Dewan Pelindung koruptoR

Dewan Pelindung koruptoR


DPR lagi-lagi membuat sensasi. Tak puas dengan perseteruan dengan grup musik SLANK dan tertangkapnya Al Amin Nasution , Anggota Komisi IV dalam kasus suap alih fungsi hutan lindung di Riau, kali ini Ketua DPR, Agung Laksono yang berulah. Beliau melarang KPK untuk mengeledah ruang kerja Al Amin di Senayan. Berbekal dengan dua alasan yang bagi saya tidak masuk akal. Pertama, Agung mengatakan saat ini DPR sedang reses dan kedua tentang kewenangan KPK menggeledah ruang kerja dewan. Dan, tak lama berselang Agung mengumpulkan seluruh pimpinan fraksi di DPR dan hasilnya semua pimpinan fraksi sepakat perlunya etika dalam hubungan Institusi. Atau dengan kata lain, pimpinan fraksi sepakat dengan tindakan Agung. Dan, yang lebih mencengangkan lagi, malah ada wacana pembubaran KPK dari Anggota DPR. Ketika KPK lemah, anggota dewan berlomba-lomba menghujat. Namun, saat anggota dewan merasa KPK berpotensi menjadi pagar makan tanaman bagi mereka, maka berhembuslah ide untuk mendepolitisasi lembaga superbody ini. Ada-ada saja tingkah laku para politisi kita di senayan.

Sebenarnya secara logika, tindakan para anggota dewan melarang KPK dengan alasan mempertanyakan kewenangan KPK untuk melakukan penggeledahan cukup menggelikan. Kewenangan KPK justru adalah bentukan pemerintah dan DPR sebagai pembuat Undang-Undang. Jadi ketika Agung yang notabene adalah Ketua DPR malah mempersoalkan tentang kewenangan, dapat diartikan bahwa anggota DPR tak memahami peraturan yang dibuatnya sendiri. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana proses fit dan proper test untuk menghasilkan pimpinan KPK yang lebih baik oleh DPR beberapa waktu yang lalu. Tentunya secara akal sehat semua orang bisa sepakat bahwa sebenarnya pejabat-pejabat yang menjadi penguji calon-calon pimpinan KPK pada saat itu lebih mumpuni dalam hal sejauh mana batas kewenangan KPK.

Kemudian yang menjadi menarik adalah apa hubungan masa reses dengan tugas KPK. Tugas KPK adalah proses hukum yang dilindungi oleh Undang-Undang dan masa reses bukanlah alasan yang logis untuk menghentikan sebuah proses hukum. Dalam hal penegakan hukum, tidaklah mengenal waktu. Hukum bekerja setiap saat bagi siapa pun, kapan pun. Tanpa pandang bulu, tanpa pandang waktu. Lagi pula, yang menjadi sasaran penggeledahan KPK bukanlah seluruh anggota DPR yang katanya sedang reses. KPK dengan jelas mengatakan akan menggeledah ruang kerja Al-Amin yang justru sedang reses di tahanan. Lantas, sungguh tidak bijak pernyataan seorang pimpinan DPR berkata dan berlogika seperti itu. Kesan yang muncul kemudian di masyarakat bahwa DPR sedang melindungi koruptor.

Wacana pembubaran KPK pun mulai diwacanakan oleh beberapa anggota dewan dengan alasan perlunya koreksi terhadap keberadaan KPK sebagai superbody yang memiliki kewenangan sangat kuat, sehingga bisa mengabaikan hukum pidana. Pendapat tersebut sungguh memperlihatkan ketakutan anggota dewan terhadap produk ciptaannya sendiri. KPK saat ini sedang mencoba untuk menunjukkan taringnya dalam mengusut kasus-kasus kakap korupsi. Hasilnya, walaupun belum maksimal, namun sudah mampu menyeret beberapa orang yang tak tersentuh di era-era pemerintahan sebelumya. Hal ini seharusnya menjadi sebuah harapan kita bersama untuk mendukung KPK dalam membongkar borok perilaku korup. Bukannya malah membubarkannya.

Dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dijelaskan, salah satu gagasan awal pembentukan KPK tidak lepas dari performance capaian lembaga penegak hukum yang ada, dalam hal ini adalah kepolisian dan kejaksaan. KPK lahir sebagai akibat gagalnya lembaga-lembaga penegakan hukum tersebut dalam pemberantasan korupsi. UU 30/2002 meletakkan korupsi sebagai extraordinary crime. Dengan kategori itu, penegakan hukum ( law enforcement ) pemberantasan korupsi juga menghendaki cara-cara yang luar biasa pula. KPK kemudian menjelma menjadi sebuah lembaga independen yang memiliki kewenangan yang super pula. Termasuk menggeledah ruangan lembaga-lembaga tinggi negara seperti Bank Indonesia, Mahkamah Agung, Lembaga Kepresidenan dan juga DPR. Bahkan KPK dimungkinkan mengesampingkan UU lain , termasuk UU nomor 8/1981 tentang Hukum Acara Pidana.

DPR sebagai rumah rakyat tidak seharusnya tertutup untuk rakyat. Melihat citra DPR yang semakin lama semakin merosot di mata publik, ditambah dengan adanya larangan bagi KPK untuk melakukan tugasnya menambah buram wajah anggota dewan. Berbicara tentang perlunya etika dalam hubungan berinstitusi antara KPK dan DPR memang sudah sewajarnya ada. Namun jika proses hukum harus terhenti dikarenakan alasan masa reses dan kewenangan, hal tersebut tidaklah dapat dijadikan pembenaran. Sebaliknya, anggota dewan dianggap tidak pro dalam agenda pemberantasan korupsi. Seperti yang dikatakan Jusuf Kalla bahwa tidak ada lembaga yang kebal hukum di Indonesia. Semua lembaga diperlakukan sama di depan hukum.

Pemberantasan korupsi di Indonesia memang masih jauh panggang dari api. Namun, ibarat mendaki gunung yang tingginya beribu-ribu mil, kita harus mulai dengan ayunan langkah yang pertama. KPK sebagai lembaga yang ditugaskan untuk melakukan tugas mulia itu haruslah kita dukung dengan professional. Diperlukan kerjasama oleh berbagai pihak apakah eksekutif, legislatif maupun lembaga yudikatif untuk bersinergi mewujudkan Indonesia yang bebas Korupsi. Dalam hal ini KPK dan DPR perlu melakukan komunikasi antar lembaga agar tercapai kesepahaman di antara ke dua lembaga. Pemberantasan korupsi akan terasa lebih ringan jika dilakukan dan dilandasai semangat saling mendukung dari semua pihak dibanding mempersoalkan hal-hal yang sebenarnya tidak substansial dalam pemberantasan korupsi.




0 komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar Anda Di Sini :