Perguruan Tinggi, Pemilu Dan Pendidikan Politik

Perguruan Tinggi, Pemilu Dan Pendidikan Politik

Kedatangan Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu ) ke Departemen Pendidikan untuk menjajaki kerjasama perguruan tinggi dalam pengawasan proses pemilu memberi makna bahwa perguruan tinggi sebagai lembaga strategis perlu memposisikan diri dalam pemilu.Kampus sebagai bagian dari elemen masyarakat sejatinya harus dilibatkan dalam mengawal proses transisi demokrasi di Indonesia. Kesalahan berfikir yang cukup fatal yang menghinggapi selama ini adalah kampus dianggap teritori yang harus bersih dari arena politik. Padahal sebagai pabrik penghasil intelektual, kampus memiliki sumber daya yang potensial untuk mengambil peran dalam arena politik. Sivitas akademika seperti dosen dan mahasiswa merupakan kaum intelegensia sebagai subjek aktif yang dapat dikatakan lebih melek politik dibandingkan masyarakat umum. Namun, disayangkan trauma politisasi kampus pada zaman orde baru mematikan insting peran politik kampus yang mengasingkan diri hanya berfokus pada urusan akademik. Rencana badan pengawas pemilu untuk melibatkan

Pada saat Mohamad Hatta berbicara di Kampus Universitas Indonesia pada tahun 1957, istilah inteligensia muncul ke percaturan pemikiran. Hatta mengingatkan bahwa dengan status sebagai kau terpelajar dan memiliki kedudukan dan peran yang penting dalam masyarakat justru mengimplikasikan tanggung jawab kaum inteligensia yang selalu mencari dan membela kebenaran. Bagi Hatta, kaum inteligensia dengan sendirinya memikul tanggung jawab besar, lebih besar dari golongan masyarakat lain, karena kualitas sebagai yang terpelajar. Kaum inteligensia memiliki kemampuan untuk menguji yang benar dan yang salah dengan pendapat yang beralasan,berdasarkan ilmunya.Disini kaum intelegensia dianggap sebagai kaum memiliki ilmu yang mengadung nilai-nilai moral.Oleh karena itu, kaum integensia memiliki tanggung jawab moril dan bukan hanya intelektual.

Peluit pelaksanaan masa kampanye pemilu 2009 sudah dibunyikan. Tentunya calon-calon kontestan yang mengikuti pertandingan politik akan mulai berlomba-lomba memenangkan kejuaraan lima tahunan ini. Inilah masa dimana partai politik (parpol) datang menjenguk konstituen dan merebut pemilih baru. Dalam waktu kampanye ini, setiap parpol punya strategi dalam merebut simpati masyarakat dan sebagai pemilih, publik harus cerdas melihat apa yang ditawarkan agar tidak terjebak dalam hingar bingar kampanye.

Dalam marketing politik, kampanye diartikan sebagai ajang para kontestan untuk memasarkan produk-produk politik yang ditawarkan untuk mempengaruhi publik agar membeli produk tersebut. Jika kita analogikan dalam ilmu marketing , produsen adalah partai politik, konsumen adalah rakyat dan pasar adalah masa kampanye. Logika ideal pasar adalah dimana produsen dan konsumen sama-sama memiliki hubungan simbiosis mutualisme. Dalam artian, produk politik (isu atau program) harus memberikan kepuasan pada konsumen.

Namun, tenyata cita-cita politik hampir selalu berbeda dengan realitas politik. Parpol sebagai produsen hanya memandang hubungannya dengan konsumen adalah hubungan subjek – objek. Konsekuesi logisnya adalah rakyat dianggap hanya sebagai alat untuk memuluskan parpol untuk menggapai kursi kekuasaan. Setelah menang, parpol balik badan meninggalkan rakyat. Objek identik dengan pasif, dan pasif adalah gambaran matinya ruang interaksi dialogis dan lemahnya posisi tawar ( bargaining position) rakyat di mata parpol.. Disinilah kemudian peran kampus untuk mengambil posisi strategis untuk menjembatani hubungan politisi dengan rakyat yang menghasilkan hubungan yang saling menguntungkan tanpa harus mencederai idealisme dan intelektualitas elemen kampus.

Kampus tidak bisa lepas dari entitas masyarakat yang hanya fokus pada intelectual production. Setidaknya ini tercermin dari Tri Dharma Perguruan Tinggi yang salah satunya adalah pengabdian kepada masyarakat sudah cukup menunjukkan bahwa kampus bukan sarangnya para intelektual menara gading yang terpisah dengan pergulatan kondisi masyarakat. Bahkan sejarah indonesia merdeka dipelopori oleh perlawanan kaum terpelajar dengan penjajah kolonial. Dari sini kita ingin berangkat bahwa kampus tidak seharusnya alergi pada pemilu sebagai pertarungan kekuasaan. Melainkan berdiri di tengah dan menghibarkan bendera netral tapi aktif menjadikan pesta demokrasi lima tahunan ini bisa berjalan dengan baik dan bermanfaat bagi mayarakat.

Beberapa peran bisa diambil oleh kampus sebagai bentuk social control terhadap perubahan sosial. Pertama, peran pengawas. Kampanye tidak pernah luput dari kecurangan, sehingga merugikan investasi politik rakyat. Bentuk-bentuk kampanye yang tidak mendidik hanya akan memberi pendidikan politik yang tidak sehat bagi rakyat. Dosen dan mahasiswa bisa juga melakukan riset sebagai pembanding dan rujukan bagi perkembangan politik yang ada. Kedua, peran fasilitator. Mahasiswa dan dosen tidak boleh anti politik. Karena kita semua adalah zoon politicon yang selalu hidup dan dipengaruhi oleh proses politik. Calon-calon yang belum dikenal rakyat, diperkenalkan melalui forum atau pun acara-acara yang diprakarsai kampus. Ini sebagai bentuk peran menjembatani masyarakat dengan calon, agar masyarakat tidak membeli kucing dalam karung. Ketiga, peran advokat. Ketika proses kampanye melanggar hak-hak masyarakat, maka kampus juga bisa menjadi pembela hak-hak rakyat . Keempat, peran educator. Dengan tingkat pendidikan mayoritas masyarakat kita yang belum melek politik, maka pendidikan politik bagi masyarakat sebenarnya bisa diambil oleh mahasiswa. Elemen kampus yang memiliki tingkat intelektualitas yang lebih harusnya mau turun ke masyarakat sebagai pengejawantahan Tri Dharma Perguruan Tinggi.

Untuk menciptakan kehidupan yang demokratis, maka partisipasi seluruh elemen masyarakat menjadi syarat penting. Namun, partisipasi kampus dalam mengawal proses kampanye, jangan luntur dikalahkan politik uang. Banyak realitas yang terjadi di lapangan, kalangan intelektual kampus justru menjadi broker politik, bahkan mengorbankan idealisme demi pragmatisme sesaat. Partai bisa saja menggunakan potensi mahasiswa dan dosen demi mendukung hasrat kekuasaan. Untuk itu, kampus harus berdiri netral dan jangan bermain di wilayah “ abu-abu “. Biarlah wilayah politik praktis menjadi kawasan para elit politik dan posisi intelektual kampus jangan sampai menjadi politikus karbitan yang masih muda namun sudah berperilaku seperti politikus busuk.

Adi Surya P

Ketua DPC GMNI Kab. Sumedang

Bidang Hukum dan HAM KNPI Sumedang

Mahasiswa Kesejahteraan Sosial

Fisip Unpad

0 komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar Anda Di Sini :