REPUBLIK MAKELAR


Sebaik apapun produk-produk hukum jika orang-orang yang menjalankan tidak punya komitmen untuk menjalankannya,hasilnya akan nihil.Begitu pula jika aparat penegak hukum yang memiliki integritas tinggi tidak didukung oleh produk hukum yang berkualitas maka jangan berharap keadilan ada.Pasca reformasi,produk hukum sudah banyak dikeluarkan untuk mengatur pelaksanaan penegakan hukum.Namun,aturan tidak diimbangi oleh kinerja aparat untuk menjalankannya.Setidaknya potret hitam ini memuncak setelah pemutaran rekaman adanya dugaan rekayasa dalam kasus yang menimpa dua pimpinan non-aktif KPK. Polisi dan jaksa dianggap sedang memperdagangkan seragam yang artinya juga memperjualbelikan keadilan.
Survei yang dilakukan Transparency International Indonesia (TII), tahun 2006 menunjukkan aparat kepolisian, militer dan peradilan menempati urutan teratas dengan rekor masing-masing 70,55 dan 53 persen. TII melakukan survei terhadap 1.760 responden yang tersebar di 32 kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Sebanyak 49 persen responden setuju dengan praktik suap dalam pelayanan publik. Yang setuju punya alasan sendiri—suap suatu yang lumrah ibarat memberi zakat, supaya urusan lancar dan lantaran gaji pegawai negeri kecil.Sedangkan responden yang tidak setuju (50%), juga punya alasan: merusak sistem dan menimbulkan biaya tinggi. Temuan lain TII, para responden (32%) mengandalkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memerangi suap dan korupsi, menempati urutan pertama (32%). Andalan kedua, asosiasi bisnis (24%), andalan ketiga dan keempat, pers (16%) dan LSM (12%). Sedangkan polisi dan tokoh agama masing-masing memperoleh kepercayaan 6% dan 3%.
Republik ini memang pantas disebut dengan republik makelar. Bagaimana tidak,dari tingkat terkecil,sampai tingkat yang paling atas dipenuhi jasa-jasa orang-orang baik itu aparat maupun masyarakat sipil yang katanya bisa mempermudah atau mengurus secara cepat melalui jalur non formal (jalur belakang).Mulai dari mengurus KTP,SIM,Surat Izin Usaha,perkara di pengadilan sampai pasal undang-undang bisa diatur sesuai dengan kepentingan.Hari ini yang paling mendapat sorotan adalah makelar kasus yang tumbuh dan berkembang di institusi penegakan hukum seperti kepolisian,kejaksaan dan peradilan.Publik jadi bertanya-tanya,bagaimana mungkin penegak hukum bicara kebenaran sedangkan diri sendiri memelihara kejahatan.
Secara awam,kita bisa mengambil kesimpulan sementara bahwa makelar kasus bisa berkembang karena adanya mutual benefit atau simbiosis mutualisme antara penegak hukum dengan para calo kasus.Artinya,aparat sebenarnya yang memberi celah atau menyediakan lahan hidup dan berkembang para makelar.Logikanya,makelar kasus membutuhkan aparat untuk menjalankan misinya.Jika tidak ada pintu yang dibuka,maka makelar tidak akan berani masuk.Justru,pintu dibuka lebar-lebar bagi para makelar.Seolah-olah mereka adalah kaki tangan aparat yang menawarkan kemudahan dan kecepatan di luar jalur birokrasi yang sengaja dibuat rumit.Dari sini kita bisa melihat penyebabnya adalah adanya celah dari institusi yang harus kita tutup rapat-rapat.
Sebagai jalan keluar,memberantas makelar kasus sama dengan memberantas nalar kejahatan dalam tubuh penegak hukum.Oleh karena itu sebagai langkah preventif,institusi penegak hukum harus mampu memulihkan wibawa dan sikap tegas yang memang dimilikinya.Lembaga penegak hukum harus melakukan pembaruan seperti pola rekruitmen, pendidikan, kode etik perilaku, dan pola jenjang prestasi melalui reward dan punishment.
Salah satu sebab aparat “bermain mata” dengan penegakan hukum adalah mekanisme rekruitmen yang tidak transpararan.Besarnya uang pelicin yang harus dikeluarkan untuk sepasang seragam membuat nalar aparat menjadi pendek sebatas bagaimana cara mengembalikan uang membeli seragam tersebut. Logikanya,seragam yang diperoleh dengan jual beli tentu juga mudah diperjualbelikan kembali.Kemudian pendidikan yang diperoleh selama bertugas terkesan hanya formalitas belaka. Padahal,pembentukan watak dan karakter yang berintegritas dimulai dari pendidikan.Untuk mengatur perilaku aparat,memang perlu dibuat kode etik perilaku yang diawasi oleh pengawas yang benar-benar tegas. Aparat yang melanggar tidak pandang bulu harus ditindak.Upaya ini agar selaras dengan pemberian punisment and reward sebagai pemacu aparat untuk menunjukkan motivasi prestasi juga sekaligus menjauhi penyimpangan karena mekanisme hukuman yang juga ketat.
Disamping itu,reformasi birokrasi juga harus diprioritaskan. Birokrasi yang menggunakan nalar “kalau bisa dipersulit,kenapa dipermudah” harus didekonstruksi dengan pola pikir melayani.Diperhatikan pula pentingnya menyediakan layanan masyarakat secara mudah dan cepat.Pelayanan satu pintu yang berlandaskan transparansi dan akuntabilitas bisa meminimalisir peluang makelar untuk beraksi. Meskipun berdiri sebanyak 365 lembaga pengawasan pelayanan publik, 500 pengaduan masyarakat dalam sebulan masuk Komisi Ombudsman Nasional tentang buruknya pelayanan publik, terutama polisi yang dinilai tidak mengalami perbaikan yang berarti. Kinerja pelayanan publik polisi, termasuk paling buruk, hanya mencatat 27%.Sungguh sebuah ironi yang membuat kita menggantung nada kecewa.
Sedangkan sebagai langkah penindakan,dibutuhkan kepemimpinan tegas terhadap para makelar kasus baik itu aparat maupun masyarakat sipil.Jika perlu,reposisi personal mutlak dilakukan untuk menyelamatkan wibawa insitusi. Presiden sebagai kepala pemerintahan bisa menjadi garda terdepan untuk memberi tindakan tegas agar aparat tidak “bermain mata” dengan makelar.Tindakan tegas ini harus disosialisasikan ke tingkat paling bawah dari institusi di daerah di bawah satu tim khusus reformasi institusi.Tim ini terdiri dari orang-orang yang kredibel dan profesional dalam menjalankan tugas agar tidak kemudian tercemar oleh iming-iming uang.
Membenahi tubuh yang kotor tidak selalu butuh tangan lain.Artinya, kita harus berani menempatkan penegak hukum sebagai tubuh yang dewasa,yang harus dipaksa melakukan perubahan dari dalam diri sendiri. Artinya,menekankan pada membentuk lembaga pengawas baru di setiap institusi harus kita rubah.Karena perubahan yang paling efektif dimulai dari adanya kesadaran dari dalam.Kesadaran bahwa seragam adalah mulia.Selain itu,perlu dibentuk dan diperbaiki sosialisasi pos-pos pengaduan tempat masyarakat berpartisipasi dalam melaporkan makelar kasus.Pelibatan masyarakat dalam melaporkan sangat penting karena selama ini terungkapnya makelar kasus sangat sulit untuk dibuktikan oleh penegak hukum.Kita sama-sama berharap,masa depan penegakan hukum di Indonesia tidak disetir dari kepala para makelar.Penegakan hukum harus bisa ditegakkan oleh penegak hukum itu sendiri.Walaupun langit runtuh,hukum harus ditegakkan.
Adi Surya
Ketua DPC GMNI Sumedang
Mahasiswa Kesejahteraan Sosial Fisip Unpad

KONTROVERSI PIDATO PRESIDEN SBY


detikcom, Senin (23/11/2009)
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Salam sejahtera bagi kita semua

Saudara-saudara se-bangsa dan se-tanah air yang saya cintai dan saya banggakan

Dengan terlebih dahulu memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT Tuhan Yang Maha Kuasa serta dengan memohon ridho-Nya pada malam hari ini saya ingin menyampaikan penjelasan kepada seluruh rakyat Indonesia menyangkut dua isu penting yang berkaitan dengan penegakan hukum dan keadilan di negeri kita. Isu penting yang saya maksud adalah pertama, kasus Bank Century dan kedua kasus Sdr. Chandra M. Hamzah dan Sdr. Bibit Samad Riyanto yang keduanya telah menjadi perhatian masyarakat yang amat mengemuka. Kedua isu ini juga telah mendominasi pemberitaan di hampir semua media massa disertai dengan percakapan publik yang menyertainya, bahkan disertai pula dengan berbagai desas-desus atau rumor yang tidak mengandungi kebenaran. Oleh karena itu, selaku Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, malam ini saya pandang perlu untuk menjelaskan duduk persoalan serta sikap pandangan dan solusi yang perlu ditempuh terhadap kedua permasalahan tersebut.



Dalam waktu 2 minggu terakhir ini, saya sengaja menahan diri untuk tidak mengeluarkan pernyataan menyangkut Bank Century dan kasus Sdr. Chandra M. Hamzah dan Sdr. Bibit Samad Riyanto, dengan alasan:

Kesatu, menyangkut kasus Bank Century selama ini saya masih menunggu hasil Pemeriksaan Investigasi yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang dilakukan atas permintaan DPR RI. Saya sungguh menghormati proses itu dan saya tidak ingin mengeluarkan pernyataan yang mendahului, apalagi ditafsirkan sebagai upaya mempengaruhi proses audit investigatif yang dilakukan BPK. Tadi sore saya telah bertemu dengan Ketua dan anggota BPK yang menyampaikan laporan hasil pemeriksaan investigasi atas Bank Century. Dengan demikian, malam ini tepat bagi saya untuk menyampaikan sikap dan pandangan saya berkaitan dengan kasus Bank Century tersebut.
Kedua, menyangkut kasus hukum Sdr Chandra M Hamzah dan Sdr Bibit Samad Riyanto malam ini saya pandang tepat pula untuk menyampaikan sikap pandangan dan solusi paling tepat terhadap permasalahan itu. Mengapa? Saudara-saudara masih ingat pada tanggal 2 November 2009 yang lalu dengan mencermati dinamika di lingkungan masyarakat luas yang antara lain berupa silang pendapat kecurigaan dan ketidak-percayaan atas proses penegakan hukum yang dilakukan oleh Polri dan Kejaksaan Agung, saya telah membentuk sebuah Tim Independen, yaitu Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum Sdr. Chandra M.Hamzah dan Sdr. Bibit Samad Riyanto. Tim Independen ini yang sering disebut Tim-8 bekerja selama 2 minggu, siang dan malam, dan akhirnya pada tanggal 17 November 2009 yang lalu secara resmi telah menyerahkan hasil kerja dan rekomendasinya kepada saya. Setelah selama 5 hari ini jajaran pemerintah, termasuk pihak Polri dan Kejaksaan Agung saya instruksikan untuk merespons hasil kerja dan rekomendasi Tim-8, maka malam hari ini secara resmi saya akan menyampaikan kepada rakyat Indonesia, apa yang sepatutnya kita laksanakan ke depan.

Saudara-saudara,
Sebelum saya masuk ke dalam inti permasalahan tentang bagaimana sebaiknya kasus Bank Century dan kasus Sdr. Chandra M. Hamzah dan Sdr. Bibit Samad Riyanto ini kita selesaikan dengan baik, saya ingin menyampaikan kepada segenap masyarakat luas bahwa cara-cara penyelesaian terhadap kasus hukum yang memiliki perhatian publik luas seperti ini mestilah tetap berada dalam koridor konstitusi hukum dan perundang-undangan yang berlaku seraya dengan sungguh-sungguh memperhatikan dan mendengarkan aspirasi dan pendapat umum. Solusi dan opsi yang kita tempuh juga harus bebas dari kepentingan pribadi, kelompok maupun golongan, tetap jernih dan rasional, serta bebas dari tekanan pihak manapun yang tidak semestinya. Dan di atas segalanya kita harus tetap bertumpu kepada dan menegakkan kebenaran dan keadilan.
Rakyat Indonesia yang saya cintai,
Sekarang saya akan menjelaskan yang pertama dulu, yaitu sikap dan pandangan saya tentang kasus Bank Century.Yang pertama-tama harus kita pahami adalah pada saat dilakukan tindakan terhadap Bank Century tersebut, situasi perekonomian global dan nasional berada dalam keadaan krisis. Hampir di seluruh dunia terjadi goncangan keuangan dan tidak sedikit pula krisis di dunia perbankan. Banyak negara melakukan tindakan untuk menyelamatkan perbankan dan perekonomian mereka.
Pada bulan November 2008 yang lalu, apa yang dilakukan oleh pemerintah dan BI, mestilah dikaitkan dengan situasi dan konteks demikian, sehingga tidak dianggap keadaannya normal-normal saja. Kita punya pengalaman sangat pahit dan buruk 10-11 tahun lalu, ketika Indonesia mengalami rangkaian krisis yang menghancurkan perekonomian kita. Dengan demikian kebijakan yang ditempuh untuk melakukan tindakan terhadap Bank Century yang di antaranya adalah tindakan hukum terhadap para pengelola Bank Century serta penyaluran dana penyertaan modal sementara, sesungguhnya bertujuan untuk mencegah terjadinya krisis perbankan bahkan perekonomian. Meskipun ketika berlangsungnya proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki kewenangan dan tugas untuk itu, saya sedang mengemban tugas di luar negeri, tetapi saya memahami situasi yang ada di tanah air beserta rangkaian upaya untuk menyelamatkan perbankan dan perekonomian kita.

Tetapi kini yang menjadi perhatian DPR RI dan berbagai kalangan masyarakat adalah
Pertama, sejauh mana proses pengambilan keputusan dan tindakan penyaluran dana penyertaan modal sementara kepada Bank Century yang berjumlah Rp 6,7 triliun itu dinilai tepat atau 'proper'?
Kedua, apakah ada pihak-pihak tertentu dengan kepentingannya sendiri dan bukan kepentingan negara meminta atau mengarahkan pihak pengambil keputusan dalam hal ini, Menkeu dengan jajarannya dan BI, yang memang keduanya memiliki kewenangan untuk itu?
Ketiga, apakah penyertaan modal sementara yang berjumlah Rp 6,7 triliun itu ada yang 'bocor' atau tidak sesuai dengan peruntukannya? Bahkan berkembang pula desas-desus, rumor, atau tegasnya fitnah yang mengatakan bahwa sebagian dana itu dirancang untuk dialirkan ke dana kampanye Partai Demokrat dan Capres SBY, fitnah yang sungguh kejam dan sangat menyakitkan.
Keempat, sejauh mana para pengelola Bank Century yang melakukan tindakan pidana diproses secara hukum, termasuk bagaimana akhirnya dana penyertaan modal sementara itu dapat kembali ke negara?
Saudara-saudara
Saya sungguh memahami munculnya sejumlah pertanyaan kritis itu yang tentunya memerlukan penjelasan dan klarifikasi dari pihak-pihak terkait. Saya pun memiliki kepedulian dan rasa ingin tahu sebagaimana yang dialami oleh masyarakat kita. Saya juga ingin keempat pertanyaan kritis menyangkut kasus Bank Century yang saya sebutkan tadi juga mendapatkan jawaban yang tegas dan benar.
Dengan telah saya terimanya hasil pemeriksaan investigasi BPK atas kasus Bank Century sore tadi, pemerintah akan segera mempelajari dan pada saatnya nanti saya akan meminta Sdri. Menteri Keuangan dengan jajarannya bersama-sama dengan pihak BI untuk memberikan penjelasan dan klarifikasinya. Saya sungguh ingin keterbukaan dan akuntabilitas dapat kita tegakkan bersama. Saya juga ingin semua desas-desus, kebohongan dan fitnah dapat disingkirkan dengan cara menghadirkan fakta dan kebenaran yang sesungguhnya.

Terhadap pemikiran dan usulan sejumlah anggota DPR RI untuk menggunakan Hak Angket terhadap Bank Century, saya menyambut dengan baik agar perkara ini mendapatkan kejelasan serta sekaligus untuk mengetahui apakah ada tindakan-tindakan yang keliru dan tidak tepat. Bersamaan dengan penggunaan Hak Angket oleh DPR RI tersebut, saya juga akan melakukan sejumlah langkah tindakan internal pemerintah, berangkat dari hasil dan temuan Pemeriksaan Investigasi BPK tersebut.
Dan yang tidak kalah pentingnya adalah percepatan proses hukum bagi para pengelola Bank Century dan segera dapat dikembalikannya dana penyertaan modal yang berjumlah Rp 6,7 triliun itu kepada negara. Saya telah menginstruksikan Jaksa Agung dan Kapolri untuk melaksanakan tugas penting ini.
Saudara-saudara,
Pada bagian kedua ini saya akan menyampaikan sikap, pendapat dan langkah tindakan apa yang perlu dilakukan menyangkut kasus hukum Sdr. Chandra M. Hamzah dan Sdr. Bibit Samad Riyanto.Sejak awal, proses hukum terhadap 2 pimpinan KPK non-aktif ini telah menimbulkan kontroversi, pro dan kontra di kalangan masyarakat. Kecurigaan terhadap kemungkinan direkayasanya kasus ini oleh para penegak hukum juga tinggi. Dua hari yang lalu saya juga mempelajari hasil survey oleh Lembaga Survey yang kredibel yang baru saja dilakukan, yang menunjukkan bahwa masyarakat kita memang benar-benar terbelah.
Di samping saya telah mengkaji laporan dan rekomendasi Tim-8, saya juga melakukan komunikasi dengan 2 pimpinan Lembaga Tinggi Negara di wilayah 'justice system, yaitu Sdr. Ketua Mahkamah Agung dan Sdr. Ketua Mahkamah Konstitusi. Saya juga melakukan komunikasi dengan segenap pimpinan KPK dan tentu saja saya pun telah mengundang Kapolri dan Jaksa Agung untuk mencari solusi terbaik atas kasus ini. Di luar itu, saya juga patut berterima kasih kepada para pakar hukum yang 5 hari terakhir ini, sejak Tim-8 menyampaikan rekomendasinya, juga memberikan sumbangan pemikiran kepada saya.
Dalam kaitan ini, sesungguhnya jika kita ingin mengakhiri silang pendapat mengenai apakah Sdr. Chandra M. Hamzah dan Sdr. Bibit Samad Riyanto salah atau tidak salah, maka forum atau majelis yang tepat adalah pengadilan. Semula saya memiliki pendirian seperti ini. Dengan catatan, proses penyidikan dan penuntutan mendapatkan kepercayaan publik yang kuat. Dan tentu saja proses penyidikan dan penuntutan itu 'fair, objektif dan disertai bukti-bukti yang kuat.

Dalam perkembangannya, justru yang muncul adalah ketidakpercayaan yang besar kepada pihak Polri dan Kejaksaan Agung, sehingga telah masuk ke ranah sosial dan bahkan ranah kehidupan masyarakat yang lebih besar. Oleh karena itu, faktor yang saya pertimbangkan bukan hanya proses penegakan hukum itu sendiri, tapi juga faktor-faktor lain seperti pendapat umum, keutuhan masyarakat kita, azas manfaat, serta kemungkinan berbedanya secara hakiki antara hukum dengan keadilan.Sebelum memilih opsi atau konstruksi penyelesaian kasus ini di luar pertimbangan faktor-faktor non-hukum tadi, saya juga menilai ada sejumlah permasalahan di ketiga Lembaga Penegak Hukum itu, yaitu di Polri, Kejaksaan Agung dan KPK. Permasalahan seperti ini tentu tidak boleh kita biarkan dan harus kita koreksi, kita tertibkan dan kita perbaiki.
Oleh karena itu, solusi dan opsi lain yang lebih baik yang dapat ditempuh adalah pihak kepolisian dan kejaksaan tidak membawa kasus ini ke pengadilan dengan tetap mempertimbangkan azas keadilan, namun perlu segera dilakukan tindakan-tindakan korektif dan perbaikan terhadap ketiga lembaga penting itu, yaitu Polri, Kejaksaan Agung dan KPK.Solusi seperti ini saya nilai lebih banyak manfaatnya dibanding mudharatnya. Tentu saja cara yang ditempuh tetaplah mengacu kepada ketentuan perundang-undangan dan tatanan hukum yang berlaku. Saya tidak boleh dan tidak akan memasuki wilayah ini, karena penghentian penyidikan berada di wilayah Lembaga Penyidik (Polri), penghentian tuntutan merupakan kewenangan Lembaga Penuntut (Kejaksaan), serta pengenyampingan perkara melalui pelaksanaan asas oportunitas merupakan kewenangan Jaksa Agung. Tetapi sesuai dengan kewenangan saya, saya menginstruksikan kepada Kapolri dan Jaksa Agung untuk melakukan penertiban, pembenahan dan perbaikan di institusinya masing-masing berkaitan dengan kasus ini. Demikian pula saya sungguh berharap KPK juga melakukan hal yang sama di institusinya.
Rakyat Indonesia yang saya cintai dan saya banggakan.
Jika pada akhirnya, insya Allah, kasus Sdr. Chandra M. Hamzah dan Sdr. Bibit Samad Riyanto ini dapat kita selesaikan, tugas kita masih belum rampung. Justru kejadian ini membawa hikmah dan juga pelajaran sejarah bahwa reformasi nasional kita memang belum selesai, utamanya reformasi di bidang hukum. Kita semua para pencari keadilan juga merasakannya. Bahkan kalangan internasional yang sering 'fair' dan objektif dalam memberikan penilaian terhadap negeri kita juga menilai bahwa sektor-sektor hukum kita masih memiliki banyak kekurangan dan permasalahan. Sementara itu prestasi Indonesia di bidang demokrasi, peng-hormatan kepada HAM dan kebebasan pers mulai diakui oleh dunia. Demikian juga pembangunan kembali perekonomian pasca krisis 1998 juga dinilai cukup berhasil. Sementara itu, dunia juga menyambut baik peran internasional Indonesia pada tahun-tahun terakhir ini yang dinilai positif dan konstruktif.
Oleh karena itu, sebagaimana yang telah saya sampaikan kepada seluruh rakyat Indonesia bahwa 5 tahun mendatang penegakan hukum dan pemberantasan korupsi tetap menjadi prioritas pemerintah. Bahkan dalam program 100 hari, saya telah menetapkan gerakan Pemberantasan Mafia Hukum sebagai prioritas utama. Kita sungguh serius. Agar masyarakat bisa hidup lebih tentram, agar keadaan menjadi lebih aman dan tertib, agar perekonomian kita terus berkembang, dan agar citra Indonesia di mata dunia bertambah baik, maka reformasi di bidang hukum harus benar-benar sukses dan korupsi harus berhasil kita berantas.

Khusus untuk menyukseskan gerakan Pemberantasan Mafia Hukum, saya sedang mempersiapkan untuk membentuk Satuan Tugas di bawah Unit Kerja Presiden yang selama 2 tahun kedepan akan saya tugasi untuk melakukan upaya Pemberantasan Mafia Hukum. Saya sungguh mengharapkan dukungan dan kerja sama dari semua Lembaga Penegak Hukum, dari LSM dan Media Massa, serta dari masyarakat luas. Laporkan kepada Satgas Pemberantasan Mafia Hukum jika ada yang menjadi korban dari praktik-praktik Mafia Hukum itu, seperti pemerasan, jual-beli kasus, intimidasi dan sejenisnya.

Dalam kaitan ini, saya menyambut baik rekomendasi Tim-8 dan juga suara-suara dari masyarakat luas agar tidak ada kasus-kasus hukum, utamanya pemberantasan korupsi yang dipetieskan di KPK atau juga di Polri dan Kejaksaan Agung. Kalau tidak cukup bukti hentikan, tetapi kalau cukup bukti mesti dilanjutkan. Hal ini untuk menghindari kesan adanya diskriminasi dan tebang pilih dalam pemberantasan korupsi. Apalagi kalau pemeti-esan ini berkaitan dengan praktik-praktik Mafia Hukum tadi.Akhirnya saudara-saudara, marilah kita terus melangkah ke depan dan bekerja lebih gigih lagi untuk menyukseskan pembangunan bangsa/
Kepada jajaran Polri, Kejaksaan Agung, KPK dan Lembaga-Lembaga penegak hukum dan pemberantas korupsi lainnya, teruslah berbenah diri untuk meningkatkan integritas dan kinerjanya. Bangun kerja sama dan sinergi yang lebih baik dan hentikan disharmoni yang tidak semestinya terjadi.
Kepada masyarakat luas di seluruh tanah air marilah kita lebih bersatu lagi dan cegah perpecahan di antara kita. Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.
Semoga Allah SWT Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa membimbing perjalanan bangsa kita ke arah yang benar
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

PENDIDIKAN MULTIKULTURALISME


John Naisbitt dalam judul bukunya Global Paradox (1994) berpandangan dalam era globalisasi telah terjadi kecenderungan paradoksal.Salah satunya dengan derasnya trend ke arah terbentuknya kota buana (global city) akibat dari kemajuan teknologi transformasi dan informatika. Namun sisi lainnya,masyarakat modern semakin merindukan nilai-nilai dan gaya promordial,terutama pada romantisme etnis.Bahkan Naisbitt menyerukan trend ini telah begitu mengeras sehingga menjelma bagaikan virus tribalisme.Ramalam ini perlu kita wapadai dalam konteks sebagai bangsa yang terdiri dari berbagai macam latar belakang etnik,agama,ras, budaya dan bahasa yang menyimpan bahaya laten konflik harizontal.Kerap kali bentrokan dengan nada egoisme kelompok ternyata menyimpan api dalam sekam dalam perjalanan kita sebagai bangsa.

Sebut saja fenomena masyarakat kita yang semakin rapuh terhadap nilai-nilai penghormatan terhadap keberagaman.Bahkan logika yang dibangun lebih ke arah tirani mayoritas terhadap minoritas.Padahal,seperti yang kita baca dalam kitab sejarah,proses membangsa menjadi Indonesia yang merdeka dan berdaulat merupakan hasil jerih payah dan sumbangsih setiap warna beragam yang menjadi satu. Warna merah, putih, hitam, hijau, biru kuning, ungu menjelma dalam bingkai rumah Indonesia dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika.Semua warna berpadu secara harmonis,tidak ada warna yang mencoba mendominasi atau menegaskan klaim kultural,sejarah maupun politik atas warna lainnya.Dari awal,Indonesia tidak dimaksudkan lahir hanya untuk satu golongan,melainkan bagi setiap kepala tanpa membedakan asal usulnya.Dengan arti lain,menjadi Indonesia,hidup berdampingan tanpa saling meniadakan yang lain.

Logika persatuan dalam keberagaman seperti itulah yang akhir-akhir ini mendapat terpaan dan ancaman yang harus diantisipasi. Di satu sisi,multibudaya menjadi sumber perekat keragaman etnis,tetapi secara bersamaan keberagaman ini juga merupakan potensi konflik yang sewaktu-waktu manifest saat semangat primordialisme tidak mampu dikelola dan dikendalikan secara bijaksana. Maraknya konflik yang berbau SARA sekaligus menelanjangi dan membuat kita menggantungkan tanya,kemana arah perjalanan kita sebagai bangsa yang majemuk ?.

Pemaknaan atas realitas masih lemahnya pemahaman kita dalam membina hubungan harmonis antar sesama,membuat pendidikan sebagai alat untuk penamanan nilai-nilai yang diharapkan dapat membentuk perilaku yang diharapkan mencuat sebagai jalan keluar.Wacana pendidikan multikultur yang diharapkan dapat menjembatani hal ini memang layak kita kaji secara kritis.
Calarry Sada dengan mengutip tulisan Sleeter dan Grant (Sada,2004: 85),menjelaskan bahwa pendidikan multikultural memiliki empat makna (model), yakni,(1) pengajaran tentang keragaman budaya sebuah pendekatan asimilasi kultural,(2) pengajaran tentang berbagai pendekatan dalam tata hubungan sosial,(3) pengajaran untuk memajukan pluralisme tanpa membedakan strata sosial dalam masyarakat, dan (4) pengajaran tentang refleksi keragaman untuk meningkatkan pluralisme dan kesamaan.Tujuannya adalah agar setiap orang memberikan penghargaan terhadap keragaman, dan yang memberikan hak-hak sama bagi etnik minoritas, dalam upaya memperkuat persatuan dan kesatuan, identitas nasional dan citra bangsa di mata dunia international.

Pendidikan multikultur ini dalam tataran implementasi memang butuh proses yang melembagakan perilaku dalam diri seseorang.Will Kymlicka (Kymlicka,2000: ix),yang mencoba mendeskripsikan Multicultural Citizenship,maka materi-materi yang seharusnya dihantarkan dalam pendidikan multikulural adalah tentang hak-hak individual dan hak-hak kolektif dari setiap anggota masyarakat,kebebasan individual dan budaya,yakni bahwa setiap individu termasuk dari etnik minoritas memiliki kebebasan untuk berkreasi,berkarya bahkan untuk mengembangkan dan memajukan budayanya, tentang keadilan dan hak-hak minoritas, jaminan minoritas untuk bisa berbicara dan keterwakilan aspirasinya dalam struktur pemerintahan atau legislatif,toleransi dan batas-batasnya.

Tulisan ini tidak bermaksud untuk membahas secara mendetail tentang konsep pendidikan multikultur.Melainkan sebagai stimulus atau rangsangan untuk institusi pendidikan menerapkan dalam kurikulum pembelajaran.Apakah nanti formatnya dalam mata pelajaran khusus,atau diperdalam dalam mata pelajaran kewarganegaraan.Pemahaman berbangsa dalam bingkai keragaman harus kita pandang sebagai sebuah prioritas di tengah arus ancaman semakin kuatnya egoisme kelompok.Indonesia tidak ingin bernasib seperti negara Uni Soviet yang terpecah-pecah menjadi negara-negara kecil.Indonesia ingin mejadi miniatur dunia sebagai negara pelopor multikulturalisme.Semboyan “berbeda-beda tetapi tetap satu jua” akan terus membahana dalam jiwa.Seperti itulah Indonesia yang kita cita-citakan.

BUDAYA ERTUTUR SEBAGAI PERGAULAN SOSIAL


R.Linton dalam bukunya The Cultural Background Of Personality (Harsojo, 1988:92) menyebutkan, kebudayaan adalah konfigurasi tingkah laku yang dipelajari dari hasil tingkah laku, yang unsur pembentukannya didukung dan diteruskan oleh anggota masyarakat tertentu.Dengan demikian kita bisa melihat bahwa kebudayaan adalah hal yang bisa dipelajari.Begitu pula halnya dengan budaya perkenalan atau dalam bahasa Karo disebut ertutur .Sebagai hasil dari pembelajaran dari tingkah laku,budaya perkenalan ini menjadi unik karena tata cara perkenalan dilakukan dengan cara yang tidak konvensional.Jika perkenalan di masyarakat barat (greetings) kerap dimulai dengan menanyakan nama,lain halnya dengan masyarakat Karo.Begitu pula dengan perkenalan dalam masyarakat kita yang biasanya hanya menyentuh lapisan luar dari identitas seseorang.Masyarakat batak Karo memaknai budaya perkenalan lebih dalam lagi. Setiap orang Karo, di mana pun ia berada, ketika bertemu,untuk mengetahui posisi masing-masing dalam kekerabatan melakukan ertutur atau berkenalan. Dalam proses ertutur inilah nantinya mereka akan menemukan (satu dengan yang lain) harus memanggil apa dan dalam posisi apa.

Kata ertutur satu kosa kata dalam bahasa Batak Karo berasal dari kata dasar tutur yang bermakna tingkat hubungan kekerabatan. Sementara ertutur adalah kata kerja yang bermakna mencari tingkat hubungan kekerabatan sesorang dengan yang lain. Kebiasaan bagi orang Karo bila pertama kali berjumpa dengan seseorang selalu ertutur terlebih dahulu guna mencari hubungan kekerabatan.Jadi filosofinya,kita semua adalah saudara,dimanapun kita berada dan untuk menentukan posisi kita dalam sebuah sistem kekerabatan diperlukan ertutur.Untuk memulai bertutur pun bukanlah proses yang basa-basi.Ada penggunaan bahasa-bahasa tutur yang umumnya selalu digunakan untuk memulai perkenalan. Jadi,ibaratnya setiap anggota suku memiliki chip identitas yang ditentukan derajat rendah atau tinggi ataupun posisinya dalam bingkai sistem kekerabatan.

Kuatnya kekerabatan dalam masyarakat Karo didukung oleh kolektivitas kehidupan masyarakatnya yang dijiwai oleh penghormatan pada nilai-nilai adat.Dalam ertutur,tentunya ada lapisan-lapisan untuk mencari posisi kita dalam mencari posisi kita ketika berkenalan dengan orang lain. Lapisan proses ertutur tersebut terdiri dari (1). Marga/Beru adalah nama keluarga yang diberikan (diwariskan bagi seseorang dari nama keluarga ayahnya secara turun temurun bagi anak laki-laki).Sedangkan bagi anak wanita marga ayahnya disebut beru yang tidak diwariskan bagi anaknya kemudian.(2).Bere-bere adalah nama keluarga yang diwarisi seseorang dari beru ibunya. Bila ibu saya beru Karo, maka bere-bere saya menjadi bere-bere Karo.(3).Binuang adalah nama keluarga yang diwarisi seorang suku Karo dari bere-bere ayahnya.(4).Kempu (perkempun), adalah nama keluarga yang diwarisi seseorang dari bere-bere ibu.(5).Kampah adalah nama keluarga yang diwarisi seseorang dari beru yang dimiliki oleh nenek buyut (nenek dari ayah).(6).Soler adalah nama keluarga yang diwarisi dari beru empong (nenek dari ibu).

Adapun melalui lapisan ertutur di atas, seseorang dapat mengetahui posisi dan tingkatannya dalam jenis-jenis sebagai berikut: bapa (bapak), nande (ibu), mama (paman), mami (bibi/istri paman), bengkila (panggilan istri terhadap mertua laki-laki), bibi (panggilan istri terhadap mertua perempuan), senina (saudara karena marga, atau sembuyak untuk yang satu ibu), turang (laki-laki terhadap saudara perempuan, atau perempuan sama berunya dengan marga seorang laki-laki), Impal (laki-laki yang bere-bere-nya sama dengan beru seorang wanita, pasangan yang ideal dalam peradatan Karo), silih (abang ipar atau adik ipar), bere-bere (seorang yang memiliki bere-bere yang sama dengan bere-bere seorang lainnya),anak (anak), kempu (cucu), ente (cicit), entah (buyut), turangku (hubungan yang dahulu tabu untuk berbicara langsung, misalnya antara istri kita dengan suami dari saudara perempuan kita), agi (adik), kaka (abang laki-laki/perempuan), permen (sebutan mertua laki-laki terhadap menantu perempuan), nini bulang (kakek), nini tudung/nondong (nenek), empung (kakek dari ayah atau ibu) beru(nenek dari ayah atau ibu).

Biasanya proses memulai perkenalan,secara umum hanya sampai pada tahap lapisan kedua. Sedangkan pada lapis ketiga dan seterusnya hanya dipakai dalam acara-acara adat. Kecuali, bila dua orang yang hendak berkenalan, sama sekali tidak memiliki hubungan marga atau beru yang pas, maka diusutlah sampai tingkat keempat sampai enam.Misalnya si A bertemu dengan B. Untuk memulai ertutur, si A akan menanyakan apa marga si B dan dilanjutkan dengan menanyakan bere-bere-nya..Misalnya si A mengatakan,” sepertinya kita belum saling mengenal,apa tutur kita ya ?”.”Marga saya tarigan,bere-bere saya ginting,kalau anda ?”. Proses saling tukar identitas seperti marga dan bere-bere akan berujung pada posisi seperti apa ke dua orang tersebut harus saling memanggil. Misalnya,setelah bertutur diketahui kedua orang tersebut bertutur impal (pariban) atau mama (paman).Berarti kita mendapat kesimpulan bahwa si A dan B memiliki hubungan saudara sebagai pariban atau paman.

Posisi yang diperoleh dari proses ertutur berkonsekuensi adanya peran yang harus dipraktikkan sesuai dengan tutur tersebut.Setiap hasil perkenalan kemudian menghadapkan seseorang pada bagaimana bersikap dengan posisi yang dimiliki.Seorang yang bertutur impal (pariban) tentu akan lebih santai dalam melakukan komunikasi dibandingkan yang tuturnya adalah nini bulang (kakek).Tentunya posisi tutur kita dengan seseorang,akan berbeda-beda hasilnya tergantung pada orang yang diajak bertutur.Jadi,seorang suku Karo akan menjalankan tugas dan peranan yang bermacam-macam dengan orang yang berlainan ketika berinteraksi dengan orang Karo lainnya.Setiap orang ada dalam jejaring kekerabatan yang tidak akan pernah bisa lepas dari tali persaudaraan dimanapun berada.
Pemahaman bertutur ini juga menunjukkan pemahaman akan adat Karo sebagai pengungkapan identitas.Di era homogenisasi budaya seperti saat ini,budaya Karo semakin terkikis oleh arus sisi negatif modernisme .Cara perkenalan versi adat ini dianggap rumit,kaku dan ada semacam rasa gengsi untuk mempelajarinya.Namun, jika kita lihat lebih dalam,terkandung nilai-nilai positif dari proses ertutur ini dalam arus pusaran individualisme. Nilai persaudaraan, kolektivitas, saling menghormati sesuai dengan peran adalah nilai yang belakangan ini jarang kita dengar lagi. Jika kebudayaan adalah proses yang dapat dipelajari,maka setiap suku Karo dituntut harus melestarikan dan mewariskan budaya ertutur kepada keluarga. Sehingga proses pembelajaran dan penanaman nilai budaya akan berjalan secara berkesinambungan. Mari ertutur.
Adi Surya
Ketua DPC GMNI Sumedang
Mahasiswa Fisip Unpad


Adi Surya


Ketua DPC GMNI Sumedang


Mahasiswa Fisip Unpad


PARLEMEN ONLINE


Salah satu efek positif memilih negara demokrasi adalah adanya kesempatan setiap warga negara untuk menyampaikan pendapatnya secara bebas.Demokrasi juga menempatkan publik sebagai entitas yang sangat sentral sebagai pemilik kedaulatan.Oleh karena itu dulu pada zaman yunani, dengan luas wilayah yang tidak terlalu luas,berdemokrasi dilakukan dengan pendapat orang per orang.Kini,suara rakyat diwakilkan kepada para wakil rakyat. Namun,seringkali apa yang dikatakan wakil rakyat bertentangan dengan aspirasi konsitutuen. Sebab itu pula lahir parlemen versi rakyat yang menamakan dirinya parlemen jalanan dan yang paling trend adalah parlemen online. 

Parlemen online sebenarnya ikut serta menelanjangi sebuah fakta tidak bekerjanya fungsi anngota DPR sebagai penyambung lidah rakyat.Orang-orang yang diam dibalik layar,ternyata mampu menggerakkan bahkan menjadi kelompok penekan dalam sebuah kebijakan.Kita ambil contoh bagaimana kasus prita dan Rumah Sakit Omni Internasional begitu mendapat atensi publik dari ruang maya.Kasus teranyar datang dari dugaan kriminaliasi pimpinan KPK non aktif yang mendapat dukungan publik dunia maya(netter) dalam wadah Gerakan 1.000.000 Facebookers dukung Bibit-Chandra.Di sini ada perubahan konteks gerakan yang beralih dari jalanan menuju ruang-ruang virtual.Inilah era dimana internet telah menjadi alat dalam perubahan sosial.

Ada hal yang sangat miris dengan fenomena ini.Bahwasanya untuk menyelesaikan permasalahan yang riil harus menggunakan cara-cara maya atau virtual.Bukankah pemerintah sudah dimandatkan rakyat untuk senantiasa bertindak nyata sesuai dengan rasa keadilan masyarakat?.Pertanyaan ini tentunya tidak terjawab oleh elit politik kita sehingga publik mengekspresikan gugatan dan opininya melalui saluran yang menurutnya tidak membatasi pendapatnya.Justru oposisi yang sebenarnya telah terlihat dan mengambil posisi dalam kumpulan orang di dunia virtual.Parlemen online sejatinya oposisi dari kekuasaan hari ini.

Namun,parlemen online juga memiliki kelemahan.Salah satunya,suara yang disuarakan bersifat ekslusif.Dalam arti,hanya kelas menengah perkotaan saja yang mengambil peran dalam menyuarakan pendapat.Padahal,gerakan sosial harus seperti efek bola salju yang menyentuh setiap golongan.Kedua,gerakan tidak memiliki konsep gerakan yang sistematis dan seringkali dengan nada ikut-ikutan dan sedikit emosional.Kebebasan bersuara hendaknya tidak dimaknai sebagai kebebasan mutlak yang berakibat gerakan online hanya kumpulan orang-orang yang bisanya hanya menghujat dan memaki.Ketiga,parlemen online membuat konsep-konsep yang semestinya dilakukan di dunia nyata menjadi tidak menarik.Padahal,untuk melaksanakan perubahan harus dengan aksi-aksi yang nyata pula.
Melihat antusiasme publik dalam memberi pendapatnya dalam dunia maya membawa angin segar dalam berdemokrasi.Sekaligus menjadi tamparan telak elit politik untuk mampu berbuat lebih baik lagi.Parlemen online bukanlah antitesa dari parlemen jalanan,melainkan memberikan diversivikasi baru gerakan sosial yang saling melengkapi.Namun seperti yang dikatakan oleh Umberto Eco “Manakala Internet melalui komunitas-komunitas maya-benar-benar bisa menjadi jalan untuk mewujudkan komunitas-komunitas tatap-muka, barulah ia akan menjadi alat perubahan sosial yang penting”.Untuk itu,gerakan demokrsai virtual harus mampu menjadi gerakan nyata demi efektifitas sebuah perubahan di republik ini.
Adi Surya
Ketua DPC GMNI Sumedang

GERAKAN MAHASISWA DIJERAT ROMANTISME SEJARAH


Kita bayangkan kekuatan mahasiswa bersatu dengan gerak juang yang sistematis dan terukur.Tujuan seluruh komponen sama,yakni perubahan yang lebih baik.Hanya perdebatan jalan mana yang lebih efektif dan efisen yang seringkali jadi hambatan.Bahkan,beberapa kawan seenaknya bicara revolusi tanpa tahu makna yang diucapkan.Gerakan mahasiswa bukan dewa serba bisa.Karena keterbatasan itu pulalah,maka mahasiswa perlu mengkontekskan gerakannya dalam geliat zaman.Perlunya kritik dan otokritik terus menerus terhadap pilihan-pilihan yang diambil.dengan begitu,menjadi benar kata orang bijak,bahwa gerakan mahasiswa adalah anak pada zamannya.Artinya,setiap zaman memiliki masa dan penyesuaian dengan pola-pola gerakan yang juga berkembang.Jika pola penindasan lebih berkembang daripada pola gerak aktor perubahannya,maka apa yang mau diharapkan dari mahasiswa ?
Bernard Shaw pernah berujar “progress is impossible without cange,and those who cannot change their minds cannot change anything. Setiap zaman mengandung tantangan yang berbeda dikarenakan zaman yang terus berubah.Setiap perubahan tentunya menyiratkan pesan bahwa kemampuan adaptasi adalah kunci keberhasilan.Dalam catatan sejarah,gerakan mahasiswa di Indonesia selalu berada dalam barisan depan dalam perubahan sosial.Namun,ada sebuah kegelisahan yang hinggap dalam tubuh gerakan mahasiswa.Konsep dan metode gerakan yang dilakukan dianggap belum mampu menyesuaikan tantangan zaman.Mahasiswa terjebak romantisme sejarah sehingga kurang kreatif melihat dan meramu strategi. Aksi-aksi jalanan dan tuntutan penggulingan rezim selalu menjadi rumus tunggal dalam merespon sebuah persoalan.
Setiap rentetan periode gerakan adalah anak pada zamannya. Tahapan sejarah gerakan mahasiswa selalu menghadirkan sebuah tantangan yang membutuhkan metode baru.Albert Einstein mengatakan bahwa “we cannot solve problems by using the same kind of thinking we used when we created them”.Artinya,perlu sebuah gagasan-gagasan kreatif untuk keluar dari penyelesaian dengan cara-cara konvensional yang pada setiap zaman harus dirubah. Gerakan mahasiswa sebelum merubah masyarakat juga dituntut untuk mereformasi dirinya. Saat ini adalah era dimana gerakan mahasiswa mengalami titik nadir. Indikasinya adalah semakin jauhnya masyarakat bahkan mahasiswa sendiri sebagai pihak-pihak yang selalu diatasnamakan dalam tiap aksi.
Periode gerakan mahasiswa di Indonesia memang menyiratkan tantangan –tantangan yang berbeda tiap zamannya. Angkatan 1908,berhasil merangsang organisasi-organisasi berbentuk modern. Tantanganya adalah bagaimana cara menyamakan frame ke-indonesiaan pada organisasi yang pada saat itu kental dengan semangat tribalisme.Angkatan 1928 berhasil memberikan identitas nasional dengan persatuan pemuda-pemudi Indonesia. Era ini membuat mahasiswa mulai berpikir dan bergerak secara bersama-sama untuk merdeka. Era 1945 memberikan kita kemerdekaan yang masih diwarnai friksi antar golongan tua dan muda dalam memandang momentum pencapaian kemerdekaan. Begitu pula tahun 1966 dan 1998,tantangan yang muncul adalah rezim yang otoriter dan sekarang di era demokratisasi tentunya tantangan yang ada harus disikapi dengan cara-cara yang sesuai dengan semangat zaman.
Tantangan gerakan mahasiswa pada era ini bisa kita kategorikan menjadi eksternal dan internal.Era ini adalah zaman globalisasi dan demokratisasi. Pengaruh globalisasi menyebabkan masalah yang dulu dihadapi dalam lingkup lokal maupun regional,kini menjadi satu kesatuan masalah global.Belum lagi arus budaya hedonisme begitu merasuk ke dalam perilaku mahasiswa kita.Ditambah lagi,gerakan mahasiwa harus mampu bergerak tidak hanya sebagai gerakan intelektual namun juga harus bisa membasis. Paradigma pemberdayaan masyarakat harus menjadi acuan agar tidak jauh dari rakyat. Aksi-aksi jalanan yang miskin konsep bukannya menjadi kurang relevan,melainkan disesuaikan dengan kebutuhan gerakan.Sehingga ketika semua berjalan baik,maka citra dan kepercayaan masyarakat akan kembali diletakkan di tangan mahasiswa.
Sedangkan dari internal sendiri kita bisa lihat bagaimana polarisasi yang membuat terpecah-pecahnya mahasiswa, kapitalisasi gerakan yang berorientasi modal dan keuntungan, lemahnya kaderisasi, intervensi senior, inkonsistensi perkataan dan perbuatan, minimnya kreatifitas kemandirian dana,tidak mampu menjaga independensi dan selalu menggunakan metode-metode yang reaktif. Kedua tantangan baik eksternal maupun internal jika tidak disikapi bisa menyebabkan krisis kepercayaan pada gerakan mahasiswa dan disorientasi gerakan.
Pencarian solusi selalu menyiratkan kritik dan otokritik. Gerakan mahasiswa harus terus menerus mereformasi diri,menambal lubang-lubang kelemahan dan keluar dari jebakan pikiran konvensional untuk mencari solusi kritis. Ada empat model gerakan yang bisa ditawarkan untuk menghadapi tantangan hari ini. Pertama,gerakan intelektual. Aktivis mahasiswa adalah aktor intelektual yang bergerak dengan intelek pula. Mengadakan kegiatan-kegiatan intelek seperti seminar,diskusi,kelompok-kelompok kajian yang mengupayakan solusi pemecahan buat masalah yang dihadapi. Hasil-hasil kajian inteektual bisa juga dijadikan sumber dana yang legal apakah dijadikan buku atau tulisan di media massa.Jika kemandirian dana bisa terwujud,intervensi dan tarikan kepentingan tidak akan mengganggu fokus gerakan mahasiswa.
Kedua,gerakan kultural. Mahasiswa harus membumi dan bekerja bersama rakyat. Advokasi dan kegiatan bersama masyarakat harus menjadi pilihan. Dalam jangka panjang masyarakat akan mau bergerak dengan aksi-aksi mahasiswa. Ketiga,gerakan struktural. Selama ini gerakan mahasiswa selalu vis a vis dengan negara. Namun,sebenarnya bekerja sama dengan insitusi negara untuk mendukung kerja-kerja gerakan sudah saatnya dijadikan opsi. Bagaimanapun sebuah gerakan tidak akan efektif jika tidak bekerja sama dengan pihak-pihak yang berkepentingan.Keempat,gerakan massa. Ketika aspirasi tidak lagi didengar,maka aksi massa menjadi alat yang sah dalam menyampaikan aspirasi. Aksi massa yang dialakukan hendaknya melibatkan elemen-elemen lain seperti massa buruh, tani, nelayan, pedagang, miskin kota, perempuan dan elemen-elemen lain.
Selain itu,gerakan mahasiswa juga seharusnya melakukan spesialisasi gerakan.Sejak di organisasi,mulai dipilah mana kader politik,kader organisatoris,kader ideologis dan kader yang ingin bergerak di bidang non politik ,seperti wirausaha.Ini agar kekuatan aktor perubahan tidak terpusat hanya di ranah politik.Namun,juga harus ada dan menguasai kekuatan ekonomi,seni,budaya,sosial,dan lainnya.Sehingga sinergisitas antar komponen bisa lebih terasa dalam membuat sebuah move.Kader intelektual dibina secara khusus dengan mentor yang telah disiapkan.Secara serius kaderisasi adalah harga mati bagi hidup mati sebuah organisasi gerakan.
Melihat kondisi kekuatan politik di Indonesia,satu-satunya tools yang masih sangat pantas dilirik adalah merebut dan merevolusi partai politik.Aktivis mahasiswa harus mampu melihat bahwa partai bukan harus disikapi secara antipati.Tetapi dilihat sebagai tools.Artinya,partai jika dikelola orang-orang yang memang memiliki idealisme,tentunya akan berjalan di rel yang benar.Partai harus direbut karena di negara ini,semua kebijakan hampir lahir dari pemikiran kader-kader partai.Baik itu kader eksekutif dan legislatif.Dengan begitu,gerak juang antara mahasiswa di akar rumput dan tokoh-tokoh eks aktivis mahasiswa yang sudah duduk di pemerintahan bisa terjalin dengan baik.Sehingga bukan gerakan mahasiswa anti elit politik(oposisi permanen),melainkan gerakan bersinambungan.Dimana penyuplai isu di akar rumput dan elit politik bisa memperjuangkan baik itu secara ekstra parlementer maupun parlementer.Bukan seperti yang selama ini kita lihat,aksi mahasiswa selalu hilang diterpa angin sepoi-sepoi.


Edward Shill mengkategorikan mahasiswa sebagai lapisan intelektual yang memliki tanggung jawab sosial yang khas. Sementara itu Samuel Huntington menyebutkan bahwa kaum intelektual di perkotaan merupakan bagian yang mendorong perubahan politik yang disebut reformasi.Namun,heroisme jangan dijadikan sandaran yang membuat gerakan mahasiswa jalan di tempat. Solusi sebuah masalah selalu berjalan sesuai dengan perkembangan masyarakat. Jika gerakan mahasiswa lupa atau terus nyaman dengan berada dalam penjara romantisme sejarah,maka gerakan hanya akan menjadi riak-riak yang tidak pernah mampu menunjukkan diri sebagai penyambung lidah rakyat.




Adi Surya P


Ketua DPC GMNI Sumedang

GMNI Sumedang : Lahir Dari Sebuah Kegelisahan


Awalnya adalah sebuah kegelisahan yang sama diantara beberapa mahasiswa Universitas Padjadjaran-Sumedang yang melihat bahwa masih diperlukannya aktor-aktor perubahan sosial dan sumbangsih apa yang bisa diberikan dengan label “mahasiswa” kepada negeri ini.Mungkin,tampak seperti hal yang naif bagi sebagian orang.Tetapi tidak bagi orang-orang yang masih memiliki idealisme.Kesadaran individu bertemu menjadi kesadaran kelompok yang bermuara pada keputusan kolektif,yakni bergabung dengan gerakan mahasiswa bercorak nasionalis yang memperjuangkan ideologi kerakyatan.
GMNI atau Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia merupakan organisasi yang bersifat nasional yang lahir pada tanggal 23 maret 1954.Kata gerakan bermakna organisasi dalam melakukan sebuah tindakan harus berdasarkan upaya yang terencana dengan tujuan terencana yang dalam hal ini dimotori oleh mahasiswa indonesia.Motto organisasi sebagai “Pejuang Pemikir-Pemikir Pejuang” menggambarkan bahwa kader GMNI tidak hanya berjuang tanpa dasar pikiran (konsep-konsep) begitupun tidak juga berpikir tanpa melakukan aksi perjuangan.Kedua karakter pemikir dan pejuang benar-benar harus melekat dan menjadi ciri khas kader GMNI.Sedangkan ideologi marhaenisme menjadi panduan gerak juang setiap anggotanya.
Kalau beberapa orang mengidentikkan GMNI dengan sosok bung karno,memang hal ini tidak terbantahkan.Namun,jika mengidentikkan dengan salah satu partai atau ketakutan terhadap radikalisasi gerakan kiri yang destruktif, sudah menjadi rahasia umum,bahwa karena potesni perkembanganya yang pesat,GMNI sengaja dibusukkan dan dilabelkan dengan hal-hal demikian.Belum lagi sejak Orde Baru berkuasa,GMNI dan ideologi marhaenisme mengalami pemberangusan.Wajar,hari ini generasi muda tidak mengenal organisasi nasionalis ini.Wajar ada streotipe yang benar-benar memojokkan GMNI.Namun,karena tahan banting itu pula kader-kader GMNI menjadi militan dan progresif revolusioner.
GMNI kemudian menjadi pilihan para pendirinya di Sumedang.Pilihan ini bukan lahir dari ruang kosong dan pilihan acak.Tetapi karena GMNI adalah organisasi yang menerima anggota tanpa membedakan agama,suku dan ras.Artinya,di organisasi ini,kita belajar pluralisme dan multikulturalisme.Kedua,pemikiran bung karno sangat menjiwai analisa dan pola gerak.Pemikiran Soekarno yang sangat menarik dan dianggap sebagai solusi bangsa, pantas untuk dijadikan pedoman.Ketiga,GMNI berideologi marhaenisme yang memperjuangkan rakyat tertindas dari semua golongan.Sehingga pada tahun 2002,embrio GMNI Sumedang mulai bermunculan sampai saat ini.Dan pada tahun 2004 mendapat SK dari pimpinan nasional. GMNI sumedang mayoritas kuliah di universitas padjadjaran yang memang sudah sejak lama pindah dari bandung ke jatinangor,sumedang.
Di GMNI Sumedang,setiap kader yang hendak bergabung harus melewati rangkaian tes yang selektif dengan pertimbangan-pertimbangan.Tak jarang banyak yang tidak lulus sebagai anggota dikarenakan kendala administratif dan ideologis.Kita berpegangan pada filosofi kader dan anggota. Buat apa kita punya seribu anggota ,tetapi tidak punya kader.Setelah itu,anggota yang lulus akan dimentor potensi bakatnya.Apakah dibimbing menjadi kader organisatoris,ideologis atau politik.Sejak awal,spesialisasi gerakan memang sebaiknya kita lakukan.
Pada perjalanannya, GMNI Sumedang tetap berpegang pada pro kerakyatan.Semisal,kita melakukan advokasi Pendidikan Anak Usia Dini(PAUD) di sebuah mesjid.Anak-anak warga kita kumpulkan dan diberi pelajaran yang di akhir masa didik,diberi sertifikat sebagai tanda kelulusan.Advokasi ke bawah lainnya juga dilakukan pada masyarakat sekitar dan mahasiswa.Pedagang-pedagang di sekitar gerbang kampus unpad yang terancam digusur,kita perjuangkan.Baru-baru ini kita juga melakukan advokasi mahasiswa baru tidak mampu yang datanya kita serahkan pada pihak terkait atau kita beritahu informasi kemudahan yang disediakan pihak kampus.Aksi-aksi kemanusiaan seperti penggalangan dana bencana alam,selalu kita lakukan.
Sedangkan gerakan intelektual cukup mewarnai gerakan GMNI di Sumedang.Kita memandang untuk bisa memengaruhi kebijakan di segala lini.Prestasi akademik tidak boleh ditinggalkan demi pembenaran atas nama “gerakan”.Kader-kader Sumedang juga memandang media massa adalah alat gerakan untuk menyebarkan ideologi dan pemikiran.Mulai dari rubik opini sampai surat pembaca di media Kompas,Tempo,Media Indonesia,Koran Sindo,Tribun Jabar,Pikiran Rakyat dan media kampus semuanya coba kita masuki.Belum lagi,acara-acara seleksi atau lomba-lomba nasional yang berhasil diikuti seperti program audisi The Next Leader Metro TV,Forum Indonesia Muda (FIM),beasiswa-beasiswa dan kegiatan kewirausahaan juga tidak ketinggalan kita masuki. Tidak ketinggalan media Internet harus dilirik sebagai tools mem-propagandakan pemikiran kader GMNI. Forum-forum demokrasi virtual yang kita bentuk adalah upaya turut ambil bagian memanfaatkan teknologi sebagai media perjuangan.Hal ini penting, karena GMNI mau tidak mau juga tidak bisa lepas dari bagaimana membantuk brand di mata publik dan mempersuasi publik dengan ideologi GMNI sesuai dengan nafas zaman.
Namun,tentunya banyak sekali kendala yang dihadapi untuk sebuah idealisme.Kebanyakan perjuangan dilakukan dengan model udunan sebagai biaya sebuah upaya perubahan.Prinsip berdikari benar-benar kita terapkan dalam berjuang.Tetapi itu bukan kendala dan alasan kemandegan gerakan.Selain itu tantangan zaman yang makin kompleks membutuhkan lebih dari sekedar idealisme.Konsep gerakan yang aktual harus terus menerus dicari dan dirumuskan.Untuk itulah dalam forum-forum diskusi internal,kita mencoba trying and error untuk keluar dari pola-pola usang gerakan.Dan,tentunya banyak lagi lubang yang harus kita tambal dalam memperjuangkan ideologi GMNI.Bagaimanapun,dengan menyandang label aktivis mahasiswa,tidak boleh surut kita berpantang.
GMNI sumedang hanyalah salah satu aktor yang mencoba memberikan apa yang bisa diberikan dalam mengisi kemerdekaan.Kita kumpulan orang-orang yang sepakat dengan panji-panji nasionalisme,marhaenisme,pluralitas,persatuan harus terus ditegakkan di bumi pertiwi ini.Sekali lagi,gerakan mahasiswa bukan dewa serba bisa menyelesaikan masalah kemiskinan,pengangguran,konflik sosial dan sebagainya.Untuk itu,kita mengajak setiap elemen untuk menyambung sinergi gerak juang.Perubahan tidak bisa dilakukan sendirian dan menunggu Kalau begitu mari bergabung dan berjalan beriringan. .”Kami memang secuil api dalam lautan api perjuangan,namun kami tetap api”.Merdeka !!! Marhaen !!! Menang !!!


Pengurus Dewan Pimpinan Cabang GMNI Sumedang 2007-2009


Ketua : Adi Surya
Sekum : Teja Kusuma
Bendahara : Yunita Rosdiana
Wakil Bidang Organisasi : Junes T
Wakil Bidang Kaderisasi : Dimpos
Wakil Bidang Politik : Han Fernandes
Wakil Bidang jaringan Dan Advokasi : Ihksan Tanuwijaya


OPOSISI INTELEKTUAL


Lord Acton pernah mengatakan bahwa power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely.Pendapat ini menyiratkan bahwa kekuasaan yang absolut berpotensi untuk berubah menjadi kekuasaan yang korup yang sewenang-wenang.Kuasa mengandung legitimasi bertindak dan menggerakkan apa yang ada. Kekuasaan disanjung karena didalamnya ada kekuatan, penghormatan ,prestise. Di sisi lainnya kekuasaan ditakutkan karena berpotensi digunakan untuk merusak,menegaskan ambisi pibadi,berbuat semena-mena dan liar.Untuk itulah dalam menjalankan kekuasaan,dibutuhkan kontrol untuk menjaga kekuasaan dipergunakan sesuai dengan rel-nya.Dalam tata pemerintahan yang bertugas melakukan hal ini adalah DPR sebagai manifestasi kehendak rakyat dalam sistem demokrasi.Melihat hasil pemilu kemarin,kita perlu mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan check and balances tidak akan signifikan.Karena itu pula oposisi sipil harus dibangun.
                Di republik ini,maraknya aksi demonstrasi warga sebenarnya menunjukkan disfungsi lembaga legislatif dalam menjalankan tugasnya. DPR adalah penjelmaan rakyat dalam sistem perwakilan yang salah satu tugasnya adalah mengawasi kekuasaan eksekutif untuk menjalankan kehendak rakyat.Namun,sejarah tidak bisa menipu dirinya sendiri bahwa legislatif hanya peduli pada dirinya sendiri dan malahan menjadi stempel bagi legitimasi kuasa eksekutif.Jika demikian,ketika eksekutif dan legislatif sudah menyimpang dari cita-cita kerakyatan,maka salah satu cara adalah membangun oposisi masyarakat sipil.Oleh karena itu masyarakat sipil harus turun tangan tidak hanya mengawasi kekuasaan eksekutif,melainkan juga legislatif.Jika belajar dari sejarah,maka aktor yang selama ini selalu jadi garda terdepan dan sekaligus martir perubahan adalah pemuda dan mahasiswa.Golongan ini punya idealisme,semangat,militansi dan rasa muak pada kelaliman.
Dalam melakukan tugas sebagai alat kontrol kekuasaan sebenarnya mahasiswa tidak juga terjebak pada pola vis a vis (berhadap-hadapan) dengan penguasa saja. Strategi yang dibangun juga harus memerhatikan kondisi dan karakter kekuasaan yang ada.Ada beberapa hal yang bisa diperankan seperti melakukan gerakan intelektual,seperti menulis di media massa,mengadakan seminar,pelatihan dan forum-forum akademik yang membahas persoalan-persoalan bangsa.Output dari gerakan ini adalah dihasilkannya gagasan atau konsep tandingan dari masyarakat yang bisa dipertanggungjawabkan. Semisal,mahasiswa bersama masyarakat bisa menyusun dan menawarkan draft Rancangan Undang-Undang (RUU) kepada pemerintah.Sehingga mahasiswa tidak dianggap sebagai golongan yang NATO (No Action,Talk Only).
Kedua,gerakan struktural.Maksudnya adalah bermitra atau bekerja sama dengan pemerintah dalam program-program kerakyatan.Mahasiswa bisa menjadi patner pemerintah dalam menerjemahkan program ke masyarakat.Dengan melibatkan mahasiswa,maka sekaligus bisa memantau aplikasi kerja-kerja pemerintah dan sekaligus memantau kekuasaan.Mahasiswa juga sebenarnya bisa menjalin komunikasi dengan elit-elit politik di eksekutif maupun di parlemen yang diidentifikasi senafas dengan perjuangan mahasiswa.Hal ini dibutuhkan agar mahasiswa punya kekuatan di dalam parlemen sebagai tempat pengambilan keputusan. Tentunya hal ini harus dilakukan secara hati-hati menyimak sejarah gerakan mahasiswa rentan kooptasi dan penunggangan. Ketiga,gerakan kultural.Hal ini dimaksudkan membangun basis dan pendidikan politik di masyarakat sebagai sekutu dalam mengawasi kekuasaan.Rakyat adalah hakim.Maka,mahasiswa dalam mengawasi kekuasaan harus dengan dukungan rakyat yang juga harus melek politik.Muara dari gerakan kultural ini adalah terciptanya komunikasi dan kesinambungan antara gerakan mahasiswa dan masyarakat grass root.Selain menghukum politisi busuk lewat pemilu lima tahunan,masyarakat adalah kekuatan besar untuk melakukan reformasi bahkan revolusi.Keempat,gerakan massa.Jika kekuasaan sudah tuli,parlemen tak berfungsi,maka gerakan ekstra parlementer dalam bentuk pembangkangan sipil juga sah dilakukan sebagai cermin kehendak rakyat.Aksi demonstrasi juga dilakukan dengan menaati kaidah –kaidah yang ada agar stigma mahasiswa sebagai pembuat kerusuhan bisa berubah.
Di samping itu,harus kita akui bahwa kontrol masyarakat sipil dalam hal ini mahasiswa masih sangat lemah ketika berhadapan dengan kekuasaan.Mahasiswa belum mampu menjadi motor penggerak yang bisa mengajak semua elemen.Membangun kerangka perjuangan sesama kekuatan mahasiswa dan melakukan pencerdasan ke masyarakat memang bukan hal yang mudah.Mahasiswa juga disibukkan dengan urusan akademis.Oleh karena itu,rakyat menjadi sekutu strategis menutupi kelemahan tersebut.Ketika masyarakat cerdas,nalar otoritarianisme akan berpikir dua kali untuk hadir. Kekuasaan bukanlah predator yang harus ditakuti.Selama dipandang hanya sebagai alat untuk mencapai visi misi pemerintah dalam bekerja untuk masyarakat,maka kekuasaan itu sesungguhnya mulia.Lain halnya jika dijadikan tujuan semata,mau tidak mau kita harus mengangkat “senjata” menghancurkannya.

Adi Surya Purba
Mahasiswa Kesejahteraan Sosial
Fisip Unpad