Kontroversi Iklan Politik PKS

Kontroversi Iklan Politik PKS

Upaya merebut simpati publik menuju pemilu 2009 semaik gencar dilakuan oleh kontestan politik. Salah satunya menyangkut pro dan kontra tentang iklan PKS yang dianggap tidak etis dengan menghadirkan tokoh-tokoh yang memiliki basis massa dari kelompok tertentu, juga perihal kontroversi mantan Presiden Soeharto sebagai pahlawan. Manuver PKS ini kemudian menggelinding menjadi wacana hangat di ruang publik. Pencantuman tokoh-tokoh seperti Soekarno, KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asyari dalam iklan tersebut memicu protes dari kalangan NU dan Muhammadiyah. Dasar protes tersebut menyangkut klaim figur yang selama ini menjadi identitas kelompok politik. Begitu juga dengan memunculkan Soeharto sebagai tokoh pahlawan yang dianggap sebagian pihak sebagai ketidakkonsistenan PKS menjaga amanat reformasi.

Manuver-manuver yang dilakukan oleh aktor politik tidak bisa kita lihat secara parsial. Tindakan politik dibimbing oleh adanya tujuan, yakni bagaimana partai bisa memenangkan tiket menuju kekuasaan. Jadi dalam membaca iklan PKS, tidak terlepas dari agenda pemenangan pemilu.Kontroversi pertama menyangkut tentang tokoh-tokoh bangsa yang memicu polemik. Sebenarnya sah-sah saja PKS memunculkan tokoh bangsa dalam iklan politiknya. Sebagai tokoh bangsa, Soekarno, KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asyari walaupun memiliki akar sejarah dengan kekuatan politik tertentu, namun tidak menghalangi masyarakat untuk menjadikannya sebagai milik semua pihak.

Pemunculan tokoh bangsa ini dimaknai sebagai perluasan pasar pemilih PKS. Dalam marketing politik, pembagian jenis-jenis pemilih dapat kita klasifikasi menjadi internal dan eksternal. Pemilih internal lebih dikenal sebagai konstituen yakni kelompok masyarakat yang merasa diwakili oleh suatau ideologi tertentu yang kemudian termanifestasikan dalam institusi politik seperti partai politik. Sedangkan pemilih eksternal terbagi atas konstituen partai lain dan pemilih non partisan yang ideologi dan tujuan politiknya tidak dikaitkan kepada suatu partai dan juga konstituen partai lain. PKS dikenal memiliki pemilih konservatif yang tidak mudah berubah haluan. Oleh sebab itu, untuk mencapai tujuan politiknya, pemilih eksternal kini menjadi sasaran. Upaya perluasan pasar PKS ini mulai terbaca ketika partai dakwah ini memunculkan wacana pergeseran platform politik ke arah nasionalis. Begitu pula saat PKS berkoalisi dengan PDS dalam pilkada di Papua. Tampaknya PKS mencoba mendekonstruksi ekslusivitas menjadi partai terbuka bagi semua golongan. Ada sebuah kesadaran jika PKS hanya berebut di pemilih Islam tradisional, maka PKS hanya akan berebut dengan PKB,PPP dan PBB. Dengan konstituen politik yang bisa dikatakan setia, tidaklah terlalu berpengaruh ketika partai ini melakukan manuver yang dianggap berlawanan dengan citra PKS.

Begitu pula dengan pemunculan tokoh yang mewakili kaum-kaum nasionalis, NU dan Muhammadiyah tidak lebih sebagai upaya merebut konstituen pihak lawan. Aksi protes NU dan Muhammadiyah juga tidak lebih dari kekuatiran dan kegeraman akan berkurangnya pemilih pada pemilu 2009. Kontroversi kedua menyangkut Soeharto. Walaupun gelar pahlawan hanya bisa diberi oleh negara, momentuh hari pahlawan dengan kemunculan Soeharto memberi benang merah bahwa PKS memiliki dua maksud. Pertama, merebut simpati keluarga cendana sebagai bentuk dukungan politik. Kedua, PKS sengaja agar iklan ini menjadi kontroversi yang terus bergulir sehingga menguntungkan partai.PKS menangkap ada kerinduan masyarakat arus bawah terhadap sosok Soeharto ditengah badai ketidakpastian kondisi politik dan ekonomi. Pembicaraan tentang iklan PKS tersebut tampak sedikit berhasil membuat publik membicarakannya.Padahal dilihat dari jangka waktu kemunculan iklan tersebut hanya selama tiga hari.

Terlepas dari kontroversi yang ada, kita sebaiknya belajar dan menguji efektivitas iklan tersebut dalam pendulangan suara sebuah partai dalam kampanye. Dalam marketing politik, kampanye diartikan sebagai ajang para kontestan untuk memasarkan produk-produk politik yang ditawarkan untuk memengaruhi publik agar membeli produk tersebut. Jika kita analogikan dalam ilmu marketing , produsen adalah partai politik, konsumen adalah rakyat dan pasar adalah masa kampanye. Logika ideal pasar adalah dimana produsen dan konsumen sama-sama memiliki hubungan simbiosis mutualisme. Dalam artian, produk politik ( isu atau program ) harus memberikan kepuasan pada konsumen. Dalam hal ini komunikasi politik berbentuk iklan harus dapat menyentuh kepentingan publik.

Menurut Lazarfefeld et al ( dalam Brader,2006) semua jenis propaganda pada dasarnya adalah permainan emosi publik. Baden (dalam Brader,2006) menambahkan bahwa iklan politik pada intinya lebih ditujukan untuk menggugah aspek emosional dibanding intelektual. Stimulus emosi dalam iklan politik pada umumnya terbagi dua,yaitu rasa takut dan harap. Rasa takut akan mendorong seseorang memilih sosok pemimpin yang mendatangkan stabilitas, sedangkan rasa harap akan menolong seseorang memilih sosok pemimpin atau partai yang mendatangkan perubahan. Pemunculan tokoh bangsa pada iklan PKS dibaca sebagai pemunculan harapan dan kerinduan akan sosok yang kuat dalam memerintah bangsa ini. Kebesaran sosok Soekarno sebagai pemimpin, keteladanan KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asyari dan stabilitas pada era Soeharto kemudian menjadi simbol untuk menggambarkan harapan dan kerinduan publik.

Namun, tidak selamanya kekuatan iklan selalu berkorelasi dengan tingkat keterpilihan. Jika tidak ditopang oleh aksi lanjutan, iklan politik PKS tidak akan berdampak signifikan bagi pendulangan suara. Dalam tulisan Muhammad Faisal, seorang analis psikologi politik di sebuah media nasional, mengatakan bahwa iklan politik harus memberi stimulus emosi ketimbang rasionalitas. Hal ini ditunjukkan dengan stagnasi dan penurunan popularitas sejumlah elit yang gagal menangkap faktor emosi sebagai bahan kampanye. Hasil survey Lingkar Survey Indonesia pada Oktober lalu menunjukkan bahwa popularitas Soetrisno Bachrir tetap stagnan pada angka 49 persen. Begitu juga dengan Rizal Malaranggeng dengan slogan “ Generasi baru, harapan baru” yang hanya mengantar popularitas Rizal pada angka 13 persen. Ini berbeda dengan iklan Gerindra yang cukup jitu menjadikan emosi publik dalam iklannya. Dalam iklan tersebut tampak Gerindra mencoba membangkitkan emosi rakyat melalui visualisasi semangat kerja petani dan gambaran akan kebangkitan Indonesia yang kemudian membuat pada September lalu popularitas Gerindra mencapai angka 65 persen.

Iklan PKS jika kita lihat tidak banyak menggambarkan sisi-sisi emosional pemilih. Dengan memunculkan tokoh-tokoh bangsa, rakyat tidak akan mudah berpindah haluan. Iklan politik akan lebih terasa jika ditopang jaringan pada akar rumput. Ditambah pemilih semakin rasional dalam menanggapi iklan politik yang membuat seorang pemimpin atau partai tidak akan menang dengan iklan semata. Iklan PKS sebaiknya tidak perlu direspon secara berkepanjangan. Iklan tersebut bagi penulis tidak lebih seperti iklan-iklan politik lainnya. Justru, kecaman terhadap iklan tersebut akan semakin menguntungkan PKS karena merasa sebagai pihak yang tampak selalu dijadikan musuh. Gaya politik PKS tersebut kiranya bisa dibaca kontestan lain sehingga tidak terjebak dalam alur main yang didesain untuk mengambil keuntungan.

0 komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar Anda Di Sini :