RUU ORMAS DALAM TIMBANGAN

Fenomena gelombang penolakan terhadap RUU Ormas bisa kita baca sebagai tanda rapuhnya kepercayaan (trust) dalam relasi negara dan masyarakat sipil. Rendahnya kepercayaan tersebut akibat trauma kebijakan kontrol masyarakat sipil yang dilakukan Orde Baru melalui UU Nomor 8 tahun 1985 tentang Ormas. Sehingga, muncul kecurigaan terhadap pengaturan kebebasan yang sedang dilakukan DPR bersama Pemerintah melalui revisi UU Ormas. Revisi ini, meminjam Ketua PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin dianggap memutar kembali arah jarum jam sejarah otoritarianisme Orde Baru. Dalam hal ini, ucapan dari Milan Kundera mungkin tepat menggambarkan penolakan ini. Sastrawan Cekoslowakia ini mengatakan sejatinya bahwa perjuangan melawan kekuasaan, adalah perjuangan ingat melawan lupa.
          Dalam konteks hubungan negara dan masyarakat sipil seringkali yang terjadi adalah saling mendominasi. Konsep mengenai negara sebagaimana  yang banyak dianut oleh para ahli ilmu politik  adalah konsep negara sebagaimana yang diformulasikan oleh Max Weber yang  mengatakan bahwa “Negara sebagai organisasi  pemaksa yang bertugas mengendalikan wilayah  dan penduduk yang tinggal dalam wilayah  tersebut melalui pengorganisasian yang bersifat  koersif, ekstraktif, legal, dan administratif.”  Tidak jauh berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Alfred Stepan yang  mengatakan bahwa  “Negara mempunyai  kemampuan bertindak tidak hanya untuk  menentukan bentuk  hubungannya dengan  masyarakat tetapi lebih  daripada itu menentukan  hubungan-hubungan yang terjadi dalam  masyarakat, dimana negara mempunyai  karakteristik yang intervensionis artinya sedikit  banyak negara ikut mencampuri urusan  masyarakatnya sendiri.”  
Dalam hubungan masyarakat dengan negara, Idi Jahidi dalam tulisan “Peran Masyarakat Menuju Sistem Pemerintahan Negara Yang Demokratis” menyebutkan civil society memiliki tiga fungsi, yaitu: Pertama, sebagai komplementer di mana elemen-elemen civil society mempunyai aktivitas memajukan kesejahteraan untuk melengkapi peran negara sebagai pelayan publik (public services). Kedua, sebagai subtitutor. Artinya, kalangan civil society melakukan serangkaian aktivitas yang belum atau tidak dilakukan negara dalam kaitannya sebagai institusi yang melayani kepentingan masyarakat luas. Dan ketiga, sebagai kekuatan tandingan negara atau counterbalancing the state atau counterveiling forces. Kalangan civil society melakukan advokasi, pendampingan, ligitasi, bahkan praktik-praktik oposisi untuk mengimbangi kekuatan hegemonik negara atau paling tidak menjadi wacana alternatif di luar aparatur birokrasi negara. Oleh karena itu pula, civil society menjadi penting dalam pembangunan.

          Kebebasan Dalam RUU Ormas
          Berbicara RUU Ormas sebenarnya berbicara mengenai konsep kebebasan. Perdebatan mengenai kebebasan ini sudah terjadi sejak abad-abad sebelumnya di Eropa. Kelamnya zaman kegelapan dimana Gereja dan sistem pemerintahan monarki absolut menyebabkan rakyat tertindas. Oleh karena itu, John Locke, Montesquieu, Rousseau menentang monarki dengan mengetengahkan konsep kebebasan, kontrak sosial, pembagian kekuasaan dan menempatkan bandul kekuasaan di tangan rakyat. Oleh karena itu, dalam masyarakat Barat, kebebasan individu sangat dijunjung tinggi. Berbeda dengan Indonesia yang tidak punya pengalaman yang sama dengan Barat. Kebebasan merupakan reaksi dari sejarah kolonialisme. Oleh karena itu, semangat kolektivisme, gotong royong, lebih dominan dibandingkan dengan individualisme.
          Pengaturan kebebasan berserikat dan berkumpul diatur dalam konsititusi tepatnya pasal 28E ayat (3) UUD NRI tahun 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Membaca pasal ini secara sepotong-sepotong memberi tafsir kebebasan adalah bebas tanpa aturan. Bebas hanya sebagai hak setiap orang. Namun, karena kebebasan juga mengandung potensi kearah penyalahgunaan kebebasan, maka kebebasan harus dibatasi. Hal ini jelas terlihat dalam pasal pasal 28 huruf (J) ayat (1) dimana “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Juga diatur pada ayat (2) yang bunyinya “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”. Disini kebebasan tidak berhenti sebagai hak, tetapi juga kewajiban untuk menghormati kebebasan orang lain.
          Melalui konsep kebebasan diatas, maka kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat harus diatur. Namun pengaturan kebebasan seringkali mendapat perlawanan dikarenakan kekuatiran dalam pengaturan tersebut negara lalai dalam tugasnya memenuhi Hak Azasi Manusia yang salah satunya adalah jaminan akan kebebasan itu sendiri.

          Peran Pemerintah dan HAM
          Dalam naskah Akademis RUU Ormas dijelaskan bagaimana peran negara dalam pemenuhan HAM. Pertama, negara harus menghormati (to respect) HAM. Kewajiban dan tanggungjawab negara untuk melakukan penghormatan (obligation to respect) merupakan kewajiban negara untuk tidak turut campur untuk mengatur warga negaranya ketika melaksanakan hak-haknya. Dalam hal ini, negara memiliki kewajiban untuk tidak melakukan tindakan-tindakan yang akan menghambat pemenuhan dari seluruh hak asasi. Misalnya dengan membuat undang-undang jaminan kepada warganya untuk menyampaikan pendapat dan juga pemenuhan hak atas informasi.
          Kedua, negara harus melindungi (to protect) HAM. Kewajiban dan tanggungjawab negara untuk memberikan perlindungan (obligation to protect) merupakan kewajiban negara agar bertindak aktif untuk memberi jaminan perlindungan terhadap hak asasi warganya. Dalam hal ini, negara berkewajiban untuk mengambil tindakan-tindakan untuk mencegah pelanggaran semua hak asasi manusia oleh pihak ke tiga.
          Ketiga, negara harus memenuhi (to fullfil) HAM. Kewajiban dan tanggungjawab negara untuk melakukan pemenuhan (obligation to fulfill) hak merupakan kewajiban dan tanggung jawab negara untuk bertindak secara aktif agar semua warga negaranya itu bisa terpenuhi hak-haknya. Negara juga berkewajiban untuk meningkatkan kapasitas aparat hukum (polisi, jaksa, dan hakim) untuk bisa ikut mewujudkan penghotmatan hak sipil dan politik. Negara berkewajiban untuk mengambil langkah-langkah legislatif, administratif, hukum, dan tindakan-tindakan lain untuk merealisasikan secara penuh hak asasi manusia.

          Kontroversi Azas Ormas
          Gelombang penolakan RUU Ormas bisa kita bagi menjadi dua kelompok. Pertama, kelompok yang menolak pasal-pasal tertentu tanpa menolak RUU secara keseluruhan dan kelompok yang memang menganggap RUU Ormas sudah cacat sejak dini.  Penolakan ini seharusnya tidak dianggap remeh oleh parlemen. Dengan pilihan sistem demokrasi, negara dan masyarakat sipil sebenarnya berada dalam posisi yang sejajar dan saling mengembangkan. Menurut Henry B. Mayo, Sistim demokrasi membuka pintu menyelesaikan pertikaian secara damai dan sukarela. Demokrasi adalah satu-satunya sistim yang mengakui sahnya ekspresi politis dari pertikaian-pertikaian semacam itu dan mengatur penyelesaiannya secara damai melalui perundingan politik, sebagai alternatif  kekerasan. Demokrasi mengadakan suatu cara yang unik untuk menyelesaikan pertikaian secara damai, menegakkan ketertiban umum dan membuat kebijaksanaan-kebijaksanaan umum dengan fungsi komprominya. Oleh karena itu, segala masukan dari masyarakat hendaknya dinilai sebagai partisipasi politik yang positif dalam rangka penguatan fase konsolidasi demokrasi.
          Penundaan pembahasan RUU Ormas di Rapat Tim Perumus RUU sebanrnya langkah positif untuk semua pihak sama-sama mendinginkan pikiran dan melihat bersama isi RUU ini. Mengenai penolakan asas tunggal, dalam RUU ini tepatnya pasal 2 berbunyi “ Asas ormas tidak bertentangan dengan Pancasila dengan UUD”. Coba bandingkan dengan azas ormas di UU Nomor 8 tahun 1985 yang berbunyi “Organisasi Kemasyarakatan berasaskan Pancasila sebagai satu-satunya asas”. Kedua rumusan ini harus kita kritisi, rumusan pertama, sama sekali tidak mencerminkan ideologi bangsa kita. Sebagai bangsa yang memiliki nilai-nilai luhur, ideologi negara sudah sepatutnya menjadi azas setiap ormas yang hidup, tumbuh dan berkembang di Republik Indonesia. Sedangkan rumusan kedua, adalah rumusan yang lahir dari rezim otoriter.  Lebih baik dan lebih elegan mengatur azas ormas menjadi “Asas Ormas adalah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta dapat mencantumkan asas lainnya yang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
          Trauma akan politisasi Pancasila sebaiknya tidak membuat kita anti dan alergi mencantumkan Pancasila sebagai identitas ideologi kita. Hal ini sama seperti kita yang hendak membersihkan air mandi bayi, tetapi ikut membuang bayinya. Sudah terlalu sering kita melihat tindakan ormas yang anarkis, ormas-ormas asing yang merongrong kedaulatan NKRI, ormas-ormas proyekan musiman dan mandulnya peran serta ormas dalam pembangunan politik. Semua ini tidak akan bisa diatur jika trust antara negara dan masyarakat sipil tidak terbangun. Seturut pendapat Henry B. Mayo diatas bahwa demokrasi menyediakan cara penyelesaian secara damai dan sukarela. Pansus RUU Ormas hendaknya lebih aktif menyosialisasikan ke pihak-pihak yang kontra dan melibatkan mereka untuk berpartisipasi mengawal RUU ini.
     Pansus bisa membentuk tim untuk berdialog secara intensif dengan ormas-ormas yang berkeberatan. Hal ini akan menjadi pelajaran yang baik, bahwa DPR ternyata tidak tuli dan buta. Dalam jangka panjang, budaya “duduk bareng” ini yang akan memupuk trust antara negara dan masyarakat dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.


Adi Surya Purba
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik
FISIP UI

0 komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar Anda Di Sini :