudian, seolah tidak belajar pada pengalaman pertama, PSSI malah menaikkan harga tiket untuk semua kelas. Disusul, kejadian terakhir yang lagi-lagi disebabkan oleh manajemen tiket. Faktanya, PSSI bukan lagi anak kemaren sore dalam menggelar pertandingan skala regional maupun internasional. Lahir pada tahun 1930, dan kini di penghujung 2010, masih berkutat soal tiket.
             Kekecewaan seakan menjadi-jadi ketika Indonesia dipecundangi di kandang Malaysia dengan skor telak 3-0 tanpa balas. Gol demi gol lahir bukan dari bagusnya permainan lawan, melainkan dari kecutnya mental dan keteledoran pemain-pemain kita. Mungkin inilah efek terlalu percaya diri berlebihan. Orang bijak berkata pujian dan sanjungan kadangkala adalah kelemahan. Pujian berlebihan akan membuat diri kita lupa akan kerendahan dan ketidaksempurnaan. Di tanah air, pemain kita dipuja puji bak dewa. Diarak-arak ke tokoh politik. Semuanya membuat kita lupa diri. Sementara lawan yang pernah kita kalahkan 5-1 di babak penyisihan, insyaf diri dan melakukan perbaikan kelemahan di segala lini. Kekalahan di Stadion Bukit Jalil menenggelamkan auman “ganyang Malaysia”. Ataukah jangan-jangan kita lebih pantas menyandang juara jago kandang ?.
            Pakikan “revolusi PSSI” mungkin bisa diartikan secara beragam oleh para petinggi PSSI. Jika ingin ditafsirkan sebagai perbaikan manajemen tiket, juga tidaklah salah. Jika ingin ditafsirkan sebagai pemecatan pelatih jika Indonesia gagal juara, tidak pula salah. Atau, diartikan sebatas kritik-otokritik di pengurus kemudian berjalan “bussines as usual”, silahkan juga. Tetapi teriakan “revolusi PSSI” bagi supporter fanatik Indonesia mungkin juga perlu kita dengar lebih dalam lagi. Teriakan revolusi itu bergaung di Gelora Bung Karno. Mungkin saja revolusi yang dimaksud sejalan dengan defenisi revolusi menurut Bung Karno sendiri, yakni menjebol dan membangun. Jika memang benar adanya, PSSI sebaiknya bercermin di kaca yang besar. Bahwa supporter, yang juga rakyat Indonesia, menginginkan perubahan yang mendasar, mengakar (radikal) dan cepat. Itulah arti teriakan "revolusi, revolusi, revolusi, revolusi PSSI".


Adi Surya
            Alumnus Fisip Unpad
Aktivis GMNI Sumedang