“ Untuk Apa Semua Ini Nak ?

Untuk Apa Semua Ini Nak ?

Kemudian Sang Ibu berpapasan dengan Gie di pinggir jalan. Wajahnya menampilkan raut kecemasan. Zaman itu adalah saat pergolakan politik mencapai titik terpanas. Di jalan-jalan mahasiswa berdemo, bernyanyi mengejek menteri-menteri yang dianggap goblok memerintah. Mereka bergerak bukan karena haus kuasa, bukan pula karena segepok uang haram. Melainkan murni berlandaskan panggilan hati dan nurani. Berparaskan idealisme yang tak lekang dimakan hormat pada para pemimpin negeri. Namun, di sudut muka Sang Ibu, wanita yang penuh perasaan, bergumpal setitik interupsi sebagai Ibu, melihat tingkah anak-anaknya yang sibuk tanpa pamrih memperjuangkan sebuah kata yang disebut “ perubahan”. Tepat di di depan Gie , sang demonstran, ia berujar “ untuk apa semua ini nak ? “.

Sekelompok anak-anak muda yang peduli pada nasib bangsanya berkumpul di ruang yang penuh asap rokok. Sayup-sayup mengalir cacian pada rezim yang tak pernah melihat rakyatnya sedang tergantung di tiang gantungan kesengsaraan. Sebentar lagi mati. Dengan bahasa intelek, mereka mulai mengurutkan satu persatu problem bangsa ini. Hari ini zaman-nya harga minyak tanah mahal. Harga beras, gula , minyak goreng pun enggan untuk turun. Di luar sana, petani menjerit-jerit , tergopoh-gopoh mencari uang untuk anak yang murung menahan malu karena tak bisa sekolah seperti anak-anak bangsawan lain. Dari kejauhan, di dalam imajinasi tergambar seorang tukang becak di persimpangan, kepanasan diterjang sengatan tajam mentari, menunggu penumpang yang tak kunjung datang. Bulir demi bulir keringat berselancar diantara guratan-guratan legam wajahnya. Hingga sore menjelang, baru pulang untuk anak istri yang bosan menunggu di meja makan. Hari ini terpaksa mengutang lagi untuk makan.

Gambaran derita anak bangsa membuat darah anak-anak muda tadi mendidih. Apa yang bisa kami perbuat untuk mereka ? “. Diskusi-diskusi tanpa solusi tak ada artinya jika hanyut dibawa mimpi. Saatnya bergerak. Mulai dari advokasi sampai demonstrasi pun direncanakan. Mereka mengumpulkan biaya perjuangan dari udunan masing-masing orang. Beli spanduk dan logistik saja uang udunan tak sampai. Lantas ngamen dari warung-warung pun dijadikan jalan. Itu juga belum cukup. Akhirnya, advokasi sampai demostrasi pun seadanya. Bukankah lebih penting esensi dibanding polesannya ?. Dengan semangat, pembagian tugas dimulai. Si Anu ke desa Sukasari mengumpulkan data. Si Polan mengurus perizinan, Si A, B, C mendapat tugas-tugas yang berbeda-beda. Terkadang kuliah dan bertemu dosen pembimbing skripsi dinomorduakan. Di hadapan barisan aparat keamanan yang berjejer bak tembok baja, mereka berteriak lantang menuntut keadilan. Sampai suara mulai kehabisan, parau ,serak ,TOA ( pengeras suara ) baru di digilir, begitu seterusnya hingga tak ada lagi diantara mereka yang sanggup berorasi.

Baru, menjelang subuh, tubuh-tubuh muda terkapar lemas kehabisan energi. Suara dengkuran yang bersahut-sahutan menandakan capek yang hebat. Anak-anak muda tadi tertidur pulas sehabis rapat evaluasi. Berharap esok perubahan akan terjadi. Meskipun sudah berkorban materi dan keringat, masih ada saja tudingan miring pada aksi mereka tadi siang. Demo pesanan lah, ditunggangi partai lah, Ga ada kerjaan lah, sampai disebut cuma pengen eksis di hadapan kuli-kuli tinta dan kamera. Orang-orang memang tak bisa disalahkan. Banyak kasus yang menimpa rekan-rekan mereka yang memang menggadaikan harta terakhir generasi muda,yakni idealisme.

Mereka tidak menuntut uang, tidak pula ingin duduk di kursi-kursi kekuasaan. Mereka sudah cukup senang melihat petani, buruh, guru, kuli pelabuhan, pedagang, anak—anak yang lapar karena kurang gizi, kakek tua renta yang tak mampu makan 3 kali sehari dan semua orang yang mereka sebut tertindas, tersenyum karena hak-nya sebagai manusia dikembalikan dan terpenuhi. Intinya,senyum rakyat adalah senyum mereka juga. Ada rasa puas tatkala melihat si tukang beca bisa membawa sebungkus makanan buat anaknya. Ada rasa bangga ketika berhasil menggulingkan rezim korup. Ada nyanyian dan tarian dalam jiwa saat tuntutan dikabulkan. Mereka,anak-anak muda dengan idealisme,tidak pernah minta banyak. Apalagi dengan pamrih.

Lalu, untuk apa semua ini ?. Saat uang jajan ludes untuk biaya aksi demo, saat daftar absensi berjejer penuh nama mereka, tatkala mereka di bawah ancaman Drop Out ( DO), Kadang mereka juga tak makan 3 kali sehari hanya agar aksi bisa terwujud. Beberapa dari mereka sudah 9 tahun tak lulus –lulus karena sialnya waktu aksi selalu pas bersamaan dengan jadwal bimbingan. Aku bertanya, apa yang mereka dapat ?. Bukankah setiap orang adalah pragmatis. Ingin mendapat keuntungan bagi dirinya sendiri. Kadang aku berpikir, anak-anak muda tadi lebih beriman dibanding rekan-rekan mereka yang ngakunya wakil Tuhan. Walaupun tak hafal setiap ayat kitab suci, tapi mereka melakukan lebih banyak dibandingkan orang yang kerjanya menghafal ayat tanpa pernah berbuat. Berdemo saja dia enggan. Padahal iman tanpa perbuatan adalah mati. Jika dipikir-pikir pekerjaan tanpa gaji anak-anak muda tadi sunggu mulia. Mereka gusar mendengar kemiskinan, mereka terusik dengan penggusuran dan mereka marah karena kesewenang-wenangan. Mereka hanya berpikir untuk nasib orang lain. Bukankah itu sangat mulia ?

Untuk apa semua ini ?” adalah pertanyaan dari orang-orang yang tidak pernah mau mengerti jalan pikiran anak-anak muda tadi. Dan bisa dikatakan si penanya juga terasing dari dirinya. Orang-orang seperti itu sibuk membahas untuk apa semua ini, hingga esok harinya kita bertemu, juga ditanya dengan pertanyaan yang sama. Hidup hanya sementara. Alangkah indahnya ketika berbuat secuil untuk orang lain. Kalau bukan kita, siapa lagi.


Penulis adalah salah satu penanya “ Untuk Apa Semua Ini ?“

Yang kemudian bergabung dengan anak-anak muda tadi

Dalam barisan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia.



0 komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar Anda Di Sini :