Politik Kecap Penguasa


              Dahulu, sewaktu kita masih duduk di bangku sekolah dasar (SD), memperoleh nilai merah pada saat pembagian raport adalah hal yang memalukan. Nilai merah identik dengan penurunan prestasi. Tentunya wanprestasi itu disebabkan manajemen diri sendiri. Meskipun ada faktor luar yang mempengaruhi,tetap saja kualitas diri diuji untuk mencari solusi. Jika anak SD tersebut bertanggung jawab pada diri dan orang tuanya,tentunya seorang presiden harus malu kepada rakyat yang memberikan kepercayaan padanya. Artinya, seorang anak saja bisa malu,apalagi seorang negarawan seperti presiden ?

            Menjelang 100 hari pemerintahan kabinet jilid II, publik mulai tidak puas. Nurani publik seakan terkoyak dengan terungkapnya dugaan konspirasi penahanan Bibid dan Chandra, penegakan hukum yang tidak memihak kaum marhaen (kaum tertindas) sampai skandal bank century. Wajar nurani publik terusik, karena pemimpin yang mayoritas didukung oleh rakyat,tidak mampu memulihkan kepercayaan kita semua. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono meletakkan 13 program kerja yang meliputi melanjutkan program pendidikan nasional, kesehatan masyarakat, program penuntasan kemiskinan, menciptakan lebih banyak lagi lapangan kerja bagi rakyat Indonesia,melanjutkan program pembangunan infrastruktur perekonomian Indonesia,meningkatkan ketahanan pangan dan swasembada beras, gula, jagung, dsb,menciptakan ketahanan energi dalam menghadapi krisis energi dunia; menciptakan good government dan good corporate governance, melanjutkan proses demokratisasi, melanjutkan pelaksanaan penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, pengembangan teknologi, perbaikan lingkungan hidup dan pengembangan budaya bangsa.

            Semua program bagus tersebut akan jadi pepesan kosong jika tanpa bukti konkrit. Nyatanya,publik merasa tidak ada sebuah prestasi yang layak ditonjolkan. Seorang pakar transisi kepemimpinan, Michael Watkins mengatakan hanya butuh 90 hari bagi pemimpin untuk beradaptasi dengan situasi transisi. Padahal pemerintahan ini bukan lagi transisi tetapi melanjutkan. Jadi sebenarnya, tidak butuh 100 hari untuk membuktikan kinerja kabinet. Namun,penilaian raport presiden juga kita tempatkan dalam porsi yang proporsional. Dalam teori manajemen,evaluasi diartikan identifikasi keberhasilan dan/atau kegagalan suatau program kerja atau kegiatan. Evaluasi terbagi menjadi evaluasi proses dan evaluasi hasil. Melihat konteks 100 hari ini,kita berada pada posisi mengevaluasi proses. Tipe evaluasi ini, dilaksanakan pada interval periode tertentu,misalnya per triwulan atau semester selama proses implementasi.

            Dari program kerja tersebut kita masih berjalan beriringan dengan kasus kontroversi UAN, kemiskinan masih tinggi, pengangguran yang terus bertambah, ketidakadilan bagi rakyat kecil, harga bahan pokok yang melambung, penegakan hukum yang belum tegak, mafia peradilan dan maraknya kerusakan lingkungan akibat izin yang semrawut. Dari sini publik bisa menilai,bagaimana memberi nilai raport kabinet. Teringat seorang anak  SD yang malu mendapat nilai merah,tentunya dia akan berupaya keras untuk memperoleh kepercayaan orang tuanya. Jika tidak, tentunya sekolah juga berhak melakukan pemecatan. Begitu juga dengan presiden,jika masih ada rasa malu,segera perbaiki diri. Bukan dengan cara mengklaim program –program tersebut tanpa dirasakan publik. Jika tidak berbenah, memodifikasi pidato soekarno “jika kata-kata saja tidak mampu menyadarkan jiwa yang keblinger, terpaksa senjata rakyat yang berbicara”.


Adi  Surya Purba

Mahasiswa Ilmu Kesejahteraan Sosial

Fisip Unpad

Aktivis GMNI

0 komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar Anda Di Sini :