Pembubaran Ormas ? Tunggu Dulu
        Kebebasan selalu mengandung batas. John Stuart Mill menyebutnya a very simple principe of liberty, karena dalam filosofi kebebasan selalu ada pertanyaan, dimana batasnya. Mill, pada pertengahan abad ke-19, menyajikan defenisi yang gamblang bahwasanya kebebasan berakhir manakala kebebasan tersebut mengancam hak hidup atau hak orang lain. Disamping kebebasan, setiap manusia atau kelompok punya bakat melakukan kekerasan. Ketika kebebasan tanpa rambu dan bakat kekerasan bertemu, disanalah terjadi pelanggaran hak azasi daripada setiap manusia. Kekerasan yang dilakukan oleh beberapa organisasi masyarakat dalam beberapa waktu terakhir ini misalnya, merupakan bentuk tafsir keliru atau kesalahan berfikir yang fatal bagaimana memecahkan masalah tanpa kemudian menjadi masalah itu sendiri. Pertanyaan yang seringkali muncul, kenapa ormas anarkis bisa dengan leluasa tanpa takut melakukan kekerasan kepada sejumlah warga lainya sementara aparat keamanan hanya bisa jadi penonton. Adakah sesuatu yang salah dalam kebebasan berserikat dan berkumpul yang kita miliki ?
Jika sejenak kita melihat rekam jejak kekerasan ormas memang cukup memprihatinkan. Bambang Hendarso Danuri saat masih menjabat Kapolri, menjelaskan, ada 107 tindakan kekerasan dilakukan oleh organisasi masyarakat (ormas) sejak tahun 2007 hingga 2010. Dari jumlah tersebut, terlihat 1-2 ormas mendominasi aksi kekerasan. Sementara itu pada tahun 2011, tercatat 20 kekerasan yang dilakukan ormas. Jika kita lihat data kekerasan yang terus terjadi dari tahun ke tahun tersebut, setidaknya sejak tahun 2007, ormas pelaku kekerasan masih bebas melenggang dalam melakukan aksi anarkis-vandalisnya hingga saat ini. Jangan salahkan kalau publik berpendapat, bahwa negara impoten menghadapi “nafsu buas” ormas.

        Impotensi Negara
        Patut kita catat sudah dua kali Presiden SBY mengeluarkan pendapatnya mengenai ormas anarkis. Pertama, pada saat memperingati hari Pers Nasional di Kupang NTT pada tahun 2011. SBY menginstruksikan agar organisasi massa yang menciptakan keresahan ditindak tegas, jika perlu dibubarkan. Instruksi Presiden tersebut dijawab ormas dengan angka 20 kasus kekerasan Pada tahun 2011. Bahkan yang cukup menarik, salah satu ormas malah mengancam balik akan menggulingkan pemerintahan SBY. Peristiwa kedua, pernyataan Presiden SBY pada saat jumpa pers di Istana tanggal 13 Maret 2012, dimana SBY meminta salah satu ormas yang dianggap paling sering melakukan aksi kekerasan yaitu Front Pembela Islam (FPI) untuk melakukan instrospeksi. Sungguh disayangkan, karena secara tidak langsung, Presiden menganggap solusi anarkisme ormas sebatas instrospeksi dari FPI, tetapi lupa instrospeksi juga harusnya dilakukan pemerintah. Faktanya memang, suka tidak suka, ormas-ormas anarkis menang telak terhadap pemerintah.
        Sebenarnya hukum positif dalam mengatur ormas ada pada Undang-undang Nomor 8 tahun 1985 tentang Organisasi Masyarakat. Namun, sebagai mana telah diulas luas oleh berbagai kalangan, undang-undang ini lebih menyerupai sosok makhluk politik dibanding makhluk hukum. Dikatakan mahluk politik, karena suasana kebatinan zaman orde baru dulu adalah bagaimana agar negara kuat – rakyat lemah. Negara tampil dalam sosok seram pendikte arti kebebasan. Orde baru menganggap kebebasan adalah kebebasan sepanjang masih sesuai selera penguasa. Akibatnya Undang-undang ormas yang lahir pada saat itu alih-alih dalam rangka menjamin kebebasan berserikat dan berkumpul, justru sebaliknya, menjadi instrumen monopoli kontrol negara atas ormas. Zaman itu pula saat-saat dimana cahaya terang kebebasan telah diringkus gelap gulita wajah negara otoritarian.
        Wacana untuk merevisi UU Keormasan sejak dulu memang sudah ada. Revisi UU Nomor 8 Tahun 1985 itu, merupakan salah satu agenda dari lima paket UU politik yang jadi pekerjaan rumah DPR RI dan pemerintah periode 2004-2009 dan dilanjutkan 2009-2014. Namun, hanya UU Ormas yang tidak pernah berubah. Oleh karenanya, revisi UU Ormas yang sekarang sedang digodok oleh Pansus RUU Ormas di DPR bersama pemerintah menjadi pintu masuk dalam mengatur kehidupan ormas agar sesuai dengan cita-cita bernegara. Dalam draft revisi  Undang-undang (UU) Organisasi  Kemasyarakatan  (Ormas) tersebut terdapat beberapa hal substansi yang cukup menjadi polemik yang diprediksi bakal menjadi perdebatan. Perdebatan paling ‘hangat’ muncul terkait wacana pembekuan sampai pembubaran dan azas ormas.
      
       Masyarakat Anomie
        Tuntutan pembubaran ormas anarkis dan pencantuman azas Pancasila semakin nyaring disuarakan berbagai pihak sebagai reaksi dari semakin ‘suburnya’ aksi-aksi kekerasan  yang dilakukan  ormas tertentu. Kasus-kasus kekerasan ormas juga mencuatkan  kembali kebutuhan akan adanya  aturan yang mewajibkan seluruh ormas di negeri ini mencantumkan Pancasila sebagai azas organisasi. Seperti yang dikatakan oleh Wakil Sekjen Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)  Hanif Saha Ghafur , bahwa liberalisasi dan radikalisasi agama yang marak terjadi akhir-akhir ini disebabkan oleh tidak adanya kewajiban bagi ormas untuk menjadikan Pancasila sebagai azasnya. Minimalitas fungsi dan pengamalan  Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dipandang semakin memperkuat egoisme atau fundamentalisme  keagamaan.
        Tulisan ini berpendapat bahwa anarkisme ormas salah satunya disebabkan lunturnya nilai-nilai keadaban yang terangkum dalam empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Banyaknya penyimpangan secara ideologis dari berbagai lapisan masyarakat, mulai dari pimpinan negara, elit politik hingga masyarakat ditingkatan grass root  tidak lain adalah dampak dari dicampakannya ideologi bangsa buah pikir para founding fathers  seiring dengan proses liberalisasi era reformasi. Oleh karena itu, butuh analisis mendalam tentang situasi obyektif yang  muncul ditengah-tengah masyarakat serta landasan berpikir yang berbasiskan  konsensus  para pendiri bangsa (founding fathers). Situasi obyektif  masyarakat pasca reformasi yang kian mengalami disorientasi dalam segala bidang, telah bermuara pada  apa yang  diistilahkan sebagai kondisi anomie atau keadaan ketika sebuah  masyarakat tidak mempunyai pedoman  dalam menentukan hal yang baik dan buruk. Ditengah-tengah kondisi itulah, radikalisme yang termanifestasi dalam aksi kekerasan ormas kian menggejala dalam masyarakat.
        Demokrasi liberal yang juga berdampak pada kecenderungan liberalisasi ideologi memberikan peluang bagi kelompok-kelompok yang tidak menyepakati falsafah republik ini untuk mengisi  kekosongan nilai dalam masyarakat yang mengalami anomie tersebut. Ditambah lagi dengan  hancurnya perekonomian nasional akibat ekspansi kapital multi-nasional dalam kerangka neo-liberal yang  juga merupakan dampak dari ketiadaan nilai atau ideologi bangsa  dikalangan elit politik dan pejabat negara. Kelompok radikal keagamaan relatif berhasil  menjual ‘mimpi’ akan kehidupan yang lebih layak dibawah naungan  hukum syariah atau bentuk negara Khilafah ditengah-tengah masyarakat yang frustasi akibat problem ekonomi yang tiada berujung.

       Empat Pilar Dan Kaderisasi Ormas
        Dalam konteks inilah, revitalisasi Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika serta NKRI sebagai empat pilar sebagai fundamen ‘bangunan’ sebuah negara-bangsa yang bernama Indonesia juga harus menjadi bagian penting dalam Revisi UU Ormas. Karena menyangkut penanaman nilai-nilai, maka kaderisasi ormas perlu untuk memasukkan empat pilar berbangsa bernegara dalam kurikulum kaderisasinya. Sehingga diharapkan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam pilar-pilar bernegara bisa menjadi meja statis-leitstar dinamis  (dasar dan bintang penunjuk) ormas dalam menjalankan fungsinya.
  Dalam kaderisasi ormas hendaknya perlu diberi penekanan pada beberapa hal. Pertama, mensyukuri adanya Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara dengan cara menghargai kemajemukan yang hingga saat ini tetap dapat terus dipertahankan, dipelihara, dan dikembangkan. Semua agama turut memperkukuh integrasi nasional melalui ajaran-ajaran yang menekankan rasa adil, kasih sayang, persatuan, persaudaraan, hormat-menghormati, dan kebersamaan. Kedua, mengembangkan Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara harus menjadi jiwa yang menginspirasi seluruh pengaturan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.  Ketiga, menjadikan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai landasan konstitusional bangsa dimana tidak ada satu pun perilaku penyelenggara negara dan masyarakat yang tidak berlandaskan konstitusi. Keempat, memperkuat komitmen kebangsaan akan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai suatu “keniscayaan” yang  harus dipahami oleh  seluruh komponen bangsa. Dalam Pasal 37 ayat (5) UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan karena merupakan landasan hukum yang kuat bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat diganggu gugat. Kelima, mengembangkan pemahaman bahwa Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan negara sebagai modal untuk bersatu. Kemajemukan bangsa merupakan kekayaan Indonesia,  kekuatan Indonesia, yang sekaligus juga menjadi tantangan bagi kita bangsa Indonesia,  baik kini maupun yang akan datang.
        Adapun wacana perdebatan pembubaran ormas jangan sampai menjadi satu-satunya formula yang diandalkan untuk menghentikan tindakan ormas anarkis. Pendekatan yang dilakukan hendaknya lebih preventif dibanding menakuti-nakuti ormas dengan sanksi berat. Tetapi bukan berarti sanksi yang tegas terhadap ormas yang melanggar empat pilar tersebut diabaikan. Sebaliknya, tindakan tegas baik itu berupa peringatan, pembekuan sampai pembubaran dengan mekanisme pengadilan perlu sekali dirumuskan. Perilaku taat hukum tak selamanya akibat beratnya sanksi melainkan juga muncul dari kesadaran sebagai warga negara yang sadar akan perlunya taat hukum. Kesadaran itulah yang coba dimunculkan dengan penanaman nilai-nilai empat pilar dalam kehidupan ormas. Kita rindu ruang publik yang harmonis. Tidak seperti sekarang, gaduh, penuh teriakan, tangis bahkan darah.

Adi Surya (Ucox Unpad)
Aktivis GMNI Sumedang