Kebelet Kawin








Kebelet Kawin

Sekitar dua bulan yang lalu aku dapat informasi dari seorang mantan pacar (Dwi Erni) bahwa dia akan kawin (menikah) di bulan Juli. Dan sore ini, saat menikmati waktu-waktu senggang, ada telepon dari seorang kawan akrab (Carlos) bahwa dia juga akan kawin tahun depan. Dari si kawan ini juga aku mendapat informasi beberapa teman-temanku di Medan akan melangsungkan pernikahan. Sejenak aku berpikir serius tapi merasa lucu. Sambil minum es susu jeruk sisa tadi siang, kuputar otak. Apakah aku yang merasa aneh dengan teman-teman sebaya yang sudah memikirkan kawin?. Atau memang sudah saatnya aku memikirkannya dari sekarang ?

Kenyamananku sore ini tergugat oleh wacana rencana pernikahan si kawan. Kenapa mereka bisa memutuskan sebuah hal yang besar secepat ini?. Setahuku dari umur kami yang tidak jauh berbeda (23-26) kami masihlah anak-anak yang belum cukup matang dari segi lahir maupun batin. Pekerjaan pun belum menjamin hidup layak. Menurutku usia-usia muda dan produktif seperti generasi kami, masih harus banyak makan garam. Dalam artian, saatnya berfikir bagaimana kita bisa berkarir dan mapan dengan keringat kita sendiri, baru kemudian memikirkan untuk menikah.

Menikah atau tidak adalah sebuah pilihan hidup. Meskipun adalah sebuah pilihan, bukan juga tanpa pertimbangan. Mulai dari persiapan kematangan emosi, kematangan materi, kematangan mengenal satu sama lain, sampai hal-hal yang remeh temeh sekali pun harus dipikirkan. Dalam arti, menikah tidaklah semata urusan cinta. Seperti kata pepatah, “tidak akan lari gunung dikejar”. Ketika bunga sudah mekar dan berkembang, kumbang-kumbanglah yang berdatangan. Di dunia yang serba sulit ini, kemapanan adalah jimat sakti dalam memburu pasangan. Lantas, apa pertimbangan mereka yang buru-buru dan sudah merasa kebelet untuk menikah?

Di dalam adat batak karo, melanjutkan keturunan adalah hal sangat penting. Apalagi jika kita adalah anak laki-laki. Ada sebuah “beban marga” yang harus dilestarikan melalui perkawinan. Sepemahamanku, dalam suku karo tidaklah terlalu sulit untuk merencanakan untuk menikah.Jika pihak lelaki sudah punya gaji yang cukup, pihak orang tua wanita pun biasanya menyalakan lampu hijau,tanda setuju. Dari pihak orang tua suku karo,menikahkan anak adalah sebuah kehormatan. Menjadi kebanggan karena ada anggapan di masyarakat, orang tua yang anaknya sudah menikah dianggap orang tua yang berhasil menunaikan tanggung jawab. Orang tua yang meninggal dunia dengan meninggalkan anak-anak yang semuanya sudah menikah, pesta kematiannya akan berbeda dengan orang tua yang belum menikahkan semua anak-anaknya. Orang-orang akan beranggapan yang meninggal sudah bisa pulang ke hadirat dengan lapang, karena tugas terakhirnya sudah selesai. Begitu pula sebaliknya. Dalam adat karo orang tua yang berhasil dalam tugas terakhir tersebut dinamakan “cawir metua”.

Namun aku tidak sependapat dengan pandangan seperti itu. Pernikahan adalah sebuah proses sakral seumur hidup yang tidak bisa di intervensi oleh adat dan konsesus. Bukan berarti faktor adat tidak penting. Namun, masih banyak varian lain yang setidaknya kita penuhi daripada hanya sekedar mendapat kehormatan dari tetangga dan para kerabat. Apalagi orang karo dikenal sebagai suku yang “gengsinya tinggi”. Terkadang demi secuil kehormatan, apa pun dikorbankan. Adat sangatlah penting dalam mengawal sebuah tata laku kehidupan.Namun, ketika menjadi satu-satunya faktor determinan, maka kita bisa terjebak dengan apa yang kita lakukan sendiri.

Dahulu aku pernah punya mimpi tentang bagaimana menjalani hidup dengan istri dan anak-anak. Setidaknya umur pacaran ideal sebelum memutuskan untuk menikah adalah 3-5 tahun. Rentang waktu ini penting untuk saling “menelanjangi” pribadi masing-masing agar saling mengenal. Aku akan menikah saat umurku 28-30. Aku anggap ini adalah usia ideal laki-laki untuk menikah. Orang boleh punya pandangan berbeda tentang umur, namun jika kita hitung-hitung, maka usia 28-30 adalah usia ketika secara emosional sudah matang. Jika bekerja, juga sudah relatif tetap dan bisa dikatakan matang secara lahir batin. Kedua, seorang laki-laki harus bertanggung jawab dalam memberi nafkah istrinya. Ketika masih pacaran, kita bisa bermain-main dalam ranah cinta-cintaan. Tetapi sehari setelah kita menikah, hidup adalah perjuangan berdua. Kadar cinta-cintaan mulai sedikit berkurang digantikan oleh bagaimana berjuang untuk tetap hidup. Kita juga tidak bisa menafikkan materi sebagai sumber kebahagiaan.

Ketiga, calon istri yang pintar dalam mengelola rumah tangga. Mulai dari pintar memasak, lihai berkomunikasi dengan suami dan orang sekitar, cepat beradaptasi dengan lingkungan, memiliki penghasilan tetap dan tentunya mencintai kita sepenuh hati dan orang-orang di sekitar kita. Hari-hari awal setelah menikah yang kuidamkan adalah bagaimana kita dengan status menikah namun tetap tidak meninggalkan suasana pacaran. Nonton bioskop berdua, berenang bareng, berkemah bersama, naik gunung, berpetualang dan berdiskusi sampai tepar adalah cerita-cerita seru. Memasuki tahun kedua, baru memikirkan tentang persiapan untuk menyambut tamu baru di rumah. Biaya hidup sang raja baru, biaya perawatan kehamilan, melahirkan sampai acara syukuran kelahiran. Semua harus dipersiapkan dengan matang.

Hidup ini ada prosesnya. Dan terkadang banyak orang yang tidak sabar dalam menunggu datangnya saat dimana kita memang sudah seharusnya berada di suatu fase tertentu. Kita jangan terjebak dengan konstruksi masyarakat sekitar kita menyangkut makna menikah. Karena menikah adalah urusan privat, maka biarkan kita yang berkreasi tanpa dituduh melanggar norma-norma adat. Berikan orang tua kita rasionalisasi kenapa kita memutuskan untuk menikah.Jika di usia muda ada yang sudah memenuhi kriteria siap nikah, maka mari kita lanjutkan. Namun,jika belum, bersabarlah sejenak karena tangga karir masih panjang untuk anak-anak muda seperti kita. Usia kita masih mesra dengan kebebasan.

Orang boleh beda pandangan dengan tulisan ini. Namun, pesan yang ingin disampaikan adalah : alangkah baiknya kita mempersiapkan segala sesuatu, mulai dari yang reralistis sampai yang paling buruk sekalipun. Ingat, hidup kita adalah roda manajemen yang mensyaratkan perencanaan yang matang dan evaluasi yang menyeluruh. Bagi yang sudah menikah, selamat menempuh hidup baru. Dan bagi yang belum, Tinggal tunggu giliran sambil berbenah untuk menyongsong “kehidupan dari dua menjadi satu” (menikah). Merdeka!!! dan Wassalam.


0 komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar Anda Di Sini :