Puasa : Antara Sakral Dan Profan

Puasa : Antara Sakral Dan Profan

Selama bulan puasa, kita akan menyaksikan sebuah fenomena yang berbeda dari bulan-bulan lainnya. Semua orang berubah menjadi saleh, religius dan dermawan. Kita bisa menyaksikan hal ini dari televisi yang merubah wajah menjadi media religius. Mulai dari beragam tayangan pilihan puasa sampai pembawa berita yang berbusana islami. Tidak hanya media, artis-artis pun tak ketinggalan melakukan perbuatan-perbuatan saleh, mulai dari berbagi rezeki,mengubah penampilan sampai mencipta lagu yang juga islami. Politisi,pesantren,sekolah,pegawai pemerintah dan hampir mayoritas umat muslim semuanya larut dalam bulan yang penuh pahala ini. Gejala perubahan ini bisa dibaca sebagai ekspresi masing-masing orang untuk memaknai puasa. Namun, pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah perbuatan saleh hanya dilakukan di bulan puasa ? Bisakah perbuatan tersebut dipertahankan menjadi identitas umat muslim ?

Puasa telah dilakukan oleh umat-umat terdahulu. Kama kutiba ‘alal ladzina min qablikum (Sebagaimana diwajibkan atas umat-umat yang sebelum kamu). Dari segi ajaran agama, para ulama menyatakan bahwa semua agama samawi, sama dalam prinsip-prinsip pokok akidah, syariat, serta akhlaknya.Ini berarti bahwa semua agama samawi mengajarkan keesaan Allah, kenabian, dan keniscayaan hari kemudian. Shalat, puasa, zakat, dan berkunjung ke tempat tertentu sebagai pendekatan kepada Allah adalah prinsip-prinsip syariat yang dikenal dalam agama-agama samawi. Tentu saja caranya dapat berbeda, namun esensi dan tujuannya sama.

Dalam QS. Al Baqarah : 183 dikatakan, “wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana yang telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian agar kalian bertaqwa”. Dari sini kita bisa melihat bahwa puasa merupakan ibadah menuju ketakwaan. Proses dalam menuju tujuan akhir puasa (baca: ketakwaan) melewati perjuangan melawan nafsu diri sendiri melalui perintah dengan menahan lapar dan haus, amarah, hubungan suami isteri dan memperbanyak ibadah serta beramal terhadap sesama. Melalui perintah–perintah ini, kita membaca bahwa puasa tidak berhenti pada tataran ibadah dalam tataran individu, melainkan juga digunakan dalam konteks sosial.

Perintah menahan lapar dan dahaga dapat diartikan sebagai latihan ber-empati terhadap penderitaan sesama. Juga, mengingatkan kita untuk selalu bersyukur atas nikmat yang diberikan Allah kepada kita. Menahan amarah dimaknai sebagai ujian bagi umat untuk bisa membangun ikatan persaudaraan dalam kondisi apapun. Kita tidak boleh menjadi orang-orang yang pemarah yang justru mengancam kolektivitas bersama. Menahan nafsu seksual lebih pada bagaimana kita menahan hawa nafsu. Sedangkan,memperbanyak beramal dan ibadah, bertujuan untuk meningkatkan kualitas religius disertai meningkatkan kepedulian kita pada sesama yang membutuhkan. Semua perintah di atas harus bisa dimaknai secara filosofis dan tidak terjebak pada defenisi yang sifatnya artifisial belaka.

Mircea Eliade dalam bukunya The Sacred and The Profane (2002), menjelaskan bahwa sepanjang sejarah mausia, ada perbedaan mendasar antara manusia religius dan non-religius. Bagi manusia religius,ruang dan waktu tidaklah homogen,melainkan heterogen. Ada ruang dan waktu tertentu yang berbeda dengan lainnya.Perbedaan tersebut disebabkan oleh sifat istimewa yang dimiliki,yakni sifat sakral. Ruang dan waktu sakral sangat penting bagi manusia religius,apapun agama mereka ,sebagai penghubung dengan yang Ilahi.Puasa disini dimaknai sebagai sesuatu yang sacral, yang memiliki dimensi spiritual dan menyakini puasa sebagai sebuah pengalaman religius.

Sedangkan bagi manusia non-religius, sebagaimana yang terjadi pada masyarakat yang sudah mengalami pendangkalan makna akan sesuatu yang seharusnya sakral, tidak ada ruang istimewa dan tak ada waktu istimewa.Fenomena ini kemudian kita kenal dengan istilah desakralisasi, atau pengingkaran terhadap adanya sesuatu yang sakral (profan). Di sini puasa hanya dimaknai secara dangkal, tak lebih dari sekedar rutinitas, kewajiban dan sekedar ikut-ikutan karena takut dikenai sanksi sosial oleh lingkungan.

Puasa seharusnya tidak dimaknai hanya sebatas ritual. Kebanyakan dari kita memaknai puasa sebagai perjuangan menahan lapar dan haus sampai saatnya berbuka. Kita lupa bahwa puasa tidak hanya sebatas puasa biologis saja, melainkan juga puasa rohani. Berpuasa juga jangan diartikan sebatas mencari pundi-pundi pahala saja, karena dengan begitu, kita tidak akan pernah belajar untuk menjadi manusia yang tulus tanpa pamrih pada sesama. Dalam artian, perbuatan berpuasa tidak hanya direduksi sebagai manifestasi kewajiban semata sebagai umat muslim. Padahal ada esensi yang disampaikan ketika kita menjalankan ibadah puasa. Dengan ibadah puasa, kita dilatih untuk menahan nafsu dan pengendalian diri, melatih menjadi umat yang jujur dan memberi manfaat kepada orang lain.

Untuk mencegah pemaknaan puasa sebagai sebuah ritual dan kewajiban semata, umat harus bisa menangkap makna dan dituntut untuk menjaga konsistensi makna tersebut dalam perbuatan sehari-hari. Hal ini perlu agar esensi puasa dilakukan juga di luar bulan puasa. Kebanyakan dari kita berpuasa dengan melakukan perbuatah saleh hanya dalam bulan puasa. Sehabis itu, kita kembali bergumul dalam pekatnya godaan-godaan duniawi yang menjerumuskan. Alangkah lebih baik ketika sebelum berpuasa, kita bertanya pada diri sendiri (berkontemplasi), apakah tujuan puasa bagi kita dan akankah kita berniat untuk konsisten melakukan juga perbuatan-perbuatan saleh di bulan-bulan lain?. Dengan menjawab hal tersebut,puasa kita akan bermakna dan terhindar dalam pendangkalan makna puasa sebatas formalitas dan rutinitas tahunan. Jangan sampai puasa sebagai yang sakral berubah menjadi profan dan yang profan kemudian “mengkudeta realitas” sehingga kemudian malah mejadi sesuatu yang disakralkan.

Adi Surya P

Ketua DPC GMNI Kab Sumedang 2007-2009

DPD KNPI Bidang Hukum dan Ham

Mahasiswa Kesos Fisip Unpad

0 komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar Anda Di Sini :