REPUBLIK MAKELAR


Sebaik apapun produk-produk hukum jika orang-orang yang menjalankan tidak punya komitmen untuk menjalankannya,hasilnya akan nihil.Begitu pula jika aparat penegak hukum yang memiliki integritas tinggi tidak didukung oleh produk hukum yang berkualitas maka jangan berharap keadilan ada.Pasca reformasi,produk hukum sudah banyak dikeluarkan untuk mengatur pelaksanaan penegakan hukum.Namun,aturan tidak diimbangi oleh kinerja aparat untuk menjalankannya.Setidaknya potret hitam ini memuncak setelah pemutaran rekaman adanya dugaan rekayasa dalam kasus yang menimpa dua pimpinan non-aktif KPK. Polisi dan jaksa dianggap sedang memperdagangkan seragam yang artinya juga memperjualbelikan keadilan.
Survei yang dilakukan Transparency International Indonesia (TII), tahun 2006 menunjukkan aparat kepolisian, militer dan peradilan menempati urutan teratas dengan rekor masing-masing 70,55 dan 53 persen. TII melakukan survei terhadap 1.760 responden yang tersebar di 32 kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Sebanyak 49 persen responden setuju dengan praktik suap dalam pelayanan publik. Yang setuju punya alasan sendiri—suap suatu yang lumrah ibarat memberi zakat, supaya urusan lancar dan lantaran gaji pegawai negeri kecil.Sedangkan responden yang tidak setuju (50%), juga punya alasan: merusak sistem dan menimbulkan biaya tinggi. Temuan lain TII, para responden (32%) mengandalkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memerangi suap dan korupsi, menempati urutan pertama (32%). Andalan kedua, asosiasi bisnis (24%), andalan ketiga dan keempat, pers (16%) dan LSM (12%). Sedangkan polisi dan tokoh agama masing-masing memperoleh kepercayaan 6% dan 3%.
Republik ini memang pantas disebut dengan republik makelar. Bagaimana tidak,dari tingkat terkecil,sampai tingkat yang paling atas dipenuhi jasa-jasa orang-orang baik itu aparat maupun masyarakat sipil yang katanya bisa mempermudah atau mengurus secara cepat melalui jalur non formal (jalur belakang).Mulai dari mengurus KTP,SIM,Surat Izin Usaha,perkara di pengadilan sampai pasal undang-undang bisa diatur sesuai dengan kepentingan.Hari ini yang paling mendapat sorotan adalah makelar kasus yang tumbuh dan berkembang di institusi penegakan hukum seperti kepolisian,kejaksaan dan peradilan.Publik jadi bertanya-tanya,bagaimana mungkin penegak hukum bicara kebenaran sedangkan diri sendiri memelihara kejahatan.
Secara awam,kita bisa mengambil kesimpulan sementara bahwa makelar kasus bisa berkembang karena adanya mutual benefit atau simbiosis mutualisme antara penegak hukum dengan para calo kasus.Artinya,aparat sebenarnya yang memberi celah atau menyediakan lahan hidup dan berkembang para makelar.Logikanya,makelar kasus membutuhkan aparat untuk menjalankan misinya.Jika tidak ada pintu yang dibuka,maka makelar tidak akan berani masuk.Justru,pintu dibuka lebar-lebar bagi para makelar.Seolah-olah mereka adalah kaki tangan aparat yang menawarkan kemudahan dan kecepatan di luar jalur birokrasi yang sengaja dibuat rumit.Dari sini kita bisa melihat penyebabnya adalah adanya celah dari institusi yang harus kita tutup rapat-rapat.
Sebagai jalan keluar,memberantas makelar kasus sama dengan memberantas nalar kejahatan dalam tubuh penegak hukum.Oleh karena itu sebagai langkah preventif,institusi penegak hukum harus mampu memulihkan wibawa dan sikap tegas yang memang dimilikinya.Lembaga penegak hukum harus melakukan pembaruan seperti pola rekruitmen, pendidikan, kode etik perilaku, dan pola jenjang prestasi melalui reward dan punishment.
Salah satu sebab aparat “bermain mata” dengan penegakan hukum adalah mekanisme rekruitmen yang tidak transpararan.Besarnya uang pelicin yang harus dikeluarkan untuk sepasang seragam membuat nalar aparat menjadi pendek sebatas bagaimana cara mengembalikan uang membeli seragam tersebut. Logikanya,seragam yang diperoleh dengan jual beli tentu juga mudah diperjualbelikan kembali.Kemudian pendidikan yang diperoleh selama bertugas terkesan hanya formalitas belaka. Padahal,pembentukan watak dan karakter yang berintegritas dimulai dari pendidikan.Untuk mengatur perilaku aparat,memang perlu dibuat kode etik perilaku yang diawasi oleh pengawas yang benar-benar tegas. Aparat yang melanggar tidak pandang bulu harus ditindak.Upaya ini agar selaras dengan pemberian punisment and reward sebagai pemacu aparat untuk menunjukkan motivasi prestasi juga sekaligus menjauhi penyimpangan karena mekanisme hukuman yang juga ketat.
Disamping itu,reformasi birokrasi juga harus diprioritaskan. Birokrasi yang menggunakan nalar “kalau bisa dipersulit,kenapa dipermudah” harus didekonstruksi dengan pola pikir melayani.Diperhatikan pula pentingnya menyediakan layanan masyarakat secara mudah dan cepat.Pelayanan satu pintu yang berlandaskan transparansi dan akuntabilitas bisa meminimalisir peluang makelar untuk beraksi. Meskipun berdiri sebanyak 365 lembaga pengawasan pelayanan publik, 500 pengaduan masyarakat dalam sebulan masuk Komisi Ombudsman Nasional tentang buruknya pelayanan publik, terutama polisi yang dinilai tidak mengalami perbaikan yang berarti. Kinerja pelayanan publik polisi, termasuk paling buruk, hanya mencatat 27%.Sungguh sebuah ironi yang membuat kita menggantung nada kecewa.
Sedangkan sebagai langkah penindakan,dibutuhkan kepemimpinan tegas terhadap para makelar kasus baik itu aparat maupun masyarakat sipil.Jika perlu,reposisi personal mutlak dilakukan untuk menyelamatkan wibawa insitusi. Presiden sebagai kepala pemerintahan bisa menjadi garda terdepan untuk memberi tindakan tegas agar aparat tidak “bermain mata” dengan makelar.Tindakan tegas ini harus disosialisasikan ke tingkat paling bawah dari institusi di daerah di bawah satu tim khusus reformasi institusi.Tim ini terdiri dari orang-orang yang kredibel dan profesional dalam menjalankan tugas agar tidak kemudian tercemar oleh iming-iming uang.
Membenahi tubuh yang kotor tidak selalu butuh tangan lain.Artinya, kita harus berani menempatkan penegak hukum sebagai tubuh yang dewasa,yang harus dipaksa melakukan perubahan dari dalam diri sendiri. Artinya,menekankan pada membentuk lembaga pengawas baru di setiap institusi harus kita rubah.Karena perubahan yang paling efektif dimulai dari adanya kesadaran dari dalam.Kesadaran bahwa seragam adalah mulia.Selain itu,perlu dibentuk dan diperbaiki sosialisasi pos-pos pengaduan tempat masyarakat berpartisipasi dalam melaporkan makelar kasus.Pelibatan masyarakat dalam melaporkan sangat penting karena selama ini terungkapnya makelar kasus sangat sulit untuk dibuktikan oleh penegak hukum.Kita sama-sama berharap,masa depan penegakan hukum di Indonesia tidak disetir dari kepala para makelar.Penegakan hukum harus bisa ditegakkan oleh penegak hukum itu sendiri.Walaupun langit runtuh,hukum harus ditegakkan.
Adi Surya
Ketua DPC GMNI Sumedang
Mahasiswa Kesejahteraan Sosial Fisip Unpad

0 komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar Anda Di Sini :