Dekonstruksi Desa Sebagai Simbol Ketertinggalan

Dekonstruksi Desa Sebagai Simbol Ketertinggalan

Logika sederhana untuk menjelaskan alasan seseorang penduduk desa pindah ke kota adalah kawasan perkotaan dianggap lebih mampu menyediakan pemenuhan kebutuhan dibandingkan dengan pedesaan.Adanya pendikotomian kawasan seperti barat-timur, desa-kota membawa implikasi sisi yang satu lebih baik dibandingkan sisi lainnya.Hal tersebut kemudian memberikan semacam garis batas yang tegas terhadap klasifikasi apa yang disebut maju dan tertinggal.Kota menjelma menjadi pusat segala aktivitas karena pemusatan pembangunan, sedangkan desa identik sebagai tempat orang-orang yang masih terbelakang, udik, dan tidak modern.Dikotomi tersebut ternyata juga merasuk ke dalam rancangan para pengambil kebijakan pembangunan. Kota kemudian menjadi anak kandung pembangunan dan desa hanya dianggap anak tiri yang lekat dengan diskriminasi.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan warga melakukan urbanisasi. Pertama, adanya faktor penarik. Dikarenakan sentralisme pembangunan kota, menjadi sebuah kewajaran kawasan perkotaan maju pesat dengan segala institusi pemenuhan kebutuhannya.Faktor penarik tersebut antara lain penyediaan lapangan pekerjaan, akses pendidikan, sarana rekreasi dan hiburan yang tidak terpenuhi di desa. Kedua, faktor pendorong. Akibat ketertinggalan yang dialami desa, maka mendorong warga untuk mencari pemenuhan kehidupan yang lebih baik. Tahun 2008, dunia akan mencatat lembaran sejarah baru.Untuk pertama kalinya lebih dari separuh (3,3 miliar) penduduk di muka bumi akan hidup di wilayah perkotaan.Pertumbuhan populasi yang pesat ini terutama terjadi di negara berkembang (State of World Population 2007).

Michael P. Todaro (1978) memandang perbedaan upah antara desa dan kota sebagai variabel dominan yang mempengaruhi arus urbanisasi.Di Indonesia, sekalipun faktor-faktor yang mempengaruhi urbanisasi merupakan jalinan multidimensional, akan tetapi variabel ekonomi sangat dominan. Fenomena urbanisasi di Indonesia sangat dipengaruhi oleh menyempitnya lapangan kerja di pedesaan,perubahan struktur atas kepemilikan tanah,serta bertambahnya populasi petani gurem berlahan sempit.

Dengan momentum otonomi daerah, seharusnya desa bisa menggugat pemerintah daerah agar memberdayakan desa sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Potensi pertanian dan perkebunan dan aktivitas ekonomi berbasis lokal harusnya dikembangkan menjadi spesialisasi yang bernilai jual. Potensi yang dimaksud juga meliputi natural capital, human capital, dan social capital. Kemudian melakukan segregasi yang berarti konsentrasi suatu tipe kelompok orang atau kegiatan tertentu pada suatu wilayah tertentu. Kota tidak harus menjadi pusat segalanya, namun harus membagi pusat-pusat kegiatan yang bisa dibangun di desa. Semisal daerah hunian, pariwisata, perhotelan, pusat-pusat perdagangan pertanian yang tidak boleh dimonopoli oleh kota.

Dengan adanya keseimbangan dan pemihakan terhadap pemberdayaan desa, diharapkan wajah desa sebagai simbol keterbelakangan sedikit demi sedikit bertransformasi. Sehingga dikotomi desa dan kota tidak lagi berat sebelah melainkan saling melengkapi sesuai dengan potensi yang dimiliki kota atau desa.


Adi Surya Purba

Mahasiswa Ilmu Kesejahteraan Sosial

Fisip Unpad

Aktivis GMNI




0 komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar Anda Di Sini :