BUDAYA ERTUTUR SEBAGAI PERGAULAN SOSIAL


R.Linton dalam bukunya The Cultural Background Of Personality (Harsojo, 1988:92) menyebutkan, kebudayaan adalah konfigurasi tingkah laku yang dipelajari dari hasil tingkah laku, yang unsur pembentukannya didukung dan diteruskan oleh anggota masyarakat tertentu.Dengan demikian kita bisa melihat bahwa kebudayaan adalah hal yang bisa dipelajari.Begitu pula halnya dengan budaya perkenalan atau dalam bahasa Karo disebut ertutur .Sebagai hasil dari pembelajaran dari tingkah laku,budaya perkenalan ini menjadi unik karena tata cara perkenalan dilakukan dengan cara yang tidak konvensional.Jika perkenalan di masyarakat barat (greetings) kerap dimulai dengan menanyakan nama,lain halnya dengan masyarakat Karo.Begitu pula dengan perkenalan dalam masyarakat kita yang biasanya hanya menyentuh lapisan luar dari identitas seseorang.Masyarakat batak Karo memaknai budaya perkenalan lebih dalam lagi. Setiap orang Karo, di mana pun ia berada, ketika bertemu,untuk mengetahui posisi masing-masing dalam kekerabatan melakukan ertutur atau berkenalan. Dalam proses ertutur inilah nantinya mereka akan menemukan (satu dengan yang lain) harus memanggil apa dan dalam posisi apa.

Kata ertutur satu kosa kata dalam bahasa Batak Karo berasal dari kata dasar tutur yang bermakna tingkat hubungan kekerabatan. Sementara ertutur adalah kata kerja yang bermakna mencari tingkat hubungan kekerabatan sesorang dengan yang lain. Kebiasaan bagi orang Karo bila pertama kali berjumpa dengan seseorang selalu ertutur terlebih dahulu guna mencari hubungan kekerabatan.Jadi filosofinya,kita semua adalah saudara,dimanapun kita berada dan untuk menentukan posisi kita dalam sebuah sistem kekerabatan diperlukan ertutur.Untuk memulai bertutur pun bukanlah proses yang basa-basi.Ada penggunaan bahasa-bahasa tutur yang umumnya selalu digunakan untuk memulai perkenalan. Jadi,ibaratnya setiap anggota suku memiliki chip identitas yang ditentukan derajat rendah atau tinggi ataupun posisinya dalam bingkai sistem kekerabatan.

Kuatnya kekerabatan dalam masyarakat Karo didukung oleh kolektivitas kehidupan masyarakatnya yang dijiwai oleh penghormatan pada nilai-nilai adat.Dalam ertutur,tentunya ada lapisan-lapisan untuk mencari posisi kita dalam mencari posisi kita ketika berkenalan dengan orang lain. Lapisan proses ertutur tersebut terdiri dari (1). Marga/Beru adalah nama keluarga yang diberikan (diwariskan bagi seseorang dari nama keluarga ayahnya secara turun temurun bagi anak laki-laki).Sedangkan bagi anak wanita marga ayahnya disebut beru yang tidak diwariskan bagi anaknya kemudian.(2).Bere-bere adalah nama keluarga yang diwarisi seseorang dari beru ibunya. Bila ibu saya beru Karo, maka bere-bere saya menjadi bere-bere Karo.(3).Binuang adalah nama keluarga yang diwarisi seorang suku Karo dari bere-bere ayahnya.(4).Kempu (perkempun), adalah nama keluarga yang diwarisi seseorang dari bere-bere ibu.(5).Kampah adalah nama keluarga yang diwarisi seseorang dari beru yang dimiliki oleh nenek buyut (nenek dari ayah).(6).Soler adalah nama keluarga yang diwarisi dari beru empong (nenek dari ibu).

Adapun melalui lapisan ertutur di atas, seseorang dapat mengetahui posisi dan tingkatannya dalam jenis-jenis sebagai berikut: bapa (bapak), nande (ibu), mama (paman), mami (bibi/istri paman), bengkila (panggilan istri terhadap mertua laki-laki), bibi (panggilan istri terhadap mertua perempuan), senina (saudara karena marga, atau sembuyak untuk yang satu ibu), turang (laki-laki terhadap saudara perempuan, atau perempuan sama berunya dengan marga seorang laki-laki), Impal (laki-laki yang bere-bere-nya sama dengan beru seorang wanita, pasangan yang ideal dalam peradatan Karo), silih (abang ipar atau adik ipar), bere-bere (seorang yang memiliki bere-bere yang sama dengan bere-bere seorang lainnya),anak (anak), kempu (cucu), ente (cicit), entah (buyut), turangku (hubungan yang dahulu tabu untuk berbicara langsung, misalnya antara istri kita dengan suami dari saudara perempuan kita), agi (adik), kaka (abang laki-laki/perempuan), permen (sebutan mertua laki-laki terhadap menantu perempuan), nini bulang (kakek), nini tudung/nondong (nenek), empung (kakek dari ayah atau ibu) beru(nenek dari ayah atau ibu).

Biasanya proses memulai perkenalan,secara umum hanya sampai pada tahap lapisan kedua. Sedangkan pada lapis ketiga dan seterusnya hanya dipakai dalam acara-acara adat. Kecuali, bila dua orang yang hendak berkenalan, sama sekali tidak memiliki hubungan marga atau beru yang pas, maka diusutlah sampai tingkat keempat sampai enam.Misalnya si A bertemu dengan B. Untuk memulai ertutur, si A akan menanyakan apa marga si B dan dilanjutkan dengan menanyakan bere-bere-nya..Misalnya si A mengatakan,” sepertinya kita belum saling mengenal,apa tutur kita ya ?”.”Marga saya tarigan,bere-bere saya ginting,kalau anda ?”. Proses saling tukar identitas seperti marga dan bere-bere akan berujung pada posisi seperti apa ke dua orang tersebut harus saling memanggil. Misalnya,setelah bertutur diketahui kedua orang tersebut bertutur impal (pariban) atau mama (paman).Berarti kita mendapat kesimpulan bahwa si A dan B memiliki hubungan saudara sebagai pariban atau paman.

Posisi yang diperoleh dari proses ertutur berkonsekuensi adanya peran yang harus dipraktikkan sesuai dengan tutur tersebut.Setiap hasil perkenalan kemudian menghadapkan seseorang pada bagaimana bersikap dengan posisi yang dimiliki.Seorang yang bertutur impal (pariban) tentu akan lebih santai dalam melakukan komunikasi dibandingkan yang tuturnya adalah nini bulang (kakek).Tentunya posisi tutur kita dengan seseorang,akan berbeda-beda hasilnya tergantung pada orang yang diajak bertutur.Jadi,seorang suku Karo akan menjalankan tugas dan peranan yang bermacam-macam dengan orang yang berlainan ketika berinteraksi dengan orang Karo lainnya.Setiap orang ada dalam jejaring kekerabatan yang tidak akan pernah bisa lepas dari tali persaudaraan dimanapun berada.
Pemahaman bertutur ini juga menunjukkan pemahaman akan adat Karo sebagai pengungkapan identitas.Di era homogenisasi budaya seperti saat ini,budaya Karo semakin terkikis oleh arus sisi negatif modernisme .Cara perkenalan versi adat ini dianggap rumit,kaku dan ada semacam rasa gengsi untuk mempelajarinya.Namun, jika kita lihat lebih dalam,terkandung nilai-nilai positif dari proses ertutur ini dalam arus pusaran individualisme. Nilai persaudaraan, kolektivitas, saling menghormati sesuai dengan peran adalah nilai yang belakangan ini jarang kita dengar lagi. Jika kebudayaan adalah proses yang dapat dipelajari,maka setiap suku Karo dituntut harus melestarikan dan mewariskan budaya ertutur kepada keluarga. Sehingga proses pembelajaran dan penanaman nilai budaya akan berjalan secara berkesinambungan. Mari ertutur.
Adi Surya
Ketua DPC GMNI Sumedang
Mahasiswa Fisip Unpad


Adi Surya


Ketua DPC GMNI Sumedang


Mahasiswa Fisip Unpad


0 komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar Anda Di Sini :