Surga Di Balik Tembok Penjara


Ada sebuah paradoks yang sulit kita pahami bersama. Ketika penjara atau Lembaga Pemasyarakatan (LP) kini menawarkan surga kebebasan dibandingkan dunia bebas yang justru kini tidak bebas. Lapas menjadi tempat paling aman untuk melakukan sebuah tindak kejahatan.Begitu juga dengan beberapa privilege yang didapatkan tahanan yang punya uang dan kuasa. Inspeksi mendadak yang dilakukan oleh Satgas Mafia Hukum di Rutan Pondok Bambu menunjukkan hal ini. Terpidana korupsi Arthalita Suryani menempati ruangan yang mirip hotel bintang lima dengan segala fasilitasnya. Nurani publik kembali terkoyak. Bukan hanya di ruang publik rasa ketidakadilan menjadi wacana mainstream,melainkan dibalik tembok penjara pun diskriminasi merajalela. Kejadian ini hanyalah sebuah masalah turunan dari carut marutnya perilaku aparat birokrasi LP. Jangan sampai koruptor tidak takut lagi untuk korupsi, karena penjara kini sudah menjadi surga.

          Peristiwa seperti ini bukan untuk pertama kali terjadi. Kita masih ingat terpidana 20 tahun kasus narkoba Schapelle Corby yang dipergoki sedang menjalani perawatan rambut dan pedicure di salon dan makan bersama saudara perempuannya, Mercedes di restoran Kebab Palace Kuta. Begitu juga Bob Hasan yang ditahan di lembaga pemasyarakatan Nusa Kambangan dikabarkan mendapat fasilitas helikopter untuk bepergian menemui keluarga dan rekan bisnisnya. Setali tiga uang, perlakuan sama juga diberikan kepada Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto. Ruang tahanan putra bungsu mantan Presiden Soeharto itu terdapat AC, televisi, dan fasilitas lainnya. Tak hanya itu, Tommy Soeharto juga bebas berkomunikasi menggunakan telepon seluler. Artinya, kasus seperti ini bukanlah barang baru yang seharusnya bisa dicegah. Lantas dimana masalahnya ?

          Mencari akar masalah dalam masalah sosial memang tidak pernah mudah dilakukan. Karakteristik dari sebuah masalah sosial adalah bersifat multicausal karena berkaitan dengan berbagai subsistem seperti sosial,politik,ekonomi dan budaya yang ada dalam sebuah sistem lingkungan.  Namun,benang kusut bukanlah sesuatu hal yang mustahil untuk diurai. Melihat konteks lokasi berlangsungnya kejadian,ada dua pihak yang berperan besar dalam menghasilkan perilaku positif ataupun negatif,yakni petugas LP dan narapidana. Logika awam akan berpikir tidak mungkin tahanan bisa mendapatkan fasilitas mewah tanpa izin dan sepengetahuan petugas. Oleh karena itu sangat mudah untuk memvonis siapa yang bersalah dalam hal ini.

          Namun, melihat fenomena ini adalah bak puncak gunung es, tentunya kita jangan meletakkanya secara kasuistik karena praktik jual beli fasilitas ini sebenarnya sudah lama terjadi secara sistematis dan melibatkan banyak pihak. Sebenarnya kasus ini membuka kotak hitam praktik-praktik yang terjadi di LP seperti mudahnya transaksi narkoba, pungutan liar, jual beli makanan dalam lapas, perjudian dan bahkan ada cerita petugas lapas menyewakan tempat khusus buat menyalurkan hasrat biologis bagi para napi dan pembesuk. Mental birokrasi kita masih saja beranggapan “masalah adalah uang” sehingga Lembaga Pemasyarakatan dijadikan ajang bisnis yang menggiurkan.

          Ada beberapa penyebab hal ini bisa terjadi. Pertama, adanya mental birokrat yang korup. Lemahnya proses rekruitmen, seleksi serta pengembangan sumberdaya manusia (SDM) yang tidak terprogram dengan baik. Kita lihat banyak birokrasi publik yang diisi oleh tenaga-tenaga yang tidak profesional (the wrong man in the right place). Tidak diterapkannya merit system, tetapi atas dasar rasa like and dislike. Bayangkan sejak  mulai seleksi PNS untuk petugas LP  yang membayar sejumlah uang “pelumas” untuk bisa lolos. Otomatis, secara logika ekonomi, petugas LP akan berusaha mengembalikan uang yang sudah dikeluarkan tersebut. Hal ini terjadi berulang-ulang dan menjadi kebiasaan yang berujung pada mental perilaku yang tidak sehat.Kedua, rendahnya tingkat kesejahteraan petugas Lapas. Dengan fasilitas minim serta jumlah gaji yang berkisar antara Rp 400 ribu sampai Rp 900 ribu per bulan, para petugas ini, mau tak mau harus bersiaga selama 12 jam pada shif malam dan enam jam pada shif siang. Perbandingan antara risiko dan beban kerja para petugas dengan upah yang didapat, dirasa tidak imbang. Politik penggajian dan kesejahteraan pegawai yang kurang adil menyebabkan pegawai kurang mempunyai motivasi kerja sehiingga memicu timbulnya perilaku kolutif dan koruptif (Islamy, 1998).

          Ketiga, masih kaburnya kode etik bagi aparat birokrasi publik (code of conduct), sehingga tidak mampu menciptakan adanya budaya birokrasi yang sehat, seperti kerja keras, keinginan untuk berprestasi kejujuran, rasa tanggung jawab, bersih dan bebas dari KKN, dan sebagainya. Keempat, kurangnya jumlah personel petugas di Lapas. Perbandingan petugas dengan narapida berkisar antara 1 : 100-200. Satu sipir penjara mengawasi ratusan orang yang tentunya tidak akan efektif. Kelima,tidak adanya sistem pengawasan yang kokoh dan kurang adanya ketegasan dalam kepemimpinan. Indikasinya, informasi dalam penjara hanya diketahui oleh segelintir pihak. Bahkan Menteri Hukum dan HAM mengaku baru tahu ada “hotel bintang lima” dalam lapas. Ini menunjukkan sistem pengawasan sangat buruk.

          Keenam, kondisi lapas yang penuh sesak (over capacity). Jumlah penghuni penjara pada  tahun 2006 sebanyak 112.744 orang dan sementara kapasitas seharusnya hanya 76.550 orang, berlebih 112.744 orang. Pada Tahun 2007, jumlah penghuni lapas sekitar 127.238 orang dan kapasitasnya 86.550 orang atau kelebihan kapasitas 40.688 orang. Sedangkan tahun 2008 tercatat jumlah penghuni penjara mencapai 130.075 orang, berlebih 41.476 orang dari kapasitas yang seharunya yakni 88.599 orang. Ditjen Pemasyarakatan mencatat jumlah narapidana dan tahanan yang menghuni lapas atau rumah tahanan (rutan) pada tahun 2009 mencapai 132.372 orang, sedangkan kapasitas idealnya sebanyak 90.853 orang.
Jumlah total penghuni lapas atau rutan terdiri dari 55.471 tahanan, 76.901 narapidana, 2.175 anak tahanan, 3.364 anak pidana dan 152 anak negara. Kondisi yang tidak manusiawi ini tentunya merangsang narapidana yang memiliki uang untuk mendapatkan kenyamanan. Kondisi lapas memang harusnya nyaman dan manusiawi dikarenakan penjara atau lapas bukan tempat penyiksaan melainkan tempat pembinaan.

          Sebagai solusi harus ada reformasi birokrasi dalam tubuh lembaga pemasyarakatan.Kita membaginya menjadi aspek restoration (perbaikan) ,provision (penyediaan sumber-sumber daya) dan prevention (pencegahan). Aspek restoration harus menyentuh penghilangan fator penyebab rusaknya fungsi dan membangun kembali pola-pola interaksi. Pengalaman di Amerika, dalam upaya mengatasi sejumlah masalah dalam sistem pemenjaraan, mereka membentuk suatu badan yang dikenal dengan Prison Ombudsman (Ombudsman Penjara). Lembaga ini berfungsi sebagai mediator antara sejumlah stakeholder, seperti narapidana, petugas, penjara (di Indonesia disebut LP), dan juga otoritas yang ada di atas penjara (di Indonesia adalah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan). Multistakeholder ini bisa merekomendasikan menghilangkan semua fasilitas yang diperoleh tahanan dan menempatkanya secara adil bersama tahanan yang lain. Disamping itu, menindak tegas siapa yang bertanggungjawab dalam pratik-praktik kejahatan dalam Lapas dan memutus rantai kejahatan yang ada.

Aspek provision harus bersifat pengembangan dengan melakukan pembinaan, pemberdayaan birokrasi melalui redefinisi peran dan tanggung jawabnya, peningkatan profesionalitas dengan mengoptimalkan sarana-sarana Diklat dan Litbang di bidang kepegawaian, pengembangan institusi (institutional building) yang bisa dipakai untuk memacu aparat birokrasi untuk mengejar keunggulan komparatif dan kompetitif sekaligus juga untuk memperkuat moral mereka, dan pelatihan kepekaan (sensitivity training) agar mereka responsif terhadap kepentingan publik (Islamy,1998).Selain itu, kenaikan gaji bisa dilakukan dengan disertai dengan remunerasi yang akan memacu petugas lapas untuk bekerja dengan baik. Artinya, jika kinerja bagus sama dengan gaji bertambah dan sebaliknya.

          Sedangkan aspek pencegahan bisa dilakukan dengan multistakeholder, yang tidak hanya melibatkan Kementerian Hukum dan HAM dengan Dirjen Pemasyarakatannya.Lebih dari itu,upaya penyelesaian harus mengikutsertakan stakeholder lain seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), Kepolisian, maupun organisasi masyarakat sipil (LSM) dan mungkin juga kalangan swasta seperti media massa. Di Lapas,pintu masuk kejahatan ada di tangan petugas LP. Untuk itu mekanisme pengawasan perlu dibuat transparan untuk diakses publik. Peran media massa sangat sentral dalam hal ini untuk diberi kemudahan meliput bahkan menginvestigasi dalam Lapas. Sebagai salah satu bagian dari masyarakat sipil, media tidak terjebak pada struktur birokrasi pemerintah dan lebih bebas untuk mengungkap fakta.

          Pekerjaan menghilangkan mental birokrasi lapas yang buruk butuh konsistensi. Nilai-nilai negatif  yang menjadi panduan bertindak harus dikikis perlahan disertai dengan teladan, kepemimpinan yang tegas dan pemberian motivasi bekerja dengan pembentukan sistem baru dalam lapas adalah harga mati. Jika tidak, optimalisasi efek jera dan pembinaan yang menjadi esensi Lapas menjadi gagal ketika ujung proses hukuman memberikan keistimewaan dan kemewahan.

Adi Surya

Ketua DPC GMNI Sumedang 2007-2009

Anggota DPD KNPI  Sumedang Bidang Hukum dan HAM

Mahasiswa Kesos, Fisip Unpad

0 komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar Anda Di Sini :