Puasa : Antara Sakral Dan Profan

Puasa : Antara Sakral Dan Profan

Selama bulan puasa, kita akan menyaksikan sebuah fenomena yang berbeda dari bulan-bulan lainnya. Semua orang berubah menjadi saleh, religius dan dermawan. Kita bisa menyaksikan hal ini dari televisi yang merubah wajah menjadi media religius. Mulai dari beragam tayangan pilihan puasa sampai pembawa berita yang berbusana islami. Tidak hanya media, artis-artis pun tak ketinggalan melakukan perbuatan-perbuatan saleh, mulai dari berbagi rezeki,mengubah penampilan sampai mencipta lagu yang juga islami. Politisi,pesantren,sekolah,pegawai pemerintah dan hampir mayoritas umat muslim semuanya larut dalam bulan yang penuh pahala ini. Gejala perubahan ini bisa dibaca sebagai ekspresi masing-masing orang untuk memaknai puasa. Namun, pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah perbuatan saleh hanya dilakukan di bulan puasa ? Bisakah perbuatan tersebut dipertahankan menjadi identitas umat muslim ?

Puasa telah dilakukan oleh umat-umat terdahulu. Kama kutiba ‘alal ladzina min qablikum (Sebagaimana diwajibkan atas umat-umat yang sebelum kamu). Dari segi ajaran agama, para ulama menyatakan bahwa semua agama samawi, sama dalam prinsip-prinsip pokok akidah, syariat, serta akhlaknya.Ini berarti bahwa semua agama samawi mengajarkan keesaan Allah, kenabian, dan keniscayaan hari kemudian. Shalat, puasa, zakat, dan berkunjung ke tempat tertentu sebagai pendekatan kepada Allah adalah prinsip-prinsip syariat yang dikenal dalam agama-agama samawi. Tentu saja caranya dapat berbeda, namun esensi dan tujuannya sama.

Dalam QS. Al Baqarah : 183 dikatakan, “wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana yang telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian agar kalian bertaqwa”. Dari sini kita bisa melihat bahwa puasa merupakan ibadah menuju ketakwaan. Proses dalam menuju tujuan akhir puasa (baca: ketakwaan) melewati perjuangan melawan nafsu diri sendiri melalui perintah dengan menahan lapar dan haus, amarah, hubungan suami isteri dan memperbanyak ibadah serta beramal terhadap sesama. Melalui perintah–perintah ini, kita membaca bahwa puasa tidak berhenti pada tataran ibadah dalam tataran individu, melainkan juga digunakan dalam konteks sosial.

Perintah menahan lapar dan dahaga dapat diartikan sebagai latihan ber-empati terhadap penderitaan sesama. Juga, mengingatkan kita untuk selalu bersyukur atas nikmat yang diberikan Allah kepada kita. Menahan amarah dimaknai sebagai ujian bagi umat untuk bisa membangun ikatan persaudaraan dalam kondisi apapun. Kita tidak boleh menjadi orang-orang yang pemarah yang justru mengancam kolektivitas bersama. Menahan nafsu seksual lebih pada bagaimana kita menahan hawa nafsu. Sedangkan,memperbanyak beramal dan ibadah, bertujuan untuk meningkatkan kualitas religius disertai meningkatkan kepedulian kita pada sesama yang membutuhkan. Semua perintah di atas harus bisa dimaknai secara filosofis dan tidak terjebak pada defenisi yang sifatnya artifisial belaka.

Mircea Eliade dalam bukunya The Sacred and The Profane (2002), menjelaskan bahwa sepanjang sejarah mausia, ada perbedaan mendasar antara manusia religius dan non-religius. Bagi manusia religius,ruang dan waktu tidaklah homogen,melainkan heterogen. Ada ruang dan waktu tertentu yang berbeda dengan lainnya.Perbedaan tersebut disebabkan oleh sifat istimewa yang dimiliki,yakni sifat sakral. Ruang dan waktu sakral sangat penting bagi manusia religius,apapun agama mereka ,sebagai penghubung dengan yang Ilahi.Puasa disini dimaknai sebagai sesuatu yang sacral, yang memiliki dimensi spiritual dan menyakini puasa sebagai sebuah pengalaman religius.

Sedangkan bagi manusia non-religius, sebagaimana yang terjadi pada masyarakat yang sudah mengalami pendangkalan makna akan sesuatu yang seharusnya sakral, tidak ada ruang istimewa dan tak ada waktu istimewa.Fenomena ini kemudian kita kenal dengan istilah desakralisasi, atau pengingkaran terhadap adanya sesuatu yang sakral (profan). Di sini puasa hanya dimaknai secara dangkal, tak lebih dari sekedar rutinitas, kewajiban dan sekedar ikut-ikutan karena takut dikenai sanksi sosial oleh lingkungan.

Puasa seharusnya tidak dimaknai hanya sebatas ritual. Kebanyakan dari kita memaknai puasa sebagai perjuangan menahan lapar dan haus sampai saatnya berbuka. Kita lupa bahwa puasa tidak hanya sebatas puasa biologis saja, melainkan juga puasa rohani. Berpuasa juga jangan diartikan sebatas mencari pundi-pundi pahala saja, karena dengan begitu, kita tidak akan pernah belajar untuk menjadi manusia yang tulus tanpa pamrih pada sesama. Dalam artian, perbuatan berpuasa tidak hanya direduksi sebagai manifestasi kewajiban semata sebagai umat muslim. Padahal ada esensi yang disampaikan ketika kita menjalankan ibadah puasa. Dengan ibadah puasa, kita dilatih untuk menahan nafsu dan pengendalian diri, melatih menjadi umat yang jujur dan memberi manfaat kepada orang lain.

Untuk mencegah pemaknaan puasa sebagai sebuah ritual dan kewajiban semata, umat harus bisa menangkap makna dan dituntut untuk menjaga konsistensi makna tersebut dalam perbuatan sehari-hari. Hal ini perlu agar esensi puasa dilakukan juga di luar bulan puasa. Kebanyakan dari kita berpuasa dengan melakukan perbuatah saleh hanya dalam bulan puasa. Sehabis itu, kita kembali bergumul dalam pekatnya godaan-godaan duniawi yang menjerumuskan. Alangkah lebih baik ketika sebelum berpuasa, kita bertanya pada diri sendiri (berkontemplasi), apakah tujuan puasa bagi kita dan akankah kita berniat untuk konsisten melakukan juga perbuatan-perbuatan saleh di bulan-bulan lain?. Dengan menjawab hal tersebut,puasa kita akan bermakna dan terhindar dalam pendangkalan makna puasa sebatas formalitas dan rutinitas tahunan. Jangan sampai puasa sebagai yang sakral berubah menjadi profan dan yang profan kemudian “mengkudeta realitas” sehingga kemudian malah mejadi sesuatu yang disakralkan.

Adi Surya P

Ketua DPC GMNI Kab Sumedang 2007-2009

DPD KNPI Bidang Hukum dan Ham

Mahasiswa Kesos Fisip Unpad

Politisi Karbitan

Politisi Karbitan

Ada sebuah fenomena menarik di jagad perpolitikan tanah air. Orang-orang yang notabene berprofesi non-politisi seperti pengasuh pondok pesantren, guru, pengusaha, selebritis berlomba-lomba untuk menjadi politisi. Kita bisa melihat sejenak ke belakang pada tahun 2004, saat itu yang menjadi trend adalah para ulama yang banting setir meramaikan konstelasi peta politik nasional. Para ulama yang tadinya dianggap sebagai benteng penjaga moral, kini memasuki lorong – lorong gelap dunia politik yang penuh intrik. Langkah para ulama tersebut juga diikuti oleh kalangan pengusaha yang seolah tak mau ketinggalan arus dengan cara beramai–ramai berinvestasi di partai politik sebagai donatur dan bahkan banyak juga yang berani mencalonkan diri menjadi calon anggota legislatif dan eksekutif. Fenomena ini menjadi semakin menarik ketika belakangan ini para selebritis dengan bermodalkan popularitas mencoba mengadu taji untuk bertarung merebut suara dengan beralih profesi menjadi politisi. Artinya,dunia politik telah menjadi profesi yang sedemikian menggoda untuk mewujudkan sebuah cita-cita atau gagasan, apakah itu untuk kepentingan bersama atau kepentingan individu. Hal ini dapat juga kita baca sebagai pergeseran cara parpol untuk merebut kekuasaan dengan mengandalkan orang-orang yang tidak punya pengalaman politik namun punya uang, massa dan popularitas untuk dijadikan ikon guna merebut kantong-kantong suara.

Berbondong-bondongnya kalangan artis,ulama dan pengusaha ke dalam dunia politik sebenarnya sah-sah saja. Konsitutusi menjamin bagi setiap orang untuk memiliki hak berpolitik, apakah itu membentuk organisasi maupun mencalonkan diri sebagai pejabat publik. Namun, yang harus kita beri catatan kritis adalah kekawatiran munculnya fenomena the wrong man in the wrong place. Orang-orang yang tadinya tidak pernah sama sekali menimba ilmu dan malang melintang dalam dunia politik dikawatirkan akan menciptakan generasi politikus-politus karbitan. Karbitan disini kita analogikan ibarat buah mangga yang masih mentah dan kemudian “dipaksa” matang untuk dicicipi atau karena tidak sabar menunggu untuk dijual ke pasar. Ketika sudah tampak matang dan dimakan, maka rasanya akan terasa kecut. Politisi–politisi yang dikarbit memang akan memiiki tampilan luar yang memukau, namun ketika memerintah, malah mengakibatkan masalah disana-sini. Politisi karbitan adalah orang-orang yang tidak pernah merangkak dari bawah tapi menikmati empuknya kursi kekuasaan.

Saat ini, perilaku para politisi mendapat sorotan yang sangat tajam. Bukan hanya menyangkut kualitas dan kapasitas dalam proses penyelenggaraan pemerintahan, namun sebagian besar persoalan yang menimpa bangsa ini dituding disebabkan karena ulah politisi yang hanya memikirkan kepentingan pragmatis kelompok dan individu dibandingkan dengan mengabdi pada kepentingan bangsa. Banyaknya politisi yang dijaring oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan wajah buram politisi kita yang semakin jauh dari cita-cita mewujudkan kesejahteraan. Jamak kita dengar di media massa mengenai kinerja para politisi kita yang tidak memiliki kemampuan. Sebagai contoh, banyak anggota DPR/DPRD yang tidak paham tentang proses legislasi. Produk politik berbentuk undang-undang atau perda lebih banyak diserahkan kepada staf ahli dan kalangan akademisi untuk kemudian hanya tinggal mengangkat tangan tanda setuju terhadap pasal-pasal yang akan disahkan.

Ada sebuah keyakinan bahwa perkembangan demokrasi ditentukan oleh kualitas politisi. Dari sini bisa kita mengambil sebuah hipotesis bahwa semakin berkualitas para politisi ( kemampuan intelektual dan keterampilan politik) akan berkorelasi positif dengan kemajuan demokrasi. Untuk itu sistem politik yang harus dibangun adalah sistem yang mengutamakan politisi-politisi yang memiliki kualitas dan kapasitas dan tidak mentoleransi politikus dadakan yang miskin pengalaman. Saat ini kita sama-sama bisa melihat bagaimana demokrasi yang dihasilkan dengan tetesan keringat dan darah pejuang reformasi, begitu mudahnya dibajak oleh “penumpang gelap” yang mengaku reformis. Artinya,sebuah sistem politik tidak akan berjalan dengan baik ketika aktor-aktor yang menjalankannya justru malah menggerogoti dan mencari-cari celah untuk mengikis sistem tersebut.

Lantas kenapa fenomena menjamurnya politikus karbitan bisa muncul bak cendawan di musim hujan?. Saat ini kita telah berada dalam fase transisi otokrasi ke arah demokrasi. Pada zaman orde baru, kekuasaan menentukan calon-calon yang akan duduk di kursi kekuasaan berada sepenuhnya di tangan parpol. Masyarakat pada saat itu hanya memilih lambang partai, sehingga popular atau tidaknya calon tidaklah menjadi faktor yang signifikan. Namun, pasca runtuhnya orde baru dan memasuki era demokrasi langsung, otomatis turut merombak dan menjungkirbalikkan sistem politik otoritarian yang telah dibangun oleh rezim. Dalam demokrasi langsung terlihat peran yang sangat menentukan dari rakyat. Artinya, rakyatlah yang secara langsung memilih calon yang ditawarkan parpol.

Beranjak dari konsekuensi penerapan demokrasi langsung sebagai pilihan rakyat, maka calon-calon yang akan maju harus memiliki modal yang kuat. Politisi setidaknya harus dikenal oleh pemilih. Untuk itu partai sebagai alat untuk mencapai kekuasaan, harus menggodok dan meramu strategi agar calon yang ditawarkan laku keras di pasaran.Dengan tingkat pendidikan politik masyarakat yang belum cerdas politik, membuat proses pengenalan calon membutuhkan banyak dana.Hal ini yang kemudian membuat parpol mengambil jalan pintas untuk mengusung calon-calon yang memiliki dana berlimpah dan sekedar populer saja, tanpa mempertimbangkan track record, kemampuan dan kualitas.

Kemudian peran media juga dituding turut memberi jalan kepada para politisi karbitan untuk memuaskan hasrat berkuasanya. Persinggungan antara politik dan media, telah menghasilkan pendangkalan dan populerisasi politik, sebagaimana persinggungan antara politik dan kapital telah menghasilkan komodifikasi dan komersialisasi politik (Deleuze & Guattari, dalam Piliang, 2004). Media bisa menyulap dan mengorbitkan calon-calon yang tidak memiliki kapasitas menjadi sosok yang sebaliknya. Dapatlah kemudian kita lihat benang merah antara demokrasi langsung, uang dan media yang kemudian melahirkan sosok politisi-politisi karbitan.

Disamping itu,munculnya politisi karbitan ditengarai akibat gagalnya partai dalam melakukan kaderisasi dan kemandirian dana.Kaderisasi di tubuh parpol hanya sebagai komoditas politik belaka.Dalam artian tetap saja, siapa yang memiliki uang yang akan menjadi pilihan.Pola rekruitmen yang hanya berorientasi pasar dan hubungan kekeluargaan hanya akan membuat kader-kader yang sudah berjuang dari bawah akan disingkirkan begitu saja demi hasrat berkuasa.Dibalik itu,pola kaderisasi yang berjenjang juga belum menjadi pilihan banyak partai,sehingga kualitas kader-kader yang dihasilkan juga tidak dikenal oleh publik.Parpol juga harus membenahi dan mencari solusi dalam kemadirian dana.Hal ini menjadi penting karena parpol selalu didikte oleh kekuatan uang yang dimiliki calon.Tidaklah cukup hanya memeras BUMN, mengandalkan “uang mahar” calon dan sumbangan anggota yang sedang menjadi pejabat publik. Padahal parpol sebenarnya memiliki potensi yang luar bisa untuk menghasilkan dana yang halal. Diharapkan ketika parpol memiliki kemandirian dana, tidak harus selalu tunduk pada kekuatan uang untuk mengusung seorang calon.

Politisi karbitan hanya akan menjadi benalu demokrasi.Tugas mengatur dan mengawasi menuju pemenuhan kesejahteraan rakyat bukanlah hal yang gampang.Bangsa ini membutuhkan pemimpin yang memiliki track record yang mumpuni, kapasitas dan kualitas yang bisa membawa bangsa ini keluar dari kemelut berkepanjangan. Jabatan publik bukanlah ajang coba-coba atau ajang pembelajaran bagi politisi karbitan. Untuk menjadi seorang politisi yang sejati, haruslah memulai perjuangan dari bawah.Sejatinya seorang politikus adalah individu tokoh yang telah mendapatkan kepercayaan masyarakatnya ditambah dengan sikap amanah selalu menjaga,mengurusi, dan menangani seluruh keperluan masyarakatnya, baik langsung kepada masyarakat maupun tidak langsung dalam bentuk kebijakan yang berpihak kepada masyarakat luas.



Gerakan Anti Politikus Busuk


Gerakan Anti Politikus Busuk


Untuk mewujudkan demokrasi yang menyejahterakan, ditentukan oleh kualitas politisinya. Jika perilaku para politisi mencerminkan sikap yang justru antidemokrasi, maka dapat diperkirakan kualitas demokrasi juga akan jauh panggang dari api. Padahal setelah lepas dari cengkraman kuku orde baru yang represif, demokrasi seakan menjadi satu-satunya doktrin yang menjamin kesejahteraan rakyat. Kita mendapat satu point penting bahwa peran politisi yang benar-benar pro rakyat memegang kunci atau menjadi faktor determinan dalam mewujudkan kondisi sejahtera.

Memasuki tahun politik yang tentunya sarat dengan pertarungan memperebutkan kekuasaan, tentunya elit-elit politik tak mau ketinggalan mencicipi kue pesta pemilu, baik itu tataran legislatif maupun eksekutif. Hasrat dari kehendak berkuasa elit tak lepas dari manuver-manuver yang kadang menyimpang dari norma-norma yang berlaku. Untuk itu masyarakat diharapkan cerdas untuk menilai dan memilih politisi yang ingin masuk dalam pusaran kekuasaan. Rakyat harus bisa membedakan mana politisi yang bersih dan mana yang tergolong dalam politisi busuk.

Apa saja kriteria politikus busuk ? Teten Masduki, dari Indonesia Corruption Watch (ICW), menyatakan politisi yang digolongkan busuk adalah mereka yang dianggap terlibat korupsi, kejahatan HAM, kejahatan lingkungan, dan kejahatan seksual. Keempat syarat tersebut menyiratkan bahwa politisi selain harus menaati hukum, juga harus memiliki nilai-nilai etika berperilaku dalam masyarakat.

Untuk menciptakan politisi-politisi bersih yang pro rakyat, peran parpol diharapkan berperan penting dalam merombak mekanisme rekruitmen internal yang berbau politik “dagang sapi” dan mencalonkan kader-kadernya yang memang berintegritas. Hal ini penting karena politisi merupakan produk, sedangkan parpol adalah pabrik. Produk yang tidak melewati proses produksi (kaderisasi), akan memiliki cacat dan tidak akan berkualitas. Sedangkan masyarakat merupakan konsumen yang akan memutuskan apakah membeli produk tersebut atau tidak. Sudah barang tentu produk yang tidak sehat akan dicap masayarakat sebagai barang yang buruk, sehingga tidak akan pernah dipilih dan dipercaya.

Masuarakat juga sebenarnya memainkan peran yang cukup vital dan menentukan. Karena yang akan memutuskan seorang elit melenggang ke kursi kekuasaan adalah suara rakyat. Hal ini berbeda pada zaman orde baru, ketika nasib politisi ada sepenuhnya di tangan parpol, bukan rakyat. Namun, di era demokrasi langsung, seorang politisi busuk akan sangat mudah dikenali dan sangat mudah untuk dihukum. Melalui pemilu, rakyat diajarkan untuk tidak memilih calon-calon yang “berbau amis”.Track record politisi busuk perlu dibuka ke publik, agar menjadi referensi untuk membuat keputusan tidak memilih calon yang tidak bersih.Hal ini membuat parpol tidak akan berani menawarkan kader-kadernya yang tergolong busuk ke hadapan publik.

Aktivis : Sebuah Keharusan,Bukan Pilihan

Aktivis : Sebuah Keharusan,Bukan Pilihan

Oleh : Adi Surya (Bung Ucox)*


Saat anda pertama kali mendengar kata “aktivis”, imajinasi seperti apa yang muncul dalam benak anda ?. Apakah sosok orang yang kritis, idealis, lama lulus, urakan, jarang kuliah dan kerjaannya demo dan ngomongin politik melulu ?. Kebanyakan dari kita sekarang ini memandang aktivis sebagai sosok yang berbeda dari orang kebanyakan,untuk tidak menyatakan “orang aneh”.

Namun, jika kita pikirkan lebih lanjut, muncul sebuah pertanyaan berikutnya yakni apakah setiap orang yang memilih jadi aktivis pasti identik dengan hal-hal di atas ?. Bukankah banyak aktivis yang menyelesaikan studi tepat waktu dengan nilai yang memuaskan, berpenampilan rapi dan tetap tidak kehilangan identitasnya sebagai seorang aktivis. Artinya, beberapa aktivis yang berpenampilan urakan, jarang kuliah dan lama lulus adalah sebuah pilihan pribadi dan bukan sebagai konsekuensi logis menjadi seorang aktivis. Dalam hal ini perlu kita jeli membedakan hakikat sebagai seorang aktivis dengan cara seorang individu memilih cara berperilaku.


Defenisi Aktivis

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka,2002), pengertian aktivis adalah individu atau sekelompok orang (terutama anggota politik, sosial, buruh, petani, pemuda, mahasiswa, perempuan) yang bekerja aktif mendorong pelaksanaan sesuatu atau berbagai kegiatan di organisasinya. Artinya, dari defenisi di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa aktivis merupakan orang yang bergerak untuk melakukan sebuah perubahan dan memiliki wadah sebagai alat untuk mencapai tujuan perubahan tersebut.

Sebagai seorang mahasiswa, menjadi aktivis adalah sebuah panggilan moral. Mahasiswa sebagai agent of change dan agent of social control sebenarnya adalah penyambung lidah rakyat. Konsekuensinya, tugas mahasiswa tidak hanya belajar dan sibuk dengan tugas-tugas, melainkan juga membumi ke masyarakat. Hal ini sesuai dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi yang menyiratkan aspek pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Dari konsep ini dapat terlihat jelas bahwa ruang lingkup mahasiswa adalah studi dan masyarakat.

Banyak pemimpin besar negara ini yang dulunya mengambil peran sebagai aktivis. Sebut saja Presiden Soekarno yang mendirikan GMNI, Jusuf Kalla (HMI), Muhaimin Iskandar (PMII), Ketua KPK, Antasari Azhar, Megawati, Muladi (GMNI), Cosmas Batubara (GMKI), Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid (HMI), TB. Silalahi (GMNI), Suryadharma Ali (PMII) dan banyak lagi yang menjadi pengabdi bagi bangsa ini. Mereka dikenal dan belajar sejak mulai dari kampus. Untuk itu sangat penting bergabung dengan organisasi sejak awal menjadi mahasiswa.


Tipe-tipe Aktivis

Karena defenisi aktivis adalah orang yang aktif melakukan perubahan,maka kita akan banyak menemui ragam tipe-tipe aktivis sesuai dengan ruang lingkupnya. Orang-orang yang aktif memperjuangkan hak mahasiswa disebut aktivis mahasiswa. Ada juga aktivis buruh, aktivis yang concern terhadap marginalisasi terhadap perempuan disebut aktivis perempuan. Ketika anda bertemu dengan orang yang giat menyelamatkan lingkungan, dia disebut sebagai aktivis lingkungan. Jadi, kita jangan terjebak dan terkurung dalam pemikiran bahwa seorang aktivis adalah aktivis yang mengurusi politik semata.

Pada kesempatan ini kita akan membatasi pembahasan sebagai seorang aktivis mahasiswa (kampus). Seperti kita ketahui, fenomena banyaknya mahasiswa yang tidak paham akan peran dan fungsinya. Hal ini bisa kita lihat dari salah satu contoh kecil saja. Kegiatan yang berbau sosial politik yang diadakan organisasi intra kampus hampir kehilangan peminat. Beda jika ada acara hiburan. Ratusan mahasiswa tumpah ruah memadati acara berlomba berebut tempat. Bukan berarti acara hiburan tidak penting, namun kita harus paham apa status sekarang dan apa kewajiban kita menyandang status tersebut.

Kita bisa mengenal tipe mahasiswa yang “ kupu-kupu” alias kuliah pulang-kuliah pulang. Ada juga istilah 3K yang diartikan kampus, kantin dan kos-an. Malah ada yang diberi label kunang-kunang (kuliah nangkring-kuliah nangkring) dan kura-kura (kuliah rapat-kuliah rapat ). Secara sederhana kita bisa membagi karakterisktik mahasiswa ke dalam 3 jenis. Pertama, study oriented. Orang-orang yang mementingkan kuliah dan kurang berminat bergabung dengan organisasi. Kedua, hedonis. Mereka dikenal sebagai anak-anak yang mementingkan kenikmatan dan kesenangan. Dan yang ketiga, tipe aktivis, yakni orang-orang yang memiliki idealisme akan sebuah perubahan dan biasanya tergabung dalam suatu organisasi.

Sebenarnya kita tidak perlu terjebak pada dikotomi (pemisahan) antara ketiga tipe mahasiswa tersebut. Dalam rumus saya, menjadi aktivis adalah sebuah keharusan. Sedangkan menjadi hedon dan study oriented adalah pilihan. Mengapa bisa begitu ?. Orang-orang aktivis tidaklah sekaku yang orang pikirkan. Kerjaannya berpikir dan bergerak terus. Padahal aktivis juga ada yang study oriented dan juga suka yang hedon. Sementara orang-orang Studi oriented dan hedonis belum tentu aktivis. Maksud saya, sebagai seorang aktivis, kita juga dituntut untuk selalu belajar, dan sebagai manusia, aktivis juga butuh kesenangan, seperti jalan-jalan,nongkrong dan banyak lagi. Jadi, dengan memilih menjadi aktivis anda juga bisa mendapat IPK yang tinggi sekaligus bisa menikmati hari-hari.


Keuntungan Menjadi Aktivis

Menjadi aktivis tidaklah menjamin anda memperoleh keuntungan materi. Sekali lagi, aktivis adalah kerja sosial yang sifatnya non profit (tidak mencari keuntungan) dan lebih kepada panggilan moral. Namun banyak keuntungan-keuntungan yang sifatnya sebagai sebuah investasi untuk membangun masa depan. Misalkan, pengalaman organisasi. Dengan memiliki pengalaman organisasi, kita bisa belajar mengelola orang dan kegiatan. Hal ini sangat penting karena kita sebagai mahluk sosial tidak bisa lepas dari organisasi. Kemudian, dengan menjadi aktivis, kita bisa mengembangkan diri dan mengasah keterampilan. Untuk menghadapi tantangan dunia kerja saat sekarang ini, keterampilan mendapat porsi utama yang harus dimiliki pelamar. Seperti kepemimpinan, mahir berbicara di depan umum, team work, kepercayaan diri, mengforganisasi rapat, menganalisa perilaku orang di sekitar dan banyak lagi. Aktivis juga memiliki jaringan yang luas. Hal ini sebagai konsekuensi aktivis untuk selaalu berinteraksi dengan orang lain (pemerintah maupun masyarakat ). Jaringan ini tentu sangat bermanfaat dikala kita butuh kerja sama maupun pertolongan. Patut di ingat bahwa kampus tidak mengajarkan keuntungan-keuntungan tersebut. Kampus hanya memberi kita teori.

Tantangan dan Kendala

Melihat tingkat persentase jumlah aktivis sangat kecil, menjadi pertanyaan mengapa mahasiswa yang diamanatkan sebagai penyambung lidah rakyat justru malah anti terhadap hal-hal yang berkenaan dengan aktivis. Untuk menumbuhkan kesadaran bahwa aktivis adalah sebuah keharusan, pertama-tama kita jangan terjebak oleh citra aktivis yang beredar di masyarakat. Contoh, dikarenakan aksi anarkis segelintir aktivis, kita langsung pukul rata bahwa aktivis identik dengan anarkis. Pikiran seperti ini yang harus kita pilah-pilah. Kedua,menyadari tugas dan peranan sebagai mahasiswa. Mahasiswa berada pada kelas menengah dalam struktur sosial yang menjembatani masayarakat dan pememrintah.Untuk itu kita tidak bisa lepas dari tugas-tugas pengabdian msayarakat. Dan untuk itu butuh sebuah organisasi sebagai alat mencapai tujuan.

Keempat, memilih organisasi sesuai dengan kesamaan dan ketertarikan. Ada organisasi intra kampus seperti BEM dan ada juga organisasi ekstra kampus yang banyak mencetak pemimpin bangsa seperti GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia ) yang berhaluan Nasionalis, HMI (Himpunan Mahasiswa Islam ), PMKRI (Persatuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia ), GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia), PMII (Pergerakan Mahasiswa Isalam Indonesia), LMND (Liga Mahasiswa Untuk Demokrasi), KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) dan banyak organisasi ekstra kampus lain yang bisa menjadi wadah bagi teman-teman untuk berdinamika.


Penulis adalah mahasiswa tingkat akhir Ilmu Kesejahteraan Sosial

Saat ini menjabat sebagai Ketua GMNI Kab.Sumedang 2007-2009

Dibalik Pemenuhan Anggaran Pendidikan 20%


Dibalik Pemenuhan Anggaran Pendidikan 20%

Untuk pertama kalinya pemerintah memenuhi kewajiban memenuhi 20 % anggaran pendidikan dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2009. Terlepas dari opini miring yang menganggap hal ini sebagai bentuk pencitraan SBY, kita juga berharap banyak pada niat pemerintah dalam memajukan kualitas pendidikan. Bagaimana tidak, sampai hari ini kita masih melihat banyak anak-anak yang tidak bisa mengecap bangku sekolah. Karena bagaimana pun salah satu faktor fundamental untuk memajukan bangsa ini adalah membenahi sektor pendidikan.

Pemenuhan anggaran pendidikan oleh pemerintah harus kita baca secara kritis pula. Apakah ini hanya sekedar wacana atau memang sebuah bentuk keseriusan dari pemerintah. Perlu diketahui anggaran pendidikan memang meningkat hampir dua kali lipat dari Rp.78.5 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp.154,2 triliun pada 2008. Namun, hal tersebut tidaklah dapat dijadikan tolak ukur keberhasilan pemerintah dikarenakan sebenarnya sejak kabinet ini dilantik, pemerintah telah ingkar janji dengan tidak dipenuhinya 20% anggaran pendidikan. Banyak juga pihak yang menuding pemerintah sekedar cari muka memanfaatkan pencitraan menjelang pemilu 2009.

Namun,jika pemerintah serius untuk menggarap persoalan pendidikan, tentunya ini menjadi tugas kita bersama. Memang kita tidak bisa menafikkan kesejahteraan guru yang jauh dari wajar, banyaknya anak-anak miskin yang tidak bersekolah, gedung sekolah yang tidak layak, fasilitas pendukung belajar yang tidak tersedia, semua bermuara pada persoalan anggaran. Tinggal yang menjadi fokus adalah bagaimana pemerintah melalui Depdiknas memanajemen keuangan yang telah dianggarkan secara efektif dan efisien. Karena jamak kita ketahui track record para pejabat kita yang seringkali tergoda dalam penyelewengan uang negara.

Kita juga jangan terjebak dalam mereduksi persoalan pendidikan hanya pada masalah dana. Sistem pendidikan juga perlu terus kita benahi agar menghasilkan sebuah sistem yang terpadu dan tidak selalu gonta ganti sesuai siapa yang berkuasa. Keadilan dalam pendidikan antara kota dan desa juga harus mendapat porsi yang seimbang. Terkesan pemerintah menggeneralisir kemampuan tiap-tiap daerah sehingga tampak adanya rumus pukul rata bagi setiap peserta didik. Seharusnya tiap daerah diberi otonomi dalam mengelola pendidikan tanpa harus kehilangan kontrol dari pusat. Jarang kita lihat adanya muatan lokal dalam kurikulum pelajaran di sekolah-sekolah yang memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai keunggulan daerah.

Untuk menjadi bangsa yang maju, pemenuhan anggaran pendidikan menjadi solusi yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Jika semua pihak serius meningkatkan kualitas pendidikan, perlu kerja sama dari semua pihak antara pemerintah, swasta dan masyarakat.



Adi Surya Purba

Mahasiswa Ilmu Kesejahteraan Sosial

Fisip Unpad

Aktivis GMNI









Republik Artis Nasional


Republik Artis Nasional


Coba kita bayangkan ketika para politisi yang memimpin bangsa ini digusur dan ditendang keluar oleh artis-artis yang terjun ke dalam dunia politik ?. Presidennya berasal dari artis sinetron, ketua DPR dari pelawak, dan ketua DPD dari penyanyi dangdut. Judul di atas bukan untuk memberikan stigmaisasi kepada kalangan selebritis bahwa mereka sedang bermain dagelan politik dan tidak boleh terjun ke dunia politik. Semua orang dijamin oleh konstitusi untuk memiliki hak yang sama berpolitik. Namun, melihat dunia politik sangat berbeda dengan “alamnya” para selebritis, membuat cara beberapa partai dalam merekrut artis sebagai politisi merupakan cara instan untuk memperoleh kekuasaan. Dunia artis adalah dunia hiburan, sedangkan dunia politik adalah dunia mewujudkan kesejahteraan bersama. Hasrat berkuasa partai bertemu dengan kepentingan mencari popularitas para artis yang membuat parpol dan artis berjalan berkelindan bergandengan tangan.

Sampai saat ini sudah ada enam puluh tiga artis yang dicalonkan dan mencalonkan diri menjadi calon legislatif (caleg) 2009. Sementara peringkat partai teratas yang paling banyak mengusung artis adalah Partai Amanat Nasional (PAN) dengan jumlah enam belas artis. Peringkat kedua ditempati oleh Partai Persatuan pembangunan(PPP) dengan jumlah dua belas artis. Kemudian Partai Demokrat dengan sembilan artis,kemudian Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dengan enam artis, Partai Golkar, PDI-P dan Partai Patriot mencalonkan empat artis, PDS, Partai Demokrasi Pembaruan dengan tiga artis dan Partai Hanura ada dua artis ( Rakyat Merdeka 14/08). Banyaknya artis yang masuk parpol dituding sebagai kegagalan partai dalam menghasilkan kader-kader yang popular dan berkualitas.

Sebenarnya fenomena artis yang menjadi politisi bukan barang baru. Di luar negeri ternyata hal ini juga terjadi. Kita lihat di Filipina dan AS dengan terpilihnya Joseph Estrada sebagai presiden dan Arnold Swarchzenegger menjadi Gubernur California dan Ronald Reagan sebagai Presiden.. Di Indonesia sendiri juga pernah pernah ada Sophan Sopian, Basofi Sudirman, Rano Karno dan yang terkhir Dede Yusuf. Dari sini terlihat sebenarnya artis pun diakui dunia sebagai pemimpin sebuah negara atau daerah. Meskipun setiap orang yang di jamin dalam memiliki kesempatan yang sama untuk berpolitik,namun ada proses-proses yang tidak bisa dilompati begitu saja. Artis yang ingin menjabat pada level eksekutif maupun legislatif harus memiliki kapasitas dan kualitas dalam hal kepemimpinan dan juga proses-proses legislasi. Menjadi pertanyaan kemudian adalah apakah artis-artis yang sekarang berhasrat ingin terjun ke dunia politik juga memiliki kualitas dan kapasitas tersebut ?

Darrell West, penulis buku "Celebrity Politics", berpendapat bahwa artis dan pelawak tergiur terjun ke jabatan publik akibat perkembangan media, khususnya televisi, dan demokrasi.Televisi menjadi medium sempurna bagi selebiriti untuk mendulang kemasyhuran dan citra diri. Persinggungan antara politik dan media, telah menghasilkan pendangkalan dan populerisasi politik, sebagaimana persinggungan antara politik dan kapital telah menghasilkan komodifikasi dan komersialisasi politik (Deleuze & Guattari, dalam Piliang, 2004).

Sementara sistem pemilihan langsung, telah membuat selebriti yang sudah populer dan dikenal publik menjadi pilihan rakyat. Dengan perubahan sistem demokrasi langsung, partai politik berpeluang akan semakin lemah karena faktor yang paling determinan adalah popularitas calon. Hal ini berbeda ketika zaman orde baru, dimana parpol memiliki kuasa untuk menentukan siapa-siapa saja yang akan didistribusikan ke pusaran kekuasaaan. Demokrasi langsung mensyaratkan kader-kader parpol harus bekerja keras untuk bisa tampil di ruang publik. Kini, popularitas menjadi faktor signifikan yang mendorong seseorang memilih figur meskipun kadang belum tentu berkualitas. Namun, yang terjadi sebaliknya,parpol malah mengakali demokrasi langsung dengan mengambil jalan pintas (shortcut) dengan mendukung artis yang tentunya sudah popular menjadi pendulang suara.

Secara tidak langsung, partai politik sebenarnya telah menunjukkan wajah buramnya dalam proses kaderisasi. Melihat biaya politik untuk mempopulerkan calon dari parpol agar dikenal masyarakat sangat tinggi, jalan pintas lantas menjadi pilihan. Parpol kemudian berbondong-bondong berburu selebriti yang dianggap bisa diterima oleh publik. Akibatnya, kaderisasi parpol menjadi stagnan, karena yang diprioritaskan bukan regenerasi melainkan hasrat berkuasa semata dengan menggunakan artis sebagai pemoles atau alat marketing belaka. Dalam jangka panjang, akan lahir sebuah generasi politikus karbitan yang akan memerintah negeri ini. Bakal-bakal politikus yang tidak pernah “berjuang dari bawah”, namun bisa duduk empuk di kursi kekuasaan.

Seharusnya partai politik bisa memberikan pendidikan politik di masyarakat. Melihat tingkat pendidikan masyarakat yang belum dapat dikatakan melek politik, ketakutan akan terjadi pembodohan publik akan terjadi. Masyarakat disuguhkan dengan calon-calon artis yang hanya bermodalkan popularitas semata sehingga membuat alasan memilih adalah asal kenal dan senang. Padahal kita ketahui bersama bahwa perkembangan demokrasi ditentukan oleh kualitas para politikus. Karena merekalah aktor utama yang menjalankan atau mendesain sistem demokrasi itu sendiri. Jika yang membuat sistem adalah orang-orang yang hanya bisa menghibur bukannya memerintah dan menyejahterakan, maka demokrasi hanyalah panggung hiburan dengan peran-peran palsu.

Partai politik hanya menjual kemasan bukan isi, padahal untuk mejadi pejabat publik tidak hanya cukup bermodalkan popularitas. Artis-artis juga dituntut memiliki track record seperti pengalaman politik, kepemimpinan, pengetahuan dan keterampilan di bidang yang berhubungan dengan publik. Kita bisa lihat Ronald Reagan yang tidak serta merta jadi presiden. Setidaknya dia memiliki karier politik yang dimulai dengan menjadi anggota liberal Partai Demokrat dan diteruskan dengan memimpin Screen Actors Giuld (SAG) dan bertugas membongkar pengaruh komunis di Holywood sampai pada tahun 1966 terpilih menjadi Gubernur California dan 1981 menjadi presiden. Dari tanah air, Marissa Haque, Adjie Massaid, Sophan Sophian, Basofi Sudirman, Nurul Arifin, Rieke Diah Pitaloka adalah artis–artis yang memiliki rekam jejak yang cukup untuk dijasikan modal berpolitik. Artinya, artis manapun asalkan memiliki kemampuan,kualitas dan akseptabilitas yang tinggi layak untuk mencalonkan diri menjadi pejabat publik.

Bagi artis-artis yang hendak dicalonkan ataupun mencalonkan diri dengan kemampuan serba tanggung, sebaiknya sadar diri untuk tidak maju dan tidak menjual mimpi ke masyarakat. Begitu juga dengan partai yang tidak asal membajak artis hanya sebagai polesan dan pajangan pengumpul suara (vote getter). Jika terwujud sebuah republik artis dengan kemampuan minimalis akankah mampu membuat rakyat miskin akan memiliki penghasilan yang lebih baik dengan nyanyian dan dangdutan?, atau perihnya perut kaum-kaum yang lapar akankah hilang dengan lawakan ? Tentunya hal tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi selebriti yang terjun ke politik untuk membuktikan diri bahwa mereka juga pantas memimpin. Tanpa itu semua artis hanya dianggap sebagai benalu dan hanya berfungsi sebagai alat parpol untuk memuaskan hasrat kekuasaannya.


Adi Surya (UCOX)

Ketua DPC GMNI Kab Sumedang 2007-2009

Anggota DPD KNPI Kab.Sumedang








Membangun Nation And Character Building


Membangun Nation And Character Building

Di tengah gegap gempita pesta semarak kemerdekaan si seluruh penjuru negeri, terselip kompleksnya permasalahan bangsa yang sangat kontras dengan perayaan kemerdekaan. Jika kita bertanya apakah kita sudah merdeka ?.Jawabanya tergantung kepada siapa yang menjawab. Jika bertanya kepada konglomerat dan politisi kaya,mereka akan menjawab kita sudah merdeka. Namun,coba kita bertanya kepada kaum miskin,buruh pabrik yang harus lembur demi sesuap nasi, pengangguran dan kaum-kaum marginal lainnya, jawabannya pasti berbeda. Kemerdekaan identik dengan kebebasan dan pemenuhan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Jika rakyat masih ditindas oleh saudara sendiri, ketika asing melalui penjajahan ekonomi masih mendikte arah kebijakan pemerintahan dan saat diri sendiri tumpul dalam memaknai kemerdekaan. Pantaskah kita berpesta di tengah carut marutnya wajah bangsa ini ?

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata merdeka berkaitan dengan penjajahan, berarti lepas dari berbagai bentuk penjajahan dan penghambaan manusia terhadap manusia lainnya, baik penjajahan secara fisik maupun penjajahan dalam bentuk ekonomi, sosial, politik, dan budaya. Dari defenisi tersebut kita kembali merefleksikan perjalanan 63 tahun bangsa ini lepas dari penjajahan fisik. Memang,secara fisik kita sudah lepas dari bentuk kolonialisme, namun apakah kita sudah lepas dari neokolonialisme yang lebih halus (soft) seperti penjajahan ekonomi,politik dan budaya ?.Kita harus jujur,kita belum maksimal dalam menyambung “jembatan emas” yang ditinggalkan oleh pahlawan kemerdekaan kita.

Kita bisa lihat dari sektor ekonomi. Mulai dari ekonomi kita yang disetir oleh IMF,WTO,Bank Dunia juga monopoli modal asing yang menguasai institusi yang menguasai hajat hidup orang banyak sampai tingkat kesulitan hidup yang makin memperihatinkan. Di bidang politik, demokrasi yang kita agung-agungkan ternyata telah dibajak oleh penumpang gelap sehingga yang ada hanyalah politisi dan sistem politik yang menghamba pada uang. Belum lagi di bidang budaya,dimana kita sendiri tidak berkutik ketika negara lain mencomot salah satu budaya asli kita.

Apa yang kita lakukan sebagai generasi yang ditugaskan mengisi kemerdekaan ?. Kemajuan sebuah bangsa dipengaruhi oleh kualitas manusianya. Kita bisa belajar dari kebangkitan Cina,Vietnam,Jepang dan India. Negara-negara tersebut sama-sama memiliki sejarah kelam,namun berhasil bangkit dan kini menjadi pemain–pemain yang menentukan di kancah internasional. Kita tak salah meniru budaya disiplin dan etos kerja bangsa Cina dan Jepang. Bahkan Presiden Soekarno pernah mengutarakan agar membangun nation and character building. Ini menunjukkan bangsa yang maju tidak cukup hanya membangun hal yang bersifat fisik namun juga memiliki karakter dan budaya bangsa.

Tentunya peran pendidikan dalam usaha membangun karakter menjadi point penting.Bangsa yang berprestasi akan menjadi kebanggaan bagi warganya, sehingga akan terus berkarya dalam derap laju persaingan global. Begitu juga sebaliknya,bangsa yang tidak punya karakter disiplin dan etos kerja yang tinggi akan semakin terpuruk dan dilindas oleh zaman.



Kebelet Kawin








Kebelet Kawin

Sekitar dua bulan yang lalu aku dapat informasi dari seorang mantan pacar (Dwi Erni) bahwa dia akan kawin (menikah) di bulan Juli. Dan sore ini, saat menikmati waktu-waktu senggang, ada telepon dari seorang kawan akrab (Carlos) bahwa dia juga akan kawin tahun depan. Dari si kawan ini juga aku mendapat informasi beberapa teman-temanku di Medan akan melangsungkan pernikahan. Sejenak aku berpikir serius tapi merasa lucu. Sambil minum es susu jeruk sisa tadi siang, kuputar otak. Apakah aku yang merasa aneh dengan teman-teman sebaya yang sudah memikirkan kawin?. Atau memang sudah saatnya aku memikirkannya dari sekarang ?

Kenyamananku sore ini tergugat oleh wacana rencana pernikahan si kawan. Kenapa mereka bisa memutuskan sebuah hal yang besar secepat ini?. Setahuku dari umur kami yang tidak jauh berbeda (23-26) kami masihlah anak-anak yang belum cukup matang dari segi lahir maupun batin. Pekerjaan pun belum menjamin hidup layak. Menurutku usia-usia muda dan produktif seperti generasi kami, masih harus banyak makan garam. Dalam artian, saatnya berfikir bagaimana kita bisa berkarir dan mapan dengan keringat kita sendiri, baru kemudian memikirkan untuk menikah.

Menikah atau tidak adalah sebuah pilihan hidup. Meskipun adalah sebuah pilihan, bukan juga tanpa pertimbangan. Mulai dari persiapan kematangan emosi, kematangan materi, kematangan mengenal satu sama lain, sampai hal-hal yang remeh temeh sekali pun harus dipikirkan. Dalam arti, menikah tidaklah semata urusan cinta. Seperti kata pepatah, “tidak akan lari gunung dikejar”. Ketika bunga sudah mekar dan berkembang, kumbang-kumbanglah yang berdatangan. Di dunia yang serba sulit ini, kemapanan adalah jimat sakti dalam memburu pasangan. Lantas, apa pertimbangan mereka yang buru-buru dan sudah merasa kebelet untuk menikah?

Di dalam adat batak karo, melanjutkan keturunan adalah hal sangat penting. Apalagi jika kita adalah anak laki-laki. Ada sebuah “beban marga” yang harus dilestarikan melalui perkawinan. Sepemahamanku, dalam suku karo tidaklah terlalu sulit untuk merencanakan untuk menikah.Jika pihak lelaki sudah punya gaji yang cukup, pihak orang tua wanita pun biasanya menyalakan lampu hijau,tanda setuju. Dari pihak orang tua suku karo,menikahkan anak adalah sebuah kehormatan. Menjadi kebanggan karena ada anggapan di masyarakat, orang tua yang anaknya sudah menikah dianggap orang tua yang berhasil menunaikan tanggung jawab. Orang tua yang meninggal dunia dengan meninggalkan anak-anak yang semuanya sudah menikah, pesta kematiannya akan berbeda dengan orang tua yang belum menikahkan semua anak-anaknya. Orang-orang akan beranggapan yang meninggal sudah bisa pulang ke hadirat dengan lapang, karena tugas terakhirnya sudah selesai. Begitu pula sebaliknya. Dalam adat karo orang tua yang berhasil dalam tugas terakhir tersebut dinamakan “cawir metua”.

Namun aku tidak sependapat dengan pandangan seperti itu. Pernikahan adalah sebuah proses sakral seumur hidup yang tidak bisa di intervensi oleh adat dan konsesus. Bukan berarti faktor adat tidak penting. Namun, masih banyak varian lain yang setidaknya kita penuhi daripada hanya sekedar mendapat kehormatan dari tetangga dan para kerabat. Apalagi orang karo dikenal sebagai suku yang “gengsinya tinggi”. Terkadang demi secuil kehormatan, apa pun dikorbankan. Adat sangatlah penting dalam mengawal sebuah tata laku kehidupan.Namun, ketika menjadi satu-satunya faktor determinan, maka kita bisa terjebak dengan apa yang kita lakukan sendiri.

Dahulu aku pernah punya mimpi tentang bagaimana menjalani hidup dengan istri dan anak-anak. Setidaknya umur pacaran ideal sebelum memutuskan untuk menikah adalah 3-5 tahun. Rentang waktu ini penting untuk saling “menelanjangi” pribadi masing-masing agar saling mengenal. Aku akan menikah saat umurku 28-30. Aku anggap ini adalah usia ideal laki-laki untuk menikah. Orang boleh punya pandangan berbeda tentang umur, namun jika kita hitung-hitung, maka usia 28-30 adalah usia ketika secara emosional sudah matang. Jika bekerja, juga sudah relatif tetap dan bisa dikatakan matang secara lahir batin. Kedua, seorang laki-laki harus bertanggung jawab dalam memberi nafkah istrinya. Ketika masih pacaran, kita bisa bermain-main dalam ranah cinta-cintaan. Tetapi sehari setelah kita menikah, hidup adalah perjuangan berdua. Kadar cinta-cintaan mulai sedikit berkurang digantikan oleh bagaimana berjuang untuk tetap hidup. Kita juga tidak bisa menafikkan materi sebagai sumber kebahagiaan.

Ketiga, calon istri yang pintar dalam mengelola rumah tangga. Mulai dari pintar memasak, lihai berkomunikasi dengan suami dan orang sekitar, cepat beradaptasi dengan lingkungan, memiliki penghasilan tetap dan tentunya mencintai kita sepenuh hati dan orang-orang di sekitar kita. Hari-hari awal setelah menikah yang kuidamkan adalah bagaimana kita dengan status menikah namun tetap tidak meninggalkan suasana pacaran. Nonton bioskop berdua, berenang bareng, berkemah bersama, naik gunung, berpetualang dan berdiskusi sampai tepar adalah cerita-cerita seru. Memasuki tahun kedua, baru memikirkan tentang persiapan untuk menyambut tamu baru di rumah. Biaya hidup sang raja baru, biaya perawatan kehamilan, melahirkan sampai acara syukuran kelahiran. Semua harus dipersiapkan dengan matang.

Hidup ini ada prosesnya. Dan terkadang banyak orang yang tidak sabar dalam menunggu datangnya saat dimana kita memang sudah seharusnya berada di suatu fase tertentu. Kita jangan terjebak dengan konstruksi masyarakat sekitar kita menyangkut makna menikah. Karena menikah adalah urusan privat, maka biarkan kita yang berkreasi tanpa dituduh melanggar norma-norma adat. Berikan orang tua kita rasionalisasi kenapa kita memutuskan untuk menikah.Jika di usia muda ada yang sudah memenuhi kriteria siap nikah, maka mari kita lanjutkan. Namun,jika belum, bersabarlah sejenak karena tangga karir masih panjang untuk anak-anak muda seperti kita. Usia kita masih mesra dengan kebebasan.

Orang boleh beda pandangan dengan tulisan ini. Namun, pesan yang ingin disampaikan adalah : alangkah baiknya kita mempersiapkan segala sesuatu, mulai dari yang reralistis sampai yang paling buruk sekalipun. Ingat, hidup kita adalah roda manajemen yang mensyaratkan perencanaan yang matang dan evaluasi yang menyeluruh. Bagi yang sudah menikah, selamat menempuh hidup baru. Dan bagi yang belum, Tinggal tunggu giliran sambil berbenah untuk menyongsong “kehidupan dari dua menjadi satu” (menikah). Merdeka!!! dan Wassalam.



Let Me Free

Aku heran kenapa setiap kejadian yang penting hampir selalu didahului dengan mimpi. Kemaren malam aku bermimpi buruk. Dan, mimpi itu sangat mengganguku.lama aku berfikir dan mencoba merangkai puzzle-puzle kejadian belakangan ini. Kesimpulannya, ada yang tidak beres. Aku pun tidak tinggal diam, kucari informasi yang mendukung kesimpulan sementara itu. Dari berbagai sumber akhirnya aku menemukan informasi yang makin menguatkan pikiranku. Lagi-lagi aku sangat terganggu ketika pikiran-pikiran yang menghantuiku selalu merusak konsentrasiku. Kenapa tidak pernah jujur ?

Tidak ada yang bisa membuatku lebih pusing selain berhadapan dengan pikiranku sendiri. Ingin sekali aku diyakinkan bahwa semua ini tidak pernah terjadi. Membayangkan hidup bebas dari belenggu pikiran sangatlah menyenangkan. Kita bisa fokus dengan apa yang kita jalani dan mengerjakan banyak hal Sekarang,walaupun aku sudah tahu, aku tetap pura-pura tidak tahu.Biarlah mereka yang akan bercerita tentang ini. .Belenggu pikiran lebih dasyat efeknya dibandingkan dengan penjajahan sekalipun. Adakah orang yang bisa menolongku keluar dari lingkaran setan ini ?

Menyandang Predikat Mahasiswa Baru



Menyandang Predikat Mahasiswa Baru


Pengumuman SPMB beberapa waktu yang lalu membawa beragam cerita. Bagi yang belum berhasil mengecap pendidikan di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) tentunya harus menjadwal ulang rencana buat masa depan. Namun,bagi yang diterima di kampus negeri, makna kelulusan dimaknai sebagai transisi peran dalam kehidupan sosial. Dari yang tadinya berstatus sebagai siswa berubah menjadi mahasiswa. Tentunya setiap status memiliki peran dan tanggung jawab yang berbeda pula.

Secara sosiologis, kedudukan (status) diartikan sebagai tempat seseorang secara umum dalam masyarakat sehubungan dengan orang-orang lain, dalam arti lingkungan pergaulannya,prestisenya dan hak-hak serta kewajibannya. Sedangkan peran merupakan aspek dinamis kedudukan atau status (Soerjono Soekanto 2000). Dalam artian,peranan menentukan apa yang diperbuatnya bagi masyarakat serta kesempatan-kesempatan apa yang diberikan masyarakat kepada peran tersebut.

Mahasiswa berasal dari kata “maha” yang berarti besar, agung dan “siswa” yang berarti orang yang belajar di sebuah institusi (perguruan tinggi). Jadi secara sederhana dapat didefenisikan sebagai intelektual yang belajar untuk melakukan perubahan sosial. Dilihat dari defenisi tersebut, tersirat sebuah prestise yang cukup tinggi yang diberikan oleh masyarakat kepada mahasiswa.Sebuah tuntutan peran yang mulia untuk melakukan perubahan-perubahan sosial melalui ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Sudah seharusnya mahasiswa baru yang akan berdinamika di kampus sejak awal diperkenalkan tugas dan tanggung jawabnya.

Setelah memasuki gerbang dunia intelektual, mahasiswa baru hendaknya melakukan konsolidasi internal terhadap tugas dan tanggung jawab baru yang diembannya. Tuntutan untuk mandiri dan kritis terhadap fenomena-fenomena di sekitar, memerlukan adaptasi yang memerlukan proses dan perencanaan. Jika gagal dalam memaknai fase transisi ini,maka kemungkinan besar status mahasiswa hanya sebuah identitas dengan tetap berkeperibadian dan bermental siswa.

Selain tugas belajar, mahasiswa juga dituntut untuk peka terhadap lingkungan sosial. Hal ini sesuai dengan semangat Tri Dharma Perguruan Tinggi yang didalamnya terkandung tugas-tugas pendidikan,penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Artinya, mahasiswa bukanlah menara gading yang tidak membumi di tengah masyarakat dan sibuk dengan dunianya sendiri. Justru dengan mengejawantahkan ilmu pengetahuan dalam tataran empiris,mahasiswa sudah dikatakan melaksanakan tuntutan status dan peran sebagai intelektual.

Peran sebagai intelektual organik adalah sebagai agent of change dan agent of social control. Sebagai agen perubahan, mahasiswa harus jeli dan kritis terhadap realitas dan terlibat dalam pencapaian sebuah perubahan yang lebih baik. Kondisi sosial yang jauh dari cita-cita kesejahteraan akan menjadi ladang eksperimen untuk mengejawantahkan pengabdian. Setidaknya mahasiswa cukup berhasil meninggalkan jejak langkah dalam guratan sejarah menggulirkan perubahan sosial, mulai dari zaman pra kemerdekaan sampai era reformasi sebagai agen perubahan.

Sedangkan peran kontrol sosial dimaksudkan sebagai tugas mengawal perubahan yang telah diretas agar tidak dibajak oleh penumpang gelap yang pro status quo. Setiap perubahan yang dilakukan hendaknya diselesaikan dengan tuntas.Ini juga sebagai bukti bahwa mahasiswa tidak hanya berperan sebagai pelaku dekonstruksi tanpa solusi. Dengan ikut mengawal proses perubahan,mahasiswa sudah menjalankan perannya.

Untuk mendukung kedua peran tersebut dibutuhkan sebuah perkakas intelektual,yakni ilmu pengetahuan dan keterampilan. Itulah sebabnya tugas utama mahasiswa adalah belajar, agar apa yang diterima di deretan bangku kuliah dapat ditransformasikan ke masyarakat. Namun, tak sedikit pula mahasiswa yang gagal mendefenisikan hakikat sebagai orang-orang yang ditugaskan untuk melakukan perubahan. Sebagian besar terperosok dalam jurang pesta dalam selimut ideologi hedonisme dan individualisme. Akibatnya ilmu menjadi kering makna dan pesta (hedonisme) membuat tumpulnya daya nalar untuk tetap menyuarakan gema perubahan.

Menyandang gelar sebagai seorang mahasiswa adalah sebuah kebanggan. Mahasiswa adalah orang-orang pilihan sejarah untuk melakukan tugas-tugas mulia tanpa pamrih. Perguruan tinggi tidak mencetak orang-orang pintar yang tumpul berkarya bagi lingkungannya. Sudah sepantasnya dan sepatutnya mahasiswa baru tidak hanya terjebak dalam jubah identitas dan status,melainkan belajar memaknai apa arti menjadi seorang intelektual.

Mengawal Tonggak Gerakan Anti Korupsi

Mengawal Tonggak Gerakan Anti Korupsi

Menurut data Political Economic and Risk Consultancy, Indonesia menempati urutan pertama sebagai negara terkorup di Asia pada tahun 2005 . Siapa yang dapat menyangka sebuah bangsa yang dikenal sopan santun, memiliki jiwa gotong royong dan toleransi tinggi terhadap pebedaan, justru menjadi sarang para pelaku korupsi ?.

Menurut UU No 31 Tahun 1999 jo UUNo.20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mendefenisikan korupsi sebagai perbuatan setiap orang baik pemerintahan maupun swasta yang melanggar hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara. Ada benarnya ketika banyak pihak mengatakan korupsi sudah menjadi salah satu budaya kebanggaan Indonesia yang terus dilestarikan dan mendarah daging.

Untuk memberantas korupsi, negara membentuk lembaga yang memang menjadi punggawa untuk menyeret para koruptor. Sebut saja Kejaksaan Agung, Kepolisian dan KPK, dan juga dibutuhkan peran masyarakat untuk mendukung kerja lembaga-lembaga tersebut. Di antara elemen yang ada di masyarakat, mahasiswa memiliki peran dan kekuatan untuk berperan serta dalam mendukung gerakan anti korupsi. Mahasiswa berperan sebagai agent of change dan social control terhadap perubahan sosial dan masalah - masalah bangsa. Selain itu, jamak kita ketahui mahasiswa memiliki bargaining position yang tinggi untuk mendesakkan atau mengawal perjalanan republik ini.

Dalam membantu aksi pemberantasan korupsi yang dilakukan lembaga negara, setidaknya mahasiswa berperan sebagai partner yang saling mendukung. Ada beberapa hal yang bisa diambil, seperti tindakan–tindakan kuratif, rehabilitatif dan preventif. Pertama, tindakan kuratif dimaksudkan sebagai langkah untuk menyembuhkan para koruptor dari perilaku korup melalui pembinaan. Kedua, tindakan rehabilitative lebih condong ke arah pemberantasan korupsi dengan mendorong masyarakat untuk berperan serta memerangi korupsi, sesuai dengan kapasitas dan kewenangan masing-masing. Kepada masyarakat perlu ditanamkan nilai-nilai kejujuran (integrity) serta kebencian terhadap korupsi melalui pesan-pesan moral melalui seminar, diskusi,workshop dan bentuk kegiatan lain. Ketiga, tindakan preventif. Mahasiswa melakukan perannya sebagai agen social control terhadap penyimpangan norma dan sistem. Selain itu, dengan potensi yang dimiliki, mahasiswa bisa berjuang mempengaruhi kebijakan, menyebarkan informasi untuk membangun opini publik, melaporkan tindak pidana korupsi sampai turun ke jalan untuk mendemonstrasikan bahaya korupsi.

Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely dari Lord Acton setidaknya menjadi cermin bagi mahasiswa bahwa kekuasaan tidak boleh dibiarkan bebas, namun harus dijaga dan dikawal agar bermanfaat bagi tujuan bersama.

Peran Organisasi Mahasiswa Di Tengah Masyarakat

Peran Organisasi Mahasiswa Di Tengah Masyarakat

Ketika melihat korelasi hubungan mahasiswa dengan masyarakat pada saat sekarang dengan kondisi dulu pada zaman pra kemerdekaan, akan terasa ada nuansa yang jauh berbeda. Jika dulu, mahasiswa melalui organisasi di kampus, baik itu intra maupun ekstra universitas, tidak melihat perjuangan perubahan sosial hanya sebatas dunia kampus saja. Mereka rela turun gunung untuk membantu memberi pendidikan ke masyarakat, baik itu melalui forum-forum diskusi maupun mimbar bebas di alun-alun desa/kota. Ada hubungan yang bisa dikatakan mesra antara mahasiswa dan masyarakat pada saat itu.

Namun sekarang, kita bisa sama-sama melihat orientasi perjuangan dan pergerakan organisasi mahasiswa malah cenderung kampus oriented. Sangat jarang kegiatan-kegiatan bersama masyarakat dilakukan. Kalau pun ada, hanya pada saat-saat Praktik Kerja Lapangan (PKL) atau pun Kuliah Kerja Nyata (KKN). Dunia mahasiswa hari ini adalah bagaimana caranya menyelamatkan diri masing-masing dengan cara secepatnya menyelesaikan studi dan bekerja. Seolah-olah tugas kemasyarakatan hanyalah tugas pemerintah dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) saja. Ini adalah bentuk pergeseran paradigma yang semakin menambah dalam gap antara dunia ilmu pengetahuan dan masyarakat.

Dari kacamata idealnya, hubungan organisasi mahasiswa dan masyarakat adalah hubungan saling membutuhkan dan mengembangkan. Ilmu pengetahuan yang diproduksi di kampus seyogyanya ditransformasikan ke kehidupan bermasyarakat. Organisasi mahasiswa tidak boleh alpa dalam mengadvokasi masyarakat baik itu yang berada dalam lingkungan sekitar kampus maupun secara umum.

Dalam menjalankan amanah sebagai agent of change , organisasi mahasiswa sangat dibutuhkan peran strategisnya dalam membantu masyarakat. Hal ini dikarenakan ada beberapa potensi dan kekuatan dalam sebuah organisasi. Pertama, organisasi mahasiswa memiliki potensi untuk menggerakkan massa yang cukup rill. Kedua, memiliki legitimasi sebagai representasi universitas untuk melakukan sesuatu kegiatan. Ketiga, organisasi mahasiswa memiliki kader-kader yang mumpuni dan cenderung lebih berkomitmen untuk aktif membangun masyarakat.

Sejatinya mahasiswa melalui wadah organisasi kemahasiswaan tidak menjadi menara gading yang angkuh di tengah sulitnya kondisi masyarakat. Teori-teori yang diperoleh di kampus tidak akan menemukan esensinya jika tidak diterapkan di masyarakat.Untuk itu, organisasi mahasiswa sudah waktunya kembali ke khittahnya sebagai pengayom dan selalu hadir di masyarakat.

Revitalisasi Organisasi Kemahasiswaan

Revitalisasi Organisasi Kemahasiswaan

Mengapa hari ini organisasi kemahasiwaan cenderung kurang berhasil dalam memberi pendidikan terhadap mahasiswa. Setidaknya, kita bisa melihat dari animo dari mahasiswa sendiri yang acuh tak acuh terhadap keberadaan organisasi mahasiswa, seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) maupun Himpunan Mahasiswa (HIMA). Rendahnya animo ini yang menyebabkan mengapa setiap kegiatan organisasi mahasiswa yang non-hedonis selalu sepi peminat. Bahkan, setiap kali pemilu mahasiswa di kampus, mahasiswa tidak pernah menunjukkan tingkat partisipasi yang tinggi. Selain faktor perilaku individu mahasiswa, fenomena ini tidak bisa dilepaskan dari peran organisasi mahasiswa yang tidak tanggap dan kreatif dalam merangsang keterlibatan mahasiswa dalam kegiatan-kegiatan kampus.

Organisasi mahasiswa sejatinya dibentuk sebagai wadah untuk pengembangan diri secara bakat, minat dan spiritual. Dengan hadirnya organisasi di kampus, setidaknya mahasiswa bisa menjadikan peluang ini untuk mengasah kemampuan dan keterampilan. Organisasi mahasiswa sebagai laboratorium trial dan error sangat efektif dalam membentuk karakter-karakter mahasiswa yang tangguh. Lihat saja, para pemimpin atau tokoh bangsa kita yang hampir semuanya pernah aktif dan menjabat posisi-posisi strategis di organisasi kampus.

Namun hari ini tampaknya gempuran idelogi kapitalisme dan hedonisme membawa organisasi-organisasi mahasiswa ke jurang disorientasi. Bayangkan saja, kegiatan –kegiatan yang bersifat akademis dan kajian-kajian sosial politik selalu mendapat porsi yang lebih sedikit dibandingkan dengan kegiatan yang sifatnya hura-hura. Bahkan, kalau pun kegiatan-kegiatan akademis, spritual dan sosial politik dilakukan, format dan metodenya selalu monoton. Untuk mendapat simpati dari mahasiswa organisasi mahasiswa sudah waktunya untuk lebih kreatif dan persuasif dalam menyajikan konsep kegiatan.

Menyikapi hal ini harus ada proses revitalisasi peran organisasi kemahasiswaan di tengah-tengah masyarakat kampus. Revitalisasi ini mengajak kita berfikir kembali esensi dari keberadaan dan untuk apa sebuah organisasi dibentuk. Sebagai pelayan mahasiswa, kreatifitas tanpa menghilangkan identitas organisasi mahasiswa harus dirumuskan. Kegiatan keagamaan bisa saja menarik bagi kaum hedonis jika dikolaborasikan dengan selingan hiburan yang mendidik. Begitu pula dengan kegiatan hiburan, bisa menarik bagi kaum mahasiswa yang agamis dan akademik, jika memberikan pendidikan dan pelajaran untuk diambil hikmahnya. Organisasi mahasiswa dituntut semakin memainkan peran sentralnya agar dapat dirasakan manfaatnya bagi semua pihak. Tanpa hal tersebut, maka organisasi mahasiswa hanya akan semakin ditinggalkan oleh mahasiswa sendiri dan tidak bereksistensi.