Posisis Strategis Buruh Dalam Hubungan Industrial

Posisis Strategis Buruh Dalam Hubungan Industrial

Aksi protes buruh yang terjadi di berbagai kota di tanah air menyelipkan pesan bahwa sampai saat ini kondisi kesejahteraan buruh masih jauh panggang dari api.Beberapa waktu belakangan aksi buruh marak untuk menuntut kenaikan upah minimum yang layak sesuai dengan tingkat kebutuhan hidup. Ada beberapa persoalan pokok seperti penolakan SKB empat menteri yang bertendensi lepas tangan negara sebagai pelindung kesejahteraan dan penentuan Upah Minimum Kota/Provinsi untuk tahun 2009.Tarik menarik kepentingan dalam beberapa persoalan mendasar membuat pengusaha, buruh dan pemerintah selalu terjebak dalam konflik yang berkepanjangan.

Gelombang aksi protes buruh tidak terlepas dari peran serikat pekerja. Seiring dengan reformasi, nafas demokratisasi di tingkatan buruh ditindaklanjuti dengan kebebasan untuk mendirikan serikat-serikat buruh.Sesuai pasal 5 Undang - Undang Nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh terdapat kebebasan para buruh untuk membentuk serikat kerja di tiap-tiap unit usaha dengan dukungan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang buruh. Kebebasan dalam membentuk serikat kerja ini betul-betul dimanfaatkan oleh buruh untuk mendeklarasikan serikat kerja sesuai warna dan kepentingan politiknya. Paling tidak kurang dari 20 (dua puluh) serikat kerja yang tampil mewakili aspirasi buruh,baik yang beririkan afiliasi agama,sosial demokrasi sampai yang pragmatis (Uwiyono, 2001).

Jika kita membedah kepentingan dari masing-masing pihak,akan terlihat warna kepentingan yang saling berkaitan.Pihak pengusaha dengan orientasi penumpukan keuntungan senantiasa memperlakukan buruh sebagai mesin dan terlihat kurang berpihak pada kesejahteraan pekerja. Buruh atau karyawan akan selalu dibimbing oleh nalar kewajiban perusahaan untuk memberi upah dan imbalan kerja yang layak. Sementara pemerintah sebagai regulator,berkepentingan menjaga kondisi pertumbuhan ekonomi makro melalui investasi korporasi.Namun,yang seringkali terjadi adalah kepentingan perusahaan dan pemerintah berada di atas kepentingan buruh.Semestinya, buruh dan pengusaha mencerminkan hubungan simbiosis mutualisme dan menghilangkan logika eksploitasi.Tentunya hal ini tidak akan terjadi jika hubungan industrial antara kedua belah pihak berjalan harmonis.

Secara sederhana,Suwarto (2000) menyimpulkan bahwa hubungan industrial dapat diartikan sebagai sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku proses produksi barang dan/atau jasa.Pihak-pihak yang terkait di dalam hubungan ini terutama adalah pekerja, pengusaha, dan pemerintah.Dalam membangun hubungan industrial yang harmonis,masing-masing pihak harus mampu menangkap dan saling empati terhadap masing-masing kepentingan.Namun,seringkali posisi buruh sebagai pencari pekerjaan berada dalam posisi yang inferior dihadapan pemilik perusahaan.Kebijakan menyangkut kesejahteraan buruh ditetapkan secara sepihak sesuai dengan kepentingan perusahaan tanpa mengkomunikasikannya dengan perwakilan buruh. Hal ini dalam jangka panjang dapat menyebabkan terjadinya perselisihan hubungan indusutrial.

Untuk mendesain posisi buruh yang memiliki daya tawar (bargaining position) yang tinggi di mata perusahaan, diperlukan kerjasama dari banyak pihak.Pertama,buruh harus memiliki serikat kerja/buruh yang betul-betul membawa aspirasi buruh.Serikat tersebut hendaknya berasal dari buruh sendiri dan tidak berasal dari perusahaan. Anggota serikat buruh hendaknya memiliki kapasitas sumber daya manusia yang paham akan hubungan industrial. Sehingga serikat buruh tersebut tidak dapat dipermainkan dan diintimidasi oleh perusahaan. Serikat buruh juga sebaiknya melakukan pendidikan,penyadaran dan peningkatan kapasitas bagi buruh.

Kedua,menggugat peran negara sebagai regulator untuk menghasilkan produk-produk aturan yang mampu menjembatani masing-masing kepentingan.Selama ini kebijakan pemerintah turut memicu kurang harmonisnya hubungan industrial buruh-perusahaan.Negara harus netral dalam perselisihan hubungan industrial dan tidak terjebak dalam salah satu kepentingan saja. Selanjutnya pihak perusahaan harus turut mendukung melalui komunikasi intensif dengan pihak buruh. Sejatinya buruh tidak akan dinakatirikan jika posisi buruh berada pada posisi yang strategis di hadapan perusahaan dan pemerintah.

Adi Surya

Mahasiswa Ilmu Kesejahteraan Sosial

Fisip Unpad.

Ketua GMNI

Kontroversi Iklan Politik PKS

Kontroversi Iklan Politik PKS

Upaya merebut simpati publik menuju pemilu 2009 semaik gencar dilakuan oleh kontestan politik. Salah satunya menyangkut pro dan kontra tentang iklan PKS yang dianggap tidak etis dengan menghadirkan tokoh-tokoh yang memiliki basis massa dari kelompok tertentu, juga perihal kontroversi mantan Presiden Soeharto sebagai pahlawan. Manuver PKS ini kemudian menggelinding menjadi wacana hangat di ruang publik. Pencantuman tokoh-tokoh seperti Soekarno, KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asyari dalam iklan tersebut memicu protes dari kalangan NU dan Muhammadiyah. Dasar protes tersebut menyangkut klaim figur yang selama ini menjadi identitas kelompok politik. Begitu juga dengan memunculkan Soeharto sebagai tokoh pahlawan yang dianggap sebagian pihak sebagai ketidakkonsistenan PKS menjaga amanat reformasi.

Manuver-manuver yang dilakukan oleh aktor politik tidak bisa kita lihat secara parsial. Tindakan politik dibimbing oleh adanya tujuan, yakni bagaimana partai bisa memenangkan tiket menuju kekuasaan. Jadi dalam membaca iklan PKS, tidak terlepas dari agenda pemenangan pemilu.Kontroversi pertama menyangkut tentang tokoh-tokoh bangsa yang memicu polemik. Sebenarnya sah-sah saja PKS memunculkan tokoh bangsa dalam iklan politiknya. Sebagai tokoh bangsa, Soekarno, KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asyari walaupun memiliki akar sejarah dengan kekuatan politik tertentu, namun tidak menghalangi masyarakat untuk menjadikannya sebagai milik semua pihak.

Pemunculan tokoh bangsa ini dimaknai sebagai perluasan pasar pemilih PKS. Dalam marketing politik, pembagian jenis-jenis pemilih dapat kita klasifikasi menjadi internal dan eksternal. Pemilih internal lebih dikenal sebagai konstituen yakni kelompok masyarakat yang merasa diwakili oleh suatau ideologi tertentu yang kemudian termanifestasikan dalam institusi politik seperti partai politik. Sedangkan pemilih eksternal terbagi atas konstituen partai lain dan pemilih non partisan yang ideologi dan tujuan politiknya tidak dikaitkan kepada suatu partai dan juga konstituen partai lain. PKS dikenal memiliki pemilih konservatif yang tidak mudah berubah haluan. Oleh sebab itu, untuk mencapai tujuan politiknya, pemilih eksternal kini menjadi sasaran. Upaya perluasan pasar PKS ini mulai terbaca ketika partai dakwah ini memunculkan wacana pergeseran platform politik ke arah nasionalis. Begitu pula saat PKS berkoalisi dengan PDS dalam pilkada di Papua. Tampaknya PKS mencoba mendekonstruksi ekslusivitas menjadi partai terbuka bagi semua golongan. Ada sebuah kesadaran jika PKS hanya berebut di pemilih Islam tradisional, maka PKS hanya akan berebut dengan PKB,PPP dan PBB. Dengan konstituen politik yang bisa dikatakan setia, tidaklah terlalu berpengaruh ketika partai ini melakukan manuver yang dianggap berlawanan dengan citra PKS.

Begitu pula dengan pemunculan tokoh yang mewakili kaum-kaum nasionalis, NU dan Muhammadiyah tidak lebih sebagai upaya merebut konstituen pihak lawan. Aksi protes NU dan Muhammadiyah juga tidak lebih dari kekuatiran dan kegeraman akan berkurangnya pemilih pada pemilu 2009. Kontroversi kedua menyangkut Soeharto. Walaupun gelar pahlawan hanya bisa diberi oleh negara, momentuh hari pahlawan dengan kemunculan Soeharto memberi benang merah bahwa PKS memiliki dua maksud. Pertama, merebut simpati keluarga cendana sebagai bentuk dukungan politik. Kedua, PKS sengaja agar iklan ini menjadi kontroversi yang terus bergulir sehingga menguntungkan partai.PKS menangkap ada kerinduan masyarakat arus bawah terhadap sosok Soeharto ditengah badai ketidakpastian kondisi politik dan ekonomi. Pembicaraan tentang iklan PKS tersebut tampak sedikit berhasil membuat publik membicarakannya.Padahal dilihat dari jangka waktu kemunculan iklan tersebut hanya selama tiga hari.

Terlepas dari kontroversi yang ada, kita sebaiknya belajar dan menguji efektivitas iklan tersebut dalam pendulangan suara sebuah partai dalam kampanye. Dalam marketing politik, kampanye diartikan sebagai ajang para kontestan untuk memasarkan produk-produk politik yang ditawarkan untuk memengaruhi publik agar membeli produk tersebut. Jika kita analogikan dalam ilmu marketing , produsen adalah partai politik, konsumen adalah rakyat dan pasar adalah masa kampanye. Logika ideal pasar adalah dimana produsen dan konsumen sama-sama memiliki hubungan simbiosis mutualisme. Dalam artian, produk politik ( isu atau program ) harus memberikan kepuasan pada konsumen. Dalam hal ini komunikasi politik berbentuk iklan harus dapat menyentuh kepentingan publik.

Menurut Lazarfefeld et al ( dalam Brader,2006) semua jenis propaganda pada dasarnya adalah permainan emosi publik. Baden (dalam Brader,2006) menambahkan bahwa iklan politik pada intinya lebih ditujukan untuk menggugah aspek emosional dibanding intelektual. Stimulus emosi dalam iklan politik pada umumnya terbagi dua,yaitu rasa takut dan harap. Rasa takut akan mendorong seseorang memilih sosok pemimpin yang mendatangkan stabilitas, sedangkan rasa harap akan menolong seseorang memilih sosok pemimpin atau partai yang mendatangkan perubahan. Pemunculan tokoh bangsa pada iklan PKS dibaca sebagai pemunculan harapan dan kerinduan akan sosok yang kuat dalam memerintah bangsa ini. Kebesaran sosok Soekarno sebagai pemimpin, keteladanan KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asyari dan stabilitas pada era Soeharto kemudian menjadi simbol untuk menggambarkan harapan dan kerinduan publik.

Namun, tidak selamanya kekuatan iklan selalu berkorelasi dengan tingkat keterpilihan. Jika tidak ditopang oleh aksi lanjutan, iklan politik PKS tidak akan berdampak signifikan bagi pendulangan suara. Dalam tulisan Muhammad Faisal, seorang analis psikologi politik di sebuah media nasional, mengatakan bahwa iklan politik harus memberi stimulus emosi ketimbang rasionalitas. Hal ini ditunjukkan dengan stagnasi dan penurunan popularitas sejumlah elit yang gagal menangkap faktor emosi sebagai bahan kampanye. Hasil survey Lingkar Survey Indonesia pada Oktober lalu menunjukkan bahwa popularitas Soetrisno Bachrir tetap stagnan pada angka 49 persen. Begitu juga dengan Rizal Malaranggeng dengan slogan “ Generasi baru, harapan baru” yang hanya mengantar popularitas Rizal pada angka 13 persen. Ini berbeda dengan iklan Gerindra yang cukup jitu menjadikan emosi publik dalam iklannya. Dalam iklan tersebut tampak Gerindra mencoba membangkitkan emosi rakyat melalui visualisasi semangat kerja petani dan gambaran akan kebangkitan Indonesia yang kemudian membuat pada September lalu popularitas Gerindra mencapai angka 65 persen.

Iklan PKS jika kita lihat tidak banyak menggambarkan sisi-sisi emosional pemilih. Dengan memunculkan tokoh-tokoh bangsa, rakyat tidak akan mudah berpindah haluan. Iklan politik akan lebih terasa jika ditopang jaringan pada akar rumput. Ditambah pemilih semakin rasional dalam menanggapi iklan politik yang membuat seorang pemimpin atau partai tidak akan menang dengan iklan semata. Iklan PKS sebaiknya tidak perlu direspon secara berkepanjangan. Iklan tersebut bagi penulis tidak lebih seperti iklan-iklan politik lainnya. Justru, kecaman terhadap iklan tersebut akan semakin menguntungkan PKS karena merasa sebagai pihak yang tampak selalu dijadikan musuh. Gaya politik PKS tersebut kiranya bisa dibaca kontestan lain sehingga tidak terjebak dalam alur main yang didesain untuk mengambil keuntungan.

Menggagas Politik Beras Untuk Mandiri

Menggagas Politik Beras Untuk Mandiri

Secara sederhana swasembada beras dapat didefenisikan sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan beras dalam negeri. Dalam sejarahnya, Indonesia pernah mengalami swasembada pada tahun 1984 di era Orde Baru. Sebagai perbandingan, jika tahun 1969 Indonesia hanya mampu memproduksi beras sekitar 12,2 juta ton, pada tahun 1984 bisa mencapai 25,8 juta ton kebutuhan sekitar 160 juta penduduk (saat itu) dan bahkan secara gotong royong petani Indonesia mengumpulkan gabah secara sukarela sebesar 100.000 ton untuk disumbangkan kepada petani dunia lain yang kekurangan pangan. Bisakah kita mengulang masa-masa era keemasan melimpahnya produksi beras ?

Pertanyaan tersebut mengindikasikan bahwa kondisi sekarang jauh dari nostalgia swasembada beras. Impor beras dari Vietnam beberapa tahun belakangan menggambarkan carut marutnya kondisi perberasan kita.Walaupun Menteri Petanian,Anton Apriantono mengklaim Indonesia sebenarnya sudah swasembada beras sejak tahun 2004, kita masih merasakan munculnya kerentanan-kerentanan jika produksi gagal panen ataupun ancaman dari perubahan-perubahan ekonomi dan alam.Artinya, kondisi ketahanan produksi beras kita, masih jauh dari aman.

Ada beberapa persoalan yang masih membelit kemandirian perberasan kita. Saat ini terjadi peralihan lahan pertanian menjadi pusat aktivitas ekonomi,pemukiman dan pembangunan fisik. Ditambah lagi dengan kegagalan panen,wabah hama,, minimnya infrasturuktur dan kondisi alam yang fluktuatif membuat kita rawan mengalami krisis beras.Liberalisasi pangan yang sekarang mulai berefek pada jatuhnya harga gabah petani menambah buram potret politik perberasan. Belum lagi aksi penyeludupan beras ke luar negeri karena harga di luar lebih menjanjikan dibanding harga dalam negeri.

Untuk keluar dari benang kusut permasalahan perberasan, kita perlu langkah-langkah jangka pendek dan jangka panjang. Pertama,menerapkan politik beras untuk menjaga stabilitas makroekonomi.Caranya dengan mengendalikan harga lewat penyeimbangan pasokan dan permintaan. Kedua, pengadaan infrastruktur tanaman pangan seperti pengadaan daerah dan jaringan irigasi,pencetakan lahan tanaman pangan khususnya padi, jagung, gandum, kedelai serta akses jalan ekonomi.Ketiga, membendung laju konversi lahan dan peningkatan produktivitas melalui penelitian dan pengembangan varieas unggul. Keempat, membuat kebijakan-kebijakan yang pro petani, seperti mengalokasikan anggaran buat sektor pangan ataupun subsidi pupuk yang cukup bagi petani. Diharapkan Indonesia bukan hanya bisa memenuhi kebutuhan “perut sendiri” tetapi sudah mampu berkontribusi buat “perut negara lain”.

Adi Surya Purba

Mahasiswa Kesejahteraan Sosial

Fisip Unpad

Aktivis GMNI



.

Republik Mencari Pemimpin Alternatif

Republik Mencari Pemimpin Alternatif

Sebenarnya wacana pemimpin alternatif tidak perlu muncul tatkala kepempinan nasional berjlan dinamis. Wacana ini justru semakin menegaskan bahwasanya Indonesia sedang mengalami stagnasi kepemimpinan, bukan karena kekurangan pemimpin tetapi lebih pada hegemoni status quo yang tidak pernah puas dengan hasrat berkuasanya. Alumni-alumni pilpres 2004 tampaknya masih akan mewarnai belantika pemilihan presiden dan wakil presiden 2009. Lihat saja Megawati yang kembali mencalonkan diri sebagai presiden. Padahal masih belum hilang ingatan kita penjualan aset-aset bangsa di zaman Mega memimpin. Kemudian ada Wiranto dan Prabowo yang merupakan wajah lama yang nyata-nyata adalah bagian dari Orde Baru dan diduga terlibat pelanggaran HAM. Hari ini Indonesia benar-benar mendambakan pemimpin alternatif.

Pemimpin alternative diartikan secara sederhana sebagai :yang bukan wajah lama”. Isu ini pun kemudian mendapat sambutan yang dinamis di tengah publik. Sambutan ini ditandai dengan munculnya keberanian untuk menerabas jalur lama dan memelopori gagasan baru.Saat ini ada tiga jalur yang sedang diperjuangkan sebagai lorong munculnya pemimpin alternatif. Pertama, jalur independen. Jalur ini adalah jalur non parpol dan baru berhasil sampai pemilihan kepala daerah saja.Kedua,kepemimpinan kaum muda. Pemuda dianggap mewarisi tugas dan tanggungjawab sejarah untuk memimpin dan membawa perubahan di negeri ini. Ketiga, calon dari parpol yang reformis dan bukan status quo. Calon dari partai ternyata masih diminati oleh publik,oleh karena itu jalur parpol juga masih ada harapan untuk melahirkan pemimpin alternatif.

Munculnya pemimpin alternative ibarat oase di padang tandus. Rakyat sudah bosan dan jenuh dengan calon “ lu lagi-lu lagi “. Namun, di tenghah harapan akan munculnya tokoh baru, perjuangan memunculkan calon alternative sangat susah. Hal ini terlihat dari syarat untuk mengajukan presiden adalah 20 persen dari kursi DPR. Begitu juga dengan calon independen yang terhambat oleh konstitusi untuk masuk bursa. Kaum muda pun tampaknya belum akan mendapat angin segar, karena partai politik lebih mengutamakan orang-orang yang punya uang dan massa. Artinya, calon alternatif kecil sekali kemungkinanya untuk tampil.

Ini merupakan bukti bahwa rakyat hanya diberikan kedaulatan semu untuk menentukan pemimpin. Kita hanya penoton dan objek politik dari ekdaulatan parpol. Sudah saatnya mencari dan mengusung pemimpin alternatif yang juga disertai dengan integritas, kapasitas dan akseptabilitas. Indonesia merindukan sosok ratu adil yang dating memebaw kemashalatan bagi tiap-tiap orang di republik ini. Jika status quo gagal, saatnya mencari pemimpin alternatif.

UU PORNOGRAFI DAN PEMBANGKANGAN SIPIL







UU PORNOGRAFI DAN

PEMBANGKANGAN SIPIL

Dengan diketuknya palu pengesahan RUU Pornografi menjadi Undang-Undang, menandakan sebuah titik klimaks pergulatan antara benar-salah, monotafsir-multitafsir, berfikir keliru-berfikir benar dan penyeragaman-perlindungan di tingkat legislatif. RUU pornografi menjadi kontroversial karena bersentuhan dengan moral dan ranah privat dalam sebuah bingkai keberagaman yang selalu menghadirkan ruang relativitas. Selain itu, RUU ini berhasil memecah rekor dalam lamanya pembahasan yakni selama 10 tahun yang melahirkan kubu pro dan kontra. Menarik ketika sinyal perdebatan mulai direduksi oleh publik menjadi peperangan pendukung syariat Islam dan pendukung pluralisme. Warna-warni inilah yang kemudian membuat RUU ini selalu tampak “seksi” dan “ panas” ketika disajikan di ruang publik. Namun, DPR seolah harus kejar tayang untuk buru-buru mengesahkan RUU tersebut, padahal didalamnya masih terkandung nada protes dari sebagian besar masyarakat.

Jika kita membalik ingatan kita pada awal kenapa pornografi harus diatur melalui undang-undang adalah adanya keprihatinan terhadap moral bangsa agar terlindung dari aksi-aksi porno. Pornografi dianggap sebagai salah satu masalah sosial (social problem) yang dikawatirkan menjadi bahaya laten demi terwujudnya generasi bangsa yang berakhlak dan bermoral. Dalam perjalannya, kekawatiran tersebut diartikulasi ke dalam bentuk undang-undang yang sifatnya mengikat dan menyeluruh. Perdebatan gagasan pun seperti “gayung bersambut” dalam ruang-ruang setuju maupun menolak. Bukan hanya di tingkat elit, namun gaungnya sudah menggema ke daerah-daerah yang memang rentan terkena imbas pengaturan terhadap apa yang disebut porno. Bali, Papua, Sulawesi Utara adalah sedikit daerah yang kritis terhadap RUU ini.

Gelombang yang merespon terbagi atas tiga kubu. Pertama, menolak RUU Pornografi, kedua, Revisi terbatas terhadap pasal-pasal yang dianggap bermasalah dan ketiga, mendukung RUU Pornografi segera. Sejarah perdebatan memang sangat alot. Sejak undang-undang ini masih bernama RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi sampai dirubah dan disahkan mejadi RUU Pornografi. RUU APP pada saat penyusunanya memang mengandung beberapa potensi disintegrasi dan kekeliruan berfikir. Salah satunya adalah tidak dijelaskan secara tegas tentang perlindungan adat, budaya dan kearifan lokal yang berpotensi terjerat pasal-pasal karet. Begitu pula tentang defenisi yang sangat multitafsir tentang apa batasan yang disebut porno. Kemudian setelah menerima kritik dan saran dari berbagai elemen masyarakat, RUU tersebut diubah menjadi RUU Pornografi untuk mengakomodir kelemahan-kelemahan pada rancangan sebelumnya. Meskipun demikian, RUU Pornografi masih dianggap belum kompatibel dengan apa yang diinginkan oleh beberapa pihak. Malah wacana penolakan pengesahan RUU ini kemudian mengalami distorsi yakni sikap menolak berarti mendukung pornografi. Sebuah kekeliruan berfikir yang tidak pada tempatnya.

Pokok –pokok perdebatan antara lain adalah mencakup hal-hal yang belum teruji di lapangan seperti argumen akan adanya penyeragaman, anarkisme sipil, salah hukum dan beberapa pasal lain yang berbau multitafsir. Perdebatan pasal multitafsir pertama menyangkut tentang defenisi pornografi. Kesalahan yang terjadi disini adalah DPR yang menganggap bisa mengatur persepsi individu terhadap suatu objek. Defenisi ini seolah menganggap bahwa respon seseorang dianggap sama dengan respon orang lain. Ini terlihat dari klausul “dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat". Kedua, pasal yang Pasal 4 (ayat 1h) tentang muatan "tampilan yang mengesankan keterlanjangan"; dan Pasal 10 terkait "eksploitasi seksual" juga pasal yang m,engatur tentang peran masyarakat. Seperti apa yang dimaksud dengan kedua frasa ini tidak dijelaskan dalam RUU ini. Lalu bagaimana menentukan suatu tampilan sudah "mengesankan keterlanjangan" dan "eksploitasi seksual"?. Peran masyarakat juga bisa menjadi bias karena apa yang dianggap porno atau tidak masih multitafsir. Padahal bahasa hukum haruslah menunjukkan ketegasan, bukan bahasa yang menimbulkan interpretasi yang beragam.

Ketiga adalah isu penyeragaman budaya. Memang pada RUU APP yang dulu, aroma penyeragaman sangat terlihat jelas, namun pada RUU Pornografi, daerah-daerah yang yang memiliki budaya telah diakomodasi. Budaya adalah hasil cipta karsa membentuk peradaban dan sejatinya bukan ditujukan untuk pornografi dan bukan salah satu pengecualian dari bentuk-bentuk pornografi. Namun, apa daya palu telah diketuk dan konsekuensi demokrasi memang tidak bisa memuaskan semua pihak. Keputusan di tingkat elit telah dibuat, sekarang bola menggelinding ke rakyat sebagai objek sekaligus subjek pemegang daulat. Beberapa tokoh masyarakat di Bali bahkan sudah menggelindingkan wacana pembangkangan sipil tanda tidak setuju dengan pengesahan tersebut. Menarik mendengar wacana pembangkangan sipil terhadap peraturan yang dibat oleh wakil rakyat sendiri. Ada aroma ketidakserasian antara wakil rakyat dengan suara rakyat.

Pembangkangan sipil terjadi ketika sebuah negara yang didirikan untuk mencapai kemakmuran, keadilan dan kesejahteraan berubah wajah menjadi kekeuatan besar yang menindas hak-hak warganya, membelenggu kemerdekaan dan merampas rasa keadilan masyarakat. Rawls(1971 : 333) menetapkan bahwa aksi pembangkangan sipil memiliki peran stabilisasi dalam sebuh pemerintahan yang hampir terbuka sebagai jaminan kerukunan anatara konstitusi dengan warga negara. Rawls mencatat bahwa ketidakadilan sengaja mengundang pembangkangan dan perlawanan. Senada dengan Rawls, Jurgen Habermars berpandangan pembenaran pembangkangan sipil terletak pada pemahaman yang dinamis tentang konstitusi sebagai sebuah rancangan yang tidak pernah berakhir. Dari perspektif jangka panjang ini, sebuah negara konstitusional tidak merepresentasikan suatu struktur yang sudah berakhir, tetapi suatu struktur yang lunak dan sensitif yang tujuannya adalah mewujudkan sistem hak yang baru dalam keadaan-keadaan yang berubah, yaitu menafsirkan hak yang lebih baik, melembagakan secara lebih sesuai dan mendesak isinya secara lebih radikal.

Dalam hal ketidaksetujuan rakyat terhadap pengesahan RUU Pornografi, pembangkangan sipil jangan sampai mengambil ruang-ruang sempit anarkisme, namun hendaknya memanfaatkan jalur-jalur konstitusional. Masyarakat bisa mengajukan judicial review dalam bentuk pengajuan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Disini publik menyerahkan kepada pihak ketiga yang berwujud lembaga negara yang berwenang untuk menguji sebuah undang-undang.

Adapun wacana otonomi khusus (otsus) belum menjadi sebuah kebutuhan yang mendesak karena selain poin budaya sudah diakomodir oleh undang-undang dan pemerintah daerah (pemda) bisa menjabarkan ke dalam bentuk peraturan daerah (perda) sesuai dengan karakteristik dan kearifan lokal yang dimiliki daerah-daerah yang merasa terancam akan budayanya. Lagipula, wacana otonomi khusus (otsus) ini bisa menjadi “latah wacana” bagi daerah-daerah lain yang mungkin saja berujung pada semangat disintegrasi.

Kita semua sepakat untuk memerangi pornografi. Namun, disini yang terpenting bukanlah tataran spiritnya, namun bagaimana proses yang mencerminkan rasa keadilan antar sesama warga negara. Sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam negara demokrasi, rakyat diharapkan berpartisipasi aktif untuk membangun ruang - ruang dialogis dalam bingkai keberagaman. Tanpa itu semua, setiap peraturan hanya akan menjadi otoritas murni elit politik karena melihat realitas ketiadaan bargaining position rakyat untuk mempengaruhi setiap kebijakan.


Adi Surya P

Ketua DPC GMNI Kab. Sumedang 2007-2009

Bidang Hukum dan HAM DPD KNPI Sumedang