Menggagas Politik Beras Untuk Mandiri

Menggagas Politik Beras Untuk Mandiri

Secara sederhana swasembada beras dapat didefenisikan sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan beras dalam negeri. Dalam sejarahnya, Indonesia pernah mengalami swasembada pada tahun 1984 di era Orde Baru. Sebagai perbandingan, jika tahun 1969 Indonesia hanya mampu memproduksi beras sekitar 12,2 juta ton, pada tahun 1984 bisa mencapai 25,8 juta ton kebutuhan sekitar 160 juta penduduk (saat itu) dan bahkan secara gotong royong petani Indonesia mengumpulkan gabah secara sukarela sebesar 100.000 ton untuk disumbangkan kepada petani dunia lain yang kekurangan pangan. Bisakah kita mengulang masa-masa era keemasan melimpahnya produksi beras ?

Pertanyaan tersebut mengindikasikan bahwa kondisi sekarang jauh dari nostalgia swasembada beras. Impor beras dari Vietnam beberapa tahun belakangan menggambarkan carut marutnya kondisi perberasan kita.Walaupun Menteri Petanian,Anton Apriantono mengklaim Indonesia sebenarnya sudah swasembada beras sejak tahun 2004, kita masih merasakan munculnya kerentanan-kerentanan jika produksi gagal panen ataupun ancaman dari perubahan-perubahan ekonomi dan alam.Artinya, kondisi ketahanan produksi beras kita, masih jauh dari aman.

Ada beberapa persoalan yang masih membelit kemandirian perberasan kita. Saat ini terjadi peralihan lahan pertanian menjadi pusat aktivitas ekonomi,pemukiman dan pembangunan fisik. Ditambah lagi dengan kegagalan panen,wabah hama,, minimnya infrasturuktur dan kondisi alam yang fluktuatif membuat kita rawan mengalami krisis beras.Liberalisasi pangan yang sekarang mulai berefek pada jatuhnya harga gabah petani menambah buram potret politik perberasan. Belum lagi aksi penyeludupan beras ke luar negeri karena harga di luar lebih menjanjikan dibanding harga dalam negeri.

Untuk keluar dari benang kusut permasalahan perberasan, kita perlu langkah-langkah jangka pendek dan jangka panjang. Pertama,menerapkan politik beras untuk menjaga stabilitas makroekonomi.Caranya dengan mengendalikan harga lewat penyeimbangan pasokan dan permintaan. Kedua, pengadaan infrastruktur tanaman pangan seperti pengadaan daerah dan jaringan irigasi,pencetakan lahan tanaman pangan khususnya padi, jagung, gandum, kedelai serta akses jalan ekonomi.Ketiga, membendung laju konversi lahan dan peningkatan produktivitas melalui penelitian dan pengembangan varieas unggul. Keempat, membuat kebijakan-kebijakan yang pro petani, seperti mengalokasikan anggaran buat sektor pangan ataupun subsidi pupuk yang cukup bagi petani. Diharapkan Indonesia bukan hanya bisa memenuhi kebutuhan “perut sendiri” tetapi sudah mampu berkontribusi buat “perut negara lain”.

Adi Surya Purba

Mahasiswa Kesejahteraan Sosial

Fisip Unpad

Aktivis GMNI



.

0 komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar Anda Di Sini :