Menggugat Budaya Hedonisme Di Kalangan Mahasiswa


Ruangan itu terasa sesak dan bising. asap rokok, suara gelak tawa yang membahana, suara gelas yang melengking karena ditubrukkan, orang-orang yang saling berdiri dengan rapat menghadap stages dan tentunya alunan musik yang menjadi ruh acara menjadi penanda kesesakan dan kebisingan. Disalah sudut –sudut ruangan terlihat kumpulan muda-mudi , belasan tahun, sedang asyik bertumpuk, berkumpul, membentuk identitasnya masing-masing. Ada yang berbusana santai, kemeja rapi sampai dengan tampilan kulit yang dibalut dengan tank top ala remaja masa kini.

Seorang pria bertopi koboi berteriak, memberi semangat untuk menikmati malam, dibawah temaram rembulan yang menandakan malam semakin larut, let’s party bro. Ada yang bergoyang ala Amerika Latin, samba sampai goyang dangdut ikut menambah panas suasana. Sebuah kemeriahan yang tak jarang lagi kita lihat di kota-kota urban.

Seketika semuanya diam, sunyi, hanya terdengar suara ocehan MC yang mengisyaratkan puncak acara akan segera dimulai. Lampu sorot di arah timur menyala perlahan, kemudian diikuti di barat, utara hingga seluruh stages berubah menjadi lautan warna .Tiba-tiba ketenangan itu berubah menjadi pekik histeris massa yang menyembur bak luapan lumpur lapindo saat MC memanggil bintang tamu utama ke atas stages.

Lima orang cowok, dengan bermodalkan tampang keren langsung mengebrak para audiens. Sang gitaris mulai mengulik senar-nya, memainkan irama , nada dan not yang berpadu dalam melodi, di atas gitar itu jari-jemarinya , gesit dan lincah memencet senar gitar. Jerit penonton terdengar lagi, kali ini disambung dengan tepuk tangan dan penonton mulai berdesakan mendekat ke stages saat lagu pertama dibawakan. Tangan mulai diangkat, musik mulai merasuk, semua ikut bernyanyi, mengikuti , termasuk nyanyian di dalam hati, coba mengejar suara sang vokalis. Nampak tak ada rasa ketakutan, kegelisahan, kesedihan di raut wajah mereka. Semuanya berlomba-lomba untuk mencapai orgasme dalam menikmati alunan musik melalui dentuman lagu-lagu yang dibawakan sang bintang tamu.

Gambaran seperti inilah yang terlintas dipikiran ketika mendapat ajakan seorang teman ke sebuah acara bertajuk NIGHT PARTY di sebuah tempat hiburan di Kota Bandung. Di kota Urban ini memang kental dengan berbagai tempat hiburan untuk melepas penat dari rutinitas keseharian. Tiba-tiba dalam benak penulis terbesit pertanyaan, benarkah gambaran di atas adalah budaya hedonisme yang katanya saat ini sedang merasuki anak muda zaman sakarang ? Pertanyaan ini yang kemudian menjadi perdebatan dalam diri penulis, hingga tulisan ini di buat.

Di lihat dari sejarah, pencetus paham hedonisme adalah filsuf Epicurus (341-270 SM). Ia berpendapat bahwa kesenangan dan kenikmatan materi adalah tujuan yang paling utama dalam hidup. Filsafatnya dititikberatkan pada etika yang memberikan ketenangan batin. Kalau manusia mempunyai ketenangan batin, maka manusia mencapai tujuan hidupnya.

Tujuan hidup manusia adalah hedone (kenikmatan, kepuasan). Ketenangan batin diperoleh dengan memuaskan keinginannya. Manusia harus dapat memilih keinginan yang memberikan kepuasan secara mendalam. Hedonisme sebagai suatu “budaya” yang meletakkan dimensi kepuasan materi sebagai suatu tujuan utama memicu dan memacu pemanfaatan alam dan atau melakukan aktivitas hidup yang jauh dari dimensi spiritual (moralitas).

Menurut filsuf Aristipus of Cyrine (435-366 SM), sesungguhnya kesenangan merupakan rasa dari watak yang lemah lembut dan merupakan tujuan yang sebenarnya dari kehidupan. Semua kesenangan nilainya sama, tetapi berbeda dalam tingkat lamanya, kesenangan harus dikendalikan oleh akal. Pengendalian melalui mekanisme pemikiran (akal) tidak lain adalah usaha “rasionalisasi” keadaan yang didasarkan atas upaya penyesuaian antara keinginan sebagai tujuan dengan penyesuaian melalui pendekatan moral/etika terhadap nilai-nilai sosial dan spiritual. Keadaan demikian menjamin tercapainya keseimbangan antara tujuan material dan spiritual, sehingga secara individual tercapai kepuasan batin yang sempurna.

Benarkah Paham Hedonisme sudah merasuk di kalangan mahasiswa ? Mahasiswa kalau boleh penulis definisikan adalah orang yang dapat digolongkan sebagai intelek-intelek muda bangsa ini. Mahasiswa adalah kandidat calon orang-orang besar yang nantinya akan mengisi posisi intelektual organik yang akan memimpin bangsa ini . Oleh sebab itu sudah sewajarnya mahasiswa memiliki peranan yang sangat penting dalam sejarah bangsa Indonesia. Mahasiswa juga dilekatkan sebagai agen perubahan ( social change ) dan agen pengawasan ( social control ). Dari kedua peran tersebut , mahasiswa layaknya bersikap kritis terhadap setiap aspek yang dinilai melanggar asa-asas keadilan.

Sejarah bangsa ini mencatat bahwa perubahan yang terjadi di Indonesia sebagian besar dipengaruhi andil mahasiswa yang terlibat dalam aksi-aksi perlawanan. Mulai dari Budi Utomo sampai peristiwa Mei 98. Artinya, mahasiswa dianggap sebagai orang yang terdidik , kritis, yang sejatinya berjibaku dengan proses pembentukan pola pikir yang kritis dan peka terhadap perubahan. Tetapi kini fungsi sebagai agen perubahan dan kontrol sosial dirasakan mulai luntur. Kita bisa bedakan situasi dan aroma geliat mahasiswa dari zaman pra kemerdekaan sampai reformasi dengan kondisi mahasiswa sekarang.

Dahulu Sjahrir, Hatta, Bung Karno tak henti-hentinya belajar menuntut ilmu untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Memasuki tahun 1966, seorang tokoh pergerakan mahasiswa , Soe Hok Gie membela mati-matian idealisme mahasiswa yang harusnya belajar di kampus, berdiskusi, kritis, mencoba meraba keterbatasanya sebagai manusia dengan ketakterbatasan khazanah ilmu pengetahuan. Gie juga mengecam perilaku mahasiswa yang lebih suka dengan kegiatan pesta pora, serta apatis dengan perubahan. Sampai-sampai mengatakan lebih baik mati daripada menyerah pada kemunafikan ( Soe Hok Gie : Catatan Seorang Demonstran ).

Tetapi itu dulu, kini kondisinya jauh berbeda, kita bisa lihat sikap apatis sebagian besar mahasiswa terhadap kondisi bangsa, acuh tak acuh dengan sekitarnya. Fenomena kegiatan-kegiatan mahasiswa yang diadakan di kampus yang cenderung ke arah mengejar kenikmatan sesaat, justru selalu ramai peminat. Coba kita lihat bersama dengan mata terbuka, berapa banyak forum-forum diskusi, seminar, pelatihan yang sepi peminat. Namun selalu saja ramai saat ada pertunjukan musik ataupun kegiatan – kegiatan yang bersifat hedonis. Mahasiswa seolah-olah berada jauh dari “ rumahnya ” sendiri. Meminjam istilah alienasinya Erich Fromm, yang berarti bahwa kita terasing dari diri kita sendiri atau yang lainnya, sehingga tidak lagi menghayati diri sendiri sebagai mahasiswa yang harusnya menjalankan dan diberi tugas dan peranan oleh masyarakat melainkan menyembah hal-hal yang ada diluar dirinya yang sama sekali bukan ranahnya.

Dewasa ini, hidup ditengah-tengah hingar bingar budaya massa (mass culture) dan budaya pop (pop culture) yang dikonstruksi (dibangun) kapitalisme. Dalam tulisan Idi Subandy Ibrahim (Paradoks di balik gerakan mahasiswa , dari kampus “ hura-hura” sampai kampus “ huru-hara” . Pustaka Hidayah. 1999) dikatakan bahwa kebudayaan massa atau kebudayan populer benar- benar menjelma menjadi simbol brutalisme baru di pusat-pusat urban dunia. Di balik brutalisme kebudayaan ini orang-orang, terutama anak muda, kebingungan menghabiskan waktu luangnya. Bersamaan dengan semakin panjangnya waktu luang itulah, kebudayaan pop lahir dengan segala perniknya lewat radio, televisi atau bacaan populer sebagai pengisi waktu senggang. Kebudayaan populer, sebagai bagian bangunan hasil konstruksi produsen budaya kapitalis, selamanya akan merefleksikan impian-impian massa.

Kebudayaan populer di Indonesia mengungkapkan kisah-kisah anak muda dalam potret yang sering jauh lebih indah dari kenyataannya. Pamer hedonisme dan pola gaya hidup mewah, yang mencerminkan ikon-ikon baru remaja mulai mengalahkan idola lama mahasiswa seperti Bung Karno maupun Soe Hok Gie yang idealis. Berganti dengan pertunjukan musik, clubbing, sex party dengan tujuan akhir adalah pencapaian kenikmatan sesaat. Akibat dari itu semua, mahasiswa jarang sekali yang memakai aspek kognisi mereka untuk melihat realitas masyarakat yang ada. Mereka tidak menggunakan kompetensi pengetahuan mereka kecuali hanya didalam ruang kelas saja tetapi tidak untuk memahami realitas yang terjadi di dalam masyarakatnya.

Lalu mahasiswa juga sudah tidak memiliki kesadaran akan apa yang sedang terjadi di masyarakat. Sekali lagi karena mahasiswa sudah terhegemoni (soft hegemony ) oleh sebuah kekuatan yang kita sebut kapitalisme global. Seperti yang diutarakan John Lennon, Sex, TV, and Music make you weak. Mungkin itulah yang dapat menggambarkan hilangnya kesadaran mahasiswa. Mahasiswa oleh sebab itu tidak dapat disebut sebagai intelektual organik sebab mereka sudah tercerabut dari tempat yang semestinya, yaitu masyarakat. Mahasiswa menjadi sebuah kelas baru yang sangat prestisius, mahasiswa menjadi borjuasi-borjuasi muda dengan masa depan yang cerah dihadapannya.

Menyimak dari berbagai fenomena di atas lalu muncul pertanyaan dalam benak penulis, apakah benar contoh kecil seperti NIGHT PARTY adalah sarana untuk menghabiskan waktu luang bagi mahasiswa dikarenakan kurangnya aktivitas-aktivitas di dalam dunia kampus ? Lalu, apa memang kegiatan seperti inilah yang menyebabkan absen-nya fungsi dan peranan mahasiswa sebagai agen perubahan dan kontrol sosial ?

Jika benar ,maka ini adalah sebuah ironi. Jika Epicurus masih hidup sampai hari ini, mungkin ia akan meneteskan air mata. Karena hedonisme yang dicetuskan olehnya adalah paham untuk mencari kesenangan di dalam hidup. Artinya setiap apapun yang kita lakukan bertujuan mencapai kesenangan. Tetapi adalah sebuah kesalahan, jika kita hanya mendewakan satu tujuan saja dari beberapa tujuan. Karena dalam setiap tujuan pasti terdapat kesenangan –kesenangan yang menciptakan kepuasan batin. Wassalam.

0 komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar Anda Di Sini :