Posisis Strategis Buruh Dalam Hubungan Industrial

Posisis Strategis Buruh Dalam Hubungan Industrial

Aksi protes buruh yang terjadi di berbagai kota di tanah air menyelipkan pesan bahwa sampai saat ini kondisi kesejahteraan buruh masih jauh panggang dari api.Beberapa waktu belakangan aksi buruh marak untuk menuntut kenaikan upah minimum yang layak sesuai dengan tingkat kebutuhan hidup. Ada beberapa persoalan pokok seperti penolakan SKB empat menteri yang bertendensi lepas tangan negara sebagai pelindung kesejahteraan dan penentuan Upah Minimum Kota/Provinsi untuk tahun 2009.Tarik menarik kepentingan dalam beberapa persoalan mendasar membuat pengusaha, buruh dan pemerintah selalu terjebak dalam konflik yang berkepanjangan.

Gelombang aksi protes buruh tidak terlepas dari peran serikat pekerja. Seiring dengan reformasi, nafas demokratisasi di tingkatan buruh ditindaklanjuti dengan kebebasan untuk mendirikan serikat-serikat buruh.Sesuai pasal 5 Undang - Undang Nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh terdapat kebebasan para buruh untuk membentuk serikat kerja di tiap-tiap unit usaha dengan dukungan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang buruh. Kebebasan dalam membentuk serikat kerja ini betul-betul dimanfaatkan oleh buruh untuk mendeklarasikan serikat kerja sesuai warna dan kepentingan politiknya. Paling tidak kurang dari 20 (dua puluh) serikat kerja yang tampil mewakili aspirasi buruh,baik yang beririkan afiliasi agama,sosial demokrasi sampai yang pragmatis (Uwiyono, 2001).

Jika kita membedah kepentingan dari masing-masing pihak,akan terlihat warna kepentingan yang saling berkaitan.Pihak pengusaha dengan orientasi penumpukan keuntungan senantiasa memperlakukan buruh sebagai mesin dan terlihat kurang berpihak pada kesejahteraan pekerja. Buruh atau karyawan akan selalu dibimbing oleh nalar kewajiban perusahaan untuk memberi upah dan imbalan kerja yang layak. Sementara pemerintah sebagai regulator,berkepentingan menjaga kondisi pertumbuhan ekonomi makro melalui investasi korporasi.Namun,yang seringkali terjadi adalah kepentingan perusahaan dan pemerintah berada di atas kepentingan buruh.Semestinya, buruh dan pengusaha mencerminkan hubungan simbiosis mutualisme dan menghilangkan logika eksploitasi.Tentunya hal ini tidak akan terjadi jika hubungan industrial antara kedua belah pihak berjalan harmonis.

Secara sederhana,Suwarto (2000) menyimpulkan bahwa hubungan industrial dapat diartikan sebagai sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku proses produksi barang dan/atau jasa.Pihak-pihak yang terkait di dalam hubungan ini terutama adalah pekerja, pengusaha, dan pemerintah.Dalam membangun hubungan industrial yang harmonis,masing-masing pihak harus mampu menangkap dan saling empati terhadap masing-masing kepentingan.Namun,seringkali posisi buruh sebagai pencari pekerjaan berada dalam posisi yang inferior dihadapan pemilik perusahaan.Kebijakan menyangkut kesejahteraan buruh ditetapkan secara sepihak sesuai dengan kepentingan perusahaan tanpa mengkomunikasikannya dengan perwakilan buruh. Hal ini dalam jangka panjang dapat menyebabkan terjadinya perselisihan hubungan indusutrial.

Untuk mendesain posisi buruh yang memiliki daya tawar (bargaining position) yang tinggi di mata perusahaan, diperlukan kerjasama dari banyak pihak.Pertama,buruh harus memiliki serikat kerja/buruh yang betul-betul membawa aspirasi buruh.Serikat tersebut hendaknya berasal dari buruh sendiri dan tidak berasal dari perusahaan. Anggota serikat buruh hendaknya memiliki kapasitas sumber daya manusia yang paham akan hubungan industrial. Sehingga serikat buruh tersebut tidak dapat dipermainkan dan diintimidasi oleh perusahaan. Serikat buruh juga sebaiknya melakukan pendidikan,penyadaran dan peningkatan kapasitas bagi buruh.

Kedua,menggugat peran negara sebagai regulator untuk menghasilkan produk-produk aturan yang mampu menjembatani masing-masing kepentingan.Selama ini kebijakan pemerintah turut memicu kurang harmonisnya hubungan industrial buruh-perusahaan.Negara harus netral dalam perselisihan hubungan industrial dan tidak terjebak dalam salah satu kepentingan saja. Selanjutnya pihak perusahaan harus turut mendukung melalui komunikasi intensif dengan pihak buruh. Sejatinya buruh tidak akan dinakatirikan jika posisi buruh berada pada posisi yang strategis di hadapan perusahaan dan pemerintah.

Adi Surya

Mahasiswa Ilmu Kesejahteraan Sosial

Fisip Unpad.

Ketua GMNI

1 komentar:

A4 Skyhawk mengatakan...

Entah buruhnya yang bego ato buruhnya yang malas..

Yang pasti, buruh sungguh tidak nyata dalam memaknai nilai strategis yang bung maksud..

Salam!

Posting Komentar

Beri Komentar Anda Di Sini :