REMBUK NASIONAL (National Summit)




Siapa bilang Indonesia tidak bisa ?. Inilah thema dari National Summit yang digelar 29-31 Oktober 2009 untuk pertama kalinya dengan menghimpun masukan-masukan dari 1.424 pemangku kepentingan.Mendengar thema di atas,sekaligus memberi kita penegasan bahwasanya selama ini banyak penilaian luar maupun dalam negeri yang menilai kita tidak bisa menjadi succes state.Penilaian negatif terhadap Indonesia memang bukan cerita fiksi.Seorang penduduk yang tidak makan sesuai dengan gizi cukup bukan menjadi rahasia di republik ini.Kisah bunuh diri karena kemiskinan,lalu lalang menghiasi media massa.Maka menarik rembuk nasional yang menjustifikasi adanya hambatan-hambatan peraturan yang menjadi biang keroknya.Kita jadi bertanya-tanya,bukankah selama ini moral pemimpin kita yang nyata-nyata menghambat realisasi kesejahteraan rakyat ?
Isu besar dalam rembuk nasional ini adalah banyaknya peraturan–peraturan yang tumpang tindih dan berlawanan dengan semangat pembangunan dalam bingkai otonomi daerah.Memang ada benarnya pendapat beberapa pihak yang menuding demokrasi kita yang kebablasan.Sebabnya di era pemilihan langsung,setiap kepala daerah baik itu tingkat satu maupun dua merasa dirinya sejajar karena psikologi politik sama-sama dipilih oleh rakyat.Padahal,semangat otonomi daerah tidak untuk dipahami sebagai bentuk kerajaan-kerajaan kecil di daerah yang punya otoritasnya sendiri.Menjadi menarik ketika ada program pemerintahan pusat yang tidak diikuti oleh daerah.Pemahaman wakil pemerintah pusat di daerah ternyata belum tuntas dipahami atau bisa juga sekedar alasan politik beda faksi/partai dengan pemerintah pusat.
Namun,menjadi lebih benar adanya ketika kita melihat lebih dalam lagi.Banyaknya masalah-masalah tumpang tindih daerah lebih disebabkan oleh moral,perilaku,cara berpikir para elit-elit politik kita.Kita ambil contoh korupsi kepala daerah.Uang rakyat yang harusnya dinikmati dalam bentuk penyediaan fasilitas dan akses pembangunan gagal terwujud.Contoh lainnya ego regional yang tidak mau diintervensi pemerintah pusat.Banyak sekali perda-perda yang nyata-nyata bertentangan dengan semangat UUD 1945.Kepala daerah tentunya memahami apakah mewajibkan setiap siswa sekolah dasar menggunakan jilbab bertentangan dengan Pancasila dan HAM.Belum lagi peraturan-peraturan yang mengakibatkan tarik menarik kepentingan pusat dan daerah.
Memang rembuk nasional untuk sinergisasi antara pemerintah dan stakeholder patut kita apresiasi sebagai bentuk penyamaan langkah dan pandangan visi misi pemerintah pusat dan kepentingan daerah.Namun,dalam jangka waktu dua hari ini,publik tidak ingin melihat acara ini hanya seremonial belaka.Beberapa kali summit dilakukan oleh menkoperekonomian dengan kalangan usaha,namun hari ini kita masih bicara infrastruktur yang tertinggal.Sinergi dalam bidang perekonomian,kesejahteraan rakyat,politik,hukum dan pertahanan.
Di bidang ekonomi,hambatan-hambatan lebih banyak menyentuh aspek regulasi yang menyangkut investasi dan infrastrukutur. Contohnya Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerja Sama Pememrintah dan Swasta Dalam Pengadaan Infrastruktur.Regulasi ini banyak diminta untuk direvisi untuk memberikan kesempatan lebih besar kepada investor asing atau dalam negeri untuk terlibat dalam pembangunan infrastruktur transportasi.Selama ini swasta memang masih kesulitan untuk masuk dalam investasi infrastruktur.Selain itu,anggaran infrastruktur dalam APBN hanya sekitar Rp.76 trilliun tidak cukup untuk memenuhi target pembangunan yang ditetapkan pemerintah.Jika infrastruktur dibenahi,arus masuk investasi sektor rill akan makin besar yang ujungnya menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia.Beda halnya dengan sekarang,investor lebih suka menanamkan uangnya di sektor finansial yang rentan terhadap pelarian arus modal dari dalam negeri sewaktu-waktu.
Di bidang kesejahteraan rakyat,hambatan-hambatan paling banyak disebabkan oleh pengoptimalan program-program pro rakyat yang berorientasi empowering (berdaya) bukan dependency (tergantung). Kondisi berdaya adalah dimana orang miskin dibantu untuk membantu dirinya sendiri sehingga terwujud keberfungsian sosial.Presiden dalam pembukaan national summit mengatakan tidak hanya memberikan “ikan” namun juga “kail dan perahu”.Tentunya hal tersebut tidak cukup tanpa adanya penciptaan “pasar” dengan regulasi yang berkeadilan. Orang miskin yang mendapat bantuan kredit usaha,tetap saja tidak bisa berdaya karena pemerintah lebih condong pada pengusaha besar daripada usaha rakyat miskin tersebut.
Dengan adanya pasar yang berkeadilan,akan mendongkrak pendapatan dan daya beli sehingga pengangguran dan kemiskinan berkurang.Banyaknya orang yang bekerja akan mendongkrak daya beli yang membawa efek positif bagi gairah pasar dalam negeri.Sedangkan di bidang politik,hukum dan pertahanan memiliki hambatan paling besar di sektor reformasi birokrasi, korupsi,reformasi hukum dan HAM serta modernisasi pertahanan. Reformasi birokrasi harus menjunjung tinggi semangat efisiesi dan efektifitas aktivitas perekonomian nasional.Jargon “kalau bisa dipersulit,kenapa dipermudah” harus kita balikkan dengan mengutamakan kemudahan.Pemberantasan korupsi tidak akan berjalan baik jika tidak ada penegakan hukum dan political will dari semua pihak.Sedangkan sektor pertahanan bagaimana kordinasi sampai ke tingkat paling bawah untuk mewujudkan kedaulatan kita sebagai negara bangsa.
Semua hal di atas adalah aspek teknis.National summit hanya akan mengulang-ulang hasil yang sudah pernah disusun.Artinya,jabaran strategi dan taktik tersebut belum akan berjalan dengan sinergi tanpa adanya nakhoda moralitas dan perilaku yang pro rakyat.Bangsa ini sudah kenyang dengan banyaknya regulasi yang dibuat ,bayaknya lembaga-lembaga yang lahir namun miskin kinerja. Artinya,apa artinya national summit tanpa good will yang baik pula.
Untuk itu ada baiknya national summit ini juga melakukan rembuk evaluasi moral secara nasional.Di forum ini akan menghasilkan komitmen-komitmen moral yang diawasi oleh presiden dan undang-undang.Tak dapat dipungkiri bangsa kita masih harus dipaksa atau diawasi untuk bisa berbuat dalam koridor.Rembuk evaluasi moral dan sikap bisa dilakukan dengan share dengan presiden atau kepala-kepala daerah yang sukses membangun daerahnya.

Selain itu masih perlu kita jadikan kajian apakah sistem demokrasi kita harus kita benahi melihat banyaknya fenomena pembangkangan daerah ke pusat yang mengganggu sinergi capaian pembangunan.Apakah pemilihan langsung di tingkat kab/kota dan provinsi memang idealnya dipertahankan dengan pemilihan langsung atau dipilih oleh presiden.Wacana ini memang masih butuh kajian yang mendalam melihat pemilihan langsung merupakan hadiah reformasi yang susah payah diperoleh.Kalau dipilih presiden,pastinya akan dituding anti demokrasi dan amanat reformasi.kalau tidak dikaji,kita masih akan menemui hal ganjil dimana bupati tidak lagi tunduk pada gubernur bahkan presiden dalam tata pemerintahan yang diatur oleh undang-undang.

Siapa bilang Indonesia tidak bisa maju ?.Penulis katakan bisa.Tentunya dengan nakhoda moral dan sikap yang juga menunjukkan semangat membangun.Perbaikan peraturan tidak lebih penting dengan perbaikan diri.Jangan sampai peribahasa debu di seberang lautan bisa terlihat jelas,sedangkan gajah di pelupuk mata tidak terlihat. Mari kita menundukkan kepala sejenak untuk bertanya sejenak,berdialog dengan jujur pada hati terdalam kita.Apakah kita sudah punya moral dan sikap yang pro rakyat ?.

Adi Surya Purba
Ketua DPC GMNI Sumedang
Mahasiswa Fisip Unpad


0 komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar Anda Di Sini :