Dosen Bukan Tuhan

Dosen Bukan Tuhan

Oleh : Bung Ucox


Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang memanusiakan manusia

( Paulo Freire )


Perguruan tinggi merupakan tempat atau institusi yang memuat civitas akademica seperti birokrat , dosen dan mahasiswa. Kampus, sebutan yang menandakan tempat seorang mahasiswa untuk mulai belajar merubah dan membentuk cara berfikir yang sebelumnya masih bersifat ketergantungan. Mahasiswa dituntut untuk bisa bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri.

Dosen merupakan pihak yang memfasilitasi , membimbing dan mendidik mahasiswa. Dalam proses belajar ,pola hubungan ideal dosen dan mahasiswa adalah subjek vis a vis subjek yang dialogis. Dalam praktiknya, dosen memainkan peranan yang sangat menentukan. Baik itu bersifat objektif atau bahkan subjektif yang dibalut sentimen. Mulai dari kontrak belajar kuliah, penentuan nilai, lama belajar bahkan bimbingan akademik / tugas akhir mahasiswa semuanya melibatkan relasi mahasiswa dengan dosen. Dikatakan objektif, karena memuat nilai-nilai yang tidak hanya berdasarkan pada kepentingan pribadi , tetapi sebagaimana realitas yang ada. Jika memang baik, katakan baik dan begitu juga sebaliknya. Dikatakan Subjektif, ketika seseorang hanya memaki kaca mata kuda untuk menilai segalanya. Misalnya Ketika kita mendapat nilai D ( Buruk ) dalam satu mata kuliah tertentu, kadang kita merasa tidak puas dengan hasil penilaiannya. Padahal setelah dipikirkan , komponen-komponen penilaian, seperti tugas, UTS dan UAS semuanya kita ikuti. Setelah dikonfirmasi dengan dosen bersangkutan, dengan enteng mengatakan “ salah ketik “. Kasus lain, ketika kontrak belajar yang disepakati bersama oleh kedua pihak, seringkali pihak dosen yang melanggarnya. Saya jadi tergelitik dengan ucapan teman saya ,dia bilang “ kalau mahasiswa yang terlambat mengikuti kuliah pasti dikeluarkan , tetapi kalau dosen yang telat ? apakah harus dikeluarkan ? yang rugi kita-kita juga dong “.

Proses belajar yang baik menurut Paulo Fraire adalah bagaimana kita memposisikan peserta didik mempunyai kedudukan yang sejajar. Bukan patron klien yang kadang membuat daya kritis mahasiswa menjadi redup. Proses belajar menyangkut tentang metode perkuliahan. Paradigma lama memandang bahwa peserta didik hanyalah sebagai objek yang dijejali oleh isi otak dosen. Tanpa ruang untuk sikap kritis. Apa yang disampaikan dosen adalah yang benar dan tidak bisa salah. Mahasiswa datang ke kampus hanya sebagai pendengar dan penonton orkestra dosen yang bangga akan apa yang dimilikinya. Persoalannya bukan terletak pada benar atau tidak apa yang disampaikan, melainkan ada sebuah proses yang hilang yang harusnya dilewati oleh mahasiswa, yakni suatu sikap kritis yang bertanggung jawab. Perkuliahan yang berkualitas ditandai salah satunya adalah munculnya dialektika antara dosen dan mahasiswa, sehingga diharapkan mampu merangsang dan mendinamisasi proses pencarian ilmu pengetahuan.Pendidikan yang menjadikan mahasiswa sebagai subjek dan pusat belajar sepertinya belum banyak dipraktikkan di kelas-kelas. Padahal untuk mengetahui apa yang dibutuhkan oleh peserta didik hanya diketahui dari peserta didik itu sendiri. Di perkuliahan kita diajarkan untuk kritis, tetapi sering terjadi ketika kita bersikap kritis, malah ditanggapi dengan sentimen pribadi sampai dibayangi ketakutan diperlambat kelulusannya. Gawat.

Menumbuhkan pola pikir kritis merupakan hal yang penting. Sebab pandangan kritis menurut Mansour Fakih dalam artikelnya Demokratisasi Perkuliahan mentransformasikan hubungan dosen – mahasiswa dari perspektif yang mendominasi menjadi hubungan yang membebaskan. Yang tadinya dosen dijadikan subjek perkuliahan sementara mahasiswa sebagai objeknya ditransformasikan menjadi hubungan yang “ dialogis “. Hubungan dosen dan mahasiswa yang bersifat relasi kekuasaan atau “ subjugation “ yakni proses penjinakan dan penundukan,dimana proses perkuliahan yang menjadikan mahasiswa sebagai objek, dalam persfektif kritis adalah bentuk dehumanisasi.

Dosen juga manusia, punya hati, punya rasa , kadang khilaf, lupa dan marah.Ia bukanlah makluk atau dewa yang tidak bisa salah. Persoalannya adalah bagaimana menciptakan proses perkuliahan yang saling menghormati dan menempatkan posisi masing-masing dengan benar. Dialog merupakan salah satu alternatif. Membuat kesepakatan-kesepakatan yang bersifat simbiosis mutualisme ( saling menguntungkan ) yang dijalani dengan konsisten dan objektif akan turut meningkatkan proses belajar-mengajar. Selain itu, sebagai mahasiswa yang dituntut untuk kritis, tidak hanya 3 D ( datang, duduk dan diam ). Terkadang, kita sebagai mahasiswa juga turut serta membantu menciptakan proses belajar mengajar yang tidak dialogis, dikarenakan ada anggapan mahasiswa kritis akan di cap negatif. Bertanya dan terus bertanya adalah sikap yang perlu dibangun sejak dini. Karena tidak ada proses yang berhenti dalam hidup, begitu juga ilmu pengetahuan, maka tidak ada yang tidak bisa dipertanyakan, bukan ? Hidup yang tidak dipertanyakan dalah hidup yang sia-sia, begitu menurut bapak Socrates. Bagi saya, Hidup adalah hamparan pilihan yang dijalani dengan hasrat. Terserah anda apakah mau jadi mahasiswa yang cari aman alias membeo saja atau memilih jadi pemberontak intelektual (menyikapi segala sesuatu dengan kritis dan bertanggung jawab). Wassalam.


Penulis sekarang aktif di organisaisi

Gerakan Mahasiswa Nasionalisme Indonesia

Bara_nasionalis@yahoo.com

0 komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar Anda Di Sini :