UU PORNOGRAFI DAN PEMBANGKANGAN SIPIL







UU PORNOGRAFI DAN

PEMBANGKANGAN SIPIL

Dengan diketuknya palu pengesahan RUU Pornografi menjadi Undang-Undang, menandakan sebuah titik klimaks pergulatan antara benar-salah, monotafsir-multitafsir, berfikir keliru-berfikir benar dan penyeragaman-perlindungan di tingkat legislatif. RUU pornografi menjadi kontroversial karena bersentuhan dengan moral dan ranah privat dalam sebuah bingkai keberagaman yang selalu menghadirkan ruang relativitas. Selain itu, RUU ini berhasil memecah rekor dalam lamanya pembahasan yakni selama 10 tahun yang melahirkan kubu pro dan kontra. Menarik ketika sinyal perdebatan mulai direduksi oleh publik menjadi peperangan pendukung syariat Islam dan pendukung pluralisme. Warna-warni inilah yang kemudian membuat RUU ini selalu tampak “seksi” dan “ panas” ketika disajikan di ruang publik. Namun, DPR seolah harus kejar tayang untuk buru-buru mengesahkan RUU tersebut, padahal didalamnya masih terkandung nada protes dari sebagian besar masyarakat.

Jika kita membalik ingatan kita pada awal kenapa pornografi harus diatur melalui undang-undang adalah adanya keprihatinan terhadap moral bangsa agar terlindung dari aksi-aksi porno. Pornografi dianggap sebagai salah satu masalah sosial (social problem) yang dikawatirkan menjadi bahaya laten demi terwujudnya generasi bangsa yang berakhlak dan bermoral. Dalam perjalannya, kekawatiran tersebut diartikulasi ke dalam bentuk undang-undang yang sifatnya mengikat dan menyeluruh. Perdebatan gagasan pun seperti “gayung bersambut” dalam ruang-ruang setuju maupun menolak. Bukan hanya di tingkat elit, namun gaungnya sudah menggema ke daerah-daerah yang memang rentan terkena imbas pengaturan terhadap apa yang disebut porno. Bali, Papua, Sulawesi Utara adalah sedikit daerah yang kritis terhadap RUU ini.

Gelombang yang merespon terbagi atas tiga kubu. Pertama, menolak RUU Pornografi, kedua, Revisi terbatas terhadap pasal-pasal yang dianggap bermasalah dan ketiga, mendukung RUU Pornografi segera. Sejarah perdebatan memang sangat alot. Sejak undang-undang ini masih bernama RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi sampai dirubah dan disahkan mejadi RUU Pornografi. RUU APP pada saat penyusunanya memang mengandung beberapa potensi disintegrasi dan kekeliruan berfikir. Salah satunya adalah tidak dijelaskan secara tegas tentang perlindungan adat, budaya dan kearifan lokal yang berpotensi terjerat pasal-pasal karet. Begitu pula tentang defenisi yang sangat multitafsir tentang apa batasan yang disebut porno. Kemudian setelah menerima kritik dan saran dari berbagai elemen masyarakat, RUU tersebut diubah menjadi RUU Pornografi untuk mengakomodir kelemahan-kelemahan pada rancangan sebelumnya. Meskipun demikian, RUU Pornografi masih dianggap belum kompatibel dengan apa yang diinginkan oleh beberapa pihak. Malah wacana penolakan pengesahan RUU ini kemudian mengalami distorsi yakni sikap menolak berarti mendukung pornografi. Sebuah kekeliruan berfikir yang tidak pada tempatnya.

Pokok –pokok perdebatan antara lain adalah mencakup hal-hal yang belum teruji di lapangan seperti argumen akan adanya penyeragaman, anarkisme sipil, salah hukum dan beberapa pasal lain yang berbau multitafsir. Perdebatan pasal multitafsir pertama menyangkut tentang defenisi pornografi. Kesalahan yang terjadi disini adalah DPR yang menganggap bisa mengatur persepsi individu terhadap suatu objek. Defenisi ini seolah menganggap bahwa respon seseorang dianggap sama dengan respon orang lain. Ini terlihat dari klausul “dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat". Kedua, pasal yang Pasal 4 (ayat 1h) tentang muatan "tampilan yang mengesankan keterlanjangan"; dan Pasal 10 terkait "eksploitasi seksual" juga pasal yang m,engatur tentang peran masyarakat. Seperti apa yang dimaksud dengan kedua frasa ini tidak dijelaskan dalam RUU ini. Lalu bagaimana menentukan suatu tampilan sudah "mengesankan keterlanjangan" dan "eksploitasi seksual"?. Peran masyarakat juga bisa menjadi bias karena apa yang dianggap porno atau tidak masih multitafsir. Padahal bahasa hukum haruslah menunjukkan ketegasan, bukan bahasa yang menimbulkan interpretasi yang beragam.

Ketiga adalah isu penyeragaman budaya. Memang pada RUU APP yang dulu, aroma penyeragaman sangat terlihat jelas, namun pada RUU Pornografi, daerah-daerah yang yang memiliki budaya telah diakomodasi. Budaya adalah hasil cipta karsa membentuk peradaban dan sejatinya bukan ditujukan untuk pornografi dan bukan salah satu pengecualian dari bentuk-bentuk pornografi. Namun, apa daya palu telah diketuk dan konsekuensi demokrasi memang tidak bisa memuaskan semua pihak. Keputusan di tingkat elit telah dibuat, sekarang bola menggelinding ke rakyat sebagai objek sekaligus subjek pemegang daulat. Beberapa tokoh masyarakat di Bali bahkan sudah menggelindingkan wacana pembangkangan sipil tanda tidak setuju dengan pengesahan tersebut. Menarik mendengar wacana pembangkangan sipil terhadap peraturan yang dibat oleh wakil rakyat sendiri. Ada aroma ketidakserasian antara wakil rakyat dengan suara rakyat.

Pembangkangan sipil terjadi ketika sebuah negara yang didirikan untuk mencapai kemakmuran, keadilan dan kesejahteraan berubah wajah menjadi kekeuatan besar yang menindas hak-hak warganya, membelenggu kemerdekaan dan merampas rasa keadilan masyarakat. Rawls(1971 : 333) menetapkan bahwa aksi pembangkangan sipil memiliki peran stabilisasi dalam sebuh pemerintahan yang hampir terbuka sebagai jaminan kerukunan anatara konstitusi dengan warga negara. Rawls mencatat bahwa ketidakadilan sengaja mengundang pembangkangan dan perlawanan. Senada dengan Rawls, Jurgen Habermars berpandangan pembenaran pembangkangan sipil terletak pada pemahaman yang dinamis tentang konstitusi sebagai sebuah rancangan yang tidak pernah berakhir. Dari perspektif jangka panjang ini, sebuah negara konstitusional tidak merepresentasikan suatu struktur yang sudah berakhir, tetapi suatu struktur yang lunak dan sensitif yang tujuannya adalah mewujudkan sistem hak yang baru dalam keadaan-keadaan yang berubah, yaitu menafsirkan hak yang lebih baik, melembagakan secara lebih sesuai dan mendesak isinya secara lebih radikal.

Dalam hal ketidaksetujuan rakyat terhadap pengesahan RUU Pornografi, pembangkangan sipil jangan sampai mengambil ruang-ruang sempit anarkisme, namun hendaknya memanfaatkan jalur-jalur konstitusional. Masyarakat bisa mengajukan judicial review dalam bentuk pengajuan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Disini publik menyerahkan kepada pihak ketiga yang berwujud lembaga negara yang berwenang untuk menguji sebuah undang-undang.

Adapun wacana otonomi khusus (otsus) belum menjadi sebuah kebutuhan yang mendesak karena selain poin budaya sudah diakomodir oleh undang-undang dan pemerintah daerah (pemda) bisa menjabarkan ke dalam bentuk peraturan daerah (perda) sesuai dengan karakteristik dan kearifan lokal yang dimiliki daerah-daerah yang merasa terancam akan budayanya. Lagipula, wacana otonomi khusus (otsus) ini bisa menjadi “latah wacana” bagi daerah-daerah lain yang mungkin saja berujung pada semangat disintegrasi.

Kita semua sepakat untuk memerangi pornografi. Namun, disini yang terpenting bukanlah tataran spiritnya, namun bagaimana proses yang mencerminkan rasa keadilan antar sesama warga negara. Sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam negara demokrasi, rakyat diharapkan berpartisipasi aktif untuk membangun ruang - ruang dialogis dalam bingkai keberagaman. Tanpa itu semua, setiap peraturan hanya akan menjadi otoritas murni elit politik karena melihat realitas ketiadaan bargaining position rakyat untuk mempengaruhi setiap kebijakan.


Adi Surya P

Ketua DPC GMNI Kab. Sumedang 2007-2009

Bidang Hukum dan HAM DPD KNPI Sumedang




0 komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar Anda Di Sini :