15 Tahun Reformasi dan Bekunya Demokrasi

15 tahun silam, tonggak perubahan rezim otoritarian menuju demokrasi disepakati dengan nama reformasi dengan enam tuntutan yakni penegakan supremasi hukum, pemberantasan KKN, pengadilan terhadap mantan presiden Soeharto dan kroninya, amandemen konstitusi, pencabutan dwi fungsi ABRI dan otonomi daerah. Kini, sampai dimana perjalanan perjuangan reformasi tersebut ? Meminjam penjelasan O’Donnel dan Schmitter (1993) , transisi menuju demokrasi selalu penuh ketidakpastian, sama sekali tidak linear dan rasional. Sehingga banyak sekali ketidakpastian soal kemampuan melewati masa ini. Seringkali, transisi demikian tidak berakhir dengan happy ending, tetapi justru sebaliknya. Banyak contoh menunjukkan bahwa saat transisi baru setengah jalan, lalu menjadi abortif dan gagal.
Jika melihat enam tuntutan reformasi tersebut, kita sebenarnya sudah memperbaiki beberapa hal namun disisi lainnya juga memperburuk hal lainnya. Sebut saja, amandemen konstitusi, pencabutan dwi fungsi ABRI serta otonomi daerah sudah kita selesaikan meskipun dengan hasil yang masih butuh kajian-kajian mendalam akan efek yang ditimbulkannya. Sementara itu, penegakan supremasi hukum dan pemberantasan KKN ditambah dengan instabilitas politik elit sampai saat ini terus merongrong proses konsolidasi demokrasi. Larry Diamond mengatakan, bahwa esensi konsolidasi demokrasi adalah terbentuknya suatu perilaku dan sikap, baik di tingkat elit maupun massa, yang mencakup dan bertolak dari metode dan prinsip-prinsip demokrasi.
Lemahnya penegakan hukum tampak dalam maraknya aksi-aksi kelompok-kelompok yang mengatasnamakan masyarakat ”mengadili” kaum minoritas, banyaknya vonis-vonis hakim yang tidak adil, oknum-oknum lembaga penegak hukum yang terlibat korupsi bebas berkeliaran karena merasa diatas hukum bahkan konflik institusional antar penegak hukum turut mencederai proses berdemokrasi kita. Melihat ini. menjadi ironi adagium hukum yang berbunyi Fiat Justitia Ruat Caelum "hukum harus ditegakkan walau langit akan runtuh". Belum lagi, maraknya kerusuhan dalam pesta demokrasi (pemilu), ketidakadilan terhadap hak-hak minoritas serta oligarki politik yang menjadi penumpang gelap yang justru membajak demokrasi itu sendiri. Artinya, perilaku dan sikap, baik di tingkat elit maupun massa, yang mencakup dan bertolak dari metode dan prinsip-prinsip demokrasi, meskipun sudah ada perbaikan namun belum sepenuhnya terwujud dengan baik. Oleh karenanya, fase transisi, tidak mustahil tercipta rezim otoriter baru (continued authoritarianism) atau sekedar demokrasi terbatas (limited democracy). Untuk menuju konsolidasi demokrasi, masih penuh ”ranjau-ranjau”, bahkan bukan tidak mungkin kita berbalik dan mengarah pada kondisi transisi menuju demokrasi gagal.
Jika terus menerus dibiarkan, menjadi benar apa yang dikatakan oleh George Sorensen, dosen senior dalam bidang politik internasional di Universitas Aarhus, Denmark, yang memperkenalkan frozen democracy. Sorensen memperkenalkan konsep demokrasi beku yang menggambarkan kondisi masyarakat dimana sistem politik demokrasi yang sedang bersemi berubah menjadi layu karena berbagai kendala yang ada. Proses demokrasi mengalami pembusukan dikarenakan ketidakmampuan pemerintah yang berkuasa melakukan perubahan sosial, politik, dan ekonomi yang mendasar sesuai dengan tuntutan reformasi, terutama yang menyangkut kepentingan dan perbaikan nasib masyarakat miskin. Hal ini juga didukung oleh studi John Markoff dalam bukunya Gelombang Demokrasi Dunia (2002) menyebutkan empat indikator yang mendasari beroperasinya konsep demokrasi beku yaitu: kondisi perekonomian yang tak kunjung membaik, mandeknya pembentukan masyarakat sipil, konsolidasi sosial politik yang tak pernah mencapai soliditas, dan penyelesaian sosial politik hukum masa lalu yang tak kunjung tuntas.
Demokrasi beku harus diwaspadai karena ada potensi kita menuju ke arah sana. Indikator pertama, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan I-2013 sebesar 6,02% dibandingkan periode yang sama tahun lalu atau tumbuh 1,41% dibandingkan triwulan sebelumnya. Meskipun ekonomi indonesia sedang tumbuh, namun jika tidak disertai dengan pemerataan hanya akan menghasilkan pertumbuhan yang tinggi dengan tingkat kesenjangan yang juga tinggi. BPS mengumumkan data kemiskinan terbaru Indonesia dengan perincian jumlah penduduk miskin per September 2012 mencapai 28,59 juta orang (11,66 persen), menurun dibanding Maret 2012 yang tercatat 29,13 juta orang (11,96 persen). Artinya, dengan pertumbuhan ekonomi yang bagus, justru  penurunan kemiskinan berjalan lambat.
Indikator kedua, mandeknya pembentukan masyarakat sipil.  Pasca reformasi, pembentukan masyarakat sipil kembali bergeliat. Faultier (2001) dikutip Dzuriyatun Toyibah menjelaskan bahwa sejak reformasi 1998 tengah terjadi peningkatan fungsi masyarakat sipil. Meski demikian, masih terdapat segmen tertentu dari masyarakat sipil yang berwatak eksklusif dan membatasi partisipasi warga negara lainnya. Kebebasan justru digunakan sebagai sebuah cara untuk membatasi partisipasi negara lain. Sebagai contoh, fatwa-fatwa MUI, penyerbuan massa terhadap para pengikut ajaran-ajaran tertentu, kampanye-kampanye penegakan syariat Islam, menunjukkan trend pembangkangan kepada negara mengatasnamakan tafsir tunggal kebenaran tertentu. Masyarakat sipil tumbuh, tetapi tidak disertai ketertiban dan keadaban. Tindakan anarkis dalam menyuarakan aspirasi sampai pengambilalihan tugas negara dalam menjaga ketertiban umum mewarnai konsolidasi demokrasi kita.
            Indikator ketiga, konsolidasi sosial politik yang tak pernah mencapai soliditas. Sistem pemerintahan presidensil dengan multipartai menciptakan iklim demokrasi yang tersandera kepentingan masing-masing partai. Akibatnya kondisi sosial politik menjadi ramai oleh hiruk pikuk. Juan Linz dan Arturo Velenzuela (1994) berpendapat, sistem presidensial yang diterapkan di atas struktur politik multipartai (presidensial-multipartai) cenderung melahirkan konflik antara lembaga presiden dan parlemen serta menghadirkan demokrasi yang tidak stabil. Kegaduhan ini membuat agenda demokratisasi menjadi semakin sumbang. Selain itu, perilaku elit juga turut memperburuk keadaan. Banyaknya kasus pelanggaran hukum, buruknya moral dan kuatnya nalar pragmatisme tidak memberikan degradasi kepada agenda demokratisasi.
Indikator keempat, penyelesaian sosial politik hukum masa lalu yang tak kunjung tuntas. Menurut data dari Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) terdapat kasus-kasus yang sama sekali belum tersentuh proses hukum  seperti pembantaian missal 1965, penembakan misterius, kasus timor timur, Aceh, Papua, Dukun Santet, Marsinah and Bulukumba. Sementara kasus yang macet di Kejagung seperti Kasus Talangsari, Mei 1998, Semanggi I dan II dan Penembakan mahasiswa Trisakti.
Oleh karena itu, agar demokrasi terkonsolidasi, Diamond mengatakan di mana para elit, organisasi dan massa, semuanya harus percaya, bahwa sistem politik (demokrasi) yang mereka miliki, layak dipatuhi dan dipertahankan, baik dalam tataran norma maupun dalam tataran perilaku. Diamond juga mengatakan, bahwa konsolidasi demokrasi mencakup tiga agenda besar, yaitu (1) kinerja politik dan ekonomi rejim pemerintah demokratis; (2) institusionalisasi politik (penguatan birokrasi, partai politik, parlemen, pemilu, akuntabilitas horizontal, dan penegakan hukum); dan (3) restrukturisasi hubungan sipil-militer yang menjamin adanya kontrol otoritas sipil atas militer di satu pihak dan terbentuknya civil society yang otonom di pihak lain.
Untuk menjadikan demokrasi sebagai budaya perlu sebuah instrumen agar bangunan sistem demokrasi diisi oleh “tukang-tukang” yang berjiwa demokrat pula. Demokrasi kita dalam keseharian adalah demokrasi yang dijiwai oleh Ketuhanan Yang Maha Esa, keadilan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia  dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Proses pembudayaan demokrasi memerlukan aktor-aktor yang offensif pula. Institusi negara dan civil  society merupakan aktor-aktor demokrasi dalam proses tersebut. Pengaturan aturan main dalam berdemokrasi memerlukan pemberian sosialisasi nilai-nilai, pengubahan nilai-nilai melalui konstitusi sampai penggunaan aparat negara dalam menindak dan turut menjaga iklim demokrasi agar tumbuh sehat.

      
Adi Surya Purba
Tenaga Ahli Anggota DPR-RI
Mahasiswa Pascasarjana FISIP UI

0 komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar Anda Di Sini :