Djakarta, Benci Tapi Rindu




Djakarta, Benci Tapi Rindu


Sudah hampir seminggu aku di kota ini. Kebetulan sekarang lagi libur lebaran. Daripada membusuk di kota tak berpenghuni, lebih baik cabut. Sudah setahun lebih kakiku tak lagi menginjak kota ini. Ada sebentuk rasa takut yang akut, penuh cemas bercampur kangen yang menyelinap. Kota ini adalah catatan perjalanku yang penuh dengan cerita. Aku punya bayang-bayang masa lalu yang tak mungkin dihapuskan. Di saat aku meninggalkan seorang kupu-kupu liarku yang telah lama hilang. Ku berjalan di tempat pertama kali aku bertemu dia. Tepat di bawah jam besar di tengah-tengah taman, di depan markas KOPASSUS di Cijantung,Jakarta Timur.Tempat ini adalah tongkrongan favorit. Kalau ga karena setiap jam 12 , kodok – kodok hijau dengan senjata laras panjang yang mengusir, sudah bisa disebut rumah tuh tongkrongan. Hujan rintik seakan bermain irama ketika tunas - tunas rasa itu mulai menyembul. Sementara detak jam terus bergoyang, aku nikmati malam ini. Dan, di situ pula kau kutinggalkan dengan rintik hujan yang sama.

Aku tinggal di Komplek POLRI di pinggiran Jakarta. Bapak adalah polisi dan bibiku selalu menyuruhku agar berlibur di rumahnya, karena dia tahu, aku hanyalah anak sebatang kara yang coba mengadu otak di Jatinangor. Sebenarnya di rumah ini aku sangat berkecukupan. Makan tinggal makan, tidur tinggal tidur. Kurang enak apalagi. Namun, setiap kali berjibaku dengan hiruk pikuk Djakarta yang seakan tak mengenal mati, aku selalu rindu suasana di kampung kedua-ku, Djatinangor.

Tadi pagi, aku dapat sms dari teman sekelas. “ Tulisan Loe masuk PR Bos, Udah jadi pelanggan Koran Jabar nih, jangan lupa kalau pulang ke nangor, uang honornya dibagi-bagi “. Melihat beberapa tulisan yang pernah dimuat,aku jadi heran, mengingat dulu betapa malasnya aku menulis. Sekarang, aku punya target beli Laptop,tanpa harus mengemis ke orang tua. Toh, menulis bisa jadi sumber pemasukan. Aku selalu bercita-cita bisa jadi orang yang paling struggle menghadapi hidup ini. Aku benci melihat mahasiswa yang bisanya cuma minta dan disuapin. Gemes melihat orang-orang yang hanya berlindung di bawah batok tempurungnya sendiri. Aku tak mau seperti itu. Dan, Djakarta, telah menjadi saksi bagaimana sakit sekaligus nikmatnya hidup sebatang kara. Di sini aku ditempa jadi diri sendiri. Kota ini megajarkanku banyak hal tentang perjuangan hidup. Bahwa ga perlu gengsi untuk tetap makan. Ga perlu ngadu bokap –nyokap loe yang kaya mampus, ketika menghadapi kesulitan.

Aku belajar banyak di sini. Geliat persaingan dan bunuh – membunuh dalam arti “ yang kuat yang akan bertahan “ benar-benar terasa. Inilah sekolah hidup tanpa teks dan buku-buku. Di sini, kelihaian dan gesit adalah jimat untuk tetap eksis. Aku masih ingat saat aku harus tinggal di sebuah rumah kontrakan sempit, tak ada kasur, lemari dan bantal. Untuk menyeka kepalaku saat tertidur, terpaksa berbantalkan pakaian yang kutumpuk agar bisa menyangga leher saat ku terlelap. Pernah sekali, karena tidak lagi punya uang, harus sarapan roti setiap pagi seharga 500 perak untuk menambal sarapan di pagi hari. Bukannya aku tak punya banyak saudara kaya raya disini,bukan pula orang tua yang tidak mampu kirim uang. Tapi aku sendiri yang coba menjalani bagaimana rasanya hidup sendiri. Dengan bekerja di sebuah cafĂ©, dengan gaji yang tak pernah cukup , aku coba bertahan. Sedih memang, tapi sekaligus menempa hati kita bermental baja. Setidaknya aku tak lebih cengeng dari anak-anak rumahan yang taunya Cuma minta.

Pagi ini aku menjalani setiap tapak-tapak kakiku yang dulu. Tak lagi kulihat teman-temanku yang dulu. Jalan yang dulu cuma setapak, kini angkuh memayungi langkahku. Kembali aku jadi orang asing di sini. Namun, jika kuingat bagaimana tak berperasaannya kota ini memperlakukan manusia, rasa benciku bertumpuk-tumpuk. Ingin aku jadi penguasa Kota dan kuubah nasib orang-orang yang menderita. Aku tak ingin melihat kota ini menjelma menjadi Ibu tiri yang kejam, bukannya Ibu kota yang mengayomi. Di sini, ada istilah “ gue-gue dan elo ya elo “. Sebuah istilah yang menggambarkan pudarnya solidaritas sesama manusia. Itu yang paling ku benci dari Djakarta.

Lusa, aku sudah berencana untuk pulang ke Jatinangor. Aku sudah harus bekerja lagi di kandang banteng itu. Mengasuh, mengajari dan tak letih-letihnya mengajari anak-anak banteng muda yang haus akan eksistensi. Walau aku sebut ini adalah pekerjaan berat,aku tau ini adalah pekerjaan mulia. Bayangkan, mengembangkan orang lain yang bukan siapa-siapa agar dirinya berkembang dan tidak dibayar sepeser pun. Sampai-sampai harus berkorban Skripsi yang tertunda, kuliah yang bolong-bolong. Tapi aku yakin, semua tidak ada yang sia-sia. Jika kita terus berpikiran bisa , kita akan bisa.

Benci tapi rindu adalah kata yang tepat menggambarkan suasana hatiku di sini. Saat jauh, ingin kembali, tapi tiap kali kembali selalu ingin pergi lagi. Pengalaman adalah guru terbaik dan Mencoba hal baru adalah cara belajar yang paling mantap. Lusa, aku harus pergi. Djakarta oh Djakarta…





0 komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar Anda Di Sini :