Dibalik Pemenuhan Anggaran Pendidikan 20%


Dibalik Pemenuhan Anggaran Pendidikan 20%

Untuk pertama kalinya pemerintah memenuhi kewajiban memenuhi 20 % anggaran pendidikan dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2009. Terlepas dari opini miring yang menganggap hal ini sebagai bentuk pencitraan SBY, kita juga berharap banyak pada niat pemerintah dalam memajukan kualitas pendidikan. Bagaimana tidak, sampai hari ini kita masih melihat banyak anak-anak yang tidak bisa mengecap bangku sekolah. Karena bagaimana pun salah satu faktor fundamental untuk memajukan bangsa ini adalah membenahi sektor pendidikan.

Pemenuhan anggaran pendidikan oleh pemerintah harus kita baca secara kritis pula. Apakah ini hanya sekedar wacana atau memang sebuah bentuk keseriusan dari pemerintah. Perlu diketahui anggaran pendidikan memang meningkat hampir dua kali lipat dari Rp.78.5 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp.154,2 triliun pada 2008. Namun, hal tersebut tidaklah dapat dijadikan tolak ukur keberhasilan pemerintah dikarenakan sebenarnya sejak kabinet ini dilantik, pemerintah telah ingkar janji dengan tidak dipenuhinya 20% anggaran pendidikan. Banyak juga pihak yang menuding pemerintah sekedar cari muka memanfaatkan pencitraan menjelang pemilu 2009.

Namun,jika pemerintah serius untuk menggarap persoalan pendidikan, tentunya ini menjadi tugas kita bersama. Memang kita tidak bisa menafikkan kesejahteraan guru yang jauh dari wajar, banyaknya anak-anak miskin yang tidak bersekolah, gedung sekolah yang tidak layak, fasilitas pendukung belajar yang tidak tersedia, semua bermuara pada persoalan anggaran. Tinggal yang menjadi fokus adalah bagaimana pemerintah melalui Depdiknas memanajemen keuangan yang telah dianggarkan secara efektif dan efisien. Karena jamak kita ketahui track record para pejabat kita yang seringkali tergoda dalam penyelewengan uang negara.

Kita juga jangan terjebak dalam mereduksi persoalan pendidikan hanya pada masalah dana. Sistem pendidikan juga perlu terus kita benahi agar menghasilkan sebuah sistem yang terpadu dan tidak selalu gonta ganti sesuai siapa yang berkuasa. Keadilan dalam pendidikan antara kota dan desa juga harus mendapat porsi yang seimbang. Terkesan pemerintah menggeneralisir kemampuan tiap-tiap daerah sehingga tampak adanya rumus pukul rata bagi setiap peserta didik. Seharusnya tiap daerah diberi otonomi dalam mengelola pendidikan tanpa harus kehilangan kontrol dari pusat. Jarang kita lihat adanya muatan lokal dalam kurikulum pelajaran di sekolah-sekolah yang memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai keunggulan daerah.

Untuk menjadi bangsa yang maju, pemenuhan anggaran pendidikan menjadi solusi yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Jika semua pihak serius meningkatkan kualitas pendidikan, perlu kerja sama dari semua pihak antara pemerintah, swasta dan masyarakat.



Adi Surya Purba

Mahasiswa Ilmu Kesejahteraan Sosial

Fisip Unpad

Aktivis GMNI









0 komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar Anda Di Sini :