Dari Tiket Sampai Revolusi

Orang-orang yang akhirnya melakukan amuk pun berteriak “revolusi PSSI”. Ucapan itu keluar dari para calon penonton yang akhirnya mengamuk, merusak dan bahkan menduduki stadion Gelora Bung Karno dengan kecewa yang amat sangat. Para penonton yang antusias untuk menonton Tim Garuda berlaga di final pada leg kedua Piala AFF di Jakarta seakan “dipaksa” untuk berontak. Hal ini dipicu lagi-lagi karena urusan tiket. Antrian yang berjejal-jejal datang dari penjuru tanah air. Beberapa bahkan rela bermalam hanya untuk selembar tiket. Mereka adalah pemain ketiga belas yang rela “bertaruh nyawa” demi prestasi sepakbola Indonesia. Namun, bukanya manis yang mereka dapatkan, buruknya manajemen tiket membuat pil pahit harus ditelan tanpa air. Mereka bersabar, namun ditipu. Jangan heran kalau akhirnya mereka hilang kesabaran. Sesulit-sulitnya menonton ke negeri seberang, ternyata lebih sulit menonton di negeri sendiri.
            Suporter sepakbola dalam teori sosiologi termasuk dalam jenis kerumunan. Menurut Soerjono Soekanto (1990), kerumunan (crowd) adalah kelompok sosial yang tidak teratur yang merupakan individu-individu yang berkumpul sementara secara kebetulan pada waktu dan tempat yang sama. Kerumunan tidak mempunyai pribadi. Artinya, identitas seseorang tenggelam dan melebur. Seorang mahasiswa, dosen, tentara, pegawai mempunyai kedudukan sosial yang sama dalam kerumunan. Suatu kerumunan mudah sekali beraksi karena adanya satu pusat perhatian yang sama. Orang-orang yang ada dalam kerumunan itu akan mudah sekali beraksi dan meniru orang. Gustave Le Bon (1841-1931) memberi gambaran siapa pun yang ada dalam kerumunan pasti berpikir, merasa, dan bertindak serupa. Kekuatan emosional dan irasional menyeruak. Nafsu barbarian muncul. Keragaman individualitas ditenggelamkan homogenitas kerumunan.
            Memang tidak semua kerumunan menciptakan kerusakan dan kekacauan. Herbert Blumer (1900-1987), sebagaimana diuraikan Alex Thio (Sociology, 1989: 580) mengklasifikasikan empat tipe kerumunan: (1) kerumunan tidak tetap (casual crowd), yang keberadaannya amat singkat dan terorganisasi secara longgar. Tipe ini bersifat spontan, misalnya orang yang bersama-sama melihat gedung terbakar atau kecelakaan; (2) kerumunan konvensional (conventional crowd), yang terjadi secara terencana dan berperilaku teratur, misalnya penonton dalam teater atau pertandingan sepak bola; (3) kerumunan bertindak (acting crowd), yang keterlibatannya didasari pada permusuhan atau aktivitas destruktif, misalnya mob yang melakukan pembantaian; dan (4) kerumunan ekspresif (expressive crowd), yang muncul untuk melampiaskan emosi dan ketegangan, misalnya para penonton konser musik rock.
            Dalam hal ini, kerumunan penonton sepakbola yang dikecewakan akhirnya meluapkan tekanan psikologis dalam bentuk anarki. Tindakan yang dimulai dari beberapa orang kemudian mempunyai efek menular yang sangat cepat diikuti oleh anggota suporter lainya. Bahayanya, acapkali memiliki arah destruktif seperti penghancuran fasilitas publik, pembakaran sampai penganiayaan. Namun, terlepas dari kerumunan berpotensi merusak, persoalanya ada pada penyebab mengapa kerumunan bisa berperilaku tertentu dalam situasi tertentu pula. Kerumunan suporter bukanlah fenomena langka untuk disaksikan baik langsung ataupun tidak. Hampir tiap minggu ada pertandingan sepakbola nasional maupun internasional. Kita bisa saksikan, kebanyakan suppoter akan bertindak destruktif ketika ada stimuli yang mengecewakan mereka. Sepertinya rumus sederhana “tidak ada asap tanpa ada api” lalai dicerna oleh PSSI. Kerumunan yang merasa kecewa selalu berpotensi besar menghasilkan kerusakan. Buktinya sudah ada di depan mata.
            Tentunya teriakan “revolusi PSSI” tidak datang dari ruang kosong. Hal itu hanya sebagai pertanda, masyarakat sepakbola Indonesia sudah geram dengan kinerja PSSI. Bukan tidak mungkin, amukan suporter di GBK merupakan puncak gunung kekecewaan atas PSSI. Bisa kita bayangkan, belum ada satupun prestasi gemilang yang ditorehkan oleh PSSI selama 7 tahun kebelakang. Indonesia Raya tidak pernah berkumandang lagi di berbagai pentas laga regional maupun Internasional. Padahal pada era tahun 1970 hingga 1980-an, Indonesia termasuk salah satu kesebelasan yang cukup disegani di kawasan Asia. Prestasi yang membuat hati serasa diris-iris.
            Momen yang sangat menyakitkan terjadi pada tahun 2010, untuk pertama kali dalam 14 tahun, gagal lolos ke putaran final Piala Asia. Saat Sea Games, kesebelasan Indonesia bahkan dikalahkan oleh tim yang tidak pernah dibayangkan bakal menang lawan PSSI yakni Laos. Kita tidak bisa menutup telinga, kalau orang bilang, Indonesia merupakan negeri terluas dan sangat beragam penduduknya. Penduduk Indonesia mencapai 200 juta lebih. Tetapi tak pernah bisa mengolah 11 orang  untuk menjadi tim juara sepak bola.
            Minimnya prestasi dan setumpuk persoalan internal PSSI diperparah lagi dengan buruknya manajemen tiket pada saat laga piala AFF. Kericuhan pertama kali dimulai dari leg semifinal melawan Filipina. Panitia menutup loket sementara tiket belum dibagikan. Kontan saja, suporter kecewa dan merusak bendera dan mencopoti plang di halaman Sekretariat PSSI. Huruf-huruf PSSI di bagian atas pintu masuk kantor itu juga dicopot. Bahkan, sebuah mobil operasional induk organisasi sepak bola di Indonesia itu nyaris dirusak. Ketua Umum PSSI Nurdin Halid juga dicerca dengan kata-kata kotor. Kemudian, seolah tidak belajar pada pengalaman pertama, PSSI malah menaikkan harga tiket untuk semua kelas. Disusul, kejadian terakhir yang lagi-lagi disebabkan oleh manajemen tiket. Faktanya, PSSI bukan lagi anak kemaren sore dalam menggelar pertandingan skala regional maupun internasional. Lahir pada tahun 1930, dan kini di penghujung 2010, masih berkutat soal tiket.
             Kekecewaan seakan menjadi-jadi ketika Indonesia dipecundangi di kandang Malaysia dengan skor telak 3-0 tanpa balas. Gol demi gol lahir bukan dari bagusnya permainan lawan, melainkan dari kecutnya mental dan keteledoran pemain-pemain kita. Mungkin inilah efek terlalu percaya diri berlebihan. Orang bijak berkata pujian dan sanjungan kadangkala adalah kelemahan. Pujian berlebihan akan membuat diri kita lupa akan kerendahan dan ketidaksempurnaan. Di tanah air, pemain kita dipuja puji bak dewa. Diarak-arak ke tokoh politik. Semuanya membuat kita lupa diri. Sementara lawan yang pernah kita kalahkan 5-1 di babak penyisihan, insyaf diri dan melakukan perbaikan kelemahan di segala lini. Kekalahan di Stadion Bukit Jalil menenggelamkan auman “ganyang Malaysia”. Ataukah jangan-jangan kita lebih pantas menyandang juara jago kandang ?.
            Pakikan “revolusi PSSI” mungkin bisa diartikan secara beragam oleh para petinggi PSSI. Jika ingin ditafsirkan sebagai perbaikan manajemen tiket, juga tidaklah salah. Jika ingin ditafsirkan sebagai pemecatan pelatih jika Indonesia gagal juara, tidak pula salah. Atau, diartikan sebatas kritik-otokritik di pengurus kemudian berjalan “bussines as usual”, silahkan juga. Tetapi teriakan “revolusi PSSI” bagi supporter fanatik Indonesia mungkin juga perlu kita dengar lebih dalam lagi. Teriakan revolusi itu bergaung di Gelora Bung Karno. Mungkin saja revolusi yang dimaksud sejalan dengan defenisi revolusi menurut Bung Karno sendiri, yakni menjebol dan membangun. Jika memang benar adanya, PSSI sebaiknya bercermin di kaca yang besar. Bahwa supporter, yang juga rakyat Indonesia, menginginkan perubahan yang mendasar, mengakar (radikal) dan cepat. Itulah arti teriakan "revolusi, revolusi, revolusi, revolusi PSSI".


Adi Surya
            Alumnus Fisip Unpad
Aktivis GMNI Sumedang

Bahaya Laten Kekerasan Antar Agama


Kita tidak sedang menghadapi bahaya laten komunisme. Kita sedang menghadapi bahaya laten kekerasan antar agama. Peristiwa konflik dengan membawa simbol agama belakangan ini membuat kita kembali mengajukan tanya, republik Indonesia ini milik siapa ?. Indonesia dibangun berdasarkan kesepakatan semua pihak. Tanah bangunanya terbentang mulai dari ujung Aceh sampai Merauke. Pondasinya terbuat dari lima sila yang digali dari sejarah bangsa. Sedangkan batu bata adalah beragam suku, etnis, budaya dan agama dengan segala kemajemukanya dilapisi semen keinginan atau perasaan senasib akibat penjajahan untuk hidup bersatu sebagai sebuah bangsa. Artinya, Indonesia tidak elok jika dikatakan milik sepihak saja. Indonesia adalah satu untuk semua dan semua untuk satu (one for all and all for one)
                Dengan pemahaman Indonesia ber-bhineka tunggal ika, konsekuensinya memang tidaklah mudah. Ragam perbedaan memang melahirkan dua sisi yang kadang mudah untuk dibenturkan, yakni ekslusivitas kelompok dan tuntutan untuk hidup berdampingan dengan damai. Ekslusivitas yang salah arah melahirkan keyakinan mayoritas-minoritas yang juga salah arah. Hubungan yang seharusnya sejajar, dibelokkan menjadi “penguasa” dan “yang dikuasai”. Apalagi jika dikaitkan dengan agama. Hal ini tentunya menjadi sangat sensitif karena menyangkut sisi teologis yang sudah menjadi keyakinan para pemeluknya. Kasus Ambon dan Poso bisa menjadi sejarah kelam bagaimana hal itu bisa terjadi di negeri yang cinta damai.
                Kasus konflik antara jemaat HKBP dengan beberapa orang yang diidentifikasi sebagai ormas salah satu agama tidak berpijak dari ruang kosong. Sederhanya konflik bermula dari persoalan keinginan mendirikan rumah ibadah oleh jemaat HKBP. Keinginan ini direspon warga sekitar dengan melakukan protes dengan beralaskan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 menteri bahwasanya pendirian tempat ibadah harus memenuhi persayaratan administratif dan teknis. Sayangnya, konflik antar kedua pihak berlarut-larut dengan absenya negara sebagai penjaga tegaknya rasa damai bagi para warganya.

Negara gagal
Dalam laporan Setara Institute pada siaran pers tanggal 26 juli 2010 menyatakan bahwa sejak memasuki tahn 2010, eskalasi penyerangan terhadap rumah ibadah, khusunya jemaat kristiani terus meningkat jika dibandingkan pad tahun sebelumnya. Pada tahun 2008, terdapat 17 tindakan, pad atahun 2009 terdapat 18 tindakan pelanggaran-pelanggaran yang menyasar Jemaat Kristiani dalam berbagai bentuk. Tahun 2010 antara januari-juli terdapat 28 kasus yang sama. Bersasarkan catatan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), ada 16 kasus pelarangan beribadah dan penutupan gereja dan lembaga Kristiani tahun 2010.
Data di atas patut kita waspadai, dalam konteks sebagai bangsa yang terdiri dari berbagai macam latar belakang etnik, agama, ras, budaya dan bahasa yang menyimpan bahaya laten konflik harizontal.Kerap kali bentrokan dengan nada egoisme kelompok menyimpan api dalam sekam dalam perjalanan kita sebagai bangsa. Api dalam sekam ini jika tidak pernah disirami dengan pemahaman dan komunikasi yang baik, akan terus menggores tinta sejarah kelam.
Fakta di lapangan, kebanyakan konflik terjadi karena negara seperti tidak berani masuk dalam wilayah konflik. Kepala daerah terjebak dalam tirani mayoritas (atas nama desakan masyakarat banyak) kemudian membuat kebijakan yang mengandung standar ganda. Sedangkan dalam tataran yang lebih tinggi, presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan terkesan lambat dalam merespon kasus ini. Bandingkan dengan Presiden Obama yang langsung berbicara tegas tentang kontroversi pembangunan mesjid dan pembakaran Al-Quran.
Para pemimpin seharusnya membaca kembali tujuan negara dibentuk adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia. Artinya, negara harus  memiliki kemauan politik untuk bertindakan tegas guna melindungi setiap dan seluruh warga negaranya dari ancaman dan tindakan kekerasan dari individu atau kelompok warga lainnya. Jika negara tidak bisa memainkan peranya sebagai pelindung, kita akan tergelincir menjadi negara gagal (failed stated). Bisa dibayangkan apa jadinya kehidupan berbangsa dan bernegara jika negara tidak memiliki kekuatan untuk mengatur. Disinilah kemudian celah anarkisme masuk sebagai monopoli kebenaran.
Pemahaman Keberagaman
Pemaknaan atas realitas masih lemahnya pemahaman kita dalam membina hubungan harmonis antar sesama,membuat pendidikan sebagai alat untuk penamanan nilai-nilai yang diharapkan dapat membentuk perilaku yang diharapkan mencuat sebagai jalan keluar. Wacana pemahaman kehidupan  multikultur yang diharapkan dapat menjembatani hal ini memang layak kita kaji secara kritis dengan coba mengkomparasikan dengan pengalaman negara-negara lain seperti Amerika, Canada dan Australia. Negara-negara tersebut merupakan contoh negara yang berhasil mengembangkan masyarakat multikultur dan mereka dapat membangun identitas kebangsaannya, dengan atau tanpa menghilangkan identitas agama mereka.
Atas dasar itulah, kemudian mereka mengembangkan multiculturalism, yang menekankan penghargaan dan penghormatan  terhadap hak-hak minoritas, baik dilihat dari segi etnik, agama, ras atau warna kulit. Muliklturalisme pada hakikatnya adalah sebuah konsep akhir untuk membangun kekuatan sebuah bangsa yang terdiri dari berbagai latar belakang etnik, agama, ras, budaya dan bahasa, dengan menghargai dan menghormati hak-hak sipil mereka, termasuk hak-hak kelompok minoritas. (Budianta,2003:9).

Kolaborasi Sistem Dasar (Stakeholder)
Untuk menyelesaikan persoalan di atas memang butuh dialog dan kerjasama berbagai pihak. Pendekatan yang dilakukan sebaiknya bersifat holistik aprroach yang merupakan pendekatan yang memandang masalah dalam kaitanya dengan sistem yang lebih besar (kondisi sosial, politik, ekonomi, budaya). Pelaku perubahan berperan sebagai orang yang menjadi fasilititator masyarakat menggali sendiri cara-cara apa yang perlu dilakukan untuk mencari solusi buat dirinya sendiri. Sedangkan untuk model pengembangan masyarakat yang cocok adalah locality development dimana perubahan harus diikuti oleh partisipasi yang luas di tingkat komunitas lokal dengen ikut serta dalam pengambilan keputusan  dan ikut berbagai kegiatan yang dilakukan. Masyarakat diberi kesempatan untuk membuat analisis sendiri dan mengambil keputusan yang berguna bagi mereka sendiri untuk mencapai tujuan yang mereka inginkan.
Terdapat tiga strategi dalam proses perubahan masyarakat (Zaltman, Gerald dan Kaufman, 1972 : 51-61), yakni strategi empiric-rational. Pada dasarnya strategi ini membawa perubahan dengan informasi atau dengan data-data tentang suatu obyek, seperti melalui publikasi, ataupun sosialisasi. Strategi ini mempunyai asumsi dasar bahwa manusia adalah makhluk yang rasional. Asumsi lain adalah manusia akan mengikuti kepentingan pribadi mereka yang rasional saat memang dapat diterima. Perubahan masyarakat ditimbulkan dengan mempengaruhi kepentingan pribadi tersebut. Disini dialog antar umat beragama menjadi penting dengan mengedepankan logika cerdas bukan fanatisme sempit. Dalam konteks ini, hemat saya perlu pengembangan dialog-dialog intra dan antar agama, tidak hanya pada level puncak, tetapi juga pada level tengah dan bawah kepemimpinan agama.
Kedua, strategi normative re-educative.Pada dasarnya strategi ini meabawa perubahan dengan mengubah norma-norma yang dianut oleh masyarakat. Dalam hal ini, landasan (sumber norma) yang dijadikan norma sengketa adalah SKB 3 menteri. Untuk itu, perlu segera presiden meninjau ulang kembali peraturan tersebut dikontekskan dengan semangat undang-undang yang mengatur tentang kebebasan beragama dan menjalankan ibadah. Selain itu, nilai-nilai tentang toleransi dan saling menghormati perlu terus dikuatkan melalui lembaga formal seperti lembaga pendidikan maupun informal seperti lembaga kemasyarakatan di tingkatan warga.
Ketiga, strategi power-coercive. Perubahan dapat terjadi dengan adanya kekuasaan. Strategi ini berhubungan dengan keijakan yang diambil oleh pihak yang mempunyai kekuasaan seperti Pemerintah. Disini tindakan sigap dan tegas aparat dalam menjaga kerukunan umat beragama dan menindak setiap pelaku yang mencoba mencederai hal tersebut. Untuk melaksanakan pendekatan tersebut, kita butuh aktor-aktor perubahan yang bergabung dalam sebuah kerangka sistem dasar (manajemen stakeholder) Sistem pelaksana perubahan dalam kerangka sistem dasar merupakan kumpulan aktor yang bekerja sama dengan latar belakang yang berbeda seperti kalangan tokoh agama, pihak kepolisian, LSM, kementrian agama dan pihak-pihak lainya. Diharapkan kerjasama semua pihak bisa dalam menyelesikan kasus ini bisa menjadi titik pihak bagi kehidupan kerukunan bergama di tanah air. Sekali lagi bahwasanya Indonesia tidak lahir karena sebab usaha satu pihak saja. Indonesia adalah satu untuk semua dan semua untuk satu (one for all and all for one).

Adi Surya
Ketua DPC GMNI Sumedang 2007-2009
Alumnus Fisip Unpad-Sumedang






Menguji Politik Santun Partai Demokrat



Menguji Politik Santun Partai Demokrat
                Masuknya Andi Nurpati, salah satu anggota KPU aktif ke Partai Demokrat sebagai Ketua Divisi Komunikasi Politik memunculkan perdebatan yang cukup hangat. Pasalnya, sebagai wasit dalam pemilu 2009 yang lalu, kini Andi menjadi pemain yang bergabung dengan partai pemenang yang kental tuduhan memainkan kecurangan. Akibatnya, kecurigaan publik menguat akan teka-teki hasil pemilu kemarin. Selain itu, persoalan lain yang muncul adalah apakah anggota KPU bisa berhenti semaunya sendiri dan apa efek buruknya bagi perkembangan demokrasi kita ke depan ?. Hal ini menjadi penting karena demokrasi bisa berjalan dengan kepercayaan (trust) diantara aktor-aktor demokrasi tersebut. Jika hal ini tidak bisa dibangun, bukan tidak mungkin, semua lembaga independen hanyalah bungkus ketidakindependenan sikap yang ditanamkan oleh partai politik untuk memuaskan syahwat kekuasaaanya.
                Peristiwa semacam ini bukan sekali ini saja terjadi. Andi Malaranggeng, tercatat pernah menjadi anggota KPU periode 1999-2004, kini bergabung di Partai Demokrat. Setelahnya, muncul nama Anas Urbaningrum yang pernah menjabat sebagai anggota KPU 2004-2009, sekarang menjadi ketua umum Partai Demokrat. Kini, Andi Nurpati meniru jejak para seniornya di KPU terdahulu untuk bergabung dalam partai politik. Titik pangkal persoalan ada pada pertanyaan “apakah tindakan Andi Nurpati dan Partai Demokrat itu salah dan apa motif beliau masuk demokrat ?.
Berbicara salah-benar, kita bisa menggunakan rujukan peraturan tertulis berupa undang-undang dan etika politik. Semangat undang-undang yang mengatur penyelengaran negara adalah melarang merangkap sebagai anggota partai politik tertentu. Semua partai memahami itu pastinya. Namun, Partai Demokrat justru mengumumkan susunan kepengurusan yang di dalamnya ada nama Andi Nurpati yang pada saat yang sama masih menjabat sebagai anggota KPU aktif. Tindakan demokrat ini sebenarnya menyalahi semangat undang-undang, dimana partai tidak bisa menarik dan mengumumkan seorang penyelenggara negara ketika beliau masih menjabat. Disini tampak arogansi partai berkuasa yang justru menabrak regulasi yang berlaku dan disepakati bersama.
Sisi lainya, Andi Nurpati juga seharusnya paham dan tidak menyetujui pengangkatan dirinya menjadi pengurus partai politik. Hal ini disebabkan beliau masih sedang menjabat di KPU dan malah menerima tawaran partai sebelum masa jabatanya habis. Tindakan Andi ini juga bisa dikatakan melanggar Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum dimana Pasal 29 ayat (1) undang-undang tersebut menegaskan anggota KPU tidak bisa mengundurkan diri sebagai anggota KPU, kecuali terhadap dua hal yakni alasan kesehatan atau karena terganggu fisik atau jiwanya untuk menjalankan kewajibannya sebagai anggota KPU.
Dari kedua syarat tersebut, tampak jelas bahwa jika Andi berhenti dikarenakan keinginan masuk demokrat, tentu saja menabrak undang-undang tersebut. Andi sehat jasmani dan rohani, tidak ada halangan kesehatan apapun yang menghambat beliau menjalankan tugas di KPU. Andi juga tidak mengalami sakit kejiwaan, hal ini dibuktikan dengan pernyataan-pernyataanya  yang masih menunjukkan dia adalah orang yang waras. Lantas, kalau tetap memaksakan diri menjadi pengurus partai, hal ini bukan saja mencederai kehidupan berdemokrasi kita, tetapi kepercayaan (trust) publik pada lembaga penyelenggara negara. KPU adalah lembaga yang netral dari intervensi politik. Justru masuknya Andi merusak etika politik yang berkembang di dalam masyarakat. Etika politik selalu berbicara benar salahnya sebuah tindakan dipandang dari nilai-nilai yang hidup yang kadang tidak terlembagakan dalam peraturan tertulis. Tentu hal ini adalah sebuah preseden buruk buat penyelenggara negara di Indonesia.
Lantas apa motif Andi dan juga Partai Demokrat dalam hal ini ?. Motif merupakan suatu pengertian yang melengkapi semua penggerak alasan-alasan atau dorongan-dorongan dalam diri manusia yang menyebabkan ia berbuat sesuatu (Gerungan,1996). Motif timbul karena adanya kebutuhan dimana dianggap sebagai kekurangan dan butuh pemenuhan. Sedangkan Mc.Clelland (1967) berpendapat bahwa untuk menemukan motif yang mendasai suatu perbuatan, cara yang terbaik ialah dengan menganalis motif yang ada di dalam fantasi seseorang. Gardner Lindzey,Calvin S.Hall, dan Richard Thompson dalam buku Psychology (1975) mengklasifikasikan motif ke dalam dua hal yaitu drives dan incentives. Drives (needs) adalah yang mendorong untuk bertindak yang tidak dipelajari maupun yang dipelajari. Sedangkan Incentives adalah benda atau situasi yang berada di dalam lingkungan sekitar kita yang merangsang tingkah laku.
Analisis Partai Demokrat dengan menggunakan analisis drives dan incentive dalam hal ini bisa dibaca dalam tujuanya untuk memenangkan pemilu 2014 (persaingan). Oleh karena itu ada sebuah kebutuhan yang mendorong partai membuat strategi yang salah satunya adalah merekrut anggota KPU yang strategis dalam pemenangan pemilu. Strategis karena sebagai  anggota KPU, tentunya memahami seluk beluk penyelenggara pemilu dan hal ini adalah salah satu kunci penting dalam strategi pemenangan. Oleh karena adanya persaingan dalam bentuk kontestasi pemilu, demokrat kemudian menindaklanjuti dengan menawarkan posisi kepada Andi. Jika ada kecurigaan bahwa ini adalah balas jasa demokrat pada Andi yang turut membantu demokrat pada pemilu lalu, tidaklah bisa kita salahkan juga. Seorang wasit yang kemudian masuk ke pada pihak yang menang, dimanapun pasti akan dicurigai. Namun, kecurigaan itu harus ditindaklanjuti dengan fakta-fakta yang mendukung hal tersebut menjadi sebuah fakta.
Sedangkan Andi Nurpati lebih banyak didorong kebutuhan untuk aktualisasi diri dan memperoleh penghargaan. Sebagai anggota KPU, Andi mendapat fasilitas dan pendapatan yang bisa dikatakan lebih dari cukup untuk ukuran kebutuhan dasar manusia Indonesia. Sehingga, perilaku masuk demokrat lebih didorong oleh keinginan berkarir pada posisi-posisi strategis untuk mendapatkan penghargaan dari lingkungan sosialnya. Kondisinya saat sebentar lagi masa tugas anggota KPU akan berakhir dan wajar Andi memikirkan tempat dia berkarir selanjutnya. Namun, dorongan-dorongan yang berujung pada perilaku dikawal dengan aturan-aturan yang hidup dan berkembang di masyarakat.
Untuk itu ada beberapa hal yang bisa kita rumuskan untuk memaknai kejadian ini. Pertama, membawa kasus ini ke dewan kehormatan KPU untuk diuji integritas dan kredibilitasnya, apakah bisa menjelaskan persoalan secara jernih kepada publik. Kedua, merevisi Undang-Undang KPU. Dalam undang-undang tersebut dikatakan anggota parpol yang ingin menjadi anggota KPU harus keluar dari parpol minimal 5 tahun sebelum dia menjadi anggota KPU. Ini menjadi timpang ketika anggota KPU bisa masuk kapan saja untuk masuk ke dalam parpol seperti yang dilakukan Andi Nurpati. Setidaknya anggota KPU yang berhenti dari KPU disarankan diatur dalam undang-undang tidak boleh masuk dalam partai politik minimal 5 tahun setelah berhenti dari KPU.
Pengaturan akan hal ini menjadi penting mengingat pentingnya netralitas KPU dalam pemilu. Ibarat sebuah pertandingan sepak bola, wasit yang memimpin pertandingan ternyata dalah “peliharaan” salah satu tim yang bertanding, maka hasilnya juga tidak bisa dipertangungjawabkan secara adil. Tentunya KPU bukanlah tempat pasukan khusus partai yang mengemban misi memenangkan dan mendesain hasil pemilu sesuai dengan selera dan kepentingan dari pemilik skenario kotor. Namun yang paling penting adalah bagaimana partai tidak mencoba mengotori proses kontestasi dengan “membajak” anggota KPU aktif yang masih bertugas. Partai Demokrat mencipta brand sebagai partai santun, dipimpin oleh anak muda yang juga santun. Apakah hal tersebut berkorelasi dengan tindakan yang santun ?. Tentunya elit-elit partai tersebutlah yang bisa menjawab.

Adi Surya
Mahasiswa KS Fisip Unpad
Ketua DPC GMNI Sumedang 2007-2009
               

Negara Kesejahteraan Minus Subsidi


Negara Kesejahteraan Minus Subsidi
                Indonesia adalah sebuah negara kesejahteraan, bukan negara yang mengusung bendera free fight liberalism dan pemuja mantra invisible hand. Sebagai sebuah negara kesejahteraan, rumusnya adalah negara harus tetap ambil bagian dalam penanganan masalah sosial dan penyelenggaraan jaminan sosial. Salah satu cara dalam penanganan atau bantuan sosial adalah subsidi. Jadi, pendapat yang selama ini mengatakan bahwa subsidi adalah haram, tidak dapat dibenarkan. Bahkan, di negara-negara eropa yang sering dituduh liberal , mensubsidi sapi sebesar 2 dollar per ekor. Jika dibenturkan dengan keinginan pemerintah membatasi subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) dengan alasan kekurangan anggaran, rasa-rasanya belum pada tempatnya. Persoalanya, subsidi adalah urusan rakyat kecil, dan mengutak-atik sampai mencabut subsidi sama dengan mencabut nyawa rakyat kecil pula.
            Di era globalisasi ekonomi dimana hukum pasarlah yang menentukan transaksi perdagangan internasional membawa akibat bagi negara-negara yang tidak mampu bersaing. Kita adalah salah satu negara yang itu. Ekonomi kita sangat rentan dengan ekonomi global. Seperti istilah efek kepak sayap kupu-kupu yang menjelaskan kesalingtergantungan kita dengan ekonomi internasional. Jika eropa “bersin”, kita di Indonesia bisa saja “demam parah”. Salah satu komoditas perdagangan kita yang belum berdikari adalah minyak. Sumur-sumur minyak kita ternyata tidak mampu mencukupi konsumsi dalam negeri  sehingga membuat kita juga menjadi negara pengimpor minyak. Disini yang menjadi masalah, ketika harga minyak dunia melambung,kita sebagai importir pasti membeli dengan harga yang mahal dengan daya beli masyarakat yang masih rapuh.
            Untuk itulah negara turut campur dengan memberi subsidi sehingga disparitas daya beli dengan harga keekonomian tidak terlalu timpang. Namun, fenomenanya harin ini bergulir wacana pembatasan subsidi BBM, dimana bahan bakar tersebut masih digunakan di sebagian besar kehidupan masyarakat mulai dari rumah tangga sampai dengan pabrik dan transportasi. Jika dibatasi, maka pertanyaanya pembatasan seperti apa ?. Jika yang dimaksud adalah pembatasan subsidi terhadap warga yang sebenarnya mampu, tentunya tidak akan menjadi masalah. Namun, jika pembatasan dialamatkan pada wong cilik, ini sama saja dengan penyiksaan konstitusional via negara.
            Alasan keterbatasan anggaran karena membludaknya konsumsi BBM sebenarnya bukanlah alasan. Mengapa negara ini ketika dalam kondisi kesulitan selalu mengorbankan rakyat untuk menyelesaikannya. Semisal, harga-harga dinaikkan karena anggaran kita defisit. Padahal, masih banyak sumber pemasukan lain yang bisa dibidik. Kita wajar bertanya, kenapa negara tidak menangkap para koruptor yang justru biang keladi bangkrutnya republik ini. Hasil korupsi milyaran sampai triliunan rupiah jika dikelola dengan baik oleh negara akan berimbas positif bagi anggaran. Pemerintah sebaiknya membaca keras-keras pasal kelima pancasila yang berbunyi “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Karena sila itu bisa menggugat dan bertanya, kenapa ketika negara kehabisan uang, rakyat kecil yang menanggung dan ketika negara surplus para perampok negara yang menunggang ?

Adi Surya
Mahasiswa Fisip Unpad
Aktivis GMNI

Tapak Sejarah Gedung Indonesia Menggugat


Tapak Sejarah Gedung Indonesia Menggugat
            Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati sejarah bangsanya. Bahkan tidak hanya menghormati, tetapi juga ikut melestarikannya. Peninggalan sejarah seperti bangunan-bangunan tempo dulu kebanyakan dipandang sebagai bagian dari masa lalu oleh kebanyakan generasi muda sekarang. Padahal, bangunan tersebut menjadi simbol yang menceritakan dan turut menentukan apa yang kita jalani hari ini. Mengetahui masa lalu sebenarnya turut menggali nilai-nilai perjuangan yang ditanamkan oleh pendahulu bangsa ini. Kita kebanyakan berkiblat ke negara lain, tetapi lupa akan rumahnya sendiri. Hal ini pula yang menimpa sebuah gedung bersejarah di Jalan Perintis Kemerdekaan nomor 5,Bandung. Keberadaanya seakan terlupakan dalam gegap gempita geliat zaman. Paling, hanya mereka yang segelintir yang ingat dan tahu akan makna sebuah perjuangan dari dalam gedung ini.
            John, seorang karyawan yang sehari-hari bekerja di Gedung Indonesia Menggugat (GIM) mengisahkan bahwa nama gedung itu diambil dari judul pidato pembelaan Soekarno yang ia bacakan sendiri di salah satu ruang di gedung ini pada saat sidang pengadilan kasus politiknya pada tahun 1930. Bangunan ini diberi nama Gedung Indonesia Menggugat pada tahun 2005 oleh almarhum H.C. Mashudi, setelah menjalani renovasi fisik. Gedung Indonesia Menggugat Bandung kemudian diresmikan sebagai ruang publik pada 18 Juni 2007 oleh Pemda Propinsi Jawa Barat. Gedung ini sebelumnya merupakan gedung pengadilan kolonial Belanda. Pada 29 Desember 1929, Soekarno dan beberapa koleganya dari PNI, yaitu Raden Gatot Mangkoepradja, Maskoen, dan Soepriadinata, ditangkap polisi Belanda, dan diinapkan semalam di penjara Margangsan di Yogya, sebelum dipindahkan ke sebuah sel sempit di penjara Banceuy Bandung pada keesokan harinya. Di dalam penjara yang kotor dan bau inilah Soekarno menyusun pidato pembelaan yang bersejarah itu.
            Memang menurut sejarahnya, Gedung Landraad yang dibangun 1907 oleh Wolf Schoemaker ini diubah menjadi Pengadilan Hindia Belanda tahun 1917. Soekarno adalah salah satu murid Wolf Schoemaker. Dia juga ikut membantu dalam pembangunan gedung yang justru menjadi tempat pengadilan atas dirinya sendiri. Memang tidak banyak orang yang tahu akan sejarah gedung ini. Bahkan orang-orang Bandung pun banyak yang hanya melewati jalan tersebut tanpa rasa ingin tahu tentang gedung yang berbentuk huruf V ini.
            Karyawan lain yang bernama John mengaku sudah bekerja selama sebulan bergabung dengan teman-teman lain untuk mengelola GIM. Pada awalnya, dia beserta teman-teman teaternya sering menggunakan gedung ini untuk mengaktualisasikan minat dan bakat mereka di bidang seni. Beliau juga menceritakan ketika kita memasuki pintu depan, sebelah kanan adalah ruang pengadilan tempat Bung Karno dengan gagah berani menyampaikan pidatonya yang sangat terkenal itu, “indonesia Menggugat”. Kini ruangan itu masih menyimpan meja dan kursi hakim, beberapa foto-foto bersejarah tentang masa-masa tersebut. Sementara di sebelah kiri pintu depan, John mengatakan bahwa ruang tersebut sekarang menjadi ruang tamu. Hal ini karena gedung GIM banyak dipergunakan oleh kalangan seniman, budayawan, pegiat diskusi publik dan berbagai jenis acara-acara yang mengundang partisipasi publik. Untuk itu, perlu ruangan tersendiri untuk tamu-tamu yang diundang, mempersiapkan segala sesuatunya sebelum tampil.
            Selain itu,  setiap dinding gedung ini menampilkan foto-foto berserta rentetan peristiwa bersejarah pada masa itu. Kebanyakan tentang peran Bung Karno yang dikisahkan. Ruangan lainnya adalah ruang perpustakaan. Namun, melihat kondisinya yang hanya menyimpan sedikit buku-buku, perpustakaan ini tampak bukan seperti perpustakaan sejarah. John juga mengakui bahwa kebanyakan buku-buku yang ada di perpustakaan ini disumbangkan oleh orang-orang yang menggunakan gedung dan masyarakat yang ingin menyumbang. Misalnya, ketika ada acara bedah buku di GIM, buku yang dibedah disumbangkan ke perpustakaan ini. “Kedepannya, perpustakaan ini akan coba dilengkapi dengan koleksi-koleksi yang lebih lengkap lagi” terangnya.
            Di sebelah ruangan perpustakaan, terdapat ruang seminar  yang cukup luas. Ruang inilah yang banyak digunakan kelompok-kelompok masyarakat untuk mengadakan acara. John menuturkan “gedung ini banyak digunakan kelompok seni,budaya dan akademisi. Yang rutin membuat acara di GIM adalah anak-anak teater yang memanfaatkan fasilitas ini untuk berlatih dan tampil. Saat ini fungsi GIM lebih banyak sebagai ruang publik dibandingkan tempat wisata sejarah. Hal ini terlihat dari minimnya kunjungan wisatawan lokal untuk mengenal lebih jauh tentang gedung bersejarah ini. Saat ditanya berapa rata-rata pengunjung harian gedung ini, John menjawab sekitar lima hingga tujuh orang. Tentunya hal ini membuat kita miris. Sejarah sepertinya hanya milik kaum tua. Padahal untuk mengerti masa depan, generasi muda harus paham akan sejarah bangsanya.
            Kini GIM memang diperuntukkan sebagai tempat pameran, pementasan, diskusi dan debat umum, yang kesemuanya mengakomodir kebutuhan masyarakat untuk menyuarakan kepedulian dan keprihatinan yang berkembang. Sebagai ruang publik, GIM mencoba menjadi tempat berkumpulnya masyarakat dari segala lapisan tanpa memandang strata untuk berdialog dan mengutarakan apa yang dipikirakannya. Ke depannya, gedung bersejarah tidak harus memakai paradigma “defensif” yang lebih menunggu kunjungan. Melainkan memainkan ciri yang “offensif” dimana gedung ini diperkenalkan mulai dari sekolah dasar dengan bekerja sama dengan pihak sekolah. Kegiatan bisa dimulai dengan membuat kunjungan sampai membuat tugas sekolah yang berkaitan dengan gedung ini.
            Bung Karno pernah berujar “jangan sekali-kali meninggalkan sejarah”. Ironisnya, kini dia yang ditinggalkan oleh generasi muda yang menikmati hasil perjuanganya. Gedung ini mengajak kita untuk berani menggugat pada segala sifat penjajahan. Apakah kita sudah benar-benar merdeka?.Kalau begitu, jangan pernah takut menggugat.

Adi Surya
Mahasiswa Fisip Unpad
Aktivis GMNI Sumedang
           
           
           

Matinya Politik Pencitraan


Matinya Politik Pencitraan
                Seorang filsuf berkebangsaan Jerman Friedrich Nietzhe pernah berucap “Tuhan telah mati. Kini dalam nada yang hampir sama, Anas Urbaningrum yang naik ke podium dan mengucap “pencitraan telah mati”. Anas memang tidak mengucapkan itu secara verbal, namun secara tersirat, “sang pangeran biru” itu pastinya tidak akan menyangkalnya. Pencitraan disini adalah pola kampanye yang hanya mengandalkan kampanye udara tanpa pernah menjejakkan kaki ke tanah. Kemenangan Anas, sekaligus membuktikan bahwa suara arus bawah tidak goyah dikepung oleh iklan-iklan politik. Rival terberatnya adalah Marzuki Ali, senior dan sekaligus ketua DPR. Namun, sekali lagi, faktor senioritas juga tidak mampu membendung laju kemenangan Anas Urbaningrum. Anas Urbaningrum (AU), dalam putaran kedua pemilihan ketum Partai Demokrat ini, berhasil mengumpulkan 280 suara.
Sedang Marzuki Alie (MA) meraih 248 suara.
            Ada beberapa faktor yang bisa kita nilai sebagai kunci kemenangan Anas. Pertama, Anas sudah membuat investasi politik sejak dini di tubuh partai. Posisi yang dijabatnya sebagai Ketua DPP Bidang Politik,membuat interaksi politik dengan arus bawah sebagai pemilik mandat suara lebih terjaga. Dengan posisinya di DPP itu pula, Anas memainkan negosisasi dan bargain politik dengan proses politik arus bawah di DPC-DPC. Interaksi yang intens membuat hubungan emosional dan iman politik tersampaikan dengan baik. Kedua, Karakter pribadi yang santun, cerdas dan berwibawa. Anas tahu betul bahwa karakter pribadinya sangat cocok dengan positioning Partai Demokrat yang juga selaras dengan karakter pribadinya. Proses pelembagaan nilai-nilai yang dimiliki partai membuat kader-kader demokrat yang mempunyai hak suara dalam kongres dibuat nyaman dengan sosok Anas.
            Ketiga, pengalaman politik sejak dini. Guru terbaik adalah pengalaman. Anas sebenarnya bukan anak kemarin sore dalam panggung perpolitikan tanah air. Karirnya sejak menjadi aktivis HMI sampai kemudian menjadi ketua fraksi demokrat di Senayan tergolong cukup mulus untuk usia yang masih muda. Ini adalah rajutan track record yang tidak bisa disangkal sebagai sebuah prestasi politik yang brillian. Ibarat kita membeli barang elektronik dengan rumusnya “harga tidak pernah bohong”, begitu pula dalam melihat kualitas pemimpin, diktumnya berbunyi “track record tidak bakal bohong”. Dalam usianya yang masih 41 tahun, dengan jabatan sebagai ketua partai terbesar di Indonesia, menunjukkan siapa sebenarnya beliau.
            Keempat, dukungan SBY. Walau tidak tersurat, SBY sedang memainkan politik tebar jala. Artinya, siapapun ketuanya, yang menang tetap SBY. Menempatkan anaknya, Eddi Baskoro ke dalam kubu Andi Malaranggeng adalah satu sisi. Sisi lain, pada saat menjelang putaran kedua, kita sebenarnya bisa mencerna bahasa politik SBY dalam pidato singkatnya agar pemilihan dilakukan demokratis dan tidak ada tekanan. Demokratis dan tanpa tekanan adalah simbol kedaulatan rakyat, yang juga berarti suara pemilih tidak tunduk pada kekuatan politik tertentu dan hanya berdaulat pada sang pemilik suara. Pada saat itu, suara AM yang hendak diperebutkan, dan sesuai dengan pidato SBY, suara AM akhirnya punya otonomi atas hak politiknya masing-masing. Padahal AM sudah mengumumkan pelimpahan dukunganya pada Marzuki Ali. Pelimpahan dukungan akhirnya tidak bulat, karena  hampir setengah lebih suara AM pindah ke kubu Anas. Menurut penulis, SBY sengaja bersikap netral dan cenderung membiarkan tiga kandidat bertarung habis-habisan sejak awal. Sambil menunggu dan melihat kandidat yang paling berpeluang menang. SBY tidak ingin berhadapan dengan konflik jika mendukung terang-terangan salah satu calon. Kalaupun ada beberapa sinyal, itupun tidak bisa di-judge oleh pihak yang kalah sebagai dukungan SBY. Terlihat disini bagaimana SBY juga bermain cantik mengamankan posisinya. Hal ini pula yang dianggap sebagai faktor penentuan kalahnya Marzuki. Posisi Marzuki sebagai ketua DPR mungkin terlalu sulit untuk dikendalikan SBY sehingga kemudian memberi sinyal halus mendukung Anas.
            Terlepas dari faktor kekalahan Marzuki Ali, ada hal yang menarik dari kongres demokrat kemarin, yakni matinya iklan politik. Beberapa analisis kemenangan Anas, berbanding terbalik dengan tersingkirnya Andi di putaran pertama, banyak pertanyaan kenapa Andi dengan Ibas sebagai simbol Cikeas, bisa kalah ?. Restu Cikeas kepada Andi dengan representasi Ibas adalah klaim. Tidak pernah ada tanda-tanda Cikeas mendukung Andi.  Penempatan Ibas di kubu Andi bisa dibaca sebagai kebebasan Ibas dalam memilih calon pemimpin atau bisa juga dibaca sebagai strategi politik SBY untuk sekedar menebar pengaruh . Karena rumus politik SBY adalah siapapun yang menang, pemenang sejati adalah SBY,maka penempatan Ibas tidak terlalu menjadi perhitungan politik yang bisa menggoyahkan kewibawaan Cikeas jika Andi kalah. Rumus politik SBY terbukti dengan posisinya sebagai ketua dewan pembina sekaligus menjadi ketua majelis tinggi partai yang memiliki kewenangan yang sangat superpower. Kewenangan tersebut antara lain menentukan formatur pembentukan kabinet Anas sampai pengambilan keputusan strategis partai,pembentukan koalisi dan penentuan calon presiden dan wakil presiden. Jika dilihat dari kewenangan majelis tinggi tersebut, maka fungsi ketua umum hanyalah sebagai pembawa obor. Yang terang bersinar tetap SBY.
            Selain itu, Andi jarang menjalin interaksi politik di akar rumput. Posisinya sebagai juru bicara presiden dan menteri pemuda dan olah raga tentunya bukan pintu yang tepat untuk membangun relasi politik dengan DPC-DPC. Akhirnya, iklan politik menjadi senjata pamungkas menutupi kelemahan itu. Namun, Andi lupa bahwa kampanye udara saja tidaklah cukup. Kampanye darat untuk pemilih sekelas partai masih sangat menentukan. Inti pencitraan dalam ajang politik seringkali  dan kebanyakan adalah membangun kesadaran palsu bagi khalayak yang menjadikan sosok yang dimunculkan nampak sempurna. Hal itu mungkin bisa dikenakan pada khalayak yang memiliki kesadaran pasif namun tidak bagi khalayak aktif seperti anggota internal partai. Menurut Jean Baudrillard, filsuf dan pakar komunikasi Perancis, media merupakan agen simulasi (peniruan) yang mampu memproduksi kenyataan (realitas) buatan, bahkan tidak memiliki rujukan sama sekali dalam kehidupan kita. Teori Baudrillard masuk akal dihubungkan pada banyaknya iklan-iklan di televisi, radio, dan media cetak menampilkan tokoh-tokoh dengan bendera satu partai politik di belakangnya. Para tokoh politik memproduksi kenyataan buatan bermuatan politis agar mendapatkan dukungan di kongres. Proses dramatisasi ditunjukkan dengan mengangkat tema besar yang sensitif dan populer di hadapan pemilih.
            Demokrat membuktikan iklan politik bukan rumus sakti menghasilkan pemimpin. Politik hati yang dibangun jauh-jauh hari masih ada dalam kongres kemarin. Kekalahan Andii itu menguatkan pendapat, jika ingin berhasil di dunia politik maka tidak cukup dengan upaya pencitraan saja. Setiap calon harus turun ke daerah, mendatangi konstituennya, berdialog dan menanam persepsi yang sama tentang visi dan misi partai. Andi lupa yang dihadapinya bukan segerombolan massa rakyat yang mudah tertipu dan terombang-ambing oleh iklan dan spanduk siapa yang paling banyak. Itu semua karena Andi lupa, dan sekali lagi lupa bahwa dia menggunakan meriam untuk membunuh nyamuk”.

Adi Surya
Mantan Ketua DPC GMNI Sumedang 2007-2009
Menempuh Studi Di Fisip Unpad