Pukul Dua Empat Nol-Nol...

Sudah pukul 23.59 Wib. Tak sabar aku selalu menunggu. Jantungku berdetak kencang sembari membayangkan apa yang akan aku katakan. Menyiapkan segudang canda agar bisa mendengarnya tertawa bahkan terpingkal-pingkal. Karena hanya itu persembahan di segala keterbatasan. Sedang apa kau disana, bagaimana perasaanmu, adakah kau sudah dijemput kantuk. Membayangkanmu tak pernah terasa cukup. Melihatmu tak selalu penuhi telagaku. Mendengarmu yang bisa menggenapi semuanya. Dengan suara yang malu-malu,dengan nada yang bersahaja.

Menunggu mungkin membosankan. Tetapi tidak buatku. Detik-detik menuju penantian bagikan jalinan dan bauran zat-zat yang membuat ringan tubuh. Bercampur aduk hingga tak pernah ada kata yang bisa mewakilinya. Tak puas bahasa untuk merepresentasikannya. Tak cukup glosarium untuk mengartikannya. Aku tahu kau sedang menunggu. Dan aku tahu ada senyum di seberang sana. Aku tahu ada cinta yang menderu-deru.

30 detik berlalu. Ingin segera ku mendahui waktu. Kenapa harus aku menunggu. Namun,di sisa waktu aku ingin sekali mengimajinasikanmu. Di sisa waktu aku bagaikan perakit bom yang menikmati ledakannya. Aku bukan puas atas seberapa dasyatnya. Aku tak puas dengan banyaknya yang mati. Aku menikmati “proses menanti”. Di situ ada gelisah. Di situ ada irama detak yang berlari-lari kencang. Di situ ada sedikit resah. Semuanya saling menyatu tapi tak pernah ia mampu. Ia bagaikan sebotol minuman dengan aneka rasa. Bagaimana mungkin aku bisa menjawab apa rasanya. Manis ? Tidak. Asam ? Tidak. Pahit kah ? Juga tidak. Aku kehilangan kata-kata. Narasiku serasa buta. 

15 detik menjelang. Aku masih disini. Masih setia menunggu di atas jarum jam yang kemarin. Rembulan tersenyum malu-malu. Angin menderu-deru. Gemintang muncul satu persatu. Malam semakin pekat. Waktuku semakin dekat. Bayangmu semakin dekat. Mulutku mulai komat kamit. Lima, empat, tiga, dua, satu.............”hallo...”

Subuh Itu, Kumenggugat...


Aku agak terganggu dengan pembicaraan kita tentang masa depan hubungan ini. Pada zona nyaman yang selama ini kuhindari untuk diperbincangkan. Tetapi aku tahu itu hanya seperti menunggu bom waktu. Cepat atau lambat,konflik itu akan tiba. Aku selalu tergoda membicarakannya,tetapi selalu tak siap dengan jawaban yang abstrak dan seperti menyerahkan semua pada waktu.Padahal waktu tidaklah bisa menjawab. Aku dan kau yang memberi keputusan. Apakah harus diperjuangkan atau hanya sekedar cinta yang singgah dan kemudian terbang lagi.

Kita berbeda bukan karena kita menginginkannya. Semua orang bisa memahami itu dan semua orang juga di satu sisi ikut mengutuknya. Bukan salah kita,bukan pula salah mereka. Aku pun tak mengerti kenapa kita harus mencari siapa yang salah. Aku cuma ingin bersuara dan menunjukkan pada dunia bahwa kita saling mencintai.Bahwa cinta kita lahir dari proses unik yang takkan terlupakan oleh anak cucu kita. Aku sangat mencintaimu dan kau pun begitu tanpa memandang keyakinan dan kepercayaan masing-masing. Karena kita tahu cinta itu tak bersekat,diskriminatif,sempit dan ekslusif. Aku tak tahu ternyata ada hukum religi yang bilang manusia tidak boleh mencintai manusia lain yang berbeda.Apakah “yang berbeda” itu iblis yang kafir ?. Apakah ini tanda dalam agama pun ada diskriminasi ?

Cinta ada dalam setiap agama. Apakah agama hanya membatasi kita boleh mengasihi seseorang tetapi hanya kepada agama kita sajalah kita boleh berbagi cinta asmara pada lawan jenis kita.Pernahkah kalian yang membaca ini berada dalam posisi kami ?. Kalau kalian menyalahkan kami karena memutuskan untuk saling mencintai,bukankah kalian juga sering berucap cinta itu bisa datang kapan saja-dimana saja. Satu sisi kalian memuja,tapi satu sisi menghujat. Saya hanya ingin mengajak agar kita berpikir sesuai dengan kacamata orang lain juga.Mencoba merasakan berada di posisi kami.

Apakah kalian tahu bagaimana aku mencintai perempuan itu ?. Tentu tidak. Dia yang membuatku bersemangat. Dia yang rela melaggar prinsip-psrinsip hidupnya demi lelaki ini. Dia yang bisa hadirkan hal yang indah. Dia yang membelai rambut seraya mengecup kening hantarkan tidurku. Dia adalah dia..seseorang yang sangat kucinta.Tiap hari kita saling menyapa,saling berbagi cerita. Kadang diselingi gelak tawa,sesekali ada tangis dan beberapa dinamika yang buatku merupakan bumbu sebuah hubungan. Kami sangat bahagia.

Aku ingin dia yang membacakan doa saat aku beristirahat di sisi-Nya. Aku ingin dia yang mencabut uban yang memutih di kepalaku. Dia yang membawakan sebuah tongkat untuk aku berjalan. Aku ingin bersamanya dalam tidurku bahkan aku berdoa agar dia selalu memenuhi mimpiku. Lantas haruskah cinta kami kalian pisahkan dengan arogansi tanpa setitik nada mengerti ?. Andai aku bisa menolak cinta ini sejak awal,aku akan berdoa pada Allah. Namun,bukankah Dia juga yang menciptakan cinta itu ?

Ingatkah kalian bagaimana kalian membunuh Socrates dengan minum racun ? Lupakah kalian bagaimana dengan semena-mena kalian membunuh galileo karena mengatakan bumi itu bulat ? Lupakah kita bagaimana kita membunuhi dan membantai saudara-saudara kita yang kalian tuduh PKI ? Masihkan kalian ingat bagaimana kalian membunuh Syekh Siti Djenar dengan keji ?. Sekarang justru kalian juga mengelu-elukan nama Socrates dalam ajaran-ajarannya. Hari ini kalian beramai-ramai bilang kalau matahari mengelilingi bumi. Hari ini kalian juga bisa lantang berucap bahwa belum tentu PKI adalah dalang peristiwa GESTAPU. Dan di toko-toko buku kalian pula,berjejer karya Djenar yang kalian rekomendasikan untuk dibaca. 

Sekarang kalian akan memisahkan kami jugakah ? mencerca kami dengan sebutan kafir,iblis,dan semua sumpah serapah yang kalian sudah persiapkan buat kami.Meskipun itu yang kalian akan lakukan. Aku cuma mau bilang “ kami saling mencintai”.

Belakang Tak Berarti Terbelakang


21 Mei 2011
Dua sahabat dekatku kemarin lulus lagi. Tak bisa untuk tidak bilang aku iri atas pencapaian mereka. Menggugat tapi entah pada siapa. Sebelum lebih jauh mencari kambing hitam, lebih baik aku cari kari kambing untuk disantap. Skripsi kini menjadi musuh nomor satu yang harus dikalahkan. Sudah dua tahun lebih pertempuran. Dan aku belum menang. Aku tak mau menunjuk karena takut kehabisan telunjuk. Dan karena saya sedikit egois, saya juga tidak mau mengarahkan telunjuk itu ke hidungku. Mungkin ini yang dinamakan suratan Ilahi. Bukan artinya ini adalah mencari pembenaran. Karena kalian selalu bilang beda pembenaran dan kebenaran hanya seutas rambut hitam nenek tua di pinggir jalan.

Aku menyebutnya guratan tangan setelah aku berpikir dan meligat ke belakang. Hampir di setiap kelompok yang kumasuki, menjadi nomor satu itu adalah amanah. Sewaktu kecil, saya selalu memimpin beberapa anak jahil dan bandel memerankan sebuah kelompok kejahilan. Mulai dari mencuri mangga tetangga sebelah sampai dikejar-kejar pemilik kebun mentimun karena perintah pada anggota untuk mengambilnya seolah semua adalah milik bersama. Suatu pola pikir yang membuat orang tuaku menggelengkan kepalanya. Memasuki SMP, SMA hampir tidak pernah tidak punya pengikut. Bahkan menjadi nomor satu tidak hanya dalam hal kejahilan. Tetapi kubuktikan dengan meraih nilai tertinggi NEM SMU. Mengkudeta ketua kelas sampai menjadi orang pertama yang selalu menyarankan bolos pada jam-jam fisika dan kimia. Dan,aku tidak pernah sendiri melakukannya. Memasuki kuliah, itu pun berulang. Diangkat menajdi ketua angkatan ,ketua organisasi dan pemimpin dalam kelompok-kelompok pergaulan selalu saja aku perankan. Namun menjadi terdepan di awal perjalanan, tidak sama artinya menjadi yang paling awal di akhir perjalanan. Semuanya hampir terbalik.

Menjadi paling lama memilih SMP mana yang akan kutempati, menjadi orang terlama yang menganggur setelah SMU dibanding teman-temanku sepermainan, sampai sekarang menjadi salah satu stok terakhir yang belum lulus dari perkuliahan. Apakah memang hidupku ditakdirkan untuk menjadi benteng terakhir yang menjaga kerajaan ?. Menjadi orang terakhir sebelum orang-orang disekitarku selamat sampai tujuan. Tetapi kalaupun itu guratan nasib, toh aku selalu berhasil memasuki tempat baru dengan selamat. Memasuki jenjang-jenjang kehidupan tanpa ada benang yang putus. Bedanya, orang-orang melewati dengan mudah, dan aku sedikit kesusahan. 

Tetapi sekali lagi, apapun yang terjadi menimpa kita, tidak ada satu orang pun yang bisa memutuskan dan memaksa kita memaknainya. Artinya, kematian orang tua, bisa kita pandang sebagai sebuah kebahagiaan. Mungkin agak sedikit naif, tetapi bukan berarti salah. Justru, kebanyakan ornag gagal, bukan karena faktor orang lain, melainkan gagal melihat dan memakai kacamata yang tepat. Orang yang memakai kacamata hitam akan mengatakan dunia itu hitam. Dan itu sah-sah saja,karena orang-orang memang hanya bisa berkomentar melalui kacamata yang dipakainya. Dan saya tidak mau sama dengan orang-orang memandang hidup ini. Hitam bisa jadi putih, merah bisa jadi kuning, kematian bisa dimaknai sebagai kebahagiaan, isak tangis diartikan sebagai berkah yang sedang diberikan. Setiap peristiwa adalah bebas nilai, dan kita yang memegang palu untuk menentukan apa nilainya,bukan siapa-siapa.

Oleh karena itu, dunia yang saya hadapi sekarang adalah dunia menurut saya. Bukan dalam arti kesewenang-wenangan dan mengabaikan yang lain. Tetapi semata-mata hak kita sebagai manusia untuk menentukan kemana arah hidup kita. Bukan artinya mengabaikan saran seorang teman baik, melainkan sebagai manusia,hanya kitalah yang paling mengerti apa yang terbaik buat diri kita. Saran tidak akan tinggal bak petugas stasiun yang mengingatkan “jangan lupa untuk menjaga barang bawaan”. Saranmu akan jadi bahan pertimbangan yang sangat berharga. Dan mohon maaf kalau anda harus menerima fakta, sayalah orang terahir yang menentukan vonis terhadap diri saya sendiri. 

Lantas bagaimana saya memandang hidup saya sekarang. Saya katakan dalam-dalam “bahwa posisi belakang tidak selamanya terbelakang”. Dan hanya orang-orang yang memiliki semangat hidup yang bisa membuktikan hal itu. Kalau tidak, mohon maaf, hanya akan jadi kata-kata penghiburan buat orang-orang yang kalah. Sebentar tenang, sehabis itu mati.

Mencari Keajaiban

        Minggu, 2 Mei 2010

Sisa tidak tenang semalam, membuat pagi ini serasa lebih cepat. Malam tadi aku dihantui. Sangat tidak enak rasanya belakangan ini harus selalu dikejar-kejar bayangan yang tak bisa aku hindarkan. Aku memang tidak bisa melihatnya, tapi sangat jelas aku rasakan kehadiranya. Sudah hampir sebulan ini hari-hari serasa sangat berat. Putaran jarum jam membuatku benci. Bagai menegakkan benang basah, aku mengutuk waktu. Namun, bayangan itu selalu menghantuiku. Dia datang setiap pagi, dan malam ini, dia bersamaku seharian di kamar kos mungil ini. Buliran-buliran keringat dan bau asem badanku pun tak kuhiraukan lagi, aku ingin lepas dari tekanannya. Tunggu dulu, ini bukan soal rajin berdoa, ini juga bukan karena malas ke dukun. Doa sudah dikirimkan dan dukun saya kira tidak perlu ada. Sudah 12 jam aku sendiri di kamar ini, bunyi keyboard menari-nari menimbulkan suara yang gaduh. Suara bantingan buku-buku dan lembaran kertas yang membuka – menutup membuat irama dalam kamar ini terasa hidup. Dia datang, mendekat..mencium aroma kemalasanku, membuatku segera menggenggam pena yang berujung tajam. Kupegang pena tajam itu, kuacungkan dan kutikamkan ke dalam kertas-kertas berkas skripsiku. Ya, Aku dihantui skripsi dan harus lulus bulan ini...

Aku minta maaf ibunda, anakmu telat lulus. Aku tahu kau kecewa walau tak sekalipun kau tampakkan di raut wajahmu. Dulu, aku pernah berjanji, aku mahasiswa yang lulus paling cepat dengan predikat cum laude. Janji itu muncul karena aku paling telat masuk kuliah, jadi kalau ga lulus duluan, ya ketuaan dong. Namun, aku bukanlah menabur angin, aku sedang menabur kesabaran dan kegigihan. Sabar karena harus menghadapi dosen pembimbing yang susahnya minta ampun untuk aku mengerti. Gigih, karena aku memang mengerjakan, namun bak terjangan semangat yang tak punya pintu, akhirnya aku mati kelelahan. 

Skripsi memang bisa tergelincir menjadi skripSHIT buat yang hanya menggerutu. Tapi buatku tidak. Skripsi hanyalah ujian kecil. Sama seperti kerikil-kerikil kecil kehidupan yang sebenarnya bisa dilalui. Seorang teman pernah bilang “skripsi juga adalah bentuk ujian dari Tuhan”. Perkataannya telak memukulku,mengkandaskan ke sumur terdalam. Aku malu. Teman Tadi menyambung perkatannya “ sudahkah anda berdoa pada-Nya?”.

Mengenangmu...

Aku tahu ini bulan April. Dimana hujan akan mengucapkan selamat tinggal pada tanah. Dimana selimut-selimut tebal mulai akan ditanggalkan, diganti baju singlet tipis. Anak-anak penjaja payung di depan pelataran Mall Ciputra akan menidurkan payung-payung mereka dan mungkin kembali ke perempatan . Seorang petani berdiri di tengah hamparan padi menguning di April ini. “Selamat datang musim kemarau”, begitu ujarnya. Suatu titik batas yang memang setiap tahun sudah membuatnya terbiasa dengan transisi. Semua berganti dan mengikuti siklus yang diciptakan. Hujan berganti panas- pagi berganti malam, dengan segala yang dibawanya. Barangsiapa yang tidak pernah siap dengan transisi musim, akan terbuang dari putaran zaman. Barang siapa yang tidak siap dengan perubahan, akan merana. Begitu juga denganku, aku harus siap.

Mas Transisi juga sedang menghampiriku**

Kaka Slank pagi ini menyapaku merdu. Kali ini musik yang menjadi orang pertama yang menyapaku setelah kau pergi. Aku bahkan tak pernah tahu kalau aku menyimpan sesal yang mendalam atas perbuatanku. Aku ingin kau datang. Tetapi seketika aku sadar, bahwa aku sedang menyiapkan sengsara di hidupmu. Sadar akan itu, lebih baik kiranya kalau aku menjauh saja. Mudah-mudahan kau membenciku dengan segala kesalahanku. Itu lebih baik kupikir. Entah bisikan darimana yang bilang bahwa kau bergelimang air mata. Disesaki kesedihan yang tak kuketahui seberapa dalam dasarnya. Aku hanya tahu, kau masih sakit hati. Ini pula yang membuatku tambah kokoh, bahwa kau lebih baik tanpa aku. Semua orang tahu bahwa kita tak akan mungkin bersatu. Apalagi di negara yang meletakkan ayat-ayat agama dan norma di depan bibir mereka. Bukan pada otak dan hatinya. Dan kau tahu, Socrates mati juga karena tirani mayoritas itu.

Meskipun kataku kau lebih baik tanpaku, aku tahu kau merasa akan lebih baik denganku. Dua titik persilangan yang memang harus kita letakkan di meja dialog. Bukan di ring tinju kehidupan. Yang satu harus dijatuhkan untuk menang. Tetapi cinta memang lebih senang berada dalam garis hitam putih. Kompromi lebih banyak selesai di dunia politik. Padahal yang kita butuhkan adalah kompromi. Inti persoalannya, bagaimana menjalani hubungan dengan Tuhan yang berbeda di negeri ini. Kenapa Titi Kamal Bisa ? Dan Lidya Kandow sudah punya anak 3 dengan Jamal Mirdad. Berarti kemungkinan itu tetap ada. Benar kemungkinan itu tetap ada, tetapi mari kita dudukkan secara kausistik hubungan Titi, Lidya dengan kita. Setiap hubungan itu unik, artinya tidak akan pernah ada kompleksitas yang benar-benar sama.

Setelah lama berdialog, bahkan sesekali sempat terpleset ke ring tinju pergulatan. Aku menyerah. Kau putus asa dengan keputusanku. Kubilang “ cinta tanpa harus memiliki”. Kau bilang “ cinta harus memiliki”. Perdebatan itu kemudian senyap ditinggal hati yang sama-sama remuk redam. Meja dialog yang basah karena air mata. Ditinggal sepasang kekasih yang tak lagi menempuh jalan yang sama ketika pulang. Apakah memang cinta itu bersekat ?. Bukankah Ken Arok Yang berkasta Sudra bisa saling mencintai dengan Dedes yang Brahmana ?. Kini aku tahu sejarah juga mencatat tentang pengkotakan cinta ke dalam sekat-sekat yang boleh dan tidak boleh. Cinta itu ternyata bukan sesuatu yang bebas ditujukan kepada setiap makluk manusia. Cinta itu diskriminatif. 

Sore ini mungkin hujan terakhir di bulan April, aku tak tahu apakah hujan ini datang untuk menghapus jejakmu. Aku bingung hendak memayungi jejakmu agar tidak larut dibawa air. Ataukah kurela saja agar jejak itu bisa kau jejakkan di hati yang lain ?.