Tanpa mengurangi rasa
hormat kepada Bapak Harry Tjan Silalahi, saya mohon izin untuk memberi
tanggapan terhadap tulisan beliau di Kompas (12/04) yang berjudul “Sesat Pikir
Pancasila Sebagai Pilar”. Tulisan yang ditulis Peneliti Senior CSIS ini
menarik, karena mungkin maksud dari penulis adalah bagaimana menampatkan
Pancasila di tempat yang benar (the right
thing in the right place). Semangat itu pula yang hendak dituangkan dalam
tulisan ini sehingga perdebatan di sebagian kalangan tentang istilah pilar ini
bisa didialogkan dalam konstruksi yang positif.
Pertama,
hendaknya jika kita sepakat untuk membahas persoalan ini dalam ranah akademis,
maka kita juga hendaknya menggunakan rujukan ilmiah. Perdebatan soal pilar
sebagai tiang penyangga atau sebagai dasar hanya akan berbuah debat kusir jika
kita tidak mencari tahu dalam semangat apa istilah Pilar itu lahir. Jika kita
membaca Buku Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara yang disusun oleh
Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR 2009-2014, istilah pilar yang
dirujuk dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka, hal 873), berarti
tiang penguat, dasar, yang pokok atau induk. Dari definisi ini bisa kita lihat
bahwa sebenarnya definisi pilar tidaklah semata-mata hanya tiang penyangga. Pilar
juga bisa berarti yang pokok atau induk. Penyebutan Empat Pilar kehidupan
berbangsa dan bernegara tidaklah dimaksudkan bahwa keempat pilar tersebut
memiliki kedudukan yang sederajat. Setiap pilar memiliki tingkat, fungsi dan
konteks yang berbeda. Pada prinsipnya Pancasila sebagai ideologi dan dasar
negara kedudukannya berada diatas tiga pilar lainnya.
Masih dalam buku yang sama, dimasukkannya Pancasila sebagai
bagian dari Empat Pilar semata-mata untuk menjelaskan adanya landasan ideologi
dan dasar negara, UUD NRI tahun 1945 sebagai konstitusi negara, NKRI sebagai
bentuk negara dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan negara. Dari sini
kemudian kita bisa membantah argumentasi dasar dalam tulisan Bapak Harry Tjan bahwa
“Setiap orang memahami bahwa pilar tak sama maknanya dengan dasar”.
Kedua, empat pilar
dikatakan sebagai amanat UU Partai Politik Nomor 27 tahun 2008. Sepemahaman
sebagai warga negara biasa, UU Partai Politik tidak ada bernomor 27 tahun 2008.
UU Partai Politik diatur dalam UU Nomor 2 tahun 2008 dan UU Nomor 2 tahun 2011.
Artinya landasan hukum yang disajikan Harry Tjan dalam bangunan tentang empat pilar
sudah keliru. Selain itu, Empat Pilar juga bukan amanat UU Partai Politik,
melainkan pada Pasal 15 ayat (1) huruf e UU No. 27 Tahun 2009
tentang MPR RI, DPD RI, DPR/DPRD, menyebutkan bahwa tugas
Pimpinan MPR adalah mengkoordinasikan anggota MPR untuk memasyarakatkan
UUD NRI Tahun 1945. Juga diatur
di Pasal 12 huruf (c) Keputusan MPR RI Nomor 1 tahun 2010 tentang Peraturan Tata Tertib
MPR RI menyatakan bahwa “Anggota MPR mempunyai kewajiban memasyarakatkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945”. Serta dalam Pasal 12 huruf
(d) Keputusan MPR RI Nomor
1 tahun 2010 tentang Peraturan Tata Tertib MPR RI menyatakan bahwa “Anggota MPR mempunyai kewajiban memperkukuh dan memelihara kerukunan nasional
serta menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam semangat
Bhinneka Tunggal Ika.
Disini pemahaman sejarah lahirnya empat pilar akan
membawa kita kepada pemahaman yang benar pula.
Ketiga,
dengan menyitir pidato Bung Karno yang menyebut
Pancasila sebagai asas dan dasar negara sebenarnya tidak membuat kesesatan
apapun dalam terminologi empat pilar. Pancasila tetap sebagai pilar yang
fungsinya sebagai ideologi
dan dasar negara. Memang kalau kita keliru sejak awal memahami pilar sebagai
tiang, justru sesat pikir yang terjadi. Namun, kalau kita artikan pilar sebagai
yang pokok atau induk sesuai definisi KBBI diatas, maka penempatan dan fungsi
Pancasila sebagai asas maupun dasar negara tidak mengalami persoalan apa-apa.
Keempat,
kontroversi yang mempersoalkan istilah Pilar sebenarnya sah-sah saja. Namun,
jika dilihat dari kepentingan yang lebih besar, Sosialisasi Empat Pilar yang
dilakukan MPR bisa menjadi momentum perubahan
bangsa ini. Bukankah lebih baik menyalakan lilin daripada sibuk mengutuk
kegelapan ? Dalam situasi kekinian, masyarakat dihadapkan
berbagai macam konflik sosial seperti konflik yang melibatkan kekerasan atas
nama agama dan kelompok, juga radikalisme dan perilaku brutal lainnya yang sama
sekali tidak sesuai dengan kepribadian bangsa. Bangsa Indonesia yang dikenal
toleran dan mempunyai kearifan lokal dalam mengelola perbedaan-perbedaan, kini
dengan cepatnya telah berubah menjadi pemarah dan agresif. Sedikit saja disulut
dengan isu-isu yang sensitif – seperti kebebasan beragama dan berkeyakinan –
masyarakat dapat dengan mudah menjadi vandalis, layaknya seperti rumput kering
yang mudah sekali terbakar.
Kelima, sesat pikir hanya bisa terjadi ketika kita tidak melalui
proses berpikir yang benar. Kesimpulan sahih bisa diperoleh jika ada landasan
teori yang benar, definisi yang benar, data dan informasi yang tepat. Tanpa itu
semua, tudingan sesat pikir justru bisa berbalik menjadi tersesat dalam sesat
pikir sendiri. Tulisan ini sama sekali tidak bermaksud menggurui, namun sebagai
pelengkap dan sedikit meluruskan tulisan sebelumnya sehingga ruang publik kita
diisi oleh perdebatan yang dialogis akan empat pilar berbangsa dan bernegara.
Adi Surya Purba
Mahasiswa Magister Ilmu Politik
FISIP Universitas Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar Anda Di Sini :